nay(uni)nilna

love reading, writing, n travelling | ordinary girl, who can fall in love | aspires to be a good wife and a good mom | IndonesiaLovers |
more.about.nilna.r.isna!

Mengenang Kenangan dengan Setengah Lusin Teman: #KeretaApi

Setengah lusin kesembilan: Kereta Api

#1 Ridho Ichsan Saini
Kita terlalu berlama-lama main di pantai. Ketika kembali ke statiun, setelah beristirahat sebentar di rumah Bang Ichsan, dari ujung jalan terdengar peluit panjang dibunyikan, diikuti suara gemuruh sesuatu yang besar. Kita ternganga kaget, “itu kereta kita?”. Lalu berlari-lari menuju pintu statiun. Sayang, kereta baru saja berangkat. Kita ketinggalan. Bang Ichsan mencari alternatif lain, keretanya kita kejar ke statiun berikutnya. Karena kereta yang ditumpangi kategori kereta wisata, jadi kecepatannya masih bisa dikejar dengan mobil. Kami sampai di statiun berikutnya, kereta tampak masih di kejauhan, berada lebih cepat di depan. Pengejaran di statiun kedua gagal. Lanjut ke statiun ketiga, kami lebih duluan sampai ke statiun. Sayang kami lupa, itu hari Minggu, kereta tida berhenti di statiun itu di hari Minggu. Kami hanya menonton kereta api lewat di depan mata. Pengejaran dilanjutkan ke statiun keempat, disana baru bernapas lega. Kami lebih dulu sampai ke statiun dan berhasil masuk ke kereta, menduduki tempat sesuai tiket yang telah kami beli. Konyolnya, itu statiun keempat, kami akan turun kereta di staiun kelima. Hahaha. Terima kasih kepada Bang Ichsan (dan papa) yang telah menyelamatkan kami dari kasus ketinggalan kereta. :D

#2 Almizan Iqbal
Aku dan dua teman perempuan serta dua teman laki-laki sudah berencana untuk naik kereta di jadwal berikutnya. Kami berlima merayu Iqbal agar ikut bersama kami dalam rombongan kedua. Tetapi Iqbal masih ragu. Rombongan pertama yang akan naik kereta jadwal pertama jumlahnya lebih banyak daripada rombongan kedua yang akan naik kereta jadwal berikutnya. Iqbal korlap kegiatan ketika itu. Ia merasa bertanggungjawab untuk teman-teman pada rombongan pertama, sementara sudah ada aku di rombongan kedua. Iqbal sibuk di dalam kereta menghitung kelengkapan rombongan, memastikan semua lengkap, baik, dan berbahagia. Terdengar bunyi peluit panjang, Iqbal masih di dalam. Saya dan dua teman perempuan yang berdiri di pinggir peron, mundur beberapa langkah. Dua teman laki-laki yang sebelumnya juga sibuk mengurus sesuatu di dalam kereta, buru-buru keluar. Kereta api mulai berjalan. Tapi hei, tiba-tiba seseorang berlari-lari dari dalam gerbong, sampai di pintu kereta, lalu melompat keluar. Itu Iqbal, ya ampun di detik-detik terakhir ia memutuskan ikut rombongan kedua, dengan alasan yang lain: “ada kak Nilna di rombongan kedua.” Dan dia pikir, dia harus menjaga kak Nilna. -__-“

#3 Taufik Hidayat
Kami berdua baru saja turun pesawat Padang - Jakarta - Surabaya. Perjalanan masih bersambung dengan kereta. Tujuan kami : Jember. Karena lelah yang sudah berbalut lelah hasil dari perjalanan sebelumnya, aku masuk kereta dengan tujuan utama: tidur. Begitu sampai di dalam kereta, aku meminta selimut dan bantal. Taufik yang di sebelahku menatal heran. "Kakak ngantuk pik, ini masih empat jam lagi di kereta,” terangku pada Taufik. Ketika itu pukul 22.00, tepat jadwal keberangkatan kereta dari Surabaya. Kami akan sampai pukul 02.00 hari berikutnya. Sementara aku dan Taufik memulai perjalanan pukul 04.00 shubuh sebelumnya, yang start dari Kota Padang. Taufik geleng-geleng, tapi ia ikut memanggil pramuniaga kereta, meminta hal yang sama: selimut dan bantal. Kereta baru berangkat, kami sudah terlelap, baru bangun lagi setelah kereta berhenti di stasiun Jember. :D

