Tanda bagi Tanya: Imaji Anak-anak, Teka-teki hingga Kuda
Berawal dari tautan Facebook yang dibagikan Arnata Pakangraras yang berisi ulasan Wayan Jengki atas buku puisi Tanda bagi Tanya, saya jadi mengenal nama Frischa Aswarini (seterusnya FA). Judul bukunya menarik saya untuk segera memiliki dan akhirnya membacanya sampai tiga kali berulang-ulang - untungnya buku ini cukup tipis, hanya memuat 33 puisi - sebab, saya sendiri sedang dalam proses mengerjakan buku puisi dengan “bahan” tanda tanya / question mark / signo de interrogación / ? Bahan yang juga nongol di judul buku dengan gambar sampul seorang bocah berdiri di atas perahu (?) itu.
Saya tak mengenal FA secara personal, tapi yang saya tahu berbekal mantra mbah gugel, bahwa FA kelahiran Bali, sekian tahun lebih muda dari saya, dan pernah kuliah di jurusan yang juga sama dengan saya tapi di kampus yang berbeda. Saya juga sempat menengok nukilan Skripsi FA yang mengulas sajak-sajak Sitor Situmorang. Itu saja yang sedikit saya tahu tentang FA, lebih lengkap lagi ada di tulisan Wayan Jengki, yang bisa dibaca di jurnalruang.com
Saya akan mengulas beberapa “perkara” dalam buku yang menarik ini, yaitu teka-teki, dan diksi.
Selesai mencabik wrap plastik buku ini, saya bingung mulai dari mana. Saya berusaha mencari-cari - yang semestinya, semisal - kata pengantar dari penyairnya sendiri, atau dari penyair lain, namun tak ada. Ya sudah, saya membacanya dari beranda sampai halaman paling belakang. Voila! Dan kata pengantar buku ini - bagi saya - nyempil di puisi terakhir yang berjudul Asmayatra.
Mari kita tengok bait pertama Asmayatra:
Aku tak bisa menulis sajak
seperti sajakmu
walau malam khusyuk
dan kenangan tersedih
menarik cemasku
Melompati enam bait puisi ini, dan kita akan menemukan bait:
Aku telah jatuh hati
pada sajak banyak penyair
dan membiarkannya
jadi pakaian penghangat
yang belum sempat kutanggalkan
Melompat lagi ke dua bait terakhir, kita temukan FA yang:
Saat itu, aku menyadari
setiap orang menempuh jalannya sendiri
begitu pun aku
aku akhirnya meyakininya
sebagaimana imanku pada keindahan
Satu puisi ini sudah cukup meyakinkan saya bahwa FA adalah konseptor yang baik bagi buku puisinya, di mana ia, bagi saya berhasil melesapkan kata pengantar dengan sebuah puisi penutup. Tapi bisa jadi, puisi berjudul Asmayatra juga merupakan kredo bagi penyair kita ini.
Masuk lebih dalam ke puisi-puisi FA, saya menemukan beberapa perkara yang menarik, satu di antaranya adalah dunia anak-anak dan kenangan masa kecil, seperti salah satu tafsir saya atas puisi yang berjudul Seekor Burung Bisu.
Suridjah Niung, atau yang lebih kita kenal sebagai Ibu Sud pernah menciptakan lagu anak-anak yang berjudul Burung Kutilang, yang pastinya kita semua tahu lirik lagunya, saya salikan secara utuh:
di pucuk pohon cempaka
burung kutilang berbunyi
bersiul siul sepanjang hari
dengan tak jemu-jemu
mengangguk angguk sambil berseru
trili li… li…li….li..li..li..liii
sambil berloncat-loncatan
paruhnya slalu terbuka
menggeleng gelengkan kepalanya
menentang langit biru
trili li… li…li….li..li..li..liii
dan ini puisi Seekor Burung Bisu, saya salinkan juga secara utuh:
Seekor Burung Bisu
/1/
Subuh itu di puncak cemara
seekor burung termangu
seperti lupa lagu paginya
seolah linglung
mungkin setengah limbung
hanya sesekali digerakkan paruhnya
di ketinggian sana
tahun baru sudah menyala
dalam kembang aneka warna
semalam dirayakan kala pesta
/2/
wahai burung bermata remang
apa yang buatmu kesepian
sedihkah kau karena usia
bakal merontokkan sayap, angan
dan segala yang kau punya?
subuh ini aku sedang ingin berdoa
mari, biar kusebut untukmu salah satunya
walau selalu aku tak tahu
kapan mukjizat akan tiba
apakah setelah dentang
lonceng kuil yang pertama
khusyuk mantra pendeta
atau sesudah sebuah puisi tulus hati
usai dituliskan?
