Avatar

Tabula Rasa

@hhardono / hhardono.tumblr.com

Kumpulan tulisan Hikmat Hardono
Avatar

Masa Itu

Mari membayangkan saat Soetomo dan beberapa kawan berdiskusi di ruang-ruang kelas di salah satu sudut sekolah kedokteran STOVIA di Jakarta masa itu, apakah mereka sungguh dapat memperkirakan bahwa suatu hari nanti, 37 tahun kemudian, Indonesia akan merdeka? Masa itu, 1908, konsep satu-nusa satu-bangsa dan satu-bahasa belum mewujud dan baru mulai terkonstruksi 20 tahun kemudian.

Masa itu ketika Boedi Oetomo berdiri, ujung capaian masih jauh untuk dapat dikonstruksi lebih konkrit. Masa itu kita belum bisa mendefinisikan batas bangsa apalagi indikator teknokratis lainnya, seperti Indeks Pembangunan Manusia, Angka Partisipasi Murni atau pendapatan perkapita.

Toh mereka mulai langkah kecilnya. Dan ketika pada masa berikutnya gerakan mereka meluas dan tumbuh berbagai organisasi lain, itu adalah awal dari suatu masa yang lain. Rintisan kecil di suatu periode masa, menjadi pijakan bagi sepenggal masa lain dalam menjadi pergerakan kebangsaan yang lebih kokoh. Penggalan masa-masa itu membentuk puncak-puncak yang kemudian ahli sejarah menamainya dalam momentum tertentu: Sumpah Pemuda, Proklamasi Kemerdekaan dan seterusnya.

Iya. Bila Soetomo dan kawan-kawan tahu bahwa rintisan mereka pada masa itu masih cukup jauh perjalanannya untuk mencapai kemajuan –bahkan juga sampai saat ini—apakah mereka akan tetap memulainya? Ataukah keberanian mereka sedemikian besar mengalahkan ketakutan atas kegagalan serta kerumitan atas teknokrasi c apaian-capaian sehingga menuntun mereka untuk memulai langkahnya pada masa itu. Dan bayangkan bila mereka terlalu penakut untuk merintis upaya sederhana itu, merintis pengajaran bahasa Belanda atau menerbitkan majalah dengan nama Guru Desa. Bayangkan bila tidak ada yang berani memulai pada masa itu, apa kabar bangsa kita masa ini?

Empat tahun lalu –masa itu-- saat kita semua memulai gerakan ini barangkali juga tidak pernah memikirkan jauh-jauh tentang sebuah masa pada hari-hari ini. Tidak pernah merumuskan sedemikian teknokratis tentang ‘kriteria daerah yang sustainable’ ketika mulai melangkahkan kaki menyusun gerakan ini. Kurang lebih yang terbayangkan pada masa itu adalah bahwa pada suatu masa kemajuan pendidikan adalah sah dimiliki oleh setiap daerah, setiap anak serta setiap ujung-ujung negeri ini di manapun titiknya.

Masa itu kita tidak seberani saat ini membayangkan tentang masa depan daerah-daerah penempatan Indonesia Mengajar. Dan masa ini, ketika kami telah menyusun berbagai indikator teknokratis tentang kemajuan daerah serta melihat hasilnya, kami sungguh bersyukur atas capaiannya. Kami sungguh bangga dan berani menatap langkah-langkah menyusun keberlanjutan di berbagai daerah itu; dan bahkan sebagian di antaranya telah siap untuk terbang lebih tinggi tanpa Pengajar Muda bertugas di daerahnya.

***

Terhitung mulai awal tahun ini, Indonesia Mengajar mulai masuk bekerja di tahun ke-5 khususnya di sebagian kabupaten tempat kami bertugas. Lima daerah memasuki tahun ke-5, sedangkan 12 daerah lain berbeda-beda, 4 dan 3 tahun. Dan menurut hasil evaluasi menggunakan alat Outcome Mapping serta tools lain, kami yakin bahwa 5 kabupaten awal akan siap tumbuh mandiri pada awal tahun 2016 nanti.

Dalam perspektif Indonesia Mengajar, panjang antara ‘masa itu’ ketika sebuah daerah mulai dirintis dan ‘masa ini’ ketika dinilai sebuah daerah siap untuk tumbuh mandiri secara berlanjut adalah 5 tahun. Sebenarnya pada periode awal, kami sempat menduga 2 tahun cukup tetapi ternyata situasinya jauh lebih menantang dari perkiraan awal.

Tentu kita belajar banyak sejauh ini. Kemajuan hanya bisa diraih ketika kita mulai melangkah. Masa ini –yaitu masa depan dilihat dari masa itu—hanya bisa diraih kalau kita berani memulai langkah seberapa rumit pun definisi teknokratis tentang capaian-capaiannya.

Terlebih 4 tahun terakhir kita juga belajar banyak dalam menarik garis hubung paling efektif antara merintis di suatu daerah baru hingga tersusunnya keberlanjutan di satu daerah. Selama ini kita telah menyusun pelahan-lahan kumpulan resep sederhana tentang bagaimana melakukan asesmen daerah, bagaimana memilih sekolah, memilih rumah tinggal, mengukur kemajuan serta berbagai pelajaran mengelola kemajuan pendidikan di suatu daerah.

Dan pada awal tahun depan, seiring dengan ditinggalkannya 5 kabupaten tersebut, Indonesia Mengajar memutuskan untuk memulai suatu ‘masa itu’ di beberapa daerah penempatan baru. Tepatnya kabupaten mana belum ditentukan dan sedang disusun rencana penentuannya. Bedanya kali ini kami membawa pengalaman panjang bekerja selama ini serta membawa seluruh pelajarannya sebagai modal bekerja di daerah-daerah baru ini.

Di daerah-daerah baru ini, masa ini adalah masa itu pada suatu hari nanti. Dan kita –kami bersama Anda-- berharap kita akan mensyukuri capaian-capaian kita bersama ini pada suatu masa nanti.

Avatar

Ribuan Esai dan Sebuah Sore

**Pengantar (pelatihan PM IX) ini ditulis sesaat setelah mengikuti sesi rapat persiapan manual-scoring yang menandai dimulainya penilaian esai untuk pendaftaran PM Angkatan ke-9. Penilaian esai adalah salah satu tahapan dalam seleksi PM, salah satu tahapan sebelum diundang mengikuti Direct Assessment. Seperti diketahui, rekrutmen Angkatan ke-9 dibuka 1 April sampai 15 Mei 2014.

Bayangkan, seleksi PM Angkatan ke-9. Sembilan?

Praktis di sore yang hampir sama, setiap enam bulan selama 4 tahun terakhir, proses manual scoring dilakukan bersama di Galuh. Sesungguhnya sistem digitalnya memungkinkan penilaian ini dilakukan di tempat asesor masing-masing namun seringkali kita melakukannya bersama-sama.

Dan saat kalian membaca pengantar ini, proses pendaftaran sedang berlangsung. Masih akan banyak lagi anak muda seperti kalian yang sedang bersiap mendaftar dan menulis esainya. Itu pula berarti bahwa antrian panjang masih akan terjadi: ribuan orang antri di belakang kalian hanya untuk maju, bergabung dalam barisan ini, ikut kerja bakti bagi kemajuan negeri ini.

*** Ribuan esai itu sebenarnya dipicu oleh sebuah pertanyaan sederhana: mengapa ingin jadi Pengajar Muda? Ketika seorang pendaftar membuka formulir online dan masuk tahapan menulis esai, pertama-tama ia akan bertemu dengan pertanyaan itu. Kata 'mengapa' memancing penjelasan sebab terjadinya sesuatu lalu bila itu menyangkut diri dan pilihan-pilihan maka terjadilah --semacam peristiwa aneh-- seorang manusia bertanya pada dirinya sendiri.

Pertanyaan itu menjadi semakin sulit dijawab ketika relasi transaksional biasa yang diajarkan dunia yang biasa tak bisa menjawabnya dengan mudah. Mengapa harus berkorban kesempatan pekerjaan lain dan malah memilih hidup sulit di tempat yang jauh? Mengapa memilih --bila pun ini dianggap sebagai-- bekerja di sini ketika pilihan-pilihan lain lebih nyaman dan berada dalam jalur karir yang lebih jelas? Mengapa memilih jalan-jalan sulit tetapi toh belum tentu dihargai dengan baik oleh orang-orang sekitarnya kita?

Tentu saja kita bisa berbohong. Tetapi untuk apa juga berbohong ketika itu bertanya pada diri sendiri? Apakah kita pikir diri kita tidak akan tahu kalau kita berbohong pada diri kita yang sama juga? Ataukah untuk apa berbohong untuk hal yang tidak memberikan kompensasi transaksional biasa? Bahkan tidak ada hadiah bagi siapapun yang menjawab jujur, bukan?

Dan membaca ribuan esai itu membuat saya membayangkan bagaimana kalian menuliskannya. Sebagian terpekur di pojok kamar dan menyusun pertanyaan-pertanyaan yang lebih mendetil tentang 'mengapa aku ingin jadi pengajar muda'. Yang lain menaruhnya dalam kepala dan membawanya kemana-mana: ketika sedang melamun dalam bis, ketika nongkrong di kantin atau ketika duduk dalam bioskop.

Hebatnya ketika sedang mencoba menjawab hal itu, seringkali kita terpaksa bertanya hal-hal lain lebih jauh. Hal-hal yang kalau ditanyakan oleh orang tua, seorang guru atau bahkan seorang sahabat jadi berasa amat menyebalkan: "...Bagaimana sih elu mau mengisi hidupmu? Bagaimana sih elu akan berarti? Gimana sih, Bro, elu akan mati? Apa sih yang akan kita kumpulkan dalam hidup ini?..."

Maka sebuah sore seperti ini selalu menyenangkan bagi saya. Selalu menarik membaca berbagai pengalaman yang tertulis dalam esai-esai itu. Esai itu diawali dengan pertanyaan di atas tetapi masih ada beberapa pertanyaan lain yang menggali lebih jauh pengalaman anak-anak muda ini. Dan lebih menyenangkan lagi membayangkan apa sih sebenarnya yang tergambar di luar teks tertulis di formulir aplikasi online ini.

Bayangkan imajinasi sederhana ini: di luar sana ribuan anak-anak muda sedang membawa pertanyaan-pertanyaan di atas dalam hidup mereka. Dan bayangkan pula bila jutaan anak-anak muda Indonesia --di balik kelakuan narsis foto selfie, gurauan pakai meme atau kelakuan nakal lain-- sebenarnya sedang menanggung pertanyaan yang amat mengganjal di kepala mereka: bagaimana gue akan berarti di hidup gue ini?

Jutaan alasan kemudian beredar di awan-awan di atas negeri kita. Seorang anak muda akan bicara dengan temannya tentang sedikit alasan itu; atau berdiskusi dengan orang tuanya tentang rencana-rencana hidupnya terkait alasan itu; dan interaksi seperti ini akan jadi hal biasa. Indonesia adalah negeri dimana adalah hal biasa seorang anak muda bertanya apa yang bisa dia lakukan bagi kemajuan sesamanya. Maka derap kemajuan negeri ini hanyalah konsekuensi dari gerak anak-anak muda ini karena gerimis yang jatuh memberi kesuburan pada tanah tempat pertanyaan-pertanyaan itu tumbuh lebih luas.

Dan berbahagialah mereka yang telah bertanya dan menemukan jawabannya. Dan rahasia terbesar kebahagiaan itu bukan karena ketika 'menjadi' --Pengajar Muda atau bentuk lain itu-- tetapi ketika kita 'memilih'. Kabarnya hidup jadi sungguh-sungguh ringan ketika dalam bisikan sederhana dan hanya pada diri sendiri seseorang telah bulat memilih untuk berarti.

*** Masih akan banyak ribuan esai yang entah ditulis untuk menjadi PM atau untuk menjadi pejuang di tempat lain. Hari-hari ini dan hari-hari depan, Indonesia adalah negeri dengan jutaan anak muda yang telah menuliskan esai dalam hati dan kepala mereka atas sebuah pertanyaan sederhana: dengan apa kau akan bermakna bagi sesamamu.

Lalu ketika jatuh jawaban atas pertanyaan itu maka jadilah itu gumpalan tekad di hati mereka dan kepalan cara di kepala. Bertemunya tekad dan cara membuat perjuangan menjadi mungkin untuk diawali.

Selamat datang di Pelatihan PM VIII. Dan karena inilah awal itu, pastilah ini awal yang akan terus kita syukuri.

