nay(uni)nilna

love reading, writing, n travelling | ordinary girl, who can fall in love | aspires to be a good wife and a good mom | IndonesiaLovers |
more.about.nilna.r.isna!

Mengenang Kenangan dengan Setengah Lusin Teman : #Menulis

Setengah Lusih keempat : Menulis

Ada hal yang terkenang ketika kata “Menulis”dan “Teman” muncul beriringan.

#1 Silky Putri Maiza

Aku dan Silky tinggal di kota yang sama. Kami bersekolah disekolah yang sama. Bahkan kami duduk di bangku yang sama. Aku dan Silky bertemu setiap hari di sekolah. Tapi kami bermain surat-suratan. Ah, tidak, aku dan silky serius berkirim surat-suratan. Kami menulisnya di kertas bergambar-gambar lucu dengan tulisan tangan yang cakar ayam, lalu mengirimkannya via pos terdekat dari rumah masing-masing. 

#2 Wulansari Febrihans

Aku dan Wulan duduk sebangku ketika kelas 2 MTsN. Suatu hari Wulan cerita kalau setiap hari Minggu ia les menulis. Waktu itu, aku menertawakannya. Les menulis? Maksudnya les supaya tulisan kita jadi bagus? Waktu itu kupikir tulisan tangan. Padahal menurutku tulisan tangan Wulan sudah cukup bagus. “Bukaaan,” Wulan menyanggah tawaku, “Les untuk menulis, misalnya menulis cerpen, menulis puisi, gitu.” Wulan pun menunjukkan sebuah koran dengan header PELANGI : Sanggar Sastra Remaja. Di dalam koran itu, tampak Wulan sedang menulis dengan khusyuk di atas sebuah kayu.

#3 Nurul Azizah Zayzda

Aku dan Nesa -panggilan Nurul- tidak pernah duduk sebangku. Tidak pernah juga sekelas. Kami satu sekolah dengan kelas yang bertetangga. Tidak bertetangga langsung, karena ada ruang kepala sekolah di tengah-tengahnya. Aku dan Nessa sama-sama addicted dengan mading sekolah. Hobi kami adalah membuat zodiak. Kami berdua sama-sama tidak percaya zodiak. Tetapi berhubung masih junior, kami patuhi untuk tetap mengisi rubrik zodiak setiap hari Selasa mading terbit. Selasa pagi, siswa-siswi akan singgah dulu mendongakkan leher ke mading. Selalu ramai selasa pagi itu. Tapi aku dan Nessa selalu kesal karena ramainya kebanyakan karena siswa-siswi memastikan apa kata zodiak mereka minggu ini. Pada hari ketika kami diberi hak penuh untuk mengomandoi mading, aku dan Nessa mulai jahil. Kami tidak lagi merujuk rubrik zodiak dari majalah-majalah, melainkan dari pikiran kami sendiri. Sering juga kami bertanya iseng kepada beberapa teman, “Hai kamu zodiaknya apa, bagaimana keuangan kamu minggu ini?” atau, “Hai, kamu Leo ya, kamu pengen kayak apa kisah cintamu minggu ini?”, dan lain-lain. Rubrik zodiak yang sebelumnya kami anggap sebagai sesuatu yang membosankan dan mengherankan kenapa orang-orang banyak yang ketergantungan, menjadi seru dengan ide brilian kami menciptakan nasib-nasib zodiak. Lebih lucu lagi, ketika zodiak abal-abal itu banyak yang percaya, dan jauh lebih lucu lagi karena ada yang tiba-tiba murung karena isi zodiaknya jelek sekali, Tetapi, jahilnya aku dan Nessa tidak berlangsung lama. Beberapa bulan kemudian, kami demisioner jadi pengurus mading, naik kelas jadi pengurus ekskul Jurnalistik sekolah yang nggak hanya ngurusin mading. Aku jadi ketua, Nessa wakilnya. Dwitunggal ini kompak menghapus rubrik zodiak di mading sekolah. Dampaknya, mading jadi sepi.

#4 Maghriza Novita Syahti

Aku bertemu Opie, -panggilan Maghriza- di kantor Padang Ekspres. Berjarak satu minggu setelah kedatanganku pertama kali ke redaksi koran itu. Ada suplemen baru Padang Ekspres, namanya P’Mails, media yang khusus dengan segmen pembaca siswa-siswi. Reporter dan wartawannya pun adalah siswa-siswi. Hanya ada 3 orang dewasa disana, yaitu 1 pemimpin redaksi dan 2 redaktur pelaksana. Di P;Mails, aku dan Opie kejar-kejaran setoran tulisan. Kalau minggu ini Opie yang paling banyak terbit tulisannya, minggu depannya aku, tanpa kami sengaja. Pembaca yang kemudian tahu, kalau bukan Nilna R. Isna ya Maghriza Novita Syahti. Aku dan Opie tidak hanya berteman di hati pembaca tetapi juga di pertemanan dibalik redaksi. Kami nyambung sebagai sesama anak tunggal, kami sering sama-sama autis ketika mendapat tugas meliput berita, dan kami selalu tertawa dimana saja. Aku dan Opie juga kemudian sama-sama digandeng Om KW (Pak pemimpin redaksi) untuk lebih khidmat lagi belajar menulis. Kami pun belajar menulis di Sanggar Pelangi, menulis apa saja : cerpen, puisi, harapan, kisah masa kecil, dan sebagainya. Tetapi lebih banyak kepada menulis cerpen. Aku dan Opie pun kembali berkejar-kejaran, kali ini berkejar-kejaran mendapatkan komentar bagus dari Om KW setiap minggu, setiap karya yang kami setor ke Om KW. Suatu hari, kami ikut lomba, setingkat kota, aku Harapan I, Opie Harapan II. Hari berikutnya, kami ikut lomba lagi, tingkatnya provinsi, Aku Harapan I, Opie Juara III. Suatu hari berikutnya lagi, kami lagi-lagi ikut lomba, tingkatnya nasional. Opie mendapat Juara 1, ia diberi hadiah uang saku, piala yang besar, dan beberapa buku. Aku mendapat harapan saja, tidak dapat uang saku ataupun piala juga buku, ya berharap-harap menang saja. Hehe. Aku dan Opie memang tidak selalu bersama-sama, tapi ide dan pikiran kami seringkali berjalan beriringan. Aku mulai tidak menulis lagi setelah sibuk urusan kampus yang membuatku sering begadang. Opie pun mulai menyepi dari kepenulisan setelah melancong ke pulau seberang. Baru beberapa minggu yang lalu, kami saling berkirim surat, via email. Pada ulangtahun ke-25 nya beberapa bulan lalu, Opie punya ide seru, ia ingin teman-temannya memberi kado ulangtahun berupa surat untuknya. Kami pun bersurat-suratan.

