Text post

Bullhead: Inside, We’re All Animals

image

Sometimes things happen in life that turn everybody silent. So silent that nobody dares to talk about it anymore. To no one. Not even themselves. Not in their own head, not aloud, not a fucking word. Because everything has been lingering. There deep in those fields, year after year. But out of the blue it is all back. Just like that, from one day to another. It may be ever so long ago, there is always someone who digs it up again. Whatever you do, and whatever you think, one thing you can be sure of: You’re always fucked. Now, tomorrow, next week and next year, until the end of time.

Fucked.

Apa yang akan anda lakukan, jika anda dihadapkan kembali pada sebuah trauma masa lalu yang sebelumnya telah dengan susah payah anda lupakan? Apakah anda akan terus meredamnya, melawannya, atau justru akhirnya anda akan berdamai dengannya? Pertanyaan itu merupakan salah satu pertanyaan yang menyeruak di tengah banyaknya lapisan kisah yang termuat pada film besutan Michaël R. Roskam, Bullhead.

Bullhead berkisah mengenai Jacky Vanmarsenille (Matthias Schoenaerts), seorang pria di usia tiga puluhan yang berasal dari keluarga peternak sapi di kawasan Flanders, Belgia. Sapi merupakan salah satu komoditi perdagangan penting di Belgia. Para peternak sapi pun dalam usahanya untuk mendapatkan sapi yang memiliki massa daging yang tinggi, menyuntikkan hormon pertumbuhan kepada sapi-sapinya. Hal ini merupakan tindakan ilegal yang sampai membuat kepolisian di Belgia membentuk satuan khusus dalam memberantas mafia hormon. Tindakan ilegal inipun dilakukan Jacky dan keluarganya di peternakan mereka. Ironisnya, layaknya hal yang dilakukan kepada sapi-sapinya, Jacky ternyata adalah seorang pecandu hormon termasuk steroid dan testosteron. Jacky pun tumbuh menjadi sosok yang tinggi besar namun memiliki ketidakstabilan emosi yang bisa meledak sewaktu-waktu. Kehidupan Jacky yang semula tanpa riak apapun, mulai berubah ketika dia dibawa masuk ke dalam dunia mafia hormon oleh rekannya. Tanpa disangka, seseorang dari masa lalunya muncul, dan turut membuka trauma masa lalu yang menjadikan Jacky sosok seperti saat ini.

Bullhead menyajikan tema yang mungkin sedikit kurang lazim, terutama untuk penonton di luar negara Belgia: Kejahatan dan mafia di dunia peternakan sapi. Namun, sifat manusia di mana-mana sama. Jika di Indonesia peternak menggunakan teknik glonggong sebagai cara untuk menambah bobot sapi sebelum dipotong, maka peternak di Belgia menggunakan cara yang tentunya lebih maju, penggunaan hormon pertumbuhan. Tentunya dalam dosis yang tidak dianjurkan. Penggunaan hormon ini memang menambah massa daging, namun tentunya dosis yang berlebih akan berbahaya bagi manusia yang memakan daging tersebut. Karena itulah pihak kepolisian di Belgia bertekad untuk membasmi mafia hormon di negara tersebut.

Dalam film debutnya ini, Roskam menghadirkan atmosfer yang kelam dan tidak bersahabat. Memang tidak banyak darah yang tertumpah di sini, namun atmosfer itu terasa dari gambar-gambar hasil bidikan lensa Nicolas Karakatsanis yang gelap, dan minim warna. Namun Roskam dan Karakatsanis secara acak menyelipkan scene-scene panorama yang indah, yang seolah menjadi penyegar dan simbol akan adanya harapan dalam kehidupan. Roskam pun tidak takut menyelipkan humor-humor yang cukup segar, yang kemunculannya seringkali tidak dapat diduga-duga.

