Avatar

Saufa's Write Out!

@devisaufayardha / devisaufayardha.tumblr.com

Tak perlu menjadi ragu bagi menggoreskan pikir, rasa, pun asa. Karena ia yang membuat abadimu terjaga. Karena ia yang memahat jalanmu nyata bermakna. Tetaplah menjadi catatan hari nanti yang tiada lekang kebaikannya :)
Avatar

[Done]

Alhamdulillaah. Alhamdulillaah. Alhamdulillaah.

Bersyukur banget bisa selesaikan tantangan 30 hari menulis ini meski dengan tertatih-tatih dan terseok-seok karena banyaknya tumpukan utang tulisan. Akhirnya jadi sosok penutup yang berhasil menyelesaikan tulisan.

Akhirnya bisa bikin tulisan-tulisan lagi setelah beberapa waktu kebanyakan mager dan sibuk yang dijadikan alasan. Senang bisa menutup 2023 dengan program menulis bareng di 30 days writing challenge. Berharap tulisan-tulisan yang disajikan ada manfaat, kebaikan, dan keseruannya bagi yang membaca. Termasuk bagi diri sendiri.

Belajar banyak dari teman teman seperjuangan yang begitu inspiratif.

Kak Zulfa, guardian grup 3 yang paling rajin, aktif, dan prestatif menulis dalam berbagai event di 30 dwc. Dan pastinya yang paling peduli dengan semua anggota grup. Makasih kak selalu kasih reminder dan semangat untukku.

Kak Brilian, anggota laki-laki yang disiplin, nulisnya gak pernah ketinggalan, ga pernah ada utang tulisan, selalu bisa pas ngejar jam deadline tulisan.

Kak Ika, ibu 3 anak tanpa ART yang aktif banget kegiatannya tapi tetap konsisten dan produktif menulis bisa nyelesain tantangan tepat waktu. Malu aku jadinya.

Kak Dila, kakak yang selalu membawa energi positif di grup. Rajin banget merespon tiap chat anggota grup. Dan tentu aja nulisnya pun rajin sampai bisa nuntasin tantangan tepat waktu.

Kak Suci, kakak yang bersemangat untuk menyelesaikan tantangan dan berhasil tepat waktu.

Juga untuk kak Raihan, kak Leni, kak Hana yang meskipun perjuangannya berhenti di tengah jalan, semuanya tetaplah menjadi bagian dari grup 3 (Three Piec3) yang keren.

Hal terbaik yang menjadi pelajaran bagi saya adalah perlunya menyiapkan detail outline dari bank tabungan ide yang sudah dibuat. Ternyata tidak cukup hanya dengan menuliskan satu dua kata sebagai tabungan ide. Karena praktiknya ketika sudah menulis dan dikejar deadline, penjabaran dari ide itu yang cukup kompleks dilakukan. Ini yang akhirnya membuat menulis menjadi lama, tak efisien, tak selesai-selesai, bahkan akhirnya kehilangan arah dan substansi.

Semoga kedepannya bisa menjadi pelajaran dan perbaikan untuk menjadi lebih baik.

Dan terima kasih atas bimbingan dari mentor Kak @rezky_passionwriter dan kak @rizkamamalia. Beserta superteam kak @ratnadhahita @spriscadewii

Avatar

[Realisasi adalah Bukti]

Setelah berkisah tentang niat dan rencana, maka yang selalu dinantikan berikutnya ialah realisasi. Realisasi diartikan sebagai proses menjadikan nyata atau wujud pelaksanaan yang nyata. Realisasi hari-hari ini seringkali menjadi mangkrak tertimbun berbagai alasan, baik karena faktor internal maupun eksternal.

Wacana, rencana, dan realisasi seperti gambaran proses perjalanan yang saling berkesinambungan. Orang-orang awam umumnya melihat dari apa dan bagaimana bentuk realisasi yang nampak. Sedangkan wacana dan rencana ibarat dasar gunung es yang terkubur di dalam. Oleh karena itu mengapa realisasi disebut juga sebagai bukti. Sebab wacana dan rencana tanpa realisasi akan menjadi omong kosong belaka yang boleh jadi juga kurang memberikan manfaat dan dampak.

Bagi sebagian orang memulai untuk melakukan sebuah realisasi bisa menjadi suatu tantangan berat untuk diperjuangkan. Realisasi itu terkadang juga terhalang oleh adanya rasa malas, ragu, takut, kurangnya sumber daya, dan kesemuanya itu kemudian bisa sampai menjadi penyebab berkurangnya iman dan keyakinan untuk berbuat kebaikan.

Aku suka dengan jargon dari sebuah marketplace hijau yang bunyinya yaitu "Mulai Aja Dulu". Semacam ada kesan dan rasa optimisme, semangat, serta langkah yang nyata. Sebab memang manusia itu perlu dikuatkan dan diyakinkan untuk memulai sesuatu dari apa yang dia bisa lakukan.

Meskipun dimulai dari sesuatu yang sederhana, sedikit, dan sebentar. Justru disinilah nilai berharga sebuah proses keberhasilan. Karena sesungguhnya tak ada yang benar-benar instan di dunia ini, kan?Realisasi pun adakalanya tak langsung berwujud sempurna. Maka dalam proses menuju realisasi itu diperlukan sikap untuk terus belajar dan tetap berupaya. Perihal kesempurnaan adalah proses berikutnya sekaligus menuju tahap evaluasi dan konsistensi.

Berharap bahwa setiap wacana dan rencana yang telah disusun sedemikian rupa dapat terealisasi dengan baik.

Avatar

[Niat dan Rencana Se-iya Sekata]

Dalam perjalanan kehidupan ini, hampir setiap dari kita yang dikaruniai hati dan akal pikiran tentu pernah menjumpai masa-masa dimana kita berpikir tentang apa hakikat dari hidup ini? Kita darimana, hidup untuk apa, dan akan bagaimana muaranya.

Pemikiran dan perenungan yang menghampiri pada dasarnya menuntun kita untuk menyelami tentang peran diri kita dan seperti apa kita menjalani kehidupan yang ada.

Hari-hari kita diisi dengan berbagai hiruk pikuk kegiatan dan pernahkah kita memikirkan kembali tentang apa yang menjadi niat atau tujuan dalam rencana demi rencana kehidupan.

Sejatinya niat dan rencana ibarat dua sahabat yang tak terpisahkan. Niat adalah pondasi utama tentang apa yang menjadi mesin penggerak diri kita untuk melakukan sesuatu. Adapun rencana adalah kelanjutan dari niat sebagai bentuk persiapan-persiapan teknis dan realistis.

Kesamaan antara niat dan rencana juga terletak pada posisi keduanya. Niat dan rencana sama-sama merupakan porsi yang dapat dilakukan manusia. Bahwa niat adalah hal pertama yang akan dinilai kelak ketika menyaksikan amal-amal kita diperiksa dihadapan Allah. Dihadapan manusia pun kita akan ditanyai tentang apa yang menjadi motivasi, tujuan, motif, atau alasan melakukan sesuatu. Begitupun dengan rencana. Rencana merupakan bagian dari ikhtiar manusia untuk mempersiapkan dan mengatur kehidupannya.

Jadi, apa niat dan rencana yang sudah dipersiapkan untuk hari-hari baru berikutnya?

Avatar

[Kicau Wacana Dunia Fana]

Di dunia yang fana ini,

Katanya rasa cukup yang paling berharga

Nyatanya materi yang berkelimpahan tetap saja menjadi lebih dipuja

Menjadi lebih dicinta

Karena bisa lebih banyak memberi dan membagi sesama

Menjadi lebih bahagia

Karena punya kesempatan untuk mendapatkan akses kemana saja

Pergi berpetualang kemanapun yang disuka

Di dunia yang fana ini,

Katanya sabar dan syukur yang jadi kunci

Nyatanya peluh dan keluh tetap meriuh saat berhadap dinamika realita yang tak pernah berhenti

Di dunia yang fana ini,

Sedikit-sedikit rasa takut cemas dan sedih itu kerap bersemayam dalam diri

Betapa tidak menghantui

Rentetan wacana narasi pemantik hidup semisal sepiring nasi terus gulir tanpa henti

Seakan enggan mengenal kata cuti

Dan jika berkisah tentang wacana gaji

Maka mulailah menghitung-hitung hari

Ah lagi-lagi tentang pemenuhan materi

Memang sangat cepat datang dan pergi

Di dunia yang fana ini,

Katanya tak perlu begitu risau hati

Meski ujian datang silih berganti

Percayalah sebab sungguh tak ada yang abadi

Avatar

[Lapang Dada Karena Allah]

Tulisan sebelumnya aku bercerita tentang bagaimana sifat fitrah seorang anak bayi dan usia dini. Mereka masih memiliki fitrah yang masih suci dalam dirinya yaitu mudah memaafkan. Jika sifat itu ditanyakan ke dalam diri kita sebagai orang dewasa atau orangtua, apakah kita bisa melakukannya?