(11 April 2014)

Avatar

Nyanyian Para Pembunuh Beruang

Syair Membunuh Beruang Untuk menjaga masa tumbuhmu, Tuhan menaruh beruang-beruang kecil di tubuhmu. Beruang itu menjagamu seperti cadar tipis, membuatmu tidak jatuh tapi tetap bisa memandang menembusnya. Menjagamu seperti ketuban, membuatmu bisa menendang tapi tidak terjengkang. Ia akan tumbuh mengikuti tumbuh besarmu. Beruang semakin besar seiring besarmu. Namun seringkali beruang membesar lebih besar dari tubuhmu. Besarnya akan sanggup menahanmu untuk bertarung, maju atau terbang tinggi. Ia mengekang tanganmu untuk mengayun, ia bisa menyanderamu untuk maju ke parade, dan ia bisa memegangi sayapmu untuk melompat terbang tinggi. Beruang tak mungkin tumbuh mengecil. Ia hanya bisa mati. Dan mati oleh karena dimatikan. Sekali ia mati maka kau bisa terbang jauh tinggi. Sekali ia musnah maka kau bisa melompat lebih jauh. Maka tiap masa kita menjadi besar, beruang besar harus dimusnahkan. Punahkan ia, terbanglah tinggi. Dan berjalanlah dengan sepenuh keyakinan karena engkau telah menggenggam arwah beruang di tanganmu. ditulis dan dibacakan di ciawi, 8 nov 2010 --- --- ---

Nyanyian Para Pembunuh Beruang Tidak ada beruang lucu di kampungku di pinggir Semarang. Panda yang manis atau beruang Winnie yang lucu –kesukaan anakku—tidak pernah hadir atau sekedar jadi picu dalam imajinasiku saatku kecil. Satu-satunya beruang yang kukenal adalah beruang yang dibunuh oleh Old Shatterhand, beruang grizzly. Besar, perkasa dan mulutnya amat lebar, demikian kira-kira bayanganku dari membaca buku Karl May. Mohon maaf, aku mengenal Karl May lebih dahulu dari mengenal Winnie the Pooh. Berhati-hatilah selalu. Beruang grizzly bisa saja muncul dari balik dua pohon mangga besar di pinggir kali di belakang rumahku. Atau bisa menyergap dari balik kebun kosong dengan pohon jambu merah tunggal di pojok lain.  Beruang jadi sebuah konsep ‘takut’ pada masa kecilku. Kala lain, sosok menakutkan itu dapat berubah wujud jadi –apa yang kemudian ditularkan dari pergosipan di kalangan anak-anak masa itu-- gendruwo.  Dan sekali mengenal konsep takut lalu semua hal bisa jadi menakutkan. Tiba-tiba banyak sekali beruang lahir dan membesar di tubuh kita. Semua jadi bisa menakutkan: masuk kelas, bicara di depan, naik pohon tinggi, menyeberang sungai, lewat di depan anjing atau sekedar lewat jembatan di malam sepulang dari mushola di ujung kampung belakang rumah. Tuhan memang menanam rasa takut dalam tubuh masa kecil kita. Seolah-olah seperti beruang kecil yang ditanam di badan kita. Ia tumbuh bersama kita tumbuh. Dan rasa takut sebenarnya sehat, ia menjaga masa kecil kita dilalui dengan –yah kira-kira—relatif aman. Anak kecil harus dilengkapi dengan rasa takut untuk tidak memegang api sembarangan, tidak memegang pisau sekenanya atau tidak menginjak ekor anjing dengan riang gembira. Ada bahaya dan ada resiko, kita pantas takut untuk beberapa hal di dunia ini. Sayangnya seringkali beruang ketakutan itu tumbuh ikut membesar bersama kita. Tumbuh sama besar dengan tubuh dan jiwa kita. Dan seringkali bisa lebih besar dari tubuh kita sendiri. Dan tiba-tiba kita dihinggapi banyak sekali ketakutan dengan banyak beruang tumbuh besar dalam diri kita. Cilakanya kita lupa bahwa beruang itu adalah mitos dalam diri kita. Ia konsep ketakutan yang dibangun dalam diri kita. Ya itu penting untuk menjaga keselamatan diri tetapi ia tetap merupakan konsep takut yang harusnya dapat kita kendalikan. Takut itu wajar tetapi mitos takut yang besar dan mengganggu langkah kita itu yang harus dienyahkan. Di mataku –sambil menahan iri hati pada kalian-- satu tahun di daerah itulah saat terbaik untuk membunuh beruang mitos ketakutan dalam diri kita. Membuang atau tepatnya mengendalikan konsep takut –menurut gw sih-- hanya bisa dilakukan kalau kita mengalami dan melaluinya. Kita seumur hidup akan takut berkelahi kalau kita belum pernah tau rasanya kepukul dan memukul. Kita akan takut main ke rumah pujaan dan ngomong jatuh cinta kalau kita gak pernah nabrak, ngomong dengan terbata-bata sekalipun dan mungkin ditolak dengan keji. Kamu tetap akan takut bicara di depan calon mertua kalau kamu gak menguatkan hati keras-keras dan memaksa lidah mengucapkan kata-kata pertama dari mulut kita. Kalian akan selamanya punya beruang kalau kalian belum pernah membunuhnya. Kalian akan tunduk pada beruangselama kita tidak pernah menunjukkan pada beruang kalau kita punya bau dan auman untuk menaklukkan mereka. Dan di daerah kalian akan mengalami semua kerumitan yang mungkin paling buruk. Tidak hanya soal geografis tetapi yang lebih menantang soal kemasyarakatan. Ada orang yang mungkin tidak senang, ada hambatan sosiologis, prasangka yang berlebihan, salah omong, dst. Belum terkait tugas mengajar di daerah. Pasti ada ketegangan soal jam mengajar, manajemen sekolah, prasangka soal BOS, etika soal penilaian ujian dan masih banyak lagi. Hebatnya hidup memang sesulit itu. Dan beruang yang mengganggu juga mungkin nanti akan sebesar itu. Beruang cukup besar untuk menakuti kita untuk bicara dengan guru lain soal jam mengajar, menakuti untuk berani menyapa tokoh lokal, menakuti kita saat melobi pejabat kabupaten, menakuti kita untuk mengingatkan teman soal yang sensitif atau menakuti dalam mempersuasi kepala sekolah soal BOS. Dan ribuan pengalaman ini akan menyediakan gangguan ketakutan yang amat banyak. Tiba-tiba beruang berlomba-lomba untuk tumbuh besar di tubuh kita. Seperti kata-kata dalam puisi di atas maka ‘bunuhlah’. Bunuhlah beruang itu selagi engkau di sana. Sendirian, lakukan itu. Dan hirup keyakinan diri setelah menaklukkan ketakutan dan mitos-mitos pengganggu itu. Taklukkan beruang saat ini dan penuhi dirimu dengan keyakinan seorang veteran pembunuh beruang. Keberanian hanya lahir kalau ketakutan sudah kita kalahkan. Dan keberanian membawa kita lari, terbang dan meloncat menggapai bintang. Dan pulanglah dengan penuh keyakinan diri tetapi dengan kerendahan hati seperti pembunuh beruang. Ia sadar dirinya pernah membunuh beruang tetapi juga tahu hanya arwah beruang yang bisa dipamerkannya. Dan tak ada orang bisa melihat arwah di tangannya. Yakin dan percaya diri dengan kemampuan diri kita. Kemampuan yang disertifikasi dengan pengalaman membunuh beruang. Disertifikasi dengan satu tahun mengalami yang paling sulit di daerah sulit. Pengalaman satu tahun di daerah, pengalaman membunuh ketakutan dan keraguan. Pengalaman mengalahkan mitos-mitos besar yang mengganggu mimpi-mimpi kita.  Saya tunggu kalian di sini November nanti. Dan bila tiba saat berkumpul, mari nyanyikan lagu gembira milik para pembunuh beruang. Ayo dendangkan sambil berkeliling seperti di sore-sore di lapangan MTC saat itu: “..papa tome tome papa, papa tome tome papa...”

(Galuh, 2 februari 2011)

Avatar

Soal England’s Team dan Soal Berkelahi

Sampai sebelum kekalahan England dari Germany pada Piala Dunia 2010, kupikir sepak bola adalah urusan serius. Bagaimana tidak. Guru-guruku mengajari untuk membela kebenaran dan keadilan. Semua film di TVRI waktu itu juga bercerita bahwa yang benar pasti akan menang –dalam sebuah seri film sore sepanjang maksimal 30 menit. Apalagi Si Unyil.

Tiba-tiba seorang pria gempal menyundul bola masuk gawang dengan tangannya. Belakangan aku tahu dia menyebutnya sebagai ‘tangan Tuhan’.

Maka bagi anak 12an tahun pada Piala Dunia 1986 itu, sepakbola bukanlah sekedar tontonan. Ia adalah sesuatu yang serius. Serius sekali. Akhir cerita Piala Dunia 1986 itu bukan seperti cerita yang kudengar dari guruku, dari dongeng atau juga dari Si Unyil; bahwa kebenaran akan selalu menang.

Sejak itu aku tidak terima. Kebenaran harus ditegakkan. Keadilan harus dituntut. Sampai ujung langit sekalipun.

Dan dimulailah perjuangan panjangku.

***

Inilah yang kumaksud perjuangan panjang itu. Tiap Piala Dunia, bahkan akhirnya juga merembet ke Piala Eropa dan bahkan Argentina sudah tanpa Maradona, aku memperjuangkan England jadi juara. Apa itu berjuang bagi England? Mengumumkan terbuka jauh sebelum turnamen dimulai bahwa aku menjagokan England eh Inggris, siap-siap bikin kopi sebelum tontonan dimulai, memberi angka taruhan fantastis untuk kemenangan Inggris, nyari kos-kosan tempat nonton bareng atau membawa suporter ke kota lain untuk nonton bareng di kontrakan teman.

Semua orang ganti jagoan saat sebuah turnamen baru dimulai. Jagoku tetap sama, tim yang harus dibela sejak dicurangi Maradona: seragam hitam putih dengan lambang yang kemudian kutahu itu artinya 'the three lions'. Mau Piala Eropa atau Piala Dunia, jagonya sama. Sekedar info buat yang tidak tahu banyak sepakbola, Piala Dunia dan Piala Eropa diselenggarakan 4 tahun sekali. Waktunya berselisih 2 tahun sehingga tiap dua tahun aku punya –sebut saja—agenda perjuangan.

1988? Baiklah Belanda keren. 1990? Mungkin tidak beruntung. 1992? 1994? 1996? Uff.. memang ‘lakon menang keri’, kata orang Jawa. Artinya jagoan memang menangnya di akhir acara. Tetapi kapan itu ya menangnya, kapan kebenaran akhirnya dimenangkan dan keadilan ditegakkan? Halo, aku tidak boleh menyerah. Ini perjuangan dan Tuhan pasti tidak suka tangannya dicatut oleh Maradona. Yang Mahabesar pasti berpihak padaku.

Sampai Piala Dunia 2010. Inggris kalah sama Jerman. Tiba-tiba si anak kecil tadi jadi mikir, kenapa kekalahan ini menyebalkan sekali? Kalaupun kalah, aku toh bisa nunggu 2 tahun lagi seperti biasanya. Tetapi kali ini mereka bertarung seperti tanpa jiwa dan tanpa kehendak untuk maju sampai titik terakhir. Dulu Peter Shilton, Chris Waddle dan Gary Lineker gak segampang itu patah semangat. Sekarang tim ini hanya main-main di turnamen ini, gak berkelahi bahkan sejak di penyisihan. **kalau yang mengikuti PD 2010 pasti tahu di penyisihan Inggris tertatih-tatih dan beruntung bisa lolos ke babak kedua.

Dan jagoanku mati sudah. Jagoan yang tercipta pada umur 12 tahun, punah dan hanya punah karena jagoannya tampak tidak sungguh-sungguh ingin dan mau berkelahi. Sekedar kalah aku bisa maafkan dan tunggu bersama 2 tahun lagi. Tetapi kalau dia gak serius, masak gue juga harus serius sih coyy..?

***

Jagoanku gak serius berkelahi dan aku patah arang. Di luar tontonan bola di layar kaca, ada ribuan hal yang jadi jagoan tiap orang di hidup sehari-hari. Tangan Tuhan, UN, Bibit-Candra, subsidi BBM dan banyak hal lain adalah hal-hal yang kita bisa perdebatkan panjang: siapa seharusnya jagoan yang harus menang? Lalu apakah artinya jagoan kalah atau menang di dunia saling silang sengkelang ideogis seperti ini? Kalah atau menang penting tetapi bukan itu yang paling mengganggu.

Maka sesungguhnya berkelahi selalu urusan serius. Satu kali kita tidak berjuang dengan sungguh-sungguh maka ia mengganggu yang lain. Mungkin juga bagi anak kecil umur 12 tahun yang menyaksikanmu sebagai jagoan mereka. Ketidaksungguhan berkelahi akan menular ke yang lain, ke sesama teman, siswa atau rekan kerja kita. Atau mungkin juga bagi seseorang yang sebenarnya sedang menunggumu berjuang lebih keras lagi mendapatkannya.

Dan pilihan satu-satunya tinggal berkelahi dengan sungguh-sungguh. Karena –kata teman lamaku—berkelahi bukan soal menang kalah. Dalam kesulitannya menemukan kata-kata ia berkata, berkelahi ya berkelahi saja. Kata-kata itu baru kemudian kupahami bertahun-tahun kemudian. Tidak perlu berpikir terlalu jauh bahwa ada alasan filosofis dan rumit di balik kata-kata itu. Hanya berkelahi (atau berjuang) adalah urusan meluruskan otot dan menegakkan jiwa. Otot harus lurus, jiwa harus tetap tegak. Mungkin kalah, mungkin menang.

Selamat sore dari Galuh. Luruskan ototmu, tegakkan jiwamu. Ganbaru!

(20 April 2012)

Avatar

Sebuah Bukit dan Sepotong Kartu

Di kampungku di pinggir Semarang, tempat para beruang dilahirkan (mungkin ingat ceritaku soal pembunuh beruang), ada satu bukit kecil di belakang rumah. Sekalipun kecil, buatku yang masih kecil ia tampak menjulang amat tinggi. Dari atasnya kita bisa melihat laut lepas jauh di utara, di seberang sawah dan petak-petak tambak di latar depannya. Ada satu garis memanjang melintang dari barat ke timur yang bila beruntung kita bisa melihat kereta senja, kereta fajar atau kereta barang melintas di atasnya. Berdiri di bawah pohon besar di puncak bukit itu di masa itu adalah saat-saat pertama aku menemukan cakrawala.

Turun dari bukit kita bisa menempuh beberapa jalan. Salah satu rute terbaik yang pernah ditemukan peradaban kecil kami adalah melalui punggung belakang, jauh ke menjulur ke barat dan tiba di bawah bukit yang rindang. Di bawah kerindangan pohon-pohon beringin karet –aku tidak tahu nama persisnya, ia besar seperti beringin dengan daun lebar namun punya getah seperti karet, terletak mata air yang kemudian ditampung dan disalurkan lewat pipa ke beberapa titik di kampung. Dan ini adalah salah satu tujuan 'rendezvous' terbaik kami, apalagi di bulan puasa.

