nay(uni)nilna

love reading, writing, n travelling | ordinary girl, who can fall in love | aspires to be a good wife and a good mom | IndonesiaLovers |
more.about.nilna.r.isna!

Cerpen : Sebelum Pergi Jauh

kurniawangunadi:

Ayah sore itu duduk di beranda rumah. Dengan setelan kemeja putih dan kopiah yang selalu melekat di kepalanya. Ada setumpuk buku di sebelah kanannya, bertumpuk di atas meja kecil yang usianya lebih tua dari usia Ayah. Ayah melirikku dan mengisyaratkan aku untuk datang kepadanya. Aku bahagia, tanda bahwa Ayah akan memberikanku nasihat yang baik seperti biasanya.

“Nak, ada sebuah nasihat kecil yang ingin Ayah sampaikan. Berhubung kamu mau pergi jauh beberapa tahun ke depan di negeri yang Ayah sendiri belum pernah datangi. Ayah senang karena anak Ayah bisa melangkah lebih jauh dari ayah tapi ayah juga sedih dan menyesal karena tidak selesai menjelajahi negeri-negeri jauh untuk memastikan bahwa negeri itu aman untuk kamu datangi. Agar Ayah bisa memberikan informasi sebelum kamu mengunjungi negeri yang jauh itu. Untuk itu, Ayah ingin membekalimu dengan nasihat,” ujar ayah sambil meletakkan Tafsir Al Azhar-nya bersama tumpukan buku yang lain di sebelahnya.

“Kalau kamu bisa menjadi tidak terkenal. Maka lakukanlah!” kata ayah.

Aku berusaha memahami maksud kata-katanya, aku mengernyitkan dahi dan tidak kuasa bertanya kembali,“Maksud Ayah?”

“Nak, Ayah mungkin tidak lebih pandai dari kamu tentang kehidupan saat ini. Akan tetapi, Ayah amati banyak orang ingin tampil dan sengaja menampilkan dirinya agar dikenal dan menjadi terkenal. Bahkan ada yang rela membayar untuk itu, agar terkenal. Nak, sekali-kali pujian manusia itu tidak meningkatkan derajatmu di sisi Allah. Sama sekali tidak. Cacian manusia pun tidak akan menurunkan derajatmu di sisi Allah, sama sekali tidak.”

Ayah berhenti sejenak, mengambil secangkir teh putih di sisi kanannya dan meminumnya. Lalu meletakkan cangkir itu ke tempatnya dengan sangat hati-hati.

“Berkatalah yang baik atau diam.” lanjut Ayah.

“Nak, perempuan itu adalah aurat. Maka, apapun yang ada padanya adalah aurat. Dan pemahaman tertinggi dari sebuah ilmu adalah pengamalan. Kalau sudah paham bahwa itu adalah aurat, maka lindungilah. Ayah mungkin terlalu kolot soal itu. Tapi itulah tugas seorang Ayah. Menjaga keluarganya dari keburukan. Keterkenalan itu rawan menjatuhkan kehormatanmu, rawan pada fitnah, rawan pada keburukan. Hari ini, banyak orang yang dimudahkan untuk berbuat buruk. Ditoleransi karena dianggap kreatif, diberi ruang karena dianggap kebebasan berekspresi. Nak, kebebasan tertinggi justru ada saat kita tahu batasan kebebasan. Tidak ada posisi tertinggi jika tidak ada batasnya.”

Aku menyimak baik-baik sekaligus terharu.

“Hiduplah dengan sederhana. Sederhana dalam hidup, tapi tidak dalam berbuat baik.”

Aku meraih tangan Ayah, menyalami dan menciumnya. Ayah meletakkan tangan kirinya di diatas kepalaku.

“Ayah merestuimu untuk pergi jauh.”

©kurniawangunadi | Yogyakarta, 3 Februari 2016

  1. langitmalamberbintang reblogged this from kurniawangunadi
  2. bungapadangpasir reblogged this from kurniawangunadi
  3. mrerriey88 reblogged this from kukupratiwi
  4. sitirohmaniyah reblogged this from aromakopi
  5. kurniawangunadi posted this