Kalau bicara tentang memaafkan barangkali setiap orang punya persepsi dan preferensi sikap masing-masing. Namun secara realita dalam kehidupan, memaafkan adakalanya terasa berat dan sulit. Apalagi jika berhubungan dengan sesuatu yang terasa berharga dari diri atau kehidupan kita. Bahkan bahasan tentang memaafkan ini juga bisa sampai pada ranah luka batin, trauma, dan berbagai konflik berkepanjangan.

Ada juga yang mengatakan kalau memaafkan akan bisa dilakukan seiring dengan berjalannya waktu. Mungkin bisa, tapi sepertinya memaafkan itu juga butuh suatu alasan atau tujuan yang lebih kuat dan esensial menguatkan tentang kenapa kita perlu melakukannya.

Tentang memaafkan, aku pernah mendengar pesan dari sebuah segmen kajian Ustadz Oemar Mita (semoga Allah memberkahi dan merahmati beliau beserta keluarga). Memaafkan itu terasa berat dan menyakitkan apalagi jika kita berfokus pada keburukan dan kesalahan yang diperbuat atau dikatakan orang lain. Tapi ada satu kunci untuk memudahkan kita dapat memaafkan. Kuncinya adalah berlapang dada karena Allah.

Berlapang dada karena Allah artinya kita tidak serta merta menghakimi atau mengikuti perasaan kita yang sulit untuk memaafkan orang lain. Kita perlu untuk mengingat janji Allah bahwa jika kita memaafkan orang lain maka Allah pun akan memaafkan kesalahan-kesalahan kita. Bukankah kita juga adalah manusia yang penuh khilaf, lalai, dan dosa?

Memaafkan dengan berlapang dada karena Allah itu artinya kita hanya perlu melakukan tugas kita yaitu berupaya memaafkan dan melepaskan segala emosi negatif tentang sesuatu atau seseorang. Urusan setelahnya serahkan kepada Allah yang Maha Mengatur Segala Urusan dan Maha Memberi Balasan.

(Q.S An Nuur : 22)- "Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.."

Avatar

[Fitrah Taqwa Anak : Si Paling Memaafkan]

Sejak memiliki anak, selain berusaha untuk terus belajar bagaimana mengasuh dan mendidik sesuai kebutuhan tumbuh kembang usianya, aku justru merasa banyak belajar juga darinya.

Anak adalah sosok yang seringkali dinilai masih belum berkembang dengan optimal berbagai kemampuan dirinya. Padahal anak juga adalah sosok manusia yang segala fitrah dan potensi dalam dirinya masih suci. Maka sesungguhnya orangtua pun bisa banyak belajar dari anak. Terutama terkait dengan sifat dan karakter kebaikan.

Salah satu hal yang membuatku haru setiap kali melihat anakku ialah ia selalu tetap ingin bersama dan dekat denganku. Meskipun di usianya yang semakin bertambah dengan segala bentuk keaktifan dan ke-kreatifan tingkahnya, aku sering merasa gemas dan lelah menghadapinya. Anak bayi yang dulu dalam buaian kini sudah mulai berlarian dan punya pendiriannya sendiri yang tak ingin diatur-atur lagi.

Aku pun seringkali sedikit mengomel atau bicara dengan tegas kepadanya saat aku mulai lelah menghadapi tingkahnya. Barangkali aku juga yang kadang egois ingin menyelesaikan pekerjaan rumah ini itu dan berharap ia bisa bermain lebih mendiri dan tertib. Padahal usianya juga belum genap 2 tahun dan masih ingin diperhatikan.

Di saat itu kadang berakhir dengan ia yang menangis dan biasanya aku pun langsung memeluknya sampai tertidur. Dan aku merasa menyesal telah membuat anakku menangis. Begitulah terkadang ada momen-momen tak sempurna yang membuat orangtua tak selalu bisa bersikap dan berkata manis kepada anaknya.

Namun hal yang membuat terenyuh adalah sang anak senantiasa bersikap lucu dan bersahabat kembali dengan orangtua. Seolah ia melupakan hal yang membuatnya menangis. Betapa seorang anak, khususnya bayi dan anak usia dini memiliki hati dan jiwa yang bersih. Selalu memaafkan dan tak mendendam.

Dari sikap anak-anak yang mudah memaafkan itulah orangtua dapat belajar tentang salah satu sifat orang yang bertaqwa. Meskipun bukan berarti kita sebagai orangtua boleh sekehendak hati melakukan atau mengucapkan hal buruk atau negatif pada anak, sebab jika terlalu sering dan berusaha tak diperbaiki maka bisa menimbulkan trauma dalam diri anak di kemudian hari.

"Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,

(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan."

Q.S Ali Imran : 133-134

Avatar

[Renungan Menjadi Orangtua : Berkiprah Selaras Fitrah]

Beberapa waktu terakhir aku sedang sering memikirkan dan mendoakan diri sendiri tentang peranku sebagai orangtua. Serius banget ya kedengarannya. Iya, jujur aja semakin bertambah usia anak, kadang jadi mulai terasa lelah dan jenuh atau bisa dibilang terkadang bingung dan butuh banyak belajar tentang pengasuhan anak.

Kalau direnungkan lebih dalam dan semakin serius lagi, sebenarnya menjadi orangtua adalah peran sepanjang hayat dimana tanggungjawabnya pun sepanjang dunia akhirat. Maka menjadi orangtua bukan hanya tentang berubahnya panggilan untuk diri menjadi ayah-bunda, ibu-ayah, papa-mama, umma-abba, daan sebutan lainnya yang disematkan untuk orangtua. Meskipun memang ada sisi-sisi kelucuan dan keseruan menjadi orangtua, khususnya untuk orangtua dari kalangan generasi milenial, yang di hari ini kemudian dirayakan dengan beragam wujud euforia di media sosial. Misalnya seperti program belajar dan sharing kelas parenting, mengikuti tren membuat konten kreatif seputar anak, dan lainnya.

Kembali lagi tentang renungan menjadi orangtua. Sejatinya menjadi orangtua adalah sebuah peran istimewa yang dikaruniai langsung oleh Allah. Oleh karena itu, menerima peran menjadi orangtua bukan berarti melupakan peran dan fitrah diri yang utama dihadapan Allah, yaitu sebagai hambaNya. Menjadi orangtua selayaknya menjadikan diri lebih dekat dan taat kepada Allah agar senantiasa diberikan petunjuk dan pertolongan menerima amanah dariNya.

Selanjutnya, aku pun pernah mendapatkan sebuah insight dari kajian parenting tentang tujuan utama peran orangtua yang berkiprah dalam pengasuhan anaknya ialah bagaimana berupaya bersungguh-sungguh agar sang buah hati dilindungi dan dijauhkan Allah dari api neraka.

Jadi bukan semata-mata tujuan mengasuh anak agar menjadi anak sehat, cerdas, berprestasi, dan baik akhlaknya, tetapi yang lebih utama ialah berupaya agar anak menjadi seorang hamba dan khalifah Allah yang dekat dan taat dengan Allah sebagai Rabb-nya. Menjadi hamba dan khalifah Allah yang dicintai dan diridhoiNya sehingga Allah akan menjauhkannya dari api neraka.

Sebagaimana pesan cinta Allah yang tertulis dalam Al Quran,

"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan." (Q.S At Tahrim : 6)

Avatar

[Resolusi Menjaga Hati]

Menyambung tulisan sebelumnya beberapa hari lalu tentang menjaga privasi dan menjaga hati, agaknya jika ditarik lebih jauh ke belakang, maka sebenarnya idenya berasal dari obrolanku dan pak suami di masa perkenalan sebelum menikah (taaruf).