Maka di bulan puasa, naik ke bukit pasca subuh di masjid adalah satu satu menu dasar kami. Lalu bila siang mulai merambat naik, melalui rute terbaik itu kami turun ke lokasi rahasia kami, yaitu –orang menyebutnya Tuk-- tempat mata air tadi. Selain sekedar mandi atau tiduran di atas bak penampung air, kadangkala kami membuat bola karet dari getahnya. Naik pohon, mengambil daunnya lalu merancah beberapa pokoknya. Getah yang keluar lalu dioleskan di daun itu, lalu kami tebar saja ke bawah. Dari puluhan daun itu lalu kita buat gulungan getah yang semakin lama menjadi sebesar bola tenis atau kadangkala bola sepak. Sesiangan kami sanggup melakukan itu sampai tiba waktu dhuhur atau bahkan asar. **gak usah tanya sholatnya di mana, ntar kalau kuterangin jadi ilang pahalanya karena riya…

*** Jadilah rumus sederhana, bagiku 'bulan puasa' dan 'libur' dikalikan 'masa anak-anak' menjadi pengalaman tak terlupakan. Ia menjelma jadi 'folder' memori khusus dalam otak kita. Karena jadi folder tersendiri maka foto-foto bisa ditayangkan dalam seri 'slideshow' dan seolah kita sedang menyaksikan film tetapi dengan ingatan bau, tekstur dan rasa yang tetap sama seperti ketika kita melaluinya di masa itu.

Dan jutaan anak Indonesia tampaknya punya 'folder' demikian. Hebatnya sebagian dari mereka ditemani oleh teman-teman Pengajar Muda yang tetap bertugas masa puasa dan Lebaran ini. Selalu setiap tahun sebagian besar dari para pengajar muda yang sedang bertugas, tidak pulang di masa-masa seperti ini. Dan berbahagialah karena kalian semua yang sedang bertugas di sana akan masuk dalam 'folder' memori khusus di kepala anak-anak di sana. Ditambah lagi bulan kemerdekaan, 'folder' itu tampaknya akan semakin tebal di benak mereka.

Di Galuh sendiri sebagian besar akan menikmati libur Lebaran dengan waktu yang sempit karena terhimpit masa pelatihan angkatan berikutnya, kunjungan daerah serta berbagai rencana lain. Walau demikian selalu tidak sabar untuk melalui Lebaran sebentar bersama keluarga lalu menyambut angkatan berikutnya yang akan hadir ke kantor kita awal September nanti, lalu melepas mereka bertugas dan menyambut kalian yang pulang.

Maka di tengah Jakarta yang mulai sepi ini, di tengah gangguan 'folder' memori masa kecil serta temaram mendung siang ini, ijinkan aku melantunkan doa semoga semuanya menikmati puasa ini, Lebaran ini dan sekaligus perayaan kemerdekaan ini dengan penuh kebaktian pada Allah dan penuh keceriaan pada sesama. Dan cerita ini anggaplah seperti sepotong kartu yang kukirim secara instan ke benak kalian: Selamat Idul Fitri, salam untuk seluruh keluarga.

Hikmat Hardono

(16 Agustus 2012)

Avatar

Bisikan Pak Muhajir

*ditulis khusus untuk para Pengajar Muda yang sadar atau tidak sedang menggores dalam di benak para siswanya. Selamat #hariguru.

Setiap anak –hmmm kayaknya demikian—pasti punya guru yang berkesan di memorinya. Ia menggores dalam tetapi seperti berbisik pelan di kepala kita. Berbisik pelan? Iya, coba kalau ditanya soal idola maka tampaknya nama guru paling berkesan itu tidak akan muncul di sela-sela tokoh-tokoh besar dunia dan Indonesia. Tetapi ia menggores dalam karena ia seperti memandu alam bawah sadar kita melalui segala –sebut saja—carut marut kehidupan.

Aku juga. Namanya Pak Muhajir.

***

Praktis setiap sore, sejak sebelum Maghrib sampai setelah Isya, anak-anak di kampungku menghabiskan waktunya di musholla –belakangan menjadi masjid-- Darussalam. Termasuk aku, si anak paling –percaya saja deh-- alim di sana.

Semuanya indah diceritakan kecuali kenyataan sederhana ini: bahwa aku tinggal di tepi jalan raya dan musholla itu terletak di ujung selatan kampung, bahwa di belakang rumahku ada kali kecil, kebun kosong dan dua pohon mangga tua, bahwa arah jalanku menyediakan aku hanya satu pilihan, yaitu berjalan sendirian tanpa teman-teman yang tinggal di bagian lain kampung ini.

Dan dimulailah hari-hari beratku setiap sore. Berangkat di sorenya mungkin tidak begitu menantang. Matahari masih bersinar dan bilah-bilah sinarnya yang jatuh di depan kita seolah mengirim pesan bahwa para jin gendruwo belum keluar dari sarang mereka. Tetapi pulangnya adalah tantangan yang berbeda. Aku harus melewati satu ruas jalan sepanjang 100an meter dengan kali kecil, dua pohon mangga besar dan –bayanganku waktu itu—beberapa ‘sesuatu’ yang bersembunyi di baliknya.

Mendengar pohon mangga dengan imajinasi buah mangga yang kuning dan manis mungkin tak akan pernah menjadi amat menakutkan bila kita tidak pernah menyaksikan dan meraba pohon mangga tua. Kulitnya menebal, membentuk keping kerak hitam legam yang pecah-pecah di sekujur batang besarnya. Di beberapa batangnya ada selajur panjang tumbuhan parasit yang dengan akar-akar kecilnya seperti ular berkaki yang sedang merayap naik. Dan pohon mangga yang tumbuh alami –bukan tanaman cangkok—umumnya bisa tumbuh amat tinggi dengan rimbun daun yang lebat. Dahan terendahnya yang diperlukan anak kecil untuk diraih dan memanjat umumnya jauh lebih tinggi dari anak paling tinggi sekalipun. Dan cobalah bayangkan kita berdiri di bawah besar pohon itu dan menatapnya ke atas apalagi di malam hari maka bahkan rembulan pun kesulitan menemukan celah untuk mengirim bilah sinarnya untuk jatuh di tanah di bawah pohon ini.

Pun sesungguhnya aku juga tidak pernah menerima paksaan dari siapapun untuk ke musholla. Ibu-Bapakku pandai mengaji yang juga bisa mengajarku mengaji di rumah. Bahkan pelajaran di rumah seringkali lebih keras dan –bagaimana mengatakannya—tegas daripada di musholla.

Tetapi membayangkan keceriaan dan keramaian di musholla maka anak mana yang tidak ingin bergabung di tempat itu. Musholla di sore hari adalah pusat peradaban di kampungku. Bila kalian baca cerita-cerita lainku –tentang beruang dan juga bukit kecil -- maka selain yang sudah kuceritakan bahwa musholla itu ada di bawah bukit kecil, terletak cukup dekat dengan mata air besar di kampung namun ada satu lagi yang tersisa untuk diceritakan: di bawahnya ada satu lapangan bola yang cukup besar. Maka lengkaplah sudah pusat peradaban ini buat anak-anak di kampungku.

Hari-hari beratku itu mulai berakhir ketika suatu hari guru agamaku di sekolah mengajarkan hal sederhana di kelas. Tentang takhyul. Bahwa sebagai muslim kita harus percaya hal ghaib tetapi Allah menciptakan kita sebagai makhluk terbaik. Terbaik adalah sekalipun tetap percaya bahwa jin itu ada tetapi kita pasti lebih baik dari mereka. Aku memaknainya lebih sederhana: kita pasti bisa menang berkelahi melawan mereka.

Apakah kamu pikir sekali dengar pelajaran itu lalu jin dan gendruwo terbang ke tempat nun jauh dari kampungku? Tentu tidak. Seringkali setiap mau melewati ruas jalan itu aku berhenti di pertigaan terakhir, menata nafas dan merumuskan rencana pertempuran malam itu. Apakah akan berlari kencang, jalan sambil menutup mata dan juga mau melafalkan ayat Quran yang mana. Seringkali itu tidak berhasil karena toh ketakutan tetap membuatku mengacaukan banyak hal, lari tak tentu arah, tersandung sana-sini atau terlalu takut untuk melalui sendiri sampai menunggu orang lain lewat yang itu bisa beberapa saat lama menunggunya.

Tetapi pelahan-lahan, bisikan sederhana selalu datang padaku. Kita adalah makhluk terbaik yang diciptakan Tuhan. Iya, pelajaran sederhana dari Pak Muhajir, guru agama itu. Kata-kata itu selalu datang seperti bisikan di kepalaku. Berbeda dengan film-film modern yang menampilkan wajah orang ketika ada seorang tokoh sakti membisikkan sesuatu di telinga seorang muridnya, maka tidak demikian dengan kasusku. Tak terbayang wajahnya ketika ada bisikan itu tetapi jelas kata-katanya menggores dalam di kepalaku. Aku bahkan tidak mengingat namanya ketika mendengar bisikan itu sampai bertahun-tahun kemudian aku menyadari bahwa itu adalah pelajaran dari guruku itu.

Bertahun-tahun kemudian maka punahlah sudah para gendruwo itu. Mereka tidak sepenuhnya musnah tetapi tepatnya tidak kupedulikan lagi. Satu persatu sudah kukalahkan, kutundukkan lalu kukirim dan kupenjara di suatu tempat lain yang jauh. Dan setiap aku berjalan ke tempat-tempat aneh dan baru, bisikan itu selalu datang dan menguatkanku seperti saat aku berhenti di pertigaan terakhir sebelum melewati ruas jalan itu.

Maka setiap sampai pertigaaan manapun dan ruas jalan di depan tampak menakutkan, aku selalu membuka pelajaran lama itu. Bahwa kita adalah makhluk terbaik yang diciptakan Tuhan. Di ujung keraguan, aku selalu mengulangi bisikan itu: aku harus sampai. Dan aku juga harus pulang.

***

Suatu hari, aku masih sekolah, ada kabar dari guru-guru. Pak Muhajir meninggal dunia di kampungnya, di Mirit, Kebumen. Ia sedang pulang ke desanya, sedang tidur lalu jatuh dan kemudian meninggal. Hanya itu cerita yang kudapat.

Tidak ada takziah. Jauh sekali tempatnya, dan toh terima kabar cukup terlambat. Kami semua hanya berdoa. Dan lihat kan, meninggal pun dia hanya berbisik pelan.

Melalui angin aku hanya bisa berbisik: hai, Muhajir, guruku. Damailah engkau di sana.

Jakarta, Hari Guru 2012. *Muhajir adalah guru di SDN Tugurejo 1, Semarang. Asalnya dari Mirit di Kebumen. Lulusan sekolah PGA, Pendidikan Guru Agama. Beliau meninggal suatu hari –kalau tidak salah—pada masa libur sekolah. Kami menerima kabar cukup terlambat dan jarak dari tempat kami ke rumah asalnya juga cukup jauh, membutuhkan 4 jam perjalanan darat.

(25 November 2012)

Avatar

Salam dari Galuh untuk Panitia KI

Halo.

Lalu apakah ketika kita hadir dan menjelaskan profesi kita maka anak-anak itu akan secara ajaib mencapai cita-citanya di kemudian hari? Lalu bahkan ketika mereka jadi pantang menyerah dan berjuang terus mencapai cita-citanya maka sungguh-sungguh akan benar mereka dapat menggenggam mimpi mereka itu?

Tidak pula selalu demikian. Hidup ternyata bukanlah jalan linear dengan persamaan dan variabel yang jelas. Seseorang dapat mencapai mimpi, seorang lain mendapat mimpi orang lain dan ada pula yang tak dapat menggapai mimpi apapun.

Suatu kali Rendra –lagi-lagi puisi ini— menulis ‘...delapan juta kanak-kanak  menghadapi satu jalan panjang, tanpa pilihan, tanpa pepohonan, tanpa dangau persinggahan, tanpa ada bayangan ujungnya..’. Dan sesungguhnya yang berjalan berduyun-duyun di jalan panjang itu –jumlahnya saat ini lebih dari 49 juta orang-- adalah anak-anak yang mengisi negeri ini di masa depan. Lapis-lapis yang kita lahirkan tempo hari dan sekarang sedang berbaris di jalan panjang ini.

Lalu apakah kita pantas berdiam diri membiarkan mereka berjalan tanpa dangau persinggahan? Tanpa pepohonan? Tanpa punya bayangan atas ujungnya?

Hidup memang tidak linear. Anak-anak itu pun punya hak penuh untuk menentukan sejarahnya sendiri di masa depan. Maka ini pastilah bukan soal apakah mereka akan mencapai mimpi. Ini soal perjuangannya. Ini soal menghadapi jalan panjang. Ini soal menghadapinya.

Dan sembari membayangkan kerumitan yang akan anak-anak itu hadapi suatu hari nanti, mari nikmati seluruh kerumitan yang kita hadapi hari-hari ini untuk menyiapkan satu hari sederhana dalam hidup mereka. Satu hari dalam dangau persinggahan yang kita siapkan. Satu hari ketika kita bersuka ria bersama mereka di bawah pepohonan sebelum mereka harus berjalan lagi ke depan. Maka sesungguhnya ini kerumitan yang tak ada artinya karena akan sanggup membayarkan bagi mereka cicilan ketangguhan menghadapi jalan panjang di depan.

Selamat terus bekerja, teman-teman.

Salam dari Galuh, markas Indonesia Mengajar, untuk semua panitia KI di manapun berada.

Hikmat Hardono

(1 April 2014)

Avatar

Sebuah Sore di Tanjung Harapan

Terapung-apung di lepas pantai pesisir bagian selatan Propinsi Kaltim, rombongan kami tertahan untuk mencari dan menemukan sebuah desa kecil bernama Labuangkallo. Kali ini, saya dan teman-teman Indonesia Mengajar berkunjung ke Patrya Pratama, Pengajar Muda yang bertugas di SDN 002 Tanjung Harapan di Labuangkallo, Kecamatan Tanjung Harapan, Kabupaten Paser. Pelan-pelan speedboat yang dipinjamkan Petrosea menyusuri pesisir itu sambil menebak-nebak di manakah tepatnya desa itu. Dari laut terbuka, pesisir itu tampak sama: lebat oleh hutan bakaunya. Bicara sebentar di telepon dengan Patrya dan dengan agak bodoh saya bertanya: berapa koordinat GPS-nya, sebuah lontaran yang saya sesalkan kemudian.

Pelan-pelan akhirnya kami menemukan sebuah dermaga kecil dengan latar belakang landmark of the village: kubah masjid dengan warna perak. Ya, itu penanda yang jadi panduan kami menemukan desa ini. Dari atas pucuk bakau, yang pertama terlihat adalah kubah masjid dan kemudian atap seng rumah-rumah penduduk di sana. Lalu tampaklah si Pat, dan benar itu adalah Labuangkallo.

