Warisan Hikmah : Mengatur Ekspektasi
“Hidup yang tidak dipertaruhkan tidak akan pernah layak dimenangkan” - Sutan Syahrir
Nak, di dunia ini banyak sekali kejadian yang membuat orang jatuh ke dalam lubang depresi. Hidupnya terlihat baik-baik saja, tetapi ternyata ia memikul sebuah beban yang sangat berat. Awalnya, ayah pikir semua masalah yang menimpa hidup kita berasal dari luar diri. Ada faktor eksternal seperti keluarga, lingkungan tempat tinggal, sekolah, komunitas, tempat kerja dan lingkaran pertemanan yang sedikit banyak memberikan problematika tiada henti.
Namun, tidak semua perkara muncul dari sana. Ada juga yang timbul akibat pergulatan pikirannya sendiri. Akibatnya, beberapa hal yang seharusnya berjalan biasa saja justru menjadi persoalan yang amat pelik hingga mengganggu aktivitas sehari-hari. Ini tentang prespektif bagaimana kita memandang sesuatu hal dan mengatur mana harapan yang perlu dipikul mana yang dibiarkan berlalu.
Kata-kata Sutan Syahrir di atas adalah sebuah gambaran bagaimana hidup yang bergairah butuh untuk dimiliki. Namun, kita tidak perlu untuk memenangkan seluruh pertaruhan dan pertarungan. Energi dan kapasitas kita terbatas sehingga tidak mungkin memperoleh semuanya. Ada sekian banyak hal yang tidak perlu dimenangkan atau bahkan harus dibiarkan diri ini kalah begitu saja. Kita harus memikirkan skala prioritas di pos-pos mana saja totalitas isi kepala, jiwa dan raga ini ditempatkan sesuai porsinya. Fokus adalah kunci. Di luar itu, kita tidak usah menghiraukannya terlalu dalam agar menghemat tenaga serta pikiran.
Setelah semua itu kamu lakukan, masih ada kemungkinan kita tetap gagal. Ayah beri satu nasehat ini nak agar tetap tenang dan waras walaupun suatu saat kamu kalah di pertandingan yang sangat kamu tunggu serta menangkan.
“Di gelanggang pertarungan manapun, berusahalah semaksimal mungkin tetapi berharaplah seminimal mungkin.”
Dalam ilmu filsafat kaum Stoik yang ayah pelajari melalui buku Filsafat Teras karya Henry Manampiring, menurut Marcus Aurelius menyebutkan istilah trikotomi kendali pada kehidupan manusia. Di situasi apapun dalam hidup kita akan mengalami tiga kondisi yaitu pertama ada sesuatu yang kita bisa kendalikan (internal control) kemudian kedua, ada sesuatu yang tidak kita bisa kendalikan (external control) dan terakhir, ada sesuatu yang sebagian bisa kita kendalikan lalu sebagian sisanya tidak dapat kita kendalikan.
Misalkan, dalam persiapan menghadapi sebuah pertandingan sepak bola hal-hal yang bisa kita kontrol meliputi porsi latihan, memperkuat komunikasi dan kerjasama tim, mengatur pola makanan, menjaga kesehatan tubuh, menambah skill baru dalam melakukan dribel bola, meningkatkan akurasi umpan dan sepakan serta menyiapkan formasi sesuai strategi lawan yang dihadapi.
Namun, di luar itu ada banyak faktor yang tidak bisa kita kendalikan dalam pertandingan seperti, kondisi lapangan, psy war di media massa, keadaan cuaca, teror suporter, tingkat kemampuan lawan, hadangan selama perjalanan menuju stadion, cedera yang terjadi mendadak dan masalah netralitas wasit.
Kebanyakan dari kita stres karena energinya terlalu banyak dikuras untuk memikirkan sesuatu yang tidak bisa dikendalikan. Untuk apa menghabiskan waktu dan tenaga pada sesuatu yang bahkan tidak bisa kita usahakan hasilnya? Over thinking itu tidak mengubah apa-apa selain menambahkan rasa khawatir serta putus asa.
Ketimbang fokus di sana, lebih baik maksimalkan apa yang kita punya, pusatkan pikiran dan hati kepada faktor yang bisa diusahakan. Sebab, penyesalan lebih menyakitkan ketika datang dari sesuatu yang harusnya kita bisa habis-habisan di sana, tetapi kita memilih untuk melakukannya biasa-biasa saja atau bahkan dengan ogah-ogahan.
Setelah mati-matian mengusahakan terhadap apa yang dalam kendali kita, lalu bagaimana? Selanjutnya adalah kuasa Allah, hak prerogatif Tuhan Yang Maha Esa untuk menentukkan hasil akhirnya. Tugas manusia hanyalah sampai pada tahapan ikhtiar dalam bentuk perbuatan maupun doa untuk merayu Tuhan agar apa yang menjadi kemauan kita juga selaras dengan kehendak-Nya. Inilah mengapa ada konsep iman serta sabar dan tawakkal termasuk di dalamnya.
“Apa yang melewatkanku tidak akan pernah menjadi takdirku, dan apa yang ditakdirkan untukku tidak akan pernah melewatkanku.” - Umar Bin Khattab
Langkah antisipatif agar kita tidak terlalu dikecewakan oleh kegagalan adalah berekspektasi dengan serendah-rendahnya. Kita perlu melakukannya seolah-olah mendapatkan yang terburuk dari sekian kemungkinan sehingga hati sudah dipersiapkan dari awal. Keikhlasan menerima hasil akhir dipupuk sedini mungkin agar ketika hari itu datang, kita telah perlahan-lahan belajar apa yang dinamakan penerimaan. Rasa ikhlas itu butuh dilatih dan mengatur harapan seminimal mungkin adalah salah satu komponen latihannya. Jika nanti kenyataan yang terjadi adalah yang terbaik maka kita akan bahagia, namun apabila sebaliknya maka kita tidak jatuh dalam kesedihan dan keterpurukan berlarut-larut.
“Boleh jadi keterlambatanmu dari suatu perjalanan adalah keselamatanmu. Boleh jadi tertundanya pernikahanmu adalah suatu keberkahan. Boleh jadi dipecatnya engkau dari pekerjaan adalah suatu maslahat. Boleh jadi sampai sekarang engkau belum dikarunia anak itu adalah kebaikan dalam hidupmu. Boleh jadi engkau membenci sesuatu tapi ternyata itu baik untukmu, karena Allah Maha Mengetahui sedangkan engkau tidak mengetahui. Sebab itu, jangan engkau merasa gundah terhadap segala sesuatu yang terjadi padamu, karena semuanya sudah atas izin Allah. Jangan banyak mengeluh karena hanya akan menambah kegelisahan. Perbanyaklah bersyukur, alhamdulillah, itu yang akan mendatangkan kebahagiaan. Terus ucap alhamdulillah, alhamdulillah, alhamdulillah, sampai engkau tak mampu lagi mengucapkannya.’ - Prof. M. Quraish Shihab
Bandung, 31 Maret 2023