Kalau bisa dibilang sebenarnya di masa taaruf itu bukan hanya tentang mengenal sifat, karakter, kebiasaan diri, visi misi hidup calon pasangan maupun mengenal keluarganya, namun juga bisa digunakan untuk mengetahui apa yang menjadi pandangannya tentang resolusi atau kesepakatan-kesepakatan dalam pernikahan yang akan disepakati untuk diwujudkan bersama pasangan.

Aku jadi teringat tentang apa yang menjadi resolusi atau kesepakatanku dengan pak suami dalam menjalani rumah tangga. Selain tentang menjaga gambar diri dan keluarga yang tersebar di media sosial untuk menjaga privasi dan alasan syariat, namun di sisi lain, kami justru bersepakat untuk tidak menjaga privasi apapun diantara kami. Artinya ya, antara aku dan pak suami tidak ada yang perlu untuk ditutupi, tidak ada yang perlu dirahasiakan.

Kesepakatan itu berlaku misalnya dalam hal penggunaan gawai. Aku dan pak suami saling bertukar sandi untuk bisa saling melihat dan membaca isi dari gawai masing-masing. Karena memang kami meyakini bahwa jika suami maupun istri berupaya menjaga diri dari hal-hal yang tak patut, lalu kenapa harus khawatir jika gawai dibaca oleh pasangan? Paling-paling yang bikin aku sebagai emak-emak ketar-ketir saat ketahuan khilaf terlalu banyak belanja online #ups. Hehehe.

Kesepakatan lainnya yang dilakukan sebagai bentuk upaya resolusi menjaga hati dalah dengan menghindari berbagai bentuk komunikasi dan interaksi yang tidak perlu atau berlebihan dengan lawan jenis yang bukan mahram. Sebisa mungkin tidak perlu membuka atau menanggapi obrolan dengan lawan jenis tanpa ada tujuan yang penting.

Kalaupun harus berinteraksi, upayakan membangun komunikasi yang normatif, to the point, tanpa bertele-tele. Penggunaan emoticon juga sebaiknya tak disertakan. Apalagi emoticon yang ekspresinya senyum manis, tersipu, atau ikon tanda hati alias love. Ketikan 'haha', 'hihi', 'hehe', 'wkwk' juga sebaiknya tak digunakan.

Intinya sih, interaksi dan komunikasinya dibuat biasa aja, datar, sesuai tujuan dan konteks, lurus tanpa harus banyak bumbu-bumbu ngobrol ngalor ngidul.

Percayalah urusan hati adalah sesuatu yang sangat rentan. Apalagi bicara soal hubungan lawan jenis yang bukan mahram. Godaannya sangat besar dan berbahaya. Betapa banyak kasus perselingkuhan terjadi berawal dari komunikasi yang terlalu cair, akrab, bikin nyaman dengan orang lain selain pasangan halalanya. Na'udzubillaahi min dzaalik.

Resolusi menjaga hati merupakan ikhtiar yang dapat dilakukan sebagai bentuk panduan dalam menjalani kehidupan rumah tangga yang penuh cerita dan dinamika. Setelah semua ikhtiar itu, jangan lupa untuk melangitkan doa terbaik memohon perlindungan kepada Allah. Dan bukankah Allah sebaik-baik yang Maha Menjaga Hati?

Avatar

[Komitmen adalah Kunci]

Di beberapa postingan yang lalu aku pernah menulis tentang definisi cinta. Definisi itu aku tuliskan berdasarkan pemaparan dari Sternberg yang mendefinisikan cinta dengan tiga hal yaitu Passion (Gairah/Ketertarikan), Intimacy (Keakraban, Kelekatan), dan Commitment (Komitmen).

Dari ketiga hal yang disebutkan itu, satu kata yang sesungguhnya menjadi kunci dalam membangun cinta sejati yaitu Komitmen. Ketika ada komitmen, maka dua hal lainnya yaitu gairah dan keakraban akan bertumbuh dalam ikatan yang kokoh dan suci. Namun ketika tak ada komitmen, maka hal lainnya adalah omong kosong yang cuma bikin lelah hati.

Sederhananya begini, terutama bagi perempuan, ketika seseorang di fase belum menikah dan menanti-nanti siapa jodoh terbaik untuk diri, maka lihatlah siapa sosok laki-laki yang mengaku sudah berniat dan bersiap, maka ia pun bersedia dan bersegera untuk menyampaikan komitmennya untuk mengikat janji suci kepada orangtua atau wali.

Jadi bukan yang berani untuk mengajak jalan di tempat alias hubungan tanpa status, bukan yang berani mendekati untuk terlalu lama pendekatan, bukan yang (sekedar) kalau diajak ngobrol asik, bikin nyaman, dan nyambung.

Aku pun terkadang merenungkan kembali, pada waktu sebelum menikah dan memutuskan untuk berproses menikah dengan pak suami, salah satu pertimbangan yang menguatkanku adalah kehadiran pak suami ke rumahku dan terus berjalan dilancarkan oleh Allah prosesnya sampai akhirnya akad nikah terlaksana. Artinya ya sejauh ini, ini yang paling jauh #eh. Maksudnya paling jauh melangkah untuk serius berkomitmen menikah denganku adalah pak suami.

Begitu juga dengan kisah salah satu sahabatku. Dulu ia pernah ditaksir oleh beberapa lelaki. Ada yang mengajaknya berpacaran, ada yang mengajaknya jalan-jalan, ada yang rajin ngajak whatsapp-an, ada yang ngasih kode-kodean. Dan akhirnya ia justru menikah dengan seseorang yang hanya baru kenal beberapa waktu namun lelaki itu rajin berkunjung ke rumah sahabatku meskipun sahabatku tidak dirumah karena ia merantau, lelaki itu tetap mengunjungi orangtua dan keluarga sahabatku di rumahnya. Sampai ujungnya lelaki itu pun menyampaikan niat baik dan komitmennya untuk mengajak sahabatku menikah.

Pada akhirnya yang berani berkomitmenlah yang akan menjadi juaranya #tsah. Dengan tetap mengingat bahwa semua terjadi atas izin dan takdir Allah tentu saja. Tetapi setidaknya orang yang siap bersedia berkomitmenlah yang menunjukkan upaya lebih dan in syaa Allah akan mendapatkan keutamaan serta pahala. Sebab komitmen itu adalah kunci mendasar untuk membuka gerbang cinta sejati menuju ridho Illahi.

Avatar

[Kapan Punya Anak Lagi?]

Dulu sebelum menikah dan aktif di dunia pendidikan, aku selalu merasa ingin sekali bisa punya anak sendiri. Bahkan aku berpikir ingin punya anak dengan jumlah cukup banyak. Oow. Rasanya aku senang bisa mempelajari banyak hal baru dan mendapat energi positif saat bersama anak-anak.

Sekarang ketika Allah menghadirkan karunia itu dalam hidupku, aku justru banyak berpikir ulang tentang anak. Setelah kurenungkan, sebelum menikah aku memang banyak berinteraksi dengan anak-anak dalam kegiatan belajar mengajar. Dari usia dini sampai muridku yang paling senior setara usia anak kelas 3 SMA. Tetapi sebenarnya ya aku tidak berinteraksi dengan mereka selama 24 jam penuh. Aku tidak mengurusi segala keperluan mereka secara rinci. Aku pun tidak bertanggungjawab penuh untuk seluruh kehidupan mereka. Sedangkan kalau anakku sendiri? Tentu saja sebagian besar bahkan hampir seluruh hal tentangnya menjadi tanggungjawabku. Meskipun tentu aku pun memiliki keterbatasan.

Karunia dari Allah berupa kehadiran sang buah hati menjadi momen untukku banyak merenungkan kembali. Bahwa punya anak tidak sekedar lucu-lucuan dan gemes-gemesan dengan bayi. Punya anak juga menurutku pada akhirnya tidak cukup hanya bermodal dengan keyakinan banyak anak banyak rejeki. Biarlah Allah yang mengatur dan mencukupkan rejekinya. Pada konteks keyakinan dan berserahnya diri kita sebagai hamba akan kekuasaan Allah, kalimat terakhir itu memang benar adanya. Namun dalam konteks kita sebagai khalifah yang telah dititipi akal dan segenap potensi untuk berpikir, membuat perencanaan, dan mengatur kehidupan maka urusan punya anak tetap harus diperhitungkan.

