Esquire Theme by Matthew Buchanan
Social icons by Tim van Damme

07

Aug

a heart breaking story

hhardono:

*ditulis khusus untuk para Pengajar Muda yang sadar atau tidak sedang menggores dalam di benak para siswanya. Selamat #hariguru.

Setiap anak –hmmm kayaknya demikian—pasti punya guru yang berkesan di memorinya. Ia menggores dalam tetapi seperti berbisik pelan di kepala kita. Berbisik pelan? Iya, coba kalau ditanya soal idola maka tampaknya nama guru paling berkesan itu tidak akan muncul di sela-sela tokoh-tokoh besar dunia dan Indonesia. Tetapi ia menggores dalam karena ia seperti memandu alam bawah sadar kita melalui segala –sebut saja—carut marut kehidupan.

Aku juga. Namanya Pak Muhajir.

***

Praktis setiap sore, sejak sebelum Maghrib sampai setelah Isya, anak-anak di kampungku menghabiskan waktunya di musholla –belakangan menjadi masjid— Darussalam. Termasuk aku, si anak paling –percaya saja deh— alim di sana.

Semuanya indah diceritakan kecuali kenyataan sederhana ini: bahwa aku tinggal di tepi jalan raya dan musholla itu terletak di ujung selatan kampung, bahwa di belakang rumahku ada kali kecil, kebun kosong dan dua pohon mangga tua, bahwa arah jalanku menyediakan aku hanya satu pilihan, yaitu berjalan sendirian tanpa teman-teman yang tinggal di bagian lain kampung ini.

Dan dimulailah hari-hari beratku setiap sore. Berangkat di sorenya mungkin tidak begitu menantang. Matahari masih bersinar dan bilah-bilah sinarnya yang jatuh di depan kita seolah mengirim pesan bahwa para jin gendruwo belum keluar dari sarang mereka. Tetapi pulangnya adalah tantangan yang berbeda. Aku harus melewati satu ruas jalan sepanjang 100an meter dengan kali kecil, dua pohon mangga besar dan –bayanganku waktu itu—beberapa ‘sesuatu’ yang bersembunyi di baliknya.

Mendengar pohon mangga dengan imajinasi buah mangga yang kuning dan manis mungkin tak akan pernah menjadi amat menakutkan bila kita tidak pernah menyaksikan dan meraba pohon mangga tua. Kulitnya menebal, membentuk keping kerak hitam legam yang pecah-pecah di sekujur batang besarnya. Di beberapa batangnya ada selajur panjang tumbuhan parasit yang dengan akar-akar kecilnya seperti ular berkaki yang sedang merayap naik. Dan pohon mangga yang tumbuh alami –bukan tanaman cangkok—umumnya bisa tumbuh amat tinggi dengan rimbun daun yang lebat. Dahan terendahnya yang diperlukan anak kecil untuk diraih dan memanjat umumnya jauh lebih tinggi dari anak paling tinggi sekalipun. Dan cobalah bayangkan kita berdiri di bawah besar pohon itu dan menatapnya ke atas apalagi di malam hari maka bahkan rembulan pun kesulitan menemukan celah untuk mengirim bilah sinarnya untuk jatuh di tanah di bawah pohon ini.

Pun sesungguhnya aku juga tidak pernah menerima paksaan dari siapapun untuk ke musholla. Ibu-Bapakku pandai mengaji yang juga bisa mengajarku mengaji di rumah. Bahkan pelajaran di rumah seringkali lebih keras dan –bagaimana mengatakannya—tegas daripada di musholla.

Tetapi membayangkan keceriaan dan keramaian di musholla maka anak mana yang tidak ingin bergabung di tempat itu. Musholla di sore hari adalah pusat peradaban di kampungku. Bila kalian baca cerita-cerita lainku –tentang beruang dan juga bukit kecil — maka selain yang sudah kuceritakan bahwa musholla itu ada di bawah bukit kecil, terletak cukup dekat dengan mata air besar di kampung namun ada satu lagi yang tersisa untuk diceritakan: di bawahnya ada satu lapangan bola yang cukup besar. Maka lengkaplah sudah pusat peradaban ini buat anak-anak di kampungku.