Sesorean kami di sana, mengunjungi Patrya bersama anak-anak di sana. Kami semua bertemu para orang tua, jajaran pimpinan desa, tokoh masyarakat, guru serta juga orang tua Patrya di sana. Sepanjang jalan dari papan kayu di atas air payau itu dan sepanjang cengkerama kami bersama masyarakat di sana saya hanya menyaksikan satu hal: anak-anak dan orang tua yang bersyukur atas kehadiran Patrya di sana. Dalam banyak kesempatan mereka meminta agar Pat tetap tinggal dan kami tetap melanjutkan program di sana.

Sepotong sore yang lain kami habiskan di Selengot. 15 menit perjalanan dengan speedboat dari Labuangkallo, di dermaga kecil yang lain lagi kami disambut oleh Mansyur Ridlo dengan segerombolan anak-anak. Kami juga bermain-main di sekolah PM, dalam hal ini SDN 005 Tanjung Harapan, seperti juga yang kami lakukan di Labuangkallo. Dan kesannya sama: mereka ceria dan bahagia dengan kehadiran Mansyur namun di sisi lain sedih karena dia akan pulang beberapa hari berikutnya. Dan malam itu kami bermalam di desa lain, Tanjung Aru, masih di kecamatan yang sama: Tanjung Harapan. Bertemu Ridwan dan Gilang di sana yang bertugas di SDN 001 Tanjung Aru. Sempat berjalan-jalan sebentar dan bertemu orang tua angkat mereka serta juga di sana.

Esok harinya kami bertemu dengan siswa, guru, kepala sekolah dan orang tua di sana. Seorang Bapak bercerita tentang anaknya yang tidak naik kelas di sekolah lain selama 2 tahun dan sekarang diajar PM malah jadi juara 4 di kelasnya. Seorang Bapak lain bersyukur karena sekarang masjid jadi ramai oleh anak-anak karena inisiatif Gilang dan Ridwan di luar jam sekolah untuk mereka. Guru SMP di sana meminta pada kami agar mengirimkan juga PM khusus untuk mengajar di sekolahnya karena bahkan saat ini pun amat terbantu dengan berbagai bimbingan belajar yang diselenggarakan Ridwan dan Gilang untuk anak-anak SMP di luar tugasnya sebagai guru di SD di sana. Mereka senang dan bahagia seperti kesan pada Pengajar Muda yang ada di desa tetangganya.

*** Sejak di pelatihan sebelum para PM berangkat, selalu ditekankan bahwa ini bukan tentang PM, bukan tentang IM dan sejatinya ini tentang siswa, guru, kepala sekolah, orang tua dan masyarakat di sana. Dan memang, Indonesia Mengajar percaya sungguh pada hal ini: bahwa pahlawan sejati kemajuan pendidikan adalah masyarakat itu sendiri.

IM percaya pada konsep entitas perilaku. Intinya ekosistem pendidikan di suatu tempat adalah penentu kemajuan pendidikan di sebuah wilayah, dalam hal ini Paser. Ekosistem itu berarti ada siswa, guru, kepala sekolah, orang tua murid, masyarakat lain serta juga Pemerintah Kabupaten Paser. Setiap pelaku harus ikut serta berubah dan mendukung serta semua pihak ikut bertanggung jawab dalam perannya masing-masing. Kita tidak bisa mengandalkan hanya beberapa gelintir orang, setiap pihak harus saling menguatkan satu sama lain.

PM bisa datang dan pergi. Mereka yang sekarang bertugas di Paser, 11 orang PM di sana, akan segera purna tugas pada 10 November dan akan digantikan oleh PM baru yang akan tiba pada 3 November 2011. Benar bahwa IM akan bekerja 5 tahun di Paser tetapi toh PM juga akan pergi suatu hari nanti. Dan yang mengelola dan menjadi aktor pengembang kemajuan pada sejatinya tetap masyarakat itu sendiri.

PM karenanya hadir untuk mendorong dan memfasilitasi tumbuhnya ekosistem yang baik. Mereka merangsang masyarakat untuk aktif dan saling menguatkan. Siswa didorong untuk lebih rajin dan aktif, guru didorong untuk terus belajar, kepala sekolah difasilitasi untuk terus maju, orang tua diyakinkan untuk semakin perhatian pada anaknya dan Pemkab diajak untuk bekerja lebih keras lagi. PM hadir untuk memberi keyakinan bahwa tiap anak Paser adalah cerdas dan kita –sejak saat mereka lahir—punya tanggung jawab bersama untuk mendidik dan mengembangkan potensi mereka itu.

Karena itu IM tidak mengirim uang dan menebar fasilitas di tempat kami bertugas. Kami hanya mengirim anak-anak muda yang –percayalah—bila kita mendidik dengan baik maka anak-anak kita di Paser akan bisa sama atau bahkan melampaui para Pengajar Muda ini saat mereka dewasa nanti. Kami hanya datang sekedarnya untuk belajar pada Anda semua, dan kita bisa sama bekerja untuk membangun kemajuan pendidikan bersama.

*** Saat terik sore jatuh di Tanjung Harapan, saat pelahan-lahan kapal kami meninggalkan Gilang dan Ridwan di dermaga kecil itu, kami percaya harapan memang telah ada sejak dulu di Paser dan akan terus tumbuh di sana. Pengajar Muda yang telah maupun akan bertugas hanya membantu memupuknya. Siswa, guru, siswa, kepala sekolah, orang tua dan Pemkab Paserlah pahlawan sesungguhnya kemajuan pendidikan di tempat kita tercinta ini. Dan bersama para Pengajar Muda, baik yang baru maupun yang lama, masyarakat Paser pasti bisa membangun dan memupuk harapan bagi kemajuan pendidikan di sana.

Galuh, 31 Oktober 2011 **tulisan diminta khusus Zaki untuk dimuat di Pelita Paser. Mohon izin Zaki Laili Khusna untuk membaginya di sini

Avatar

Dongeng Sebelum Tidur

*Maka inilah dongeng sebelum tidur. Karenanya bacalah hanya sebelum kalian tidur.

Adalah cemara yang melindungi ruang kecil ini bila matahari mulai terik. Namun tuah perlindungannya pelahan hilang karena ruang ini --terletak di satu sayap Gelanggang Mahasiswa UGM-- menghadap ke barat. Bila sore menjelang maka jatuhlah terik sore, menembus kaca-kaca dan menghadirkan sesekali kehangatan atau seringkali pula hawa panas ke dalamnya.

Hawa panas dan sebuah ruang kecil adalah kombinasi hampir sempurna. Seperti ketel uap, ia memeras dan menyuling tubuh kami untuk menciptakan butir-butir kecil dan besar keringat. Yang membuatnya menjadi sempurna adalah bila ketel uap itu diisi dengan satu material lagi, yaitu kelelahan. Maka sempurnalah bentuk keringat itu.

Sebelum menemukan bangku kegelisahan dan juga tungku semangat yang bisa mengkonversi sinar panas selalu hanya menjadi hangat, aku mencoba berbagai cara untuk mengelola semua ini. Suatu kali kucoba melawan kelelahan dengan menulisi kertas besar yang dicetak di atas --artefak peninggalan masa 1990-an-- printer LX-300 dotmatrix yang nyaring bunyinya. Alat ajaib ini dengan kesabaran luar biasa dan suara gegap gempita pelahan menorehkan kalimat yang kuharap dapat mencerna kelelahanku sore itu: no guts, no glory.

Sore itu aku berasa lebih enteng dengan tulisan besar di dinding sekretariat itu. Di bawahnya seorang teman dengan ketekunan luar biasa --karena hawa panas sebenarnya tetap saja hadir-- meneruskan menulis proposal sebuah kegiatan. Tampaknya ia tidak peduli dengan kegaduhan dan kemeriahan yang baru saja kuciptakan: banner besar yang terang benderang ini.

Belakangan hari ketika kegiatan telah selesai, aku menemukan kalimat --yang mungkin jadi semacam banner besar buatnya-- tertulis dalam bagian akhir paragraf laporannya. Ia menulis satu set kutipan kata-kata:

Kesadaran adalah matahari kesabaran adalah bumi keberanian menjadi cakrawala dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata

***

Di setiap masa selalu ada arus, gelombang dan buih. Sebenarnya juga di semua tempat, di semua kejadian dan di semua penjuru bumi. Ada yang sungguh-sungguh menghanyutkan, ada yang mengguncang tetapi tidak menghanyutkan dan ada yang riuh-rendah tetapi tak punya daya untuk bahkan menggeser sesuatu.

Tetapi tentu saja buih selalu menggoda. Kadang buih jadi terasa amat penting. Ia seperti berloncatan membawa butir intan dan mutiara di ujung-ujung mahkotanya. Buih seperti pendar sinar yang tampak memberi energi dengan bulatan gelembung yang memberi pesan kelembutan.

Hanya memendarkan sinar dan menciptakan riuh rendah seperti yang buih lakukan, bukanlah tugas sejati sebuah lautan. Tugas sejati lautan adalah menggerakkan dan menggeser sesuatu. Mengirim air hangat ke kedalaman, membawa lapisan penuh oksigen ke suatu perairan dan menggendong plankton sumber makanan ke suatu belah samudera. Kadang riuh rendah malah melupakan tugas sejati sebuah lautan.

Tentu kita bisa memilih tetapi tugas terbaik yang dapat kita pilih dalam kemanusiaan kita adalah --seperti arus-- menggerakkan. Menggerakkan dan menggeser sesuatu. Menciptakan lautan hangat, dan mengirimkan sumber makanan. Tugas sejati kita --meminjam Rendra-- adalah melaksanakan kata-kata. Dan bukan hanya menciptakan buih semata; atau bahkan terlalu sibuk dengan bual dan buih semata.

Rumitnya menciptakan arus kadang tidaklah terlalu menarik. Jauh dari perhatian, kadang itu berarti jauh ruang amatan calon pacar. Dunia kadang juga terlalu sibuk dengan buih; membahas berapa jumlah follower-mu, jumlah retweet atau perdebatan dalam talkshow antar para pengacara dan para pengamat.

Seperti dalam dongengku tentang printer dotmatrix di atas, seringkali juga terasa bahwa menciptakan buih dapat menghilangkan kepenatan dan menyelesaikan pekerjaan. Dan kita kadang jadi berfokus untuk menciptakan buih alih-alih menciptakan arus. Hebatnya kadang kita terbahak-bahak membicarakan kehebatan kita dalam menciptakan buih.

Sayangnya, Bung, sejarah soal lautan mengajarkan bahwa tidak ada lautan hangat tercipta hanya dengan buih. Tak ada pembuahan ikan hanya dengan pendar sinar ujung-ujung buih. Tidak tercipta lautan kaya makanan karena gelembung buih yang ada. Betapapun buih dan kata-kata penting namun lautan, udara dan dunia ini tidak bergerak hanya oleh kata-kata.

Maka sembari berbaring menuju tidur, dalam kegelapan sempurna di malam ini, bacakan pelahan mantra Rendra di atas. Ucapkan pelahan. Bunyikan pelan lewat mulutmu dan pastikan hanya telingamu yang mendengarnya. Katakan seolah kamu sedang menyatakannya --bukan pada yang lain-- hanya pada dirimu sendiri: per-ju-ang-an/a-da-lah/pe-lak-sa-na-an/ka-ta-ka-ta.

Selamat tidur.

(12 April 2013)

Avatar

Kisah Deni Manusia Ikan

*dihadiahkan untuk Para Penyala

Praktis hampir tiap minggu, aku menunggu sebuah sore seperti ini: berangkat ke Pasar Johar. Dan ini adalah cerita kenanganku tentang Bapak dan beberapa sudut kotaku, Semarang.

Untuk beberapa lama sampai model berlangganan majalah sampai di Pelemkerep, kampungku di pinggir Semarang, maka mendapatkan sebuah majalah hanya dilakukan lewat membelinya langsung. Salah satu tempat terbaik untuk membelinya adalah di satu sudut di dekat Pasar Johar, kurang lebih 7 km dari tempatku tinggal. Dan selama beberapa waktu, sebuah sore di hampir tiap minggu adalah salah satu penantian terpentingku masa itu.

Tanda-tandanya sesekali tampak sejak siang. Bisa sangat jelas dan informatif tentang rencana perjalanan nanti di sorenya atau bisa juga sangat samar. Kadang aku memang siap dan menantikannya.Namun kadang malah aku tidak tahu persis akan pergi ke mana sampai sudut jalan itu tampak.

Iya. Biasanya setelah pergi ke Pasar Johar untuk berbagai urusan, kami lalu pergi menyusuri tepian pasar sampai menemukan ujung Jalan Pemuda. Kami --Bapak dan aku-- akan melalui trotoar yang kuingat samar sebagai susunan ubin-ubin besar berwarna abu-abu kusam yang tertata menempel pada rangkaian toko-toko dengan jendela kayu coklat dan pintu geser dari batang-batang besi berwarna keperakan. Di sisi seberang jalan itu, menjulang megah eks Hotel Du Pavillion (atau Dibya Puri) yang bersejarah. Terus berjalan menyisir trotoar ini dan kemudian beberapa meter setelah jembatan penyeberangan maka tampaklah satu sudut jalan --ehmm sebenarnya hanya gang kecil-- yang kumaksud itu. Sedikit masuk ke dalamnya, tampaklah suatu lanskap yang menjadi salah satu penantian terpentingku: lapak besar berisi koran-koran dan berbagai majalah.

Biasanya Bapak akan membeli berbagai majalah yang belakangan hari akan menjadi penantianku berikutnya kala beranjak dewasa. Namun sampai benar-benar barang ini ada di tanganku, sampai baunya dapat disentuh indera hidungku dan sampai tekstur kasar halaman dalamnya dapat kurasa dengan ujung jariku maka yang kunantikan masa itu --bukanlah majalah-majalah itu-- hanya satu: sebuah majalah anak bernama Bobo.