Punya anak juga adalah tentang tanggungjawab dunia akhirat. Serius deh banyak banget urusan yang harus ditunaikan saat sudah punya anak. Kita jadi tidak cukup, tidak bisa, dan tidak boleh hanya memikirkan diri sendiri. Punya anak itu kita perlu memikirkan aspek tumbuh kembang iman taqwanya, fisiknya, motoriknya, mentalnya, daya pikir dan nalarnya, daan fitrah-fitrah lainnya yang di setiap usianya semakin bertambah itu semua perlu bahkan harus berupaya difasilitasi dengan baik. Memfasilitasinya itu perlu doa, ilmu, biaya, waktu, energi, hati, kasih sayang, sabar dan syukur, dan harapan kebaikan untuk dunia akhirat.

Aku kadang dengar omongan-omongan orang kayak gini, "baru punya anak satu aja repot banget sih belum juga nambah lagi", "wah anaknya udah lewat umur setahun setengah ya udah pas tuh bentar lagi punya adik, atau bahkan ada yang bilang ke anaknya langsung, "kamu mau punya adik? Iya, gapapa nanti kamu jadi kakak. Sayangin adiknya ya.."

Iya aku sih jujur aja bagi aku pribadi punya anak satu juga tanggungjawabnya besar dan fokusku tak bisa dipecah-pecah untuk kegiatan lainnya yang terlalu menyita waktu dan energi. Barangkali di satu sisi aku juga yang masih harus banyak belajar untuk manajemen waktu, atur prioritas, dan belajar lebih sat set melakukan sesuatu. Tetapi aku juga memang sekarang jadi tidak ingin untuk punya anak banyak dan tak ingin terbelenggu dengan pandangan bahwa saat anak sudah selesai fase menyusui atau saat sudah di usia tertentu lantas harus langsung punya adik.

Mungkin bagi sebagian orang ada yang memilih dan memang dikaruniai Allah untuk punya anak langsung sekalian dalam jarak yang berdekatan. Katanya biar sekalian ngurusnya, sekalian capek dan repotnya ngurus anak kecil barengan dan nanti saat anak-anak sudah besar juga tidak terlampau jauh jarak usianya.

Kembali lagi bahwa setiap pasangan punya perencanaan dan tujuannya masing-masing. Pada akhirnya melalui tulisan ini aku hanya ingin menyampaikan kalau urusan punya anak itu sebuah amanah yang besar. Memang karunia buah hati juga merupakan takdir dari Allah yang menjadi kekuasaanNya, tetapi perencanaan dan perhitungan tetaplah menjadi porsi kita sebagai manusia.

Avatar

[Gimana Rasanya Punya Anak? - Perspektif Ibu-ibu di Rumah Saja]

Rasanya punya anak itu...

Bagiku merupakan sebuah tanda kebesaran dan kekuasaan Allah yang istimewa. Karunia berupa anak itu adalah sesuatu yang tak tergantikan nilai berharganya. Kalau soal materi, uang, dan bentuk harta lainnya yang dianggap berharga secara umum bagi hampir setiap orang, itu masih bisa habis, hilang, dan dicari lagi. Tapi kalau soal anak bagaimana bisa menggantinya?

Meskipun memang atas semua nilai berharga dan tak tergantikannya posisi anak, selalu harus mengingat kembali akan kekuasaan Allah. Bahwa segalanya juga dari Allah dan karena Allah. Maka jangan sampai anak menjadi ujian yang melenakan atau melalaikan untuk mengingat Allah.

Selanjutnya tentu saja punya anak itu diliputi rasa bahagia, haru, dan syukur. Semua rasa itu hadir karena karunia buah hati berwujud seorang manusia mungil yang masih diliputi fitrah kesucian dan segala tentang gerak geriknya, suaranya, tatapannya, wajahnya, akan membuat siapa saja yang memandang akan merasa senang. Dan kalau bagiku rasanya selalu ngangenin. Saking ngangeninnya pergi sebentar keluar rumah pun yang diinget pasti soal anak.

Adapun dalam perjalanannya, namanya juga kehidupan. Kehidupan itu pasti akan ada dinamikanya. Apalagi jika berbicara tentang makhluk hidup yang terus bertumbuh kembang. Begitu juga dengan punya anak. Selain rasa bahagia dan syukur tentu ada rasa-rasa gemes (aku biasanya pake kata gemes untuk mewakili perasaan capek dan kesel aku) saat mengurus anak.

Apalagi untuk ibu yang dirumah saja sepertiku, hampir 24 jam waktu selalu bersama anak. Temanku pun yang punya anak dan dia tetap bekerja penuh waktu dari pagi sampai sore, mengakui kalau dia yang harus jadi ibu-ibu dirumah saja mungkin tidak sanggup dan akan lebih capek dibandingkan bekerja. Barangkali karena ibu-ibu yang bekerja itu mereka punya ruang untuk mengurusi hal lain diluar urusan anak dan rumahnya, masih bisa berinteraksi dengan dunia luar, jadi tingkat kejenuhannya tidak se-akut ibu-ibu yang dirumah saja.

Ibu ibu yang dirumah aja kadang keliatannya santai. Tapi sebenarnya yang terjadi adalah kalau ada waktu luang di kala anak tidur selalu dilematis mau pilih buat tidur bareng biar punya energi buat main bareng anak pas dia bangun nanti, mau beres-beres kerjaan rumah, mau mandi, mau makan, mau sholat, mau main hape, mau me time atau apa? Kadang akhirnya karena capek juga sebelumnya main dan interaksi terus sama anak akhirnya jadi tim rebahan dulu sambil buka hape. Ehh tau tau belum sempat ngapa-ngapain anak dah kebangun lagi. Nasib nasib.

Lebih seru lagi kalau anaknya mulai di fase-fase duduk, merangkak, berdiri, berjalan, wah ini mah udah alamat harus makin kuat energi ibu-ibu buat mendampingi anak. Apalagi kalau anak udah kenal dan lengket banget sama ibunya. Baru melangkah sedikit aja langsung ditanyain atau diikutin. Sampe ke kamar mandi juga pengen ikut. Pengen ditemenin main terus. Jadi tahu sendiri kan kenapa setelah punya anak jadi terbatas waktu dan kegiatannya, kadang mau bales pesan di Whatsapp juga udah gak keinget, hehe ya karena inilah kira-kira jawabannya.

Tapi enaknya juga kalau jadi ibu dirumah saja ya memang lebih leluasa untuk mau istirahat bareng anak di waktu tidurnya. Bisa dua sampai tiga kali bahkan. Apalagi yang anaknya masih menyusu. Maa syaa Allah menyusui itu sebenarnya karunia Allah yang terbaik banget lho buat ibu dan anak.

Oh ya, di sisi lain punya anak itu juga memang harus siap jiwa raga dan lahir batin karena konsekuensinya besar. Menjadi ibu harus siap sedia bangun di tengah malam hingga dini hari untuk menyusui atau membuatkan minum anaknya yang terbangun. Sampai-sampai pusing kepala karena terasa tak nyenyak tidurnya.

Punya anak itu secara manusiawi memang melelahkan karena pekerjaan yang tanpa jeda, tanpa tanggal merah, tanpa hari libur, tapi kalau ditanya apakah mau berhenti? Bisa dikatakan takkan ada yang dapat menggantikan indahnya, serunya, momen kebersamaan dengan anak. Maa syaa Allah. Alhamdulillaah. Mudah mudahan menjadi jalan menuju keridhoan Allah dan bisa terus bersama dengan yang tercinta hingga di JannahNya.

Avatar

[Hikmah Menjadi Orangtua : Mengingat Jasa Orangtua]

Adakalanya kita menemukan suatu pengingat atau nasihat di waktu dan keadaan yang tidak terduga. Bisa tak terduga juga siapa yang menyampaikan pengingat dan nasihat itu. Namun yang terpenting adalah tentang apa dan bagaimana nasihat itu disampaikan.

Suatu hari aku dan keluarga kecilku ditambah dengan adik iparku mampir ke sebuah masjid. Seperti biasa karena punya anak kecil yang masih usia bawah tiga tahun alias batita maka harus sholat bergantian untuk menjaga anak. Apalagi usia batita ini adalah masa aktif-aktifnya si bayi yang mulai beranjak menjadi anak-anak.

Salah satu hal yang selalu kujaga dan diperingatkan oleh pak suami adalah agar anak kami tidak berlarian dan bersuara keras di dalam ruang sholat. Kalau di teras masjid rasanya tidak begitu bermasalah.

