The Golden Spring
devgozaru
“Sawako ya” Ging lalu mengambil secangkir teh yang ada di depannya, sambil memajukan bibirnya ia meniup teh hitam itu secara perlahan, lalu dengan hati-hati meminumnya
“Haa, enaknyaa”
“Sawako terima kasih ya, teh buatanmu ini sangat enak” ujar Ging sambil meletakkan kembali cangkir teh itu ke atas meja
“Kalau tidak salah ada seorang nenek yang tinggal di kota N, namanya juga Sawako”
“Apa nanti ketika tua Sawako akan mirip nenek Sawako yang ada di kota N ya? Hahaha” ujar Ging sambil tertawa, ia berusaha mengganti susana canggung diantara mereka berdua tetapi seketika suasana yang canggung itu berubah menjadi hening
Sawako terus memperhatikan dompet yang tadi pagi sempat direbut Ging.
“Hoi” ujar Ging sambil mencubit pipi kanan gadis itu
Sontak kaget Sawako lalu menjatuhkan foto yang terselip di dompetnya, Ging mengambilnya secara perlahan, dilihatnya foto kedua orang tua Sawako dan Sawako kecil. Seketika Ging menyadari kesalahan yang dibuatnya semenjak bertemu dengan gadis manis itu, kembali dengan senyum polosnya ia berkata
“Jadi, dompet lucu ini bukan milik pria kekar tadi? Hehehehe..”
misunderstandingsawako:
Pipinya terasa panas, ditempat dimana Ging mencubitnya. Ia memegangi pipinya sambil menatap Ging dengan masih ada keterkejutan diwajahnya. Oh tidak, pasti mukanya memerah sekarang. Ia segera menunduk dan menyembunyikan wajahnya.
“I-itu milikku.” setelah beberapa detik berlalu, ia teringat sesuatu dan mengangkat wajahnya, berharap rona merah itu sudah menghilang disana.
“Ah ya. Tadi kau mengira ini milik pria kekar itu, kau pikir dia cowokku.” alisnya berkerut.
“Kau salah paham. Dia mau mencuri dompetku. Aku bahkan tidak mengenalnya.” lanjutnya.
“..dan sekarang, aku kehilangan setengah dari uangku. Hmm…. tapi beruntung tidak semua uangnya dicuri, ya kan tuan?” dia mencoba tersenyum seperti biasa. Namun tentu saja, ia menyesali setengah uangnya yang dicuri itu. Uang itu adalah gajinya sebagai pekerja paruh waktu di sebuah toko.
Ia pun mengambil dompet itu dari tangan Ging dengan sopan, menutupnya, dan mengembalikannya ke dalam tas belanjaan. Mau bagaimana lagi, uang itu sudah hilang. Slurrp.. ia meneguk teh hitamnya yang sudah tidak terlalu panas dan menikmati rasanya yang menenangkan.
“Aku senang kau suka tehnya..”
Ging menghela nafas nya, setelah itu ia menatap kembali gadis di depannya
“Mmm, sebenarnya aku yang menghabiskan uangmu di supermarket M”
“Dan lagi pria kekar itu serasi sekali denganmu, jadi kupikir dia pacarmu, maaf!” ujar Ging sambil menundukkan kepalanya. Tidak terasa ia membenturkan kepalanya di meja makan
“Aku berhutang banyak nasi kotak padamu, dan secangkir teh yang lezat”
“Jadi, apa ada sesuatu yang bisa kulakukan untuk menebus semuanya?” Ging lalu mendongak sedikit, ia menatap gadis itu.
Sawako tampak kebingungan, Ging menatapnya dengan pandangan yang bersungguh-sungguh. Tidak lama mereka saling memandang Ging lalu menunduk kembali sambil membenturkan kepalanya ke meja makan
“Apa yang kulakukan, posisi ini sungguh memalukan” ujar Ging dalam hati
Semua darahnya naik ke atas kepala membuat wajahnya terlihat sangat merah.
Sawako kembali terkejut mendengar pernyataan Ging. Jadi, semua nasi kotak ini dibeli dengan uangnya. Dan itu menghabiskan setengah isi dompetnya. Ia ingin angkat bicara namun suaranya tertahan mendengar pria muda didepannya itu terus saja bicara. Apalagi melihat bagaimana jidat pria itu ‘menjamah’ meja makan kayunya, untuk kedua kalinya.
“T-tttuan!” serunya seraya berdiri dan reflek mengulurkan tangannya, hendak mencegah namun tentu saja terlambat. Uluran tangannya justru membuat cangkir teh milik Ging terguling dan membasahi meja, serta pastinya kepala Ging.
“Ya ampun! M-mammamaaaaf!!!” dengan panik Sawako berdiri dan menjauhkan cangkir teh itu. Ia merogoh saku blusnya untuk mengambil sapu tangan dan buru-buru beralih ke samping Ging, mengelap kepala dan wajah Ging yang berlumuran air teh.
Tak lama ia sadar apa yang ia lakukan, dan sontak melempar sapu tangan berwarna biru muda itu ke meja. “Maaf! Maaf atas perlakuanku yang tidak sopan. Maaf..” serunya dengan formal sambil membungkuk minta maaf. 'Ini benar-benar memalukan!’ pikirnya.