***  Dan aku harus melakukan rangkaian tindak lanjut secara cepat. Biasanya kami akan pulang naik bis kota jurusan Mangkang. Dalam ingatanku sekarang, ia adalah sebuah imaji bis besar dalam kesan kaku dan sudut-sudut kotak yang tajam. Berwarna dominan putih dengan beberapa garis biru dan memiliki tulisan merk yang mudah diingat: Tata. Begitu duduk di kursinya, aku akan membuka langsung ke --sebuah penantian lain-- halaman cerita bersambung dengan gambar-gambar goresan hitam putih, cerita Deni si manusia ikan.

Semua ini kulakukan dengan alasan yang jelas: bahwa aku harus tahu lebih dahulu dari adikku di rumah tentang pertanyaan yang menjadi penantian kami --aku dan adik-adikku-- selama beberapa waktu, yaitu apakah Deni akan bertemu orang tuanya. Deni adalah kisah tentang anak yang dapat bernafas di samudera dan petualangannya untuk menemukan orang tuanya yang terpisah sejak kecil.

Dan memang tepat tebakan orang-orang dewasa bahwa dalam setiap edisi Deni selalu hampir bertemu orang tuanya tetapi karena satu lain hal gagal bertemu. Tetapi kami tidak pernah berhenti menantikannya, dan bahwa suatu hari nanti Deni akan bertemu orang tuanya.

Ketabahan menanti Deni bahkan berlanjut sampai model berlangganan majalah sampai di kampungku. Kadangkala memang muncul rasa putus asa, apakah aku perlu menanti lagi kisah Deni berikutnya ataukah sudah kuhentikan saja harapanku. Tetapi membayangkan perjuangan Deni --mungkin ini terlalu dramatis menggambarkannya dalam kalimat dewasaku sekarang-- yang tak kenal menyerah itu membuat aku merasa harus menemaninya. Deni tak menyerah, kenapa aku harus menyerah.

Kisah ini berakhir di suatu hari. Akhirnya Deni bertemu orang tuanya setelah bertahun-tahun kami mengikuti dan menemaninya. Dan ujung ini jadi kehebohan kecil di antara aku dan adik-adikku, bahwa Deni akhirnya bertemu orang tuanya. Sekalipun puas juga namun setelah bertahun-tahun terpapar dengan ketabahan Deni, berakhirnya kisah itu juga menghadirkan rasa kosong dan kehilangan padaku. Lalu apa setelah ini ya, apa kabarnya Deni sekarang ya, adalah sebagian pertanyaan yang menggelayut saat aku membuka-buka majalah itu dalam beberapa edisi berikutnya. Deni sudah pergi dari sini, pikirku kala itu.

*** Maka setiap membaca kisah-kisah tentang perjuangan membangun budaya membaca aku teringat kisahku ini kembali. Maka setiap ikut dalam kegiatan Penyala hampir selalu menghadirkan kegembiraan atas penantian lama masa kecilku. Bau majalah, kisah yang dinanti, pertengkaran dengan adikku, sebuah ujung jalan atau sepotong sore bersama Bapakku.

Dan pastilah kesenangan membaca tidak melulu hadir hanya karena adanya sebuah buku. Bukan buku saja yang penting tetapi semua peristiwa yang ikut membentuknya. Peristiwa dalam detil-detil kecil yang menjadi kisah pribadi tiap anak seolah-olah ia ada dalam kisah-kisah yang ia baca. Peristiwa dalam lanskap yang menggores seperti sebuah sore yang merekam petualangan menanti, mencari dan menemukan majalah atau sebuah buku.

Maka setiap kegiatan Penyala yang kuikuti bersama anakku adalah peristiwa pribadi buatku. Peristiwa mengenang kisah penantian bersama Deni manusia ikan sembari dengan sedikit 'minder' berharap bahwa anakku akan menangkap peristiwa ini dalam kisahnya yang akan dia tuturkan di masa depan, persis seperti kisah Bapakku mengajakku dalam sepotong sore di satu sudut masa laluku.

Karena itu membentuk budaya membaca bukanlah soal mengirim buku. Ini tentang membentuk sebuah peristiwa. Dan hanya ketabahan dan keteguhan yang sanggup membentuknya.

(19 April 2013)

Avatar

Akar Rumput di Cilember

*catatan dari Kamp Pegiat IM

Sembari membayangkan ulang saat-saat diskusi di beranda belakang, menghadap halaman rumput kecil, aku menuliskan catatan kecil ini. Salah satu catatan sederhana untuk menghormati semua hal yang telah dilakukan para pegiat IM selama 3 tahun ini, dari para PM di lapangan, para pegiat di Galuh, relawan berbagai inisiatif IM serta aktifis pendidikan lain yang terasosiasikan secara prinsip dan nilai dengan IM.

Berandanya sendiri menghadap selatan, menghadap Gede dan Pangrango di kejauhan. Melihatnya dalam kanvas yang maha luas dengan batas-batas cakrawala tampak di belakangnya, menggodaku untuk mengambil gunting dan memotongnya. Kupikir bisa juga kutempelkan di halaman belakang rumahku, dengan sedikit meminjam tembok-tembok rumah tetangga dan menggunakan beberapa tiang telpon serta listrik di sekitarnya.

Namun diskusinya jauh lebih menarik daripada itu. Jadi kutinggalkan ide itu, dan kuteruskan mendengarkan cerita-cerita dari berbagai program inti IM dan berbagai inisiatif gerakan lainnya. Dan sebagian dari apa yang didiskusikan itu, sampai diskusi lagi di malamnya dan keesokan harinya, kutuliskan di sini.

*** Kamp Pegiat IM sendiri punya dua tujuan. Satu, mencatat pengalaman kita bersama sejauh ini dan kemudian merumuskannya menjadi pokok-pokok pengelolaan IM dan nilai-nilai gerakan. Dua, menyusun cara tentang bagaimana prinsip-prinsip gerakan dan program IM dapat disosialisasikan, diakses bagi siapapun yang menginginkannya dan dapat digandakan bagi siapapun yang ikut mempercayainya. Tidak ada yang disebut resep rahasia di IM --termasuk cara pengelolaan program, misalnya rekrutmen dan pelatihan-- sehingga justru IM ingin terus menyebarkan dan membuka diri bagi siapapun yang juga ingin menggandakannya.

Kamp mencatat bahwa kita pada Minggu siang itu akhirnya dapat merumuskan pokok-pokok implementasi gerakan, prinsip-prinsip dasar gerakan serta skema pengelolaan untuk penggandaannya. Tim Galuh berencana untuk membuat satu-dua kamp lagi menjelang Juli ini; dan Solo-Mengajar dan KI/Penyala Jogja juga akan menyelenggarakannya. Tim fasilitator kamp yang sekarang akan membantu menyusun dokumentasi, sedangkan Denies-Ajeng-Helmi juga akan mencoba menuliskan modul kamp ini.

Pelajaran yang muncul, dibahas dan tercatat --setidaknya menurut saya-- sangat bermakna. Iya, bermakna karena cerita yang disampaikan dan diuji bersama menggambarkan kerja keras para Pengajar Muda, staf Galuh serta para relawan berbagai inisiatif kita. Bermakna karena semua kerja keras itu mulai menuai dampak dan juga bergulir lebih luas. Bermakna karena sesungguhnya apa yang kita pikirkan dan yakini selama ini, dan tak sempat kita tuangkan tertulis dalam berbagai manual, juga terkonfirmasi dalam berbagai inisiatif kita semua. Sungguh aneh bahwa kita bergerak ternyata dalam irama, prinsip dan nilai-nilai yang identik tanpa kata-kata diumbar ke sana ke mari. Bermakna justru karena di atas segala-galanya semua kerja itu dilakukan dengan ketabahan dan kerendahhatian, jauh dari kesibukan seremonial dan sorak sorai semata.

Sebagai murid dari kamp itu, aku mencatat pula beberapa pelajaran menarik. Pelajaran lengkapnya ditulis oleh Zaki L Khusna. Catatanku ini juga pemancing bagi teman-teman lain untuk ikut berbagi pelajaran yang ditulis dalam memori atau catatan lainnya.

Pelajaran pertama, bahwa di atas belepotan yang kita lakukan, tujuan fundamentalnya adalah untuk memberikan manfaat sosial. Bahwa sesederhana apapun atau semeriah apapun kerjaan kita harus diuji dan bisa menjawab pertanyaan sederhana: manfaatnya apa untuk masyarakat? Prinsip ini penting menjadi batu-penguji karena bisa jadi kita terlupa untuk sekedar secara gegabah mencontek sebuah inisiatif yang tampak keren dan meriah tetapi sesungguhnya tanpa manfaat bagi sesama. Atau sebaliknya bahkan dalam kerjaan yang rendah hati, sepi dari kemeriahan publik dan tanpa publisitas penuh sanjung tetapi bila sungguh bisa dapat memberikan manfaat bahkan hanya bagi 1-2 orang anak maka ini sungguh layak untuk diperjuangkan.

Lalu apa sih sesungguhnya yang dibayangkan IM sebagai 'social impact'? Kita semua belajar dari berbagai pengalaman selama ini bahwa pada akhirnya kemajuan yang berlanjut adalah ketika perilaku tumbuh dan terikat satu-sama-lain menjadi interaksi dan perilaku bersama yang positif di suatu entitas masyarakat. Kasus-kasus dan pengalaman selama ini mengajarkan bahwa terlalu simplistik dan juga tak berjalan asumsi-asumsinya bila pendekatan hanya fokus pada aspek tunggal semata, entah itu hanya membangun fasilitas, melatih secara sporadis dan waktu terbatas apalagi cuma sekedar mengirimkan bantuan semata. Terlalu banyak hal dan variabel yang mempengaruhi tumbuhnya perilaku dan karena itu kita tidak bisa hanya mengandalkan satu-dua aspek semata lalu berharap semua asumsinya dapat terpenuhi dalam perjalanannya. Kita tidak bisa membangun budaya membaca hanya dengan mengirim buku lalu berharap angin dan awan yang menyelesaikan sisanya, mengharap pohon mendampingi anak-anak kita untuk membaca dan mengharap gunung untuk menjadi role-model bagi anak-anak itu. Tidak, fokusnya adalah perubahan perilaku; dan semua hal yang diperlukan untuk itu akan kita perjuangkan adanya.

Uniknya pengalaman juga mengajarkan bahwa justru hanya hadir memberi bantuan dan fasilitas semata malah memberi pesan bahwa yang dimaksud kemandirian adalah menunggu aktor-aktor dari luar untuk membantu kita, masyarakat di suatu tempat. Dan ini malah sungguh-sungguh mengganggu kemajuan yang berlanjut. Karena itu apa yang kita bayangkan sebagai 'social impact' adalah tumbuh kuatnya perilaku masyarakat; dan kita akan hadir, tumbuh dan bergerak bersama mereka sampai kemajuan berlanjut itu tercipta. Tidak selesai tugas kita hanya karena tahun anggaran telah ditutup dan laporan telah disusun.

Pelajaran berikutnya adalah soal pendekatan dasar. Apa sih pendekatan dasar selama ini yang menjelaskan bekerjanya program inti IM dan juga gerakan sosialnya yang luas? Cerita dari berbagai pengalaman menunjukkan beberapa pelajaran, salah satunya bahwa cara termudah untuk menggerakkan adalah dengan mengambil bagian kerja terlebih dahulu. Kita tidak akan dapat menggerakkan orang hanya dengan kata-kata indah, kita akan dapat lebih efektif menggerakkan orang dengan menggeser batu lebih dahulu dan dengan mengangkat cangkul lebih dulu.

Kita juga belajar bahwa keterlibatan adalah kunci, kunci agar orang terjaga untuk terlibat terus. Menularkan motivasi untuk bergerak dan berbuat justru dengan memfasilitasinya melakukan satu langkah pertama baginya. Satu langkah baik akan mengikat langkah baik berikutnya. Bisnis dasar gerakan sesungguhnya adalah pelibatan, melibatkan; dan bukan melulu kampanye serta sosialisasi.

Pengalaman selama ini juga mengajarkan bahwa motivasi seseorang untuk mengabdi dan berbuat baik itu ada di mana-mana. Dunia, keluarga dan bahkan film-film kartun pun mengajarkan bahwa berbuat baik itu keniscayaan manusia. Karena itu tidaklah perlu menghina diri kita sendiri dengan berasumsi bahwa seseorang mau atau tidak mau melakukan sesuatu hanya melulu karena alasan uang. Bila demikian maka gerakan juga tidak hanya mengandalkan motivasi tunggal soal uang, kita pasti bisa mengandalkan niat baik dan segala motivasi abstrak di belakang hati dan akal budi seseorang. Gerakan kita sejauh ini membuktikannya.

Pelajaran ketiga adalah soal elemen-elemen berikutnya dari gerakan sosial yang baik. Beberapa prinsip ini harus dikerjakan pula bersama dengan prinsip-prinsip sebelumnya. Enam hal ini sebenarnya terpilah jadi dua bagian besar, yaitu prinsip engagement dan prinsip organisasi. Ternyata empat dimensi dalam gerakan, yaitu pengelolaan relawan, pendanaan, kampanye dan kemitraan, didasari oleh prinsip-prinsip pelibatan atau engagement, khususnya pelibatan personal. Bahkan pendanaan juga mengajarkan bahwa ketika seseorang terlibat langsung maka pada akhirnya akan tergoda juga untuk membiayai pengelolaan gerakan yang juga menjadi bagian kepemilikannya. Demikian pula dengan kemitraan dengan lembaga lain, misalnya sekolah dan dinas, di mana jauh lebih efektif untuk memperlakukan mereka sebagai sesama warga negara yang ikut bertanggung jawab demi kemajuan bersama daripada memperlakukan relasi ini dengan konsep kerja sama antar lembaga. Orang-orang yang sama-sama percaya lebih kuat daripada kerja sama seremonial antar lembaga.