Waktu itu kondisinya sholat berjamaah sudah hampir selesai dan aku sudah akan bersiap bergantian sholat dengan adik iparku. Aku pun masuk ke ruang sholat sambil menggendong anakku. Saat adik iparku sudah selesai dan siap untuk bergantian denganku, anakku nangis sejadi-jadinya. Ia menolak untuk digendong dengan adik iparku. Anakku memang sedang di fase sangat melekat denganku jadi ia akan menolak keras untuk digendong orang lain. Akhirnya suara tangisan anakku membahana di dalam ruang sholat. Aku pun segera membawa anakku keluar untuk mencari pak suami.

Alhamdulillaah anakku bisa tenang saat digendong ayahnya. Aku pun berwudhu dan bersiap untuk sholat. Saat aku bersiap pakai mukena dan gelar sajadah ada seorang Ibu disebelahku yang menyapaku dengan tanya begini "Kenapa anaknya nangis? Lagi kurang sehat?"

Aku agak kaget dan menjawab, "Gak bu. Itu anak saya memang sudah terbiasanya sama saya, jadi kalau ditinggal sebentar aja suka gak mau. Maunya sama saya terus."

Ibu itu menjawab, "Ooh gitu. Iya iya... Jadi kerasa ya gimana sulitnya kalo udah punya anak tuh, mau ibadah aja agak susah dan terbatas."

Aku hanya tersenyum, menganggukkan kepala, dan menjawab," Hmm iya bu. Betul.."

Ibu itu lalu tersenyum juga dan melanjutkan kalimatnya, "Iya jadi kebayang ya gimana orangtua dulu ngurusin kita. Mungkin itu hikmahnya (punya anak). Kita jadi ngerasain susahnya orangtua kita, apalagi Ibu. Harus banyak berbakti sama Ibu."

Aku pun tersenyum dan mengangguk, "Iya ya bu. Oiya maaf bu saya izin sholat dulu ya."

"Oiya silakan." jawab Ibu itu sambil tersenyum.

Percakapan singkat itu menjadi sebuah pengingat dan nasihat tersendiri bagiku. Apalagi saat itu tepat di hari Ibu. Meskipun kini aku tak lagi ingin turut merayakannya sebab aku menyadari bahwa doa, ucapan selamat, dan hadiah untuk Ibu tak mesti menunggu satu hari tertentu. Dan bukankah doa, cinta kasih, serta bakti kita pun selayaknya dihaturkan bagi orangtua sepanjang waktu?

Avatar

[Bukan Orangtua yang Sempurna]

Kalau berbicara tentang menjadi orangtua, agaknya kita lebih terbiasa untuk memaknainya pada waktu dimana pasangan suami istri dikaruniai kelahiran anak. Memang tak salah juga pemaknaan seperti itu. Namun sebenarnya jika dimaknai lebih dalam seiring dengan nasihat-nasihat orang sholih terdahulu dan para alim ulama, sejatinya menjadi orangtua adalah bentuk proses panjang sejak sebelum pernikahan terjadi.

Artinya menjadi orangtua merupakan rangkaian perjalanan dari masing-masing pribadi sebelum dipersatukan dalam pernikahan. Dulu sekali aku memiliki pemahaman bahwa jika kita menjadi orang baik, maka kebaikan itu akan kembali untuk diri sendiri. Ada juga pemaknaan dari sebuah ayat Al Quran tentang laki-laki atau perempuan yang baik akan mendapatkan jodoh yang baik pula. Tetapi ternyata kebaikan dan kesholihan/kesholihahan dalam diri kita itu bahkan akan bisa berdampak sampai kepada anak cucu keturunan.

Maa syaa Allah. Betapa kebaikan dan kesholihan itu menular bahkan bisa menjadi turun temurun atas izin Allah.

Semenjak mengetahui dan merenungi nasihat tersebut, aku jadi seringkali mengingat dosa dan khilaf diri. Apalagi saat masa kehamilan, aku berpikir apa sesungguhnya aku sudah siap untuk menjadi orangtua yang baik? Apakah aku akan menjadi orangtua yang sempurna bagi anakku?

Seiring dengan pemikiran itu, aku semakin menyadari bahwa diri ini bukanlah seseorang yang bisa menjadi sempurna. Bayangan dosa dan khilaf di masa lalu maupun yang adakalanya terjadi di hari ini pun semakin menambah kesadaranku.

Sebelum menikah dan memiliki anak, rasanya aku akan siap dengan segala tanggungjawab dan konsekuensi untuk menjalani kehidupan rumah tangga. Berbagai ilmu dan teori pun telah berupaya dipelajari. Namun apa daya sebagai manusia terkadang mengalami juga yang namanya lelah, jenuh, kurang sabar, kurang syukur, baperan, sehingga khilaf demi khilaf tak jarang muncul juga dari dalam diri.

Maka kelak ingin ku sampaikan kepada anak cucu keturunanku bahwa aku bukanlah orangtua yang sempurna. Tetapi in syaa Allah aku akan berusaha menjadi orangtua yang senantiasa belajar dan memperbaiki apa yang khilaf, lalai, dan terlupa.

Sebagaimana aku ingin anakku juga memahami bahwa manusia takkan ada yang bisa sempurna. Maka jangan pernah berharap kepada manusia bila tak ingin menuai kecewa. Dan jika nanti ada khilaf yang mungkin diperbuat dalam perjalanan kehidupan, maka segeralah bertaubat, berhenti dari kekhilafan itu, mohon ampunan dan rahmat Allah yang takkan pernah ada habisnya.

Avatar

[First Moment, Wait a Moment, Please]

Hmm judulnya pakai bahasa inggris segala ya. Sebenernya mau bilang semacam ini, ketika menghadapi momen-momen baru untuk pertama kalinya, tenanglah dan tolong untuk memberi waktu sebentar. Konteksnya apa? Rasanya bisa berlaku untuk berbagai kondisi dan pengalaman. Tetapi melalui tulisan ini, aku ingin melakukan kilas balik dan berbagi lagi tentang pengalaman menjadi orangtua baru. Yup, temanya masih berhubungan dengan tulisan sebelumnya. Semoga ada manfaatnya.

Momen menjadi orangtua baru adalah masa yang dinamikanya cukup nano nano. Ada rasa bahagia tak terkira, syukur, dan haru menyambut kehadiran sang buah hati. Ada pula rasa sakit dan lelah yang berbalut rasa lega selepas melalui proses persalinan yang menguras seluruh energi. Bagi sang ayah, ada pula sisa-sisa rasa lelah, cemas, dan kantuk sepanjang siap siaga mendampingi proses persalinan.

Di tengah semua rasa yang berpadu menjadi satu, saat itulah tanggungjawab menjadi orangtua mulai ON alias sudah aktif. Berbagai kesiapan dan keterampilan menjadi orangtua sudah harus mulai dijalani. Mulai dari cara gendong bayi baru lahir, menyusui, memandikan, memakaikan baju, bedong, dan sebagainya. Belum lagi menghadapi proses adaptasi sang bayi yang jadwal meleknya malah di malam hari, masih sering menangis karena berbagai hal baru yang ditemukannya di dunia. Oh ya belum juga mengurusi pakaian kotor bayi baru lahir yang masih sering berganti karena buang air kecil dan buang air besar setiap beberapa waktu sekali.

Di antara seluruh realita dan dinamika itu, ada sisi-sisi perasaan dan pikiran seorang Ibu baru yang membutuhkan banyak validasi atau penerimaan, dukungan, dan penguatan. Ya, karena fase-fase yang baru saja dilaluinya bukanlah sesuatu yang mudah dan sederhana. Mengandung dan melahirkan adalah dua fase luar biasa yang mengubah banyak hal dalam diri seorang perempuan. Termasuk keadaan pikiran, perasaan, dan mentalnya.

Dan di masa inilah mengapa rentan terjadi yang disebut sebagai Baby Blues. Sederhananya, baby blues adalah keadaan dimana seorang perempuan yang baru saja menjadi Ibu atau seorang perempuan yang baru melahirkan mengalami pikiran dan perasaan tak menentu, lelah, bingung, mudah menangis dan tersinggung, sampai merasa putus asa bahkan kecewa dan marah dengan segala tanggungjawab baru yang dihadapinya.

Aku pun mengalami rasa dan dinamika itu. Dan lebih terasa jleb lagi ketika dihadapkan dengan omongan-omongan orang sekitar, yang terkadang entah maksudnya basa basi, menyindir atau apa, tapi cukup bikin merasa baper dan ingin menangis terus menerus.