Ada satu hal yang membuat saya terkejut setelah menyaksikan Bullhead. Dalam balutan atmosfir yang kelam dan label genre crime-drama, Bullhead ternyata merupakan sebuah kisah cinta yang terselimuti lapisan-lapisan kisah lain yang keras dan gelap. Dan inilah kepintaran Roskam dalam membentuk filmnya dalam berbagai lapisan, sehingga segala sesuatunya terlihat dan terasa samar walau subplot yang disajikan tidak banyak dan cenderung disampaikan secara linear. Roskam memang tidak menyajikan twist, namun memiliki kepandaian dalam mengendalikan alur penceritaan Bullhead. Hampir ¼ bagian awal, Bullhead menyajikan kisah mengenai dunia peternakan sapi dan bagaimana para peternak menyuntikkan hormon pertumbuhan kepada sapi mereka, sebuah kisah yang bisa dibilang cukup membosankan. Namun ternyata kisah di awal tersebut membawa kita kepada kisah lain, termasuk masa kecil Jacky dan sahabatnya Diederik Maes (diperankan oleh Jeroen Perceval saat dewasa dan Baudoin Wolwetz saat kecil), pertemuannya dengan cinta pertamanya, dan trauma yang dialami oleh Jacky saat itu. Sebuah trauma yang tidak hanya melukai fisik Jacky, namun juga jiwanya yang akhirnya membentuk Jacky menjadi seorang pecandu hormon. Dan dari situ Roskam membawa kita pada Jacky yang sesungguhnya. Jacky yang rapuh dibalik badannya yang besar, Jacky yang terluka dibalik emosinya yang meledak-ledak, Jacky yang menginginkan kasih sayang, Jacky yang menginginkan pasangan dan keturunan, Jacky yang mencintai Lucia (Jeanne Dandoy). Lucia, cinta pertama Jacky.

Lepas dari kepiawaian Roskam dalam merunut cerita, Bullhead memiliki warnanya dari akting Matthias Schoenaerts yang luar biasa. Schoenaerts berhasil memunculkan warna-warna emosi Jacky dengan sangat baik. Tanpa Schoenaerts, mungkin Bullhead akan menjadi film yang biasa saja, bahkan mudah dilupakan. Jacky sendiri selalu mengibaratkan dirinya sebagai binatang, dalam hal ini sapi/banteng. Seperti yang diucapakannya kepada Diederik, “I’ve always felt like those bulls. I never knew what it was to protect someone. Calves, a flock, like a wife, children. Really have to protect. As it should, because it is your nature. I don’t have what should have been my nature”; dan Schoenaerts dengan cemerlang merangkul pernyataan Jacky tersebut. Sisi binatang Jacky, keinginan untuk mengasihi akan tetapi tidak mengetahui bagaimana cara mengasihi, keinginan memiliki pasangan dan anak, dan keinginan untuk memiliki Lucia. Semuanya terangkum menjadi satu dalam akting Schoenaerts.

Bullhead bukanlah film yang sempurna, terlebih tanpa kehadiran Schoenaerts. Namun Bullhead tetap berhasil dalam memberikan sundulannya kepada sifat manusia yang tanpa disadari seringkali seperti binatang, atau bahkan lebih buruk dari itu. Dan, tidak seperti Jacky yang mengakui dan menyadari bahwa dirinya seperti seekor banteng, yang lebih parah dari itu adalah manusia yang tidak mengakui dan tidak menyadari perilakunya yang layaknya binatang. Dan atas sundulan itulah Bullhead pantas menjadi satu media untuk direnungkan.

Directed by Michaël R. Roskam
Written by Michaël R. Roskam
Starring Matthias Schoenaerts, Jeroen Perceval, Barbara Sarafian
Music by Raf Keunen
Cinematography Nicolas Karakatsanis
Editing by Alain Dessauvage
Running Time 128 minutes
Country Belgium
Language Dutch, French

PS: Ulasan film Bullhead di atas juga dimuat di laman Layar Tancep.