Dua dimensi lain terkait dengan prinsip pengeloaan organisasi, yaitu dimensi manajemen organisasi dan relasi dengan IM. Terkait ini kami belajar bahwa kredibilitas hanya dapat dibangun dengan keterbukaan. Dan keterbukaan bukanlah masalah karena ini adalah gerakan sosial yang bercita-cita adanya kemajuan bersama yang berlanjut; dan toh ini semua bukan tentang kami tetapi tentang mereka semua. Prinsip lain terkait dimensi ini adalah soal learning organization. Tidak ada referensi memadai di Indonesia tentang bagaimana gerakan sosial dijalankan dan dikembangkan. Karena itu --apalagi ini juga bukan tentang kami-- maka selama tujuannya adalah adanya kemajuan bersama maka tidak perlu ragu untuk terus belajar dan terus mencoba. Sesekali kita gagal dan salah, tetapi penting untuk terus belajar dan mengembangkan gerakan ini lebih lanjut. Kegagalan dan kesalahan dalam gerakan bukanlah semacam 'aib dalam laporan' karena toh ini bukan tentang ego kita kan? Salah dan terus belajar lebih berharga daripada tampak benar dan berhenti belajar.

Pelajaran terakhir adalah soal kelengkapan dan keterkaitan semua elemen. Kebermanfaatan sosial adalah tujuan puncaknya. Tujuan puncak menentukan pendekatan dasarnya, dan bukan melulu mencontoh sesuatu yang ramai dibicarakan. Dan pelibatan dan pengorganisasian adalah elemen operasional dari dua hal sebelumnya. Semuanya penting untuk lengkap, terkait dan terikat satu sama lain. Karena setiap perjuangan menuju puncak pastilah bukan hanya soal bekal, jalan kaki dan imajinasi soal puncak. Ini soal semuanya.

*** Lalu saat semuanya berkemas untuk turun dari kamp ini, aku sempatkan untuk melihat lagi Gede-Pangrango di kejauhan. Dan karena mata kujatuhkan pada halaman rumput itu maka tiba-tiba ingatanku jatuh pada ribuan atau jutaan anak-anak di luar sana beserta keluarga di sekitar mereka. Sebagian mereka ada di pusat-pusat kemajuan, sebagian lain ada di berbagai penjuru nusantara.

Selama ini kita --atau setidaknya aku-- melihat mereka dalam rangkaian angka, data dan laporan. Mereka tersaji dalam perspektif kebijakan, sektor dan --seringkali-- masalah dan keluhan. Padahal di balik itu adalah jutaan cita-cita, jutaan cara pandang dan ribuan makna. Mengajak mereka untuk berjalan bersama menggapai puncak seringkali jatuh hanya sebagai acara, upacara atau kadangkala gunting pita semata. Dan cara pertama dan terbaik memulainya bukan dengan berdiskusi panjang lebar dan membuka seminar di mana-mana.

Cara pertama yang harus dilakukan justru dengan mendengar dan merasakan bagaimana akar rumput tumbuh dan menyerap mineral-mineral lalu mengirimnya ke daunnya yang kemudian mengubahnya menjadi oksigen. Cara terbaik untuk memulai justru dengan rendah hati mencoba memahami kenyataan kita seperti bagaimana akar rumput dengan rendah hati menyerap unsur hara dan mendengarkan kicau burung, desah daun dan nyanyian mars rintik hujan.

Dulu waktu kecil aku berdebat soal Tuhan ada di mana. Sebagian pendapat di agamaku bilang, Tuhan terlalu hebat untuk bisa ditunjukkan ada di mana. Sebagian lain bilang, Tuhan ada di 'Arsy. Pendapat yang lain menyatakan bahwa Tuhan bersama orang-orang yang miskin dan lemah, mereka yang ada di bagian terbawah piramida sosial kita. Lalu seiring tumbuh, aku meyakini bahwa Tuhan ada di mana -mana.

Tetapi di sini, dalam konteks ini, aku meyakini bahwa Tuhan ada di akar rumput.

*Terima kasih untuk seluruh peserta: Dimas, Shally, Yundrie, Eko, Pani, Adhi Brojol, Nyunyun, Zaki, Jaim, Evi, Dika, Safira, Yoga, Helmi, Denies, Adjeng, Juli, Ican, Wrenges, Unggul, Bhawika, Wei Lin Han, Sidiq, M Taufiqurrahman, Ridwan. Terima kasih untuk para fasilitator: Adhi Brojol, Nyunyun, Zaki, Jaim, Evi dan Dika. Terima kasih untuk penanggung jawab Kamp, Dika dan Evi. Terima kasih untuk Safira Ganis atas dukungan logistiknya. Terima kasih untuk para pegiat yang telah hadir jauh-jauh untuk ini: Solo Mengajar, KI Jogja, Penyala Jogja, KI Surabaya, KI Bandung, KI Jakarta. Terima kasih untuk staf Galuh, para PM dan juga relawan tetap IM: Weilin Han dan Taufiqurrahman.

(10 Mei 2013)

Avatar

Cerita tentang Dangau Persinggahan

*tulisan ini diawali oleh buku kumpulan puisi karya anak-anak Lebak yang diciptakan saat kemah budaya yang dirintis oleh para PM dan terpancing atas berbagai tulisan puisi dan karya seni dari berbagai daerah IM. **selamat pagi semua, bapak ibu guru di penjuru tanah air.

Membaca sekumpulan puisi selalu mengingatkan pada puisi yang lain. Suatu saat Rendra pernah menulis, ‘perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata’.

Menyaksikan karya anak-anak di berbagai daerah penempatan IM, baik yang diunggah dalam blog, dikumpulkan dalam buku serta media lain-- meneguhkan imajinasi di balik semua hal ini. Bagiku –dan aku yakin juga bagi seluruh keluarga besar Gerakan Indonesia Mengajar—karya-karya itu dan berbagai puisi yang ditulis bukan melulu kumpulan kata-kata indah namun sesungguhnya menggambarkan perjuangan nyata anak-anak, guru, aktifis pendidikan, pemerintah daerah, tokoh masyarakat serta juga Pengajar Muda yang mendampingi mereka sepanjang tahun. Kata-kata indah yang tersusun rapi itu pasti lahir bukan tanpa alasan, tidak hadir tiba-tiba, bukan sekedar rangkaian huruf tanpa makna dan sejatinya melibatkan apa yang Rendra ungkapkan sebagai ‘pelaksanaan kata-kata’.

Percayalah, bahkan salah tulis dan kadang salah tata bahasa tidak mengganggu caraku menikmatinya. Malahan itu terasa seperti keliaran kata-kata yang hidup sendiri dan menjadi binal seperti --meminjam istilah Sutardji Calzoum Bachri-- mantra.

Dan karena itulah aku --atau kami-- sungguh bangga dan terhormat ikut membaca puisi-puisi ini. Kami bangga karena di balik kata-kata ini, terletak perjuangan nyata semesta hidup di desa itu dan seluruh pejuang yang ada di dalamnya.

*** Membayangkan anak-anak menulis puisi, mengingatkan pada penggal puisi Rendra yang lain. Salah satu penggal dalam Sajak Sebatang Lisong, Rendra menggambarkan kegelisahannya tentang pendidikan dan tantangan anak-anak Indonesia itu dalam bait ini:

delapan juta kanak – kanak menghadapi satu jalan panjang tanpa pilihan tanpa pepohonan tanpa dangau persinggahan tanpa ada bayangan ujungnya

Kegelisahan itu seketika menguap dari kepalaku ketika membayangkan pelajaran penulisan puisi ini diperjuangkan dan kemudian dinikmati oleh anak-anak itu. Selalu tidak mudah untuk menciptakan dangau persinggahan bagi kanak-kanak kita, selalu menantang untuk merawat pepohonan di tepian jalan panjang itu serta selalu tidak sederhana meniupkan impian dalam hati dan akal mereka untuk selalu berjuang mencapai ujung jalan panjang masing-masing.

Bahkan kegembiraan merembes ke permukaan kulit kepala saya dan meledak membuncah ketika melihat anak-anak ini bergembira, berlarian dan berguling-guling merayakan ekspresi kemanusiaan mereka dalam puisi, musik atau gerak seni yang lain. Tiba-tiba saya ikut berlarian dan menari di bawah gerimis kata-kata yang jatuh dari langit bersama sorak sorai mereka.

Inilah hari raya itu. Hari yang kita rayakan di dangau persinggahan bersama mereka. Dangau sederhana yang kita bangun di tepi gunung, batas hutan, pinggir pantai di ujung manapun Republik.

Dan memang hanya dangau persinggahan. Jalan mereka masih panjang. Kadangkala kita jadi tak rela untuk membiarkan mereka berjalan sendiri melalui pertarungan rumit di masa depan, apalagi karena kita menyaksikan kerumitan-kerumitan lain di sisi dunia sebelah, tentang masyarakat, tentang negara dan tentang dunia global umumnya.

Namun toh mereka harus berjalan sendiri, dan sebelumnya memilih rute yang akan mereka tempuh. Di dangau ini, mereka hanya sejenak singgah sebelum meneruskan perjuangan di jalan-jalan panjang mereka. Dan kita juga tak akan pernah bisa --dan tidak selayaknya juga demikian-- menemani mereka di sepanjang jalan ini.

Pertaruhan kita karenanya adalah bagaimana dalam waktu yang sejenak ini, di dangau persinggahan ini atau di rindang pepohonan ini, mereka dapat membawa bekal lebih baik untuk kemudian berjalan kembali. Pertaruhannya memastikan mereka cukup kuat untuk kembali turun ke jalan-jalan mereka, cukup tabah untuk melaluinya sampai ujung dan cukup liar untuk memiliki imajinasi atas ujungnya.

Pertaruhan kita juga bahwa tiap anak seharusnya memiliki dangau persinggahan yang kuat. Dan ini berlaku untuk semua anak-anak yang jatuh dan lahir di muka bumi Indonesia. Jumlahnya bukan hanya seperti catatan Rendra yang ditulis pada tahun 1977-- delapan juta kanak-kanak saja-- lebih dari 49 juta di berbagai penjuru Indonesia.

Barisan besar ini membutuhkan dangau-dangau persinggahan. Mereka memerlukan pepohonan rindang dan juga pilihan-pilihan jalan ke depan. Mereka membutuhkan impian atas setiap ujung jalan panjang ini.

***

Dan demikian memang mandat Indonesia Mengajar. Impian kami memang ingin mengajak setiap orang di Republik ini untuk ikut memperjuangkan dangau-dangau persinggahan buat kanak-kanak kita, menanam dan merawat pepohonan rindang di tepian jalan, menyediakan lahirnya pilihan-pilihan jalan serta meniupkan ujung impian di setiap jalan panjang anak-anak Republik ini.

Karena itu kami mengirim para Pengajar Muda untuk tinggal dan kemudian bergerak bersama para pejuang lain di daerah penempatan demi kemajuan pendidikan bersama. Mereka tidak hanya mengajar tetapi mandat sebenarnya adalah menggerakkan. Mereka bukan hanya membuat acara tetapi sesungguhnya adalah menciptakan tradisi yang membentuk percaya diri dan semangat untuk terus membuat yang sejenis atau berbagai acara, seperti pentas seni, pelajaran sastra, tabuh rebana, membuat film, mengambil foto atau apa saja.

Semua kegiatan seni ini karenanya dibaca tidak hanya sebagai sebuah acara kesenian atau sekedar pelatihan semata. Bagiku ini bukanlah hanya hari raya buat anak-anak itu, tetapi juga hari raya buat seluruh warga. Ini adalah salah satu puncak perjuangan para pemangku kepentingan di sana. Ini bukan melulu kegiatan yang diinisiasi oleh Pengajar Muda --dan apalah pentingnya siapa yang mengawalinya-- tetapi menggambarkan setiap tetes keringat dan gerak perjuangan guru-guru, kepala sekolah, siswa, orang tua, pemerintah serta para pejuang pendidikan lainnya.

Dan itu sesungguhnya yang kami ikut syukuri dan banggakan. Kami bangga adanya gerak, bukan sekedar adanya acara. Kami merayakan adanya perjuangan menulis isi, bukan sekedar adanya buku. Kami mensyukuri adanya dangau persinggahan, bukan sekedar seremoni tanpa makna.

Pelajaran-pelajaran seni itu --beserta seluruh perjuangan di baliknya-- adalah salah satu dangau persinggahan itu. Sebuah dangau sederhana yang semoga dapat memberi umpan ketabahan dan seteguk impian bagi kanak-kanak kita untuk terus meneruskan jalan-jalan panjang mereka.

(8 Juni 2013)

Avatar

Selamat Datang di Jakarta

Mendekati Stasiun Manggarai, seorang anak kecil di seberangku tampak gelisah. Ketika KRL Depok ini memulai langkah pelahan memasuki lanskap stasiun ini, ia bergegas berdiri di atas kursi. Matanya menatap melewati jendela di sisi kanan, nanar memandang sisi timur di mana lengkung rel dari arah Jatinegara terbujur.

"Kereta Jawa..kereta Jawa..", ia berteriak. Di salah satu jalur tampak melintas pelan kereta dengan lokomotif diesel dan rangkaian gerbong tanpa tanduk listrik di atasnya, alat yang membedakan kereta rel listrik dengan 'kereta Jawa'. Mungkin inilah penanda penting bagi anak-anak itu tentang kereta Jawa ini.

Aha. Aku bisa merasakan gairahnya. Memandang sosok besar dalam warna putih dengan sedikit nuansa biru, kereta Jawa memang berbeda dari KRL biasa. Apalagi bila kita berdiri di peron dan merasakan kereta Jawa ini melintas cepat di sisi kita, derunya mengguncang dan getarannya menampar kiri kanan. Ini adalah guntur yang melata bergemuruh di atas tanah keras.

Ketika gemuruhnya lewat, aku jadi teringat fragmen lain dalam masa kecilku. Pada tahun 1980an, ketika Bapakku berkunjung dan menginap di rumah adiknya di Kramat Jati, keponakannya yang masih kecil memutuskan tidak sekolah dan dengan riang mengajukan ijin ke gurunya karena ada 'saudara dari Jawa' yang datang ke rumahnya.