Omongan-omongan kayak gini sebaiknya dihindari sih untuk disampaikan ke Ibu baru,

"Punya anak sih masa nyuci baju anaknya aja gak sempet, harusnya ya cuciin sendiri baju anaknya.."

"Punya anak masa mandiinnya aja gak bisa, masa harus dimandiin orang terus.."

"Punya anak bayi gak boleh males, masa tidur bareng anak, anak tidur ya harusnya orangtuanya kerja, beres-beres, bersih-bersih.."

"Punya anak sih masa ga bisa gendong pake kain, ibu mah dulu sebelum punya anak juga udah terlatih gendong-gendongin bayi pake kain.."

"Udah jangan gendong bayi kamu. Bayi kamu badannya gede, kamunya kecil badannya. Kurang mantep nanti gendongnya.."

dan bla bla bla lainnya yang bernada menyalahkan dan meremehkan.

Memang sih idealnya ketika punya anak itu setiap orangtua sudah punya kesiapan dan keterampilan yang baik, tapi ya pada beberapa keadaan, tentu akan tetap ada kekurangannya dan pada hakikatnya segala sesuatu yang baru itu memang butuh proses kan untuk dipelajari, dibiasakan, sampai akhirnya jadi bisa dan terlatih.

Inilah yang kumaksud dari judul tulisan ini. Bahwa ketika kita berada pada masa menghadapi hal yang baru, adakalanya kita perlu menenangkan diri dan menerima keadaan yang perlu waktu sejenak untuk bisa diatasi.

Akhirnya, aku dan pak suami memutuskan untuk hijrah kembali ke kontrakkan kami setelah sekitar tiga pekan tinggal bergantian dirumah orangtua dan mertua. Kalau di rumah mertua ada pula ceritanya, ibu bapak mertuaku dan saudara saudara iparku sangat baik. Maklum menyambut cucu pertama. Saking baiknya semua hal tentang bayiku diurusin. Mandiin, gendongin, ajak main, semuaaanya. Bagianku cuma nyusuin aja. Enak sih buatku, jadi nyantai. Tapi justru membuatku merasa.. lah aku punya waktu bonding sama anakku kapan? Pas waktu nyusuin yang harusnya eksklusif pun kadang ditungguin sama mama mertuaku. Lah trus aku ngurusin anak akunya kapan? Lah jadinya itu anak siapa?

Akhirnya, aku minta ke pak suami untuk kembali ke kontrakkan kami saja. Meski kecil dan sempit, meski masih berantakkan karena belum dirapikan lagi sejak melahirkan, kami pun sepakat untuk mengurus anak kami sendiri. Biarlah kami repot. Biarlah kami capek. Setidaknya tak menjadi lebih repot dan capek menghadapi orang-orang lain yang menguras perasaan. Setidaknya tak ada yang mengomentari cara mengurus anak dan jadwal harian kami.

Dan yang paling penting adalah... Tak ada yang menginterupsi proses belajar kami menjadi orangtua baru. Ya, aku dan pak suami sangat bersyukur diberikan kesempatan untuk bisa mengasuh sendiri anak kami. Dan bersyukur pula karena pak suami kala itu masih bekerja secara WFH. Meskipun dalam proses mengasuh anak untuk pertama kalinya ada rasa canggung, bingung, khawatir, ragu, takut, namun kami belajar banyak hal baru. Dan sebagai orangtua, kami merasa lebih bermakna, lebih berarti, lebih lekat ikatannya dengan anak kami.

Maka jika aku boleh menyarankan, teruntuk calon orangtua baru yang akan menyambut kehadiran sang buah hati, jika memungkinkan cobalah tinggal terpisah dari orangtua dan berusaha untuk merawat anak sendiri. Rasakan bagaimana setiap momen belajar dan mengikat kebersamaan dengan anak. Rasakan pula bagaimana capek lelahnya mengurus anak tapi selalu bikin kangen.

Adapun bagi yang harus tinggal dengan orangtua dan mertua, semoga senantiasa dilapangkan dan dikuatkan hatinya untuk menerima berbagai keadaan. Aku selalu kagum pada mereka yang bisa berkhidmat mengikuti suami dan tinggal bersama mertua, in syaa Allah pahalanya tak terhingga.

Dan sejatinya perjalanan belajar menjadi orangtua tak hanya saat baru menjadi orangtua. Karena menjadi orangtua adalah proses belajar sepanjang masa.

Avatar

[Tentang Menjadi Orangtua : Menjadi Baby Sitternya Allah]

Setelah Allah mengaruniakan kehadiran buah hati sejak mulai proses mengandung dan melahirkan, sejak itu pula kehidupan seorang perempuan yang menjadi ibu mengalami perubahan yang cukup drastis. Tak hanya dari segi fisik, tapi juga dari segi pikiran, perasaan, aktifitas, prioritas, dan waktu yang dimiliki.

Apalagi di era modern saat ini, dimana posisi seorang perempuan telah mengisi berbagai bidang kehidupan dan menempatkan perempuan dengan berbagai peran untuk berkiprah alias berkarir di luar lingkup kehidupan keluarganya.

Fenomena ini pun menjadi sebuah isu yang kemudian membuka pilihan bagi seorang perempuan setelah memiliki anak. Apakah akan melanjutkan karir dan kontribusinya pada pekerjaan di luar rumah? Atau memilih peran dan karir sebagai ibu rumah tangga?

Siapapun juga tak berhak menghakimi apa yang menjadi pilihan seseorang. Sebab dengan seluruh pertimbangan terbaik yang dilalui, setiap perempuan yang telah memilki anak tentu telah berupaya mempertimbangkan dan memperjuangkan segala sesuatunya. Khususnya yang terbaik bagi anaknya.

Bagiku pribadi, aku memilih menjadi ibu rumah tangga yang mengurus anakku sendiri. Kenapa? Karena aku tidak ingin kehilangan momen-momen berharga khususnya di 1000 hari pertama kehidupan anakku (ini dimulai sejak masa kandungan sampai usia 2 tahun). Dan di masa ini juga seorang anak selayaknya mendapatkan asupan ASI langsung dari ibunya. Maka kalau aku bekerja ke luar rumah apalagi berkegiatan full time, bagaimana aku bisa mendapatkan semua kesempatan emas itu?

Aku juga bukan termasuk orang yang sanggup untuk bisa multitasking menjalankan peran di dua tempat dengan dua amanah yang berbeda. Artinya jika seorang perempuan bekerja di luar rumah tentu saja ia harus membagi waktu dan energi dirinya antara pekerjaan dengan urusan anaknya. Barangkali ada orang orang yang memang dimampukan Allah untuk menjadi ibu pekerja yang juga mengurus keperluan rumah tangga, suami, dan anak-anaknya. Maa syaa Allah. Belum lagi bagi seorang perempuan yang berjuang sendiri sebagai single parent dan menjadi tulang punggung keluarga. Semoga Allah selalu memberikan kesehatan dan keberkahan rezeki bagi mereka.

Atas setiap keadaan dan pilihan hidup kita, tentu saja akan ada pendapat-pendapat yang mempertanyakannya. Apalagi untuk seorang perempuan yang memilih menjadi ibu rumah tangga penuh waktu. Misalnya, "apa gak sayang udah punya gelar tinggi malah cuma dirumah?", "sekolah sampe tinggi, punya ilmu, bukannya diamalkan, malah ngurus anak dirumah aja..", "gamau coba dulu buat kerja? Soal anak mah gampang, bisa sewa pengasuh, kalo masih ada orangtua lebih enak lagi bisa titipin anaknya sama orangtua..", orang lain juga pada punya anak, ditinggal kerja dari umur 3 bulan gapapa, bisa dikasih susu, kasih dot.."

Nah itu dia, dua pernyataan terakhir itu yang jadi BIG NO buat aku. Menurutku, anak itu adalah amanah dari Allah untuk orangtuanya. Bukan untuk pengasuh, bukan untuk orangtua atau mertua atau orang lainnya. Lain hal kalau anak yang ditakdirkan yatim piatu. Jadi, sebisa mungkin pengasuhan anak menjadi tanggungjawab orangtuanya. Dan aku selalu berprinsip untuk bisa menyusui langsung anakku sendiri karena inilah fitrah terbaik dari Allah.