Hari-hari beratku itu mulai berakhir ketika suatu hari guru agamaku di sekolah mengajarkan hal sederhana di kelas. Tentang takhyul. Bahwa sebagai muslim kita harus percaya hal ghaib tetapi Allah menciptakan kita sebagai makhluk terbaik. Terbaik adalah sekalipun tetap percaya bahwa jin itu ada tetapi kita pasti lebih baik dari mereka. Aku memaknainya lebih sederhana: kita pasti bisa menang berkelahi melawan mereka.

Apakah kamu pikir sekali dengar pelajaran itu lalu jin dan gendruwo terbang ke tempat nun jauh dari kampungku? Tentu tidak. Seringkali setiap mau melewati ruas jalan itu aku berhenti di pertigaan terakhir, menata nafas dan merumuskan rencana pertempuran malam itu. Apakah akan berlari kencang, jalan sambil menutup mata dan juga mau melafalkan ayat Quran yang mana. Seringkali itu tidak berhasil karena toh ketakutan tetap membuatku mengacaukan banyak hal, lari tak tentu arah, tersandung sana-sini atau terlalu takut untuk melalui sendiri sampai menunggu orang lain lewat yang itu bisa beberapa saat lama menunggunya.

Tetapi pelahan-lahan, bisikan sederhana selalu datang padaku. Kita adalah makhluk terbaik yang diciptakan Tuhan. Iya, pelajaran sederhana dari Pak Muhajir, guru agama itu. Kata-kata itu selalu datang seperti bisikan di kepalaku. Berbeda dengan film-film modern yang menampilkan wajah orang ketika ada seorang tokoh sakti membisikkan sesuatu di telinga seorang muridnya, maka tidak demikian dengan kasusku. Tak terbayang wajahnya ketika ada bisikan itu tetapi jelas kata-katanya menggores dalam di kepalaku. Aku bahkan tidak mengingat namanya ketika mendengar bisikan itu sampai bertahun-tahun kemudian aku menyadari bahwa itu adalah pelajaran dari guruku itu.

Bertahun-tahun kemudian maka punahlah sudah para gendruwo itu. Mereka tidak sepenuhnya musnah tetapi tepatnya tidak kupedulikan lagi. Satu persatu sudah kukalahkan, kutundukkan lalu kukirim dan kupenjara di suatu tempat lain yang jauh. Dan setiap aku berjalan ke tempat-tempat aneh dan baru, bisikan itu selalu datang dan menguatkanku seperti saat aku berhenti di pertigaan terakhir sebelum melewati ruas jalan itu.

Maka setiap sampai pertigaaan manapun dan ruas jalan di depan tampak menakutkan, aku selalu membuka pelajaran lama itu. Bahwa kita adalah makhluk terbaik yang diciptakan Tuhan. Di ujung keraguan, aku selalu mengulangi bisikan itu: aku harus sampai. Dan aku juga harus pulang.

***

Suatu hari, aku masih sekolah, ada kabar dari guru-guru. Pak Muhajir meninggal dunia di kampungnya, di Mirit, Kebumen. Ia sedang pulang ke desanya, sedang tidur lalu jatuh dan kemudian meninggal. Hanya itu cerita yang kudapat.

Tidak ada takziah. Jauh sekali tempatnya, dan toh terima kabar cukup terlambat. Kami semua hanya berdoa. Dan lihat kan, meninggal pun dia hanya berbisik pelan.

Melalui angin aku hanya bisa berbisik: hai, Muhajir, guruku. Damailah engkau di sana.

Jakarta, Hari Guru 2012.
*Muhajir adalah guru di SDN Tugurejo 1, Semarang. Asalnya dari Mirit di Kebumen. Lulusan sekolah PGA, Pendidikan Guru Agama. Beliau meninggal suatu hari –kalau tidak salah—pada masa libur sekolah. Kami menerima kabar cukup terlambat dan jarak dari tempat kami ke rumah asalnya juga cukup jauh, membutuhkan 4 jam perjalanan darat.

(25 November 2012)

  1. chakidila reblogged this from avinanadhila
  2. avinanadhila reblogged this from hhardono
  3. hhardono posted this