Sebagai seorang anak dari Jawa (Tengah) yang ikut berkunjung ke bagian Jawa yang lain, aku gagal memahaminya kala itu. Barangkali kegembiraan bertemu saudara atau melihat kereta bersuara kencang lebih menarik daripada definisi yang konsisten. Belakangan terbersit mengapa kita menyebutnya dengan kereta Jawa ya? Dan bukan kereta diesel atau kereta tanpa listrik. Atau mengapa menyebutnya bukan kereta dari Surabaya, Jogja atau Madiun untuk menggambarkan dari mana asal kereta itu datang. Kenapa 'Jawa' ketika Jakarta juga terletak di Pulau Jawa?

*** Dalam perjalanan menjadi dewasa --dan belajar soal makna kecantikan perempuan, ‪#‎sampahmodeon‬-- aku mulai menemukan penjelasan atas hal ini. Orang-orang pintar memberi dan menjelaskan dengan berbagai kata-kata rumit, seperti pretext, preconception atau konsep lain.

Di dalam pikiran bodohku ini adalah semacam rak. Rak adalah tempat untuk menaruh barang. Setiap rak punya bentuk dan kerangka yang berbeda. Beberapa rak dibuat khusus untuk menaruh barang-barang khusus. Dan setiap rak terbagi dalam ruang-ruang berbentuk unik sehingga hanya bentuk barang tertentu yang bisa ditaruh di dalamnya dan beberapa barang lain tidak mungkin dimuat dalam ruang tertentu itu. Bentuk rak menentukan barang apa yang bisa dimuat. Bukan sebaliknya.

Dan pikiran-pikiran kita barangkali memang dipenuhi oleh rak-rak tertentu. Anak-anak di atas diwarisi rak-rak tertentu sehingga sebuah konsep kereta ditaruh dalam ruang rak 'kereta Jawa'; dan bukan ruang-ruang berdasarkan kategori-kategori lain. Sepupuku juga mewarisi rak yang menaruh orang-orang dalam ruang 'dari Jawa'; dan bukan dalam kategori demografis yang lebih konsisten.

Bila rak-rak ini hanya menyangkut ruang-ruang pribadi barangkali resiko salah membuat rak tidaklah terlalu besar. Paling banter kita salah menaruh Si-Sefti dalam kompartemen 'cantik-abis'; atau menaruh 'Si-Tina' dalam folder 'kejar terus sampai mati'. Atau resiko lain kita hanya lupa membuat ruang rak untuk menaruh barang-barang 'cepat lupakan saja', 'kumpulan mantan' atau 'dibuang sayang'. Resiko terjauh di ruang pribadi kita hanyalah barang-barang berserakan tak tentu rimbanya.

Menjadi rumit bila itu menyangkut barang publik dan kebijakan negara. Seringkali rak jadi terlalu baku dan kaku untuk dapat menampung fakta-fakta baru di lapangan. Kadangkala fakta-fakta jadi harus dipaksakan masuk dalam rak-rak yang sudah jadi; dan beberapa barang harus dipaksakan dalam ruang yang barangkali tidak cukup tepat untuk menampungnya. Sebagian lain terlalu berbeda sehingga mau tak mau harus dibuang karena tak bisa ditaruh dalam rak-rak itu.

Pendekatan jadi jumud, lembam dan kuno. Fakta-fakta terlalu cepat tumbuh dan berubah sehingga rak-rak kuno tak sanggup lagi menampungnya dan menafsirkannya. Rumusan kategori masalah jadi inkonsisten, aspirasi jadi bertumpuk tak terolah dan gambar besar untuk memaknai seluruh fakta-fakta jadi buram, sulit dicerna dan tak bisa dirumuskan. Alhasil --ini yang kita rasakan-- apa yang diputuskan di Jakarta menjadi sulit dipahami karena rak-raknya selalu gagal menampung fakta-fakta; dan rak-rak sudah terlalu mulia untuk dapat direvisi apalagi diganti. Rak-rak sudah ada dan diwariskan; fakta-faktalah yang harus menyesuaikan, bukan sebaliknya.

Maka rak jadi penting. Dan menjadi penting untuk selalu melihat kembali rak kita; dan bila perlu membongkar dan menyusunnya ulang.

*** Membayangkan satu tahun di bagian lain dunia, entah Jawa atau bagian lain Republik ini, apa yang kita lakukan sebenarnya sedang memungut fakta-fakta. Dalam usia semuda ini rak-rak yang kita punya masih baru, dan mudah untuk menyusunnya kembali menurut apa yang kita rangkai dari barang-barang yang kita temukan. Bukan sebaliknya.

Satu tahun di sana, tiap hari kalian menemukan fakta baru. Seiring menumpuknya barang-barang; rak-rak bisa jadi perlu diubah atau disusun baru. Segala konsep bawaan sebelumnya jadi sah untuk diuji kembali di lapangan; dan kita jadi mencoba kekokohan rak kita dengan membentur-benturkannya dengan barang-barang yang tiap hari kita pungut di lapangan.

Menyaksikan kata-kata ringan yang dinyatakan dalam nada serius oleh para pengambil kebijakan di Jakarta dan menemukan jarak kenyataan yang jauh dengan yang ada di lapangan selalu menggangguku untuk mencoba menyusun ulang rak-rak yang ada. Dan mendengar kesaksian para Pengajar Muda karenanya selalu membuat diriku terjaga. Riang dan gembira aku memungut fakta-fakta yang ditemukan sembari bergegas menaruhnya dalam rak-rak yang ada; dan ajaibnya selalu ada tamparan bahwa rak-rak lama tidak sanggup lagi menaruh barang-barang ini. Aku jadi meyakini bahwa barang-barang di republik ini tidak bisa disusun dalam rak yang dibuat hanya oleh Jakarta.

Dan itulah salah satu kekayaan penting dari perjalanan satu tahun ini. Bahwa fakta-fakta bisa disusun dalam rak secara berbeda; dan selalu ada rak yang bisa jadi lebih baik untuk menaruh fakta-fakta dari lapangan, termasuk dari ujung-ujung terjauh Republik ini.

Maka dari ibukota pemerintahan Republik Indonesia, dari tempat di mana rak-rak sudah tersusun rapi dan jadi baku, dari tempat dimana keputusan-keputusan terbesar negara ini diambil; soal BOS, UN, kurikulum dan soal apa saja; atas kedatanganmu dari akar rumput nun jauh di sana, aku sampaikan: selamat datang di Jakarta.

*Galuh, sekitar OPP PM IV

(3 Juli 2013)

Avatar

Kami Pasti Kembali

*ditulis untuk mereka yang keras-kepala. **dipicu oleh kiriman tulisan anak-anak SD Langkahan Aceh Utara.

Ketika kekerasan merebak di beberapa desa di Aceh Utara menjelang Pilkada 2012, kami terpaksa memanggil kembali Pengajar Muda yang bertugas di sana. Enam orang Pengajar Muda hanya bertugas 8 bulan dan kemudian menggenapkan penugasan satu tahun di tempat lain. Atas berbagai pertimbangan mereka digeser bertugas ke Muara Enim dan Musi Banyuasin di Sumatera Selatan sejak Februari 2012.

Maka secara spontan kami berjanji. Entah atas dasar apa --barangkali hanya kekeraskepalaan-- bahwa kami akan kembali. Bahwa suatu hari nanti, Indonesia Mengajar akan kembali mengirimkan Pengajar Muda bertugas kembali di sana.

Buku ini dan tulisan anak-anak di dalamnya menjelaskan mengapa kami harus kembali. Segala keriangan mereka atas sekolah, buku dan guru-gurunya serta juga harapan-harapannya di masa depan menjelaskan mengapa kita harus keras kepala untuk tetap mengirimkan guru-guru di sisi mereka. Sebagian kekhawatiran mereka atas apakah cita-cita mereka akan bisa tercapai di tengah kekacauan 'dunia orang-orang dewasa' yang ada di hadapan mereka ini semakin menegaskan bahwa mereka harus ditemani untuk memulai langkahnya ke depan.

Itulah makna kekeraskepalaan itu. Mereka harus ditemani. Dan kami pasti kembali.

***

Dan memang salah satu pemilik sejati dari kekeraskepalaan itu tentu saja adalah para Pengajar Muda. Milastri Muzakkar, seorang PM Aceh Utara yang dipindahtugaskan pada periode awal ini, adalah salah satunya. Ia terlalu keras kepala untuk melewatkan begitu saja tulisan siswa-siswanya di SD Langkahan ini dan malah terus mengumpulkan lalu menjadikannya sebuah buku. Ia telah purna tugas, membuat buku ini bukan kewajiban PM dan menerbitkannya memerlukan waktu serta sumberdaya yang banyak.

Namun membaca lembar demi lembar, larik demi larik dan kata demi kata yang ditulis oleh anak-anak ini maka siapa pun pasti jadi keras kepala. Ekspresinya beragam, salah satunya soal keriangan tentang buku dan sekolah serta tekad mereka untuk terus menghidupkan perpustakaan di sana. Di bagian lain juga bercerita tentang harapan soal sekolah dan guru-gurunya. Di luar keriangan juga terasalah kecemasan akan masa depan, tentang sekolahnya nanti dan tentang cita-citanya.

Membaca tulisan ini membuat kita bisa membayangkan seperti apa sih dunia-mereka di sana. Semangat dan keriangan untuk maju dan terus menggapai cita-cita sungguh tampak terasa. Cita-cita seperti kuda liar di atas hamparan padang luas di mana mereka bisa berlari kemanapun mau menuju. Mereka seolah bisa menjadi apa saja; dan mereka bisa mewujudkan apa saja dengan semua keliaran mimpi mereka.

Namun kecemasan pelahan-lahan bisa mengganggu. Satu persatu tantangan akan datang mencoba mematikan impian mereka, memperjinak kuda liar dan mempersempit hamparan padang. Dan rumitnya dunia-orang-dewasalah yang pelan-pelan membunuh impian itu. Tanpa sadar kita mengirim pesan soal mahalnya biaya sekolah, sulitnya mencari sekolah atau ribuan hal lain yang seringkali kita sebut sebagai 'sumberdaya'.

Dan bayangkan betapa rumit pikiran anak-anak begitu mendapatkan petuah soal batas-batas impian ini. Apa yang mereka rasakan begitu tahu secara pelahan bahwa hamparan padang itu tak seluas yang mereka kira; dan bahwa impian adalah batas-batas yang diceritakan oleh orang-orang dewasa.

Tentu saja itu tidak benar. Kecemasan tidak boleh mengganggu impian; kuda liar tetap bisa mengembara ke ujung manapun dan hamparan padang ini tetap seluas dahulu. Dan kita jadi merasa perlu bergegas untuk mengabarkan ini semua ke anak-anak di sana.

Sekejap kita jadi keras kepala untuk mengabarkan bahwa keriangan adalah hak sejati di relung akal mereka; dan bahwa impian adalah ujar yang mereka taruh di langit luas di atas sana. Harus ada yang terus mengabarkan ini di berbagai penjuru, pada anak di sebelah sini dan juga pada anak di ujung sana. Di tepian hutan, di punggung gunung, di batas langit atau di sisi samudera. Semua, tidak terkecuali.

Maka terhitung November 2012, enam orang Pengajar Muda kembali dikirimkan bertugas ke Aceh Utara. Mereka berangkat untuk terus mengabarkan bahwa kita akan terus berjuang bersama anak-anak di sana.

***

Membaca buku kumpulan tulisan anak-anak SD Langkahan Aceh Utara ini membuat diriku --sengaja menggunakan kata ganti 'ku' daripada 'saya'-- bergelegak. Semua membuncah, perut jadi panas bergejolak dan dada terasa penuh oleh api.

Dipicu oleh kata-kata indah di sini, maka aku menabuh genderang. Sembari kuangkat tinggi-tinggi tongkat penabuh ini, aku teriakkan panggilan berpesta. Ayo, ini perang kata-kata. Rasakan jiwamu dan tulislah kata-katamu.

Ini adalah hari merebut dunia. Ini hari menulis cita-cita di langit Tuhan. Jangan lupa tiup kencang-kencang bersama angin agar tulisan itu menjadi ukiran di langit dan mewujud menjadi takdir.

Dan ini hari menjadi keras kepala. Keras kepala bahwa tiap harapan anak-anak di negeri adalah adalah sah untuk ditulis di langit sana; dan bahwa setiap kecemasan yang menggantung di dada mereka adalah mutlak untuk dibasuh jatuh ke muka bumi.

Dengan itu maka bumi lebih subur, langit lebih cerah. Di Aceh atau di ujung manapun Republik ini.

(10 Juli 2013)

Avatar

Selendang Awan di Langit Ciwidey

Salah satu misteri terbesar masa kecilku adalah…langit.

Awalnya kukira langit adalah benda padat. Ia dinding di atas kepala yang menjadi batas solid dunia ini. Karena padat maka semua benda-benda langit itu menempel di atasnya, bukan mengambang di sana.

Dan konsep itu jadi lebih rumit untuk dipikirkan karena pelajaran sains menjelaskan dengan cara berbeda. Demikian pula dengan kisah-kisah dalam pelajaran agama. Ada garis edar, lalu bahwa matahari itu bintang dan ini yang paling parah: bulan tidak bersinar. Pun demikian dengan pelajaran agama, soal terjadinya hujan serta konsep langit ketujuh.

Astaga. Orang bodoh mana yang sok pintar dan menulis buku bahwa bulan itu tidak bersinar dan hanya memantulkan cahaya? Apakah dia tidak pernah keluar ke halaman rumahnya di malam hari dan menatap ke atas? Apakah dia terlalu takut menatap bulan karena percaya dongeng pemangsa rembulan? Mungkin kira-kira begitulah pikiranku waktu itu.

Dalam perjalanannya, misteri terbesar itu mulai perlahan terbongkar. Atau tepatnya malah tersusun kembali.

***  Soal langit ini sesungguhnya tidak pernah benar-benar selesai sampai sekarang. Aku melaluinya sebagai sebuah paradoks dalam rangkaian pelajaran yang tersusun di kepalaku. Sebagian besar diriku dalam dunia-dewasa ini aku menerima konsep-konsep ilmu pengetahuan modern, dan sebagian diri masa kecilku masih memelihara angan tentang langit sebagai kanvas solid yang indah.