Soal dua pernyataan lainnya? Aku selalu meyakini bahwa kelak akan ada masa untuk bisa berkarya dan meniti karir kehidupan (in syaa Allah), tetapi waktu kebersamaan dengan masa kecil anak-anak? Apakah akan bisa terulang momennya? Apakah akan bisa ditebus dengan jabatan dan harta?

Aku jadi teringat dengan inspirasi yang aku temukan dari sebuah goodie bag toko perlengkapan bayi. Di awal dulu saat beberapa bulan setelah melahirkan. Bagiku terasa dalam dan menyentuh.

Menutup cerita kali ini, aku ingin mengutip inspirasi indah dan menyentuh dari sebuah buku berjudul PARENTime yang ditulis oleh seorang psikolog, konselor keluarga, dan pendidik bernama Kak Hilman Al Madani rahimahullaah. Semoga Allah menerima dan meridhoi segala amal kebaikan beliau.

Dalam sebuah bab beliau menuliskan tentang peran orangtua sebagai Baby SitterNya Allah. Beliau menjelaskan bahwa fenomena hari ini menunjukkan betapa kepengasuhan anak seringkali dilimpahkan kepada pihak-pihak diluar diri orangtua seperti pengasuh, guru les, guru ngaji, dan sebagainya.

Saat anak ada masalah, seringkali orangtua mempertanyakan bahkan menyalahkan pihak-pihak tersebut. Padahal, jika direnungkan kembali, siapa yang sejatinya diberikan amanah anak oleh Allah? Siapa yang sejatinya menjadi orangtua bagi sang anak?

Setiap orang yang dipilih oleh Allah untuk menjadi orangtua sesungguhnya telah mengemban status dan peran mulia yaitu sebagai Baby Sitter-Nya Allah. Jika kita menjalani peran itu dengan sebaik-baiknya, maka sungguh balasan yang diperoleh akan jauh lebih bernilai dari sekedar materi. Dan adakah yang lebih baik dari pahala dan keridhoan Illahi? In syaa Allah kebaikan dunia akhirat hingga JannahNya menanti.

Selamat berperan menjaga sebaik-baiknya amanah yang telah Allah beri. Ialah sang buah hati.

Avatar

[Renungan Semasa Menyusui : Jangan Mudah Membatasi Diri, Percaya pada Fitrah Terbaik Diri]

Setelah melalui fase mengandung dan melahirkan, ada sebuah fase istimewa yang telah menanti selanjutnya. Fase inilah yang menjadi kelanjutan dari ladang pahala seorang perempuan, yaitu masa menyusui atau jaman sekarang disebut dengan istilah meng-ASI-hi.

Menyusui bukan sekedar proses memberi makan dan minum bayi. Menyusui merupakan fase sakral dan suci yang dapat membangun ikatan kuat antara sang ibu dan anaknya yang kelak akan menjadi manfaat untuk tumbuh kembang fitrah terbaik diri sang anak.

Fase menyusui merupakan fase yang istimewa sebagaimana dua fase sebelumya, bahkan sampai disebutkan oleh Allah dalam sebuah ayat Al Quran (Q.S Al Ahqaf : 15)

"Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri".

Bagiku setiap perempuan yang diberikan kesempatan untuk mengandung sampai dikaruniai kemampuan untuk melahirkan, patut memperjuangkan dan mensyukuri juga karunia untuk bisa menyusui.

Sayangnya di hari-hari ini masih banyak ditemui perempuan yang tidak memiliki kesadaran ataupun dukungan untuk dapat menyusui anaknya. Banyak yang akhirnya 'menyerah' untuk memberikan air susu ibu (ASI) secara eksklusif bagi sang buah hati.

Salah satu masa yang menentukan adalah tepat di beberapa jam atau di hari pertama setelah melahirkan. Kondisi yang kerap terjadi di masa ini air susu yang keluar masih sedikit dan adaptasi dalam berbagai hal termasuk tentang posisi menyusui yang tepat baik dari pihak ibu maupun bayi. Tak sedikit kejadiannya kemudian bayi akan menangis karena proses adaptasi tadi dan yang kebanyakan diartikan itu adalah tangisan lapar atau kekurangan asupan susu.

Kemudian akhirnya sang ibu merasa panik, sedih, kebingungan. Belum juga usai memulihkan rasa sakit setelah melahirkan. Ditambah lagi dengan omongan dari orang sekitar yang bukannya menyemangati malah menjatuhkan mental ibu menyusui.

"ASI kamu tuh seret, gak lancar, sedikit, susah, lama keluarnya. Laper tuh bayinya nangis terus. Udah kasih aja dot, kasih susu kaleng, susu formula daripada rewel!"

Padahal sangat wajar jika setelah melahirkan kuantitas ASI yang dihasilkan masih sedikit. ASI akan terus bertambah jumlahnya seiring bayi yang sering menyusu secara langsung kepada ibunya. Dan sebenarnya bayi baru lahir tidak akan kelaparan karena kurang minum ASI yang masih sedikit, karena bayi baru lahir juga lambungnya masih sangat kecil dan terbatas untuk menampung ASI yang banyak. Sungguh Allah telah mengatur semua proses fitrah ini sesuai kadarNya.

Aku sendiri pun mengalami kejadian seperti itu. Orang-orang yang ada dirumah saat itu heboh untuk memberi susu pada anakku. Pak suami juga sempat merasa serba salah karena diminta beli dot untuk bayi. Tapi aku tetap pada keyakinan bahwa aku akan terus berupaya menyusui anakku secara langsung.

Oh iya sedikit catatan, aku pernah mendengar dari sebuah kajian bahwa sejatinya dalam Islam konsep menyusui itu adalah menyusui yang terdapat kontak fisik antara ibu dan anak (nama bekennya direct breastfeeding alias DBF). Jadi kalau menyusui tapi dengan cara dipompa dan ASI dimasukkan ke botol dot untuk diminum sang anak, maka sejatinya itu belum sesuai dengan esensi dari menyusui yang dimaksudkan dalam syariat.

Aku bersyukur karena Allah memberikan pemahaman, kesadaran, sekaligus kekuatan bagiku untuk menyusui anakku secara langsung. Hal ini merupakan karunia terbaik dari Allah yang aku rasakan. Meskipun dalam perjalanannya ada hal-hal yang harus dikorbankan dan diperjuangkan. Salah satunya soal keputusan berkarier. Khusus hal ini mungkin ada baiknya akan menjadi tulisan tersendiri.

Menjelang dua tahun perjalanan menyusui yang aku jalani bersama sang buah hati, aku ingin berbagi tentang bagaimana menguatkan diri untuk dapat mengarungi fase ini.

Hal yang paling utama selalu adalah mengawali segalanya dengan doa. Mohonkan doa-doa harapan kebaikan bahkan sejak di masa kehamilan. Kuatkan dan luruskan niat dalam diri untuk dapat menyusui secara langsung sang buah hati. Bermohon kepada Allah agar dikaruniai ASI yang lancar dan berkah untuk memenuhi kebutuhan tumbuh kembang anak. Selain itu, upayakan untuk sebisa mungkin berwudhu sebelum proses menyusui. Menurut kisah seorang alim ulama dalam kajian Ustadz Abdul Somad, salah satu pembentuk kesholihan dan kecerdasan yang Allah karuniakan pada dirinya adalah karena kebiasaan ibundanya untuk berwudhu sebelum menyusui. Maa syaa Allah.

Kedua adalah dengan selalu berupaya meyakini bahwa ASI adalah karunia terbaik dari Allah untuk anak kita. Tidak ada satu jenis makanan dan minuman pengganti yang dapat menggantikan keistimewaan kualitas ASI. Maka jangan mudah tergiur untuk memberikan campuran susu-susu tambahan untuk anak selama kita masih bisa berupaya untuk mau menyusui secara langsung. Jangan pula langsung meyakini dan memvonis diri kita tidak mampu, ASI sedikit, ASI seret, dan label buruk lainnya. Tidak perlu percaya juga omongan orang lain yang tidak bermanfaat untuk menyemangati kita.

Teori paling dasar tentang ASI adalah, ia akan semakin banyak dan bertambah jumlahnya selama ada isapan atau permintaan dari sang bayi. Maka kalau kita merasa ASI sedikit atau seret, jangan justru langsung berhenti menyusuinya. Teruskan saja menyusui. Tawarkan bayi menyusui sesuai kebutuhannya. In syaa Allah seiring waktu program tubuh kita akan menyesuaikan dengan fase menyusui yang dilalui.