/3/
beberapa waktu
setelah tahun baru
akhirnya kutahu
burung itu
sudah lama bisu
setiap subuh
ia kembali ke tempat itu
terdiam di atas cemara
meraba kicauan ibunya di udara
Kini giliranku yang termangu
subuh ini menantinya
di bawah pohon itu
seekor burung
yang selalu hinggap
di atas mimpiku
Perhatikan bagian yang saya tebalkan. Silakan tafsir sendiri. Tapi, mari kita telisik. Apakah burung Ibu Sud, sama dengan burung FA? Bisa ya, bisa tidak. Setiap pembaca tentu memiliki tafsirnya sendiri atas sebuah puisi.
Tapi bagi saya, puisi Seekor Burung Bisu adalah tafsir lain atas lagu milik Ibu Sud; dengan suasana muram dan sedih yang berlaku sebagai anti-tesis riang gembira lirik lagu Ibu Sud. Bagi saya, puisi ini berhasil membangkitkan ingatan masa kecil saya atas lagu itu. Dan yang lebih kurang ajar, berhasil membuat saya nyeletuk dalam hati: “oh, jadi ini versi sedihnya lagu itu?”
Banyak puisi di buku ini yang saya temukan, berbicara tentang masa kecil, dengan imaji khas anak-anak. Saya tak akan mengulas lebih banyak karena saya yakin, pembaca yang nyasar ke tulisan saya ini akan lebih menikmati tulisan FA jika membacanya langsung, dan menemukan TEKA-TEKI-nya daripada membaca beberapa nukilan yang saya spoiler-kan, bukan?
Saya menemukan diksi-diksi yang menarik, diksi-diksi yang terkait dengan hewan, salah satunya burung, yang sudah sedikit saya ulas di atas. Tapi bagi saya, yang paling menarik adalah menemukan beberapa Kuda yang berlari-lompatan di puisi-puisi FA. Jika tak salah - maafkan saya jika salah - ada enam kata “kuda” yang muncul di sejumlah puisi FA. beberapa di antaranya sebagai berikut:
/lewat pukul empat
matahari bergegas lenyap
menyusul para kuda
kembali ke kandang/
/terdengar pinus rubuh
hening salju meluruh
suara kaki pejalan
kuda berlari
di hutan batin/
/Aku hanya menatap potret di atas meja
anak kuda
melompat dari pigura
berlarian di bawah nyala lampu
yang menerangi pertanyaanku/
Saya belum terpikirkan mengapa kuda. Mengapa bukan hewan lain - semisal kucing - yang lebih akrab dengan keseharian kita? Bukankah, kuda dan kucing sama-sama berkaki empat? Sama-sama bisa melompat? Bagi saya, ini masih jadi PR, semoga lewat tulisan-tulisan FA di masa mendatang, “kuda” ini bisa saya pecahkan, dan bukan hanya asumsi saya saja. Tentu saya punya asumsi apa atau siapakah kuda di puisi-puisi FA, tapi ini rahasia, dong. Hehehe.
Selain kuda, di sepanjang 33 puisi FA saya juga menemukan hewan-hewan lain di hamparan larik dan baitnya:
Lebah - Laba-laba - Kupu-kupu - Laron - Kumbang - Semut dari jenis serangga. Kuda dan Kelinci dari jenis mamalia. Burung dan Angsa dari jenis yang bisa terbang, juga Ikan - Kerang - Katak - Cumi yang dekat dengan air. Sekali lagi, maafkan saya jika ada yang terlewat.
Hewan-hewan itu, bagi saya adalah bagian dari imaji anak-anak yang barangkali ingin dimunculkan FA dalam puisi-puisinya. Bagaimana anak-anak sangat menyukai gambar-gambar hewan lewat berbagai media semisal buku gambar, buku cerita dan lagu, seperti seekor burung yang nangkring di atas cemara milik Ibu Sud tadi.
Terakhir. Terkait dengan Tanda Tanya ? yang menarik saya untuk menelusuri buku puisi ini, saya menemukan 11 tanda tanya - maafkan lagi jika salah - di sepanjang buku ini. Saya cukupkan sampai di sini saja, sebab, walaupun Tanda Tanya tak bisa menjawab pertanyaannya sendiri, Tanda Tanya juga tak meminta kepada kita untuk menjawab pertanyaannya.
Gilang Perdana
Gonjen, 2017