Sendirinya seorang lelaki

Layar chat itu tiba-tiba muncul.

“Mengapa tiba-tiba aku merasa sendiri?”, tertulis di layar.

Lelaki itu, dua hari lagi akan menikah.
Sekarang, ia telah melewati langkah 27 tahun.
Dua, tiga tahun lampau hasrat menikahnya telah begitu menggelora.
Kini dalam hitungan jam, si Hafizh Qur’an itu akan memenuhinya.

“Ya, semua lelaki mengalaminya,” jawabku.

“Tapi, mengapa ada rasa semacam ini?”

Aku tersenyum.

“Lelaki pada mulanya hidup untuk sendiri.”
“Ia menyandar pada kekuatannya untuk menghempas semua tantangan, menakluk segala macam seteru.”
“Sampai sebuah ujung, ketika seluruh penantangnya terhempas, ia bertemu dengan makhluk baru… perempuan.”
“Hiruk pikuk pertempuran menghilang, puja-puji bak pahlawan menyingkir, lelaki itu harus menghadapinya… sendiri.”

“Beratkah?”

“Perempuan, tidak menginginkan engkau mengalahkannya. Ia menantangmu untuk memimpinnya, menuntutmu untuk membawa dirinya dan anak turunnya melewati batu-batu, tanjakan gelombang, tikungan tajam, menuju apa yang harus disebut sebagai ‘bahagia’.”

Lelaki itu terdiam. Ia, dalam tubuh kurusnya, sungguh lelaki yang keras. Bertahun, keluarganya, lingkungannya, dan teman-temannya telah mendidiknya dengan keras.

“Aku tiba-tiba ingin menangis..”

“Menangislah, itu akan melegakanmu..”

“Tapi, di sebelahku ada Irfan… ”

“Oh, ya jangan…”

  • 8 October 2015
  • 1