Terkait jumlah pasokan ASI, memenuhi asupan gizi yang cukup juga penting untuk dilakukan. Biasakan minum air mineral, memakan sumber-sumber protein dan vitamin, minum susu, dan jika ada kelebihan rezeki bisa dilengkapi lagi dengan konsumsi suplemen tambahan atau booster ASI.

Selanjutnya, yang juga tak kalah penting ialah tentang support system atau orang-orang yang berperan dalam mendukung sepanjang masa manyusui. Peranan ini utamanya terletak di tangan suami. In syaa Allah semuanya akan lancar sepanjang terus dikomunikasikan apa yang menjadi kebutuhan dan harapan kita. Pak suamiku pernah menanyakan bahwa apakah aku ingin memompa ASI dan meletakkannya di botol dot? Dengan begitu aku jadi tak terlalu lelah untuk terus menerus menyusui anak. Dan apakah aku akan bekerja lalu meninggalkan anak dirumah hingga melepas fase terbaik menyusui? Selalu aku akan menjawab dengan tegas bahwa aku ingin menyusui anakku secara langsung sampai masa yang sempurna. Pak suami pun memahami dan selalu mendukungku menjalani fase menyusui sampai hari ini.

Bagi para perempuan yang sedang dalam proses maupun telah dikaruniai kelahiran sang buah hati, maka jangan sia-siakan kesempatan istimewa untuk mempersiapkan serta menjalani fase menyusui. In syaa Allah jadi momen berharga yang bernilai pahala dan takkan tergantikan nilainya.

Avatar

[Renungan tentang Melahirkan : Ikhtiarkan dan Mohonkan Fitrah Terbaik Diri]

Di tulisan sebelumnya, aku bercerita tentang kesan dan hikmah yang aku rasakan sepanjang masa kehamilan. Kali ini aku akan melanjutkan lagi kisah tentang momen saat melahirkan.

Momen melahirkan bagi seorang ibu hamil adalah momen spesial yang sangat ditunggu-tunggu namun tak bisa dipungkiri akan menimbulkan rasa khawatir dan takut. Terlebih bagi ibu hamil yang baru akan melahirkan anak pertama. Segala macam bayangan tentang rasa sakit dan sulitnya melahirkan seperti terus bergelayut dalam diri.

Meskipun kini sebenarnya sudah banyak para tenaga kesehatan yang membantu proses kelahiran menciptakan berbagai metode yang memberikan kemudahan untuk dipelajari dan dipersiapkan ibu hamil sebagai bekal menghadapi persalinan yang minim rasa sakit.

Aku sendiri pun merasakan juga kekhawatiran itu. Ditambah lagi dengan postur tubuhku yang kecil dan kondisi mataku yang minus, aku kerap kali mempertanyakan diri sendiri apakah aku akan mampu untuk melahirkan anakku secara normal?

Jauh di lubuk hati aku ingin sekali untuk biaa melahirkan normal. Tanpa bermaksud mengecilkan atau membandingkan dengan operasi cesar, aku selalu menanamkan dalam diri bahwa aku akan bisa melahirkan secara normal.

Sebab aku percaya bahwa setiap perempuan yang dikaruniai kehamilan sejatinya juga dikaruniai fitrah dan kemampuan untuk dapat melahirkan secara normal oleh Allah. Dengan catatan bahwa kondisi diri dan kehamilan sang Ibunda serta sang janin dalam kandungan adalah dalam keadaan sehat serta tidak ada kondisi penyulit yang bisa beresiko jika dipaksakan melahirkan secara normal.

Ibu hamil yang melahirkan dengan jalan operasi pun sesungguhnya juga sama hebatnya dalam berjuang untuk melahirkan, sebab ia memilih untuk mengutamakan keselamatan diri dan bayinya daripada memaksakan kondisi yang tidak memungkinkan.

Adapun melahirkan secara normal itu memang fitrah namun tetap harus diikhtiarkan dan terus menerus didoakan. Sedikit berbagi cerita tentang bagaimana aku berikhtiar untuk dapat melahirkan secara normal.

Pertama dan paling utama menanamkan keyakinan dalam diri bahwa in syaa Allah dengan ikhtiar dan doa memohon pertolongan Allah, diri kita akan dimampukan dan dikuatkan untuk melahirkan secara normal. Bagaimana pun kita mungkin merasa pesimis dengan keadaan diri kita, tetapi yakinlah tak ada yang mungkin jika dengan pertolongan Allah. Jangan terlalu khawatir atau pusing dengan omongan orang yang hanya bisa menilai dari luar atau dari pengalaman mereka semata.

Kedua, setelah menumbuhkan keyakinan dan doa terbaik dalam diri, lakukan ikhtiar-ikhtiar yang mendukung untuk melancarkan proses persalinan secara normal. Tips paling sederhana yaitu dengan merutinkan jalan kaki setiap hari. Lakukan secara santai dan sesuaikan dengan kemampuan diri. Jika lelah, pelankan ritme berjalannya atau beristirahatlah. Selebihnya bisa dilengkapi dengan senam atau yoga untuk ibu hamil.

Ketiga, tetap beraktifitas sebagaimana biasanya dengan istirahat secukupnya sesuai kebutuhan. Jadi bukan berarti saat hamil cuma rebahan saja. Hehe. Kecuali ada rekomendasi dari dokter karena kondisi kesehatan yang memang harus bedrest. Jaga asupan makanan dan minuman. Kuncinya jangan terlalu berlebihan. Hindari bahan-bahan makanan dan minuman yang beresiko bagi janin.

Keempat, membangun komunikasi dengan sang buah hati. Ajak ngobrol buah hati dalam kandungan dengan sebanyak-banyaknya penguatan positif dan lakukan dengan perasaan bahagia. Ajak buah hati untuk bekerjasama menjalani setiap fase kehamilan sampai nanti melahirkan. Karena proses persalinan juga akan melibatkan pergerakan dari sang janin untuk menemukan jalan lahir.

Kelima, ini mungkin agak subjektif dan ya karena memang dari pengalamanku pribadi, aku sebisa mungkin berupaya memilih tempat persalinan yang memang pro persalinan normal. Dalam hal ini aku memilih melahirkan di sebuah klinik yang prosesnya ditangani oleh bidan. Selain juga karena pertimbangan ekonomi(s), aku memilih melahirkan di klinik karena bisa menggunakan fasilitas BPJS di klinik tersebut. Jadi melahirkannya gratis tis. Alhamdulillaah.

Pertimbangan lainnya adalah aku menghindari melahirkan di rumah sakit yang di beberapa kasus yang aku ketahui, umumnya seringkali proses persalinan diarahkan untuk operasi cesar meskipun mungkin masih bisa diusahakan melahirkan normal. Meskipun kalau untuk periksa kehamilan rutin setiap bulan, aku juga beberapa kali berlangganan di sebuah rumah sakit untuk mendapatkan pemeriksaan oleh dokter kandungan.

Alhamdulillaah. Tepat pada tanggal 08 Maret 2022 pukul 23.47 WIB, aku melahirkan seorang anak laki-laki yang sholih (in syaa Allah). Allah memberikan karunia untukku sesuai dengan apa yang aku harapkan untuk dapat melahirkan normal.

Setiap orang tentu akan memiliki proses dan kisah perjuangannya masing-masing sesuai dengan apa yang diyakininya dan sesuai apa yang menjadi takdir dariNya. Maka, kembali lagi bahwa porsi kita sebagai manusia hanyalah dapat berencana, berikhtiar, dan berdoa.

Laa haula wa laa quwwata illaa billaah

Fase melahirkan atau persalinan ini begitu berharga sampai Allah menuliskan dalam ayat-ayat cintaNya di dalam Al Quran (Q.S Fatir : 11)

"Dan Allah menciptakan kamu dari tanah kemudian dari air mani, kemudian Dia menjadikan kamu berpasangan (laki-laki dan perempuan). Dan tidak ada seorang perempuanpun mengandung dan tidak (pula) melahirkan melainkan dengan sepengetahuan-Nya. Dan sekali-kali tidak dipanjangkan umur seorang yang berumur panjang dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam Kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu bagi Allah adalah mudah."

You are using an unsupported browser and things might not work as intended. Please make sure you're using the latest version of Chrome, Firefox, Safari, or Edge.