#4 Angyun Abraham
Ada dua cerita. Cerita pertama, dalam perjalanan kereta Jakarta-Surabaya. Kami naik kereta ekonomi, berdesak-desakan, bersempit-sempitan. Tetapi Angyun menjadikan semua itu sebagai hiburan. Ia seperti tourguide dan aku turisnya. Semua hal di dalam kereta diperkenalkannya. Itu kali pertama aku naik kereta dengan rute yang jauh, ekonomi pula. Angyun ceriwis sekali selama perjalanan, kadang ia seperti tourguide, kadang seperti sales, kadang seperti presentator, kadang seperti orator, kadang seperti sedang stand up comedy, kadang iseng ngajak bergosip ibu-ibu di depan kami, kadang mengode mengajakku melirik beberapa orang dengan kebahagiaan hidup yang tak seperti kami, kadang seperti dokter, kadang seperti suster, kadang seperti ustadz, kadang seperti emak-emak. Dan kadang jadi bantal, kadang jadi sandaran kursi. Hahahaha.
Cerita kedua, perjalanan Surabaya-Semarang. Ceritanya tak panjang lebar. Angyun terlambat datang. Ia ketinggalan. -___-“

#5 Ratno Widoyo
Sebelumnya related dengan Angyun. Aku dan Angyun ke UI. Hari sudah sore, Angyun nggak mau antar. Aku ngambek di statiun sendirian, aku belum hapal Jakarta. Takut pulang sendirian, senja menjelang malam. Di tengah-tengah kesal karena Angyun, tiba-tiba ingat dengan Bang Ratno, senior yang sedang magister di UI. Segera Bang Ratno kuhubungi. Ia menyusul ke statiun dengan geleng-geleng kepala. "Semagrib ini mau pulang sendiri?,” tanyanya. Aku meringis menghadapi keadaan. “Iya,, takut,” aku merajuk. “Ya udah, abang nggak ada motor. Abang temenin pulang pakai kereta aja ya,” Bang Ratno memberi bala bantuan. Aku mengangguk lemah. Aku diantar Bang Ratno tidak hanya sampai pemberhentian kereta tapi sampai-sampai ke pintu rumah. Hari sudah malam, kereta ke depok tidak ada lagi. Beliau memilih kembali ke Depok dengan taksi. :’)

#6 Ian Kuswendy
“Nay nggak ke Pekalongan?” tanyanya via sms. Dia memanggilku dengan panggilan Nay. Aku membalas dengan balasan tidak. Riweh, jadwal bentrok dan mepet, aku sedang ada agenda di Padang, acara penutupan di Padang berdempetan hari dengan acara pembukaan di Pekalongan. Meskipun dua-duanya penting. Tetapi tanggungjawab di Padang lebih besar sebagai sekjend merangkap panitia daripada di Pekalongan yang hanya sekjend sebagai undangan. Aku mendisposisikam kewenangan kepada staf lain, menggantikanku untuk ke Pekalongan. Tetapi Ian sedang semangat agar aku tetap datang. “Kalau bisa, setelah dari Pekalongan, Nay ikut Ian ke Surabaya, kita naik kereta. Ian harap Nay juga bisa sharing dengan teman-teman UNAIR,” sambungnya. Sejujurnya, aku tak kuasa menahan harapan (juga menahan rindu) untuk bertemu kembali dengannya. Tetapi bagaimanapun, aku sudah komitmen akan tetap bersama-sama kawan di Padang sampai penutupan. Aku membalasnya bercanda, “Naik kereta? Emangnya aman? Takut ah,” jawabku yang sebelumnya memang belum pernah naik kereta untuk perjalanan jauh. Balasannya datang dengan cepat, dengan nada yang juga bercanda, “Ooo tenang saja, Ian akan siapkan pengamanan Ring 1 untuk Bu Sekjend sepanjang perjalanan kereta, bahkan sampai kembali pulang ke Padang.” Aku tertawa membaca balasannya. Tapi tetap saja, hanya seucap maaf tidak bisa menghadirkan dkri ke Pekalongan diiringi serangkai doa berharap dipertemukan dengan kesempatan lain, naik kereta bersama, dan hal-hal yang kini hanya akan menjadi sekedar wacana.