#5 Dodi Prananda

Waktu itu, aku sudah SMA, Dodi masih SMP. Dodi datang ke redaksi P’Mails dengan celana sekolah yang sempit ke bawah. Aku sampai “galigaman” melihatnya. Waktu itu, Dodi datang untuk mengirimkan puisi karyanya, berharap-harap lolos seleksi di meja redaksi. Beberapa minggu berikutnya, Dodi datang lagi, karyanya yang terbit minggu itu membuatnya dilamar untuk menjadi wartawan sekolah perwakilan sekolahnya. Dodi bergembira untuk itu. Aku pun bergembira, karena memang karyanya bisa diadu, teruji jitu. Waktu-waktu pun berlalu setelah itu. Aku yang mendadak alih dunia dari dunia menulis ke dunia organisasi yang membuatku keliling-keliling Indonesia, bertemu Dodi pada pagi itu, di kampusnya. Dodi berkuliah di Universitas Indonsia, jurusan ilmu komunikasi. Waktu itu, ada acara di UI. Aku baru saja datang pagi itu setelah menempuh perjalanan kereta dari Jawa menuju Jakarta. Dodi menyapaku riang. “Kak Nilnaaaaa….,” soraknya girang, menyalamiku, hampir-hampir saja memelukku. Aku menatapnya dari atas, belum sampai ke bawah, sudah geleng-geleng. Dodi yang dulu setinggi ubun-ubun sekarang sudah setinggi puhun. Aku mendongak untuk melihatnya. Membuatku menyipitkan mata melihat rambutnya. “Ya ampun dek, nggak ganteng gondrong gitu,” ujarku yang terakhir bertemunya ketika Dodi masih SMA. Dodi cengengesan dan berkilah, “tetap ganteng kok, kak.” Well, syukurlah dari foto terakhir sebelum menulis ini, Dodi sudah berambut cepak lagi. Aku masih pada argumenku kalau Dodi gondrong itu tidak ganteng, Dodi cepak baru ganteng. Soal menulis, Dodi paling juara dalam hal konsistensi. Hingga detik ini, ia sudah punya 3 (tiga) buku yang ditulisnya dan dijual di toko-toko buku besar, terutama Gramedia. Aku berbangga sekali punya adik dengan konsistensi sepertinya. Dia tidak hanya sekedar menulis buku, namanya juga sering muncul di sudut-sudut koran sabtu dan minggu. Pada buku pertamanya : “WAKTU PESTA”, Dodi memanggil namaku di belakang bukunya, sesuatu yang membuatku begitu terharu.

#6 Kurniawan Gunadi

Ini teman baru, baru bertemu beberapa minggu lalu. Ia jadi bintang tamu, aku jadi meja tamu. Ah, bukan. Aku jadi tetamu untuk melihat dan mendengar sang bintang tamu. Tetamunya hari itu banyak sekali, perkiraanku 300an orang, karena semua kursi terisi penuh disitu. Setahuku, memang 300an orang itulah kapasitas gedung tempat pertemuan itu. Masgun, -ia mempopulerkan namanya dengan Masgun- duduk di atas panggung dan aku di sudut kanan berusaha dekat-dekat dengan colokan, hp-ku lowbatt sekali waktu itu. Demikian Masgun menjadi bintang tamu berbicara tentang proses kepenulisan. Dari seluruh workshop/seminar/pelatihan kepenulisan yang pernah aku hadiri, maka yang dengan Masgun inilah yang pesannya sampai ke dalam hati. Mungkin karena disampaikan juga dari hati. Aku terpukul sendiri, menyadari Nilna yang dulu, yang sering menulis cerpen dan puisi, yang namanya terkenal tapi orangnya tidak, kini terbenam rutinitas lain. Seakan mendurhakai kalau Nilna bisa sampai kepada Nilna yang sekarang ini, karena Nilna yang dulu yang pemalu sering menulis, menceritakan banyak hal via tulisan, yang seringkali tak tersampaikan hanya jika ada di pikiran. Nilna yang sekarang sudah berani bicara mengemukakan pikiran, tetapi percuma jika masuk telinga kiri keluar telinga kanan. Bagaimanapun, yang abadi tetaplah yang dituliskan. Masgun menerangkan runut proses menulisnya, kadang serius kadang garing, tapi lebih sering membuat darah berdesir menggeming. Kata per kata Masgun dalam workshop itu sering membuat darah di jantung mendadak naik ke kepala, menyebar di otak, mengeluarkan kalimat perintah, “Ayo Nilna, kamu harus menuls lagi.” ;)