Satu hal yang jelas tersusun kembali sebagai kesepakatan antara dunia-dewasa dan dunia-masa-kecilku adalah bahwa ia sungguh luas. Sebagai dinding padat, aku tak pernah bisa menyentuhnya. Ketika aku melihat jauh di atas bukit belakang rumahku --pernah kutulis dalam cerita lain-- dinding langit itu ada di pinggir pantai jauh di sana. Tetapi saat lain hari aku bisa mencapai pinggir pantai di Semarang itu, dinding itu lebih jauh lagi adanya.

Dunia dewasa lebih fasih lagi menjelaskan betapa luasnya. Langit yang kita lihat sebenarnya adalah tak terbatas ujungnya. Bahkan di balik atmosfer yang dapat membentuk berbagai ilusi warna, ada ruang besar galaksi dan balik punggung galaksi adalah galaksi yang lain. Langit seperti tak ada batasnya.

Kemahaluasan itu membuatku menjadi merasa lebih kecil lagi. Ada sesuatu yang lebih besar lagi dari batas-batas cakrawala. Ia sedemikian luas sehingga kita jadi sedemikian kecil di bawah payung langit ini.

Memiliki kesadaran seperti ini memang bisa membuat kita menjadi kecil hati. Atau malah berlepas hati. Kecil hati karena ada yang jauh lebih besar lagi. Tetapi berlepas hati karena toh kita memang sedemikian remeh temehnya. Kita sungguh mutlak kecilnya. Meminjam istilah dari kitab suci, kita hanyalah setitik dzarah di bawah langit luas ini.

Di bawah langit ini, di manapun kita berada, semua hal terbaik dan, sebaliknya, semua hal terburuk bisa terjadi. Jadilah semuanya sama saja di bawah kebesaran ini. Baik dan buruk di hadapan kemutlakan adalah sama saja.

Dan kelanjutan ceritanya maka di bawah langit luas ini, semua resiko bisa terjadi. Bisa mati di atas perahu, bisa hilang di bawah samudera, bisa ditelan beruang atau sekedar mati kesepian di rumah kokoh bertembok beton.

Karena toh kita akan mati, barangkali itu bukanlah jadi berita menyedihkan. Mungkin yang lebih menyayat karena di bawah langit ini kita bisa terkubur dan dilupakan. Kita bahkan bisa dilupakan oleh semesta. Kita bisa punah sebagai partikel dan ditimpa oleh debu dan angin menjadi ‘bukan sesuatu atau seseorang’ lagi.

Berita baiknya adalah bahwa mantan pacar paling menyebalkan pun yang seenaknya mencampakkan dan melupakan kita, juga akan mudah dilupakan semesta. Kegalauan paling rumit jadi sangat sederhana dibandingkan 'dilupakan' oleh semesta.

Lalu pelahan misteri masa kecilku tersusun keping demi keping. Dalam kerapuhan sebagai titik dzarah ini, di bawah langit maha luas ini, rahasia tentang langit jadi mulai terkuak. Iya, kita bisa punah dari semesta dan tak apalah dengan itu semua.

Barangkali tugas kehidupan kita adalah sekedar sempat untuk menjadi makna, sebelum kemudian punah di balik tilam alam semesta. Barangkali seperti bintang, kita hanya perlu sekali bersinar sebelum mati di langit luas ini. Sekedar pernah berarti bagi semesta, keluarga atau --sebut saja-- Republik ini. Barangkali.

*** Pagi itu aku berjalan menyusuri padang rumput basah, berloncatan di atas aliran-aliran kecil dan sesekali genangan besar lalu mataku menangkap selendang awan di langit depan sana. Matahari belum sungguh-sungguh jatuh di tepian hutan Ciwidey ini sehingga kanvas langit belum berubah menjadi biru terang. Beberapa untai awan tampak menempel erat di kanvas itu, seperti selendang yang --dalam imajinasi masa kecilku-- menempel di dinding padat bernama langit.

Dan mengenang saat sekumpulan anak-anak muda berdoa di dalam hutan yang baru kutinggalkan, seketika kecurigaanku muncul ke dalam pikiran. Aku curiga doa-doa suci yang dipanjatkan barusan telah terbang ke langit dan membentuk satu selendang di sana. Warna putihnya adalah kegagalan semesta mewakili keikhlasan sempurna dan hanya bisa hadir sebagai warna putih yang bening. Sesuatu yang tulus tak mungkin diwakili hanya dalam sebentuk warna, lalu semesta memilih putih untuknya.

Sembari menatap langit dan awan, tiba-tiba kusadari aku telah berdendang lirih. Adalah salah satu lagu terbaik masa kanak-kanakku yang belakangan secara tak sadar sudah berubah sedikit dari syair aslinya.

Kulihat awan, seputih kapas.  Arak-berarak di langit Tuhan.  Andai kudapat, ke sana terbang  Akan kuraih, kubawa pulang.

Ya. Awan tidak sekedar berarak di langit luas. Ia berarak di langit Tuhan.

Sembari menarik nafas dari udara ringan di padang rumput ini, aku berbisik pelan. Berangkatlah, kawan. Bawakan aku awan dari langit Tuhan. Setahun dari sekarang.

Galuh, Juni 2013 *selamat bertugas PM VI! **terpercik untuk menulis saat turun dari bukit di Ciwidey --pelantikan PM VI, menyusuri padang rumput basah dan langit mulai berubah cerah.Dan awan tetap saja menggantung di sana.

(12 Juli 2013)

Avatar

Syair Burung Udik

Menjemputmu amat pagi, lalu pergi kita ke timur. Menuju cakrawala, dan bersandar di garisnya menunggu matahari keluar dari pintu depan rumahnya.

Kita adalah sepasang burung yang lalu menari gembira ketika matahari sudah berangkat dari rumahnya. Bersahutan kita bernyanyi dan jungkir balik di atas punggung bukit, di seruak pohon-pohon berbiji tua. Hai, kita gembira menyambut dan menyongsong paparan makanan di depan kita, dan kita sibuk untuk mengumpulkannya buat anak-anak di sarang pulang nanti.

Walau ketika hujan turun, semburat wajahmu menggambarkan rasa lega toh garis suara paraumu menyampaikan pesan kelelahan. Dan di antara dahan pohon ini, di tampias daun-daun, aku menarikmu dalam peluk sayapku.

Kupikir dan kuyakin, walau aku burung yang tidak lentur, aku amat dekat memelukmu. Melingkarkan sayap kakuku pada tubuhmu, mencoba sekuat tenaga menjagamu dari badai kecil ini.

Aku ingin terus menikahimu sebagai burung. Walau aku tak indah berkicau menarik kagummu di antara pejantan lain.

Aku hanya burung udik yang kuat menemanimu mencari biji untuk anak-anak kita, dan menjagamu dari badai-badai di hadapan mata.

Dan sembari mencengkeram dahan pohon karena angin, aku melamarmu kembali.

(18 Juli 2013)

Avatar

Terompet dan Tambur

*oleh-oleh Lebaran 1434H.

Ini adalah pagi yang panas di pinggiran Semarang. Di sekitar hari Lebaran pada musim kemarau, sekitar bulan Agustus.

Dan mungkin ini yang membuat ingatan Bapakku kembali ke situasi yang identik di tahun 1945: Proklamasi saat itu pada masa Ramadhan dan di Kebumen --desa masa kecilnya-- waktu itu sedang musim kemarau, saat terbaik menanam tembakau.

Lalu mengalirlah cerita soal Proklamasi di daerah masa kecilnya, Kebumen. Tanpa awalan, tanpa pendahuluan, tiba-tiba ia bercerita panjang soal terompet dan tambur ini. Dan untuk mereka yang terus meniup terompet dan menabuh tambur di setiap jengkal Republik, aku khusus menuliskan ini untuk kalian.

*** Iya. Suatu siang Bapak sedang membantu ayahnya menyirami tanaman tembakau di tepian jalan pedesaan di desanya di pinggiran Kebumen. Sebagian petani di sana menanami lahannya dengan tembakau, khususnya pada musim kemarau. Siang itu di tepi jalan Kedungbener ke arah Bocor --dua nama desa di Kebumen-- Bapak melihat dua orang gurunya datang ke satu pertigaan jalan di dekatnya, turun dari sepeda motor dan menyiapkan dua alat, terompet dan tambur.

Bapak bahkan masih ingat jelas namanya, mereka adalah Pak Bariyun yang berasal dari Prembun dan Pak Prapto dari Krakal. Keduanya adalah guru-guru di sekolah rakyat di Desa Jatisari Kebumen, tempat Bapak bersekolah di sana. Tahun itu ia duduk di kelas 3, kuhitung-hitung Bapak kurang lebih berusia 11 tahun --beda dengan usia rata-rata kelas 3 sekolah dasar di masa kini.

Segeralah di pertigaan kecil di pinggiran Kebumen terdengar terompet dan tambur bersahut-sahutan. Dan bisa dibayangkan kemeriahan yang segera terjadi: anak-anak berhenti bermain, orang-orang tua berhenti bekerja, mereka segera berkumpul mendekat ke arah suara itu. Dan saat ketika tembakau tumbuh dengan baik adalah saat terik terbaik bisa diberikan matahari setiap tahunnya. Panas, debu dan kemeriahan bercampur di suatu pertigaan kecil di salah satu ujung Republik ini.

Ketika terompet dan tambur berhenti, disampaikanlah ke khalayak kabar itu: bahwa kita telah merdeka. Keputusan bersama yang disampaikan oleh Bung Karno dan Bung Hatta di suatu pagi 17 Agustus 1945, secara beranting telah sampai di satu pertigaan kecil di Kebumen, tempat yang jaraknya sekitar 450an km dari Pegangsaan Timur di Jakarta.

Kegembiraan segera membuncah. Saat itu konsep negara-bangsa adalah konsep baru di masyarakat dunia dan barangkali kata 'merdeka' juga sebuah kata yang perlu waktu untuk memahaminya dengan utuh. Toh penguasaan atas definisi leksikal tidak sanggup untuk membatasi pemaknaan liar atasnya. Ekspresi gembira di wajah para guru tadi, suara terompet dan tambur yang ditimpa yang dengan sorak-sorai bergembira adalah makna dari alam semesta bahwa sudah saatnya kita bergembira. Itu sudah memberi pesan yang cukup bagi pertigaan itu.

Kabar sudah sampai. Pesan telah diterima. Pertigaan itu telah menerima makna sederhana yang dipahami dengan jelas: bahwa mereka sekarang boleh berharap. Iya, boleh.

Satu pertigaan demi pertigaan disambangi guru-guru itu. Berhari-hari --atau mungkin berbulan-bulan-- cerita itu beredar di masyarakat desa sana. Dan bahkan sampai hari ini, Bapak bisa bercerita detil soal itu. Masyarakat desa lain akhirnya mengkonfirmasi bahwa memang guru-guru itu mendatangi setiap pertigaan di antara jalan antara Kedungbener sampai Bocor, antara dusun Kedungbener di sisi jalan raya Jogja-Gombong sampai Desa Bocor di tepian Samudera Hindia.

Di sekolahnya, namanya Sekolah Rakyat Jatisari, kegembiraan juga sama besarnya. Kepala sekolahnya, namanya Bapak Jusuf Adisumarto, membuat giliran jaga gerbang sekolah. Semua anak bersemangat bergiliran jaga walaupun ketika sudah besar Bapak sadar benar bahwa sebenarnya tiada artinya 'jaga gerbang sekolah' oleh anak-anak kelas 3 sekolah di hadapan senjata betulan milik Jepang. Tetapi Pak Jusuf mengabarkan sampai ke tulang dan darah anak-anak bahwa kemerdekaan sungguh layak untuk dijaga.

Tiga guru, lengkap dengan ingatan nama dan asal daerahnya, dan cerita seorang tua berumur 78 tahun. Buat Bapak, mereka adalah pejuang yang kebetulan menjadi guru di sekolahnya.

*** Maka musim kemarau seperti ini memberiku rasa terik yang berbeda. Kegersangan tidak akan pernah sanggup menghanguskan harapan. Dan melewati hari-hari di mana kabar soal merdeka itu diceritakan selalu mampu mengubah keperihan dari si-terik menjadi gelitikan dari si-hangat.

Dari tempat sejauh 10an km dari tempat Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan kita, tak pernah habis aku mendengar cerita soal banyaknya para pejuang hebat di daerah penempatan Indonesia Mengajar. Cerita satu PM dikonfirmasi oleh PM berikutnya. Dan setiap desa tampaknya punya pejuangnya sendiri-sendiri. Itu sama saja bilang: di tiap ujung Republik ini kita selalu bisa menemukan para pejuang.

Aku sering tidak habis pikir: bagaimana bila tidak ada para pejuang yang tetap menjaga sekolah, pendidikan atau hal lain di kantung-kantung masyarakat terjauh di sana? Bahkan statistik negara mungkin gagal menangkap fenomenanya. Seorang mati karena miskin atau seorang siswa tetap bodoh di penjuru Republik tidak cukup berarti dibanding angka akumulatif nasional. Dan para pejuang ini menjaga masyarakatnya lepas dari apakah 'itu berarti secara nasional' ataukah tidak.

Apa yang mereka lakukan ini seperti para guru yang meniup terompet dan menabuh tambur di atas. Mereka mengabarkan bahwa kita semua tetap boleh berharap, bahwa mereka yang di ujung pun tetap berhak berharap. Terompet dan tambur seperti isyarat untuk tetap berjuang, tidaklah soal apakah suara itu terdengar cukup jauh sampai Jakarta ataukah tidak. Kita sedang memberi kabar ke seluruh penjuru Republik; dan kita memang memilih memulainya dari ujung.

Maka berbanggalah kalian yang melewatkan hidup bersama mereka dan melalui kemarau ini di antara tiupan terompet dan tabuhan tambur mereka. Kegersangan dan terik kemarau atau bahkan badai terbaik tidak akan pernah bisa mengirimkan kegentaran bila berjalan dengan para pejuang sejati itu.

Untuk mereka yang terus meniup terompet dan menabuh tambur, mohon titipkan salam hormat kami pada mereka: Selamat Idul Fitri dan selamat Hari Kemerdekaan!

(15 Agustus 2013)

You are using an unsupported browser and things might not work as intended. Please make sure you're using the latest version of Chrome, Firefox, Safari, or Edge.