Avatar

Satria Maulana

@satriamaulana / satriamaulana.tumblr.com

Things change. Why don't we?
Avatar

Berbagi Tanpa Syarat

“Kita tidak diminta menyempurnakan pengetahuan sebelum melakukan suatu kebaikan" (Riza Zacharias)

-

Berapa kali penunaian sebuah kebaikan sengaja kita tolak atas dalih...merasa belum ideal, pantas & sempurna?

Mungkin belajar rendah hati. Mungkin juga karena rendah diri atau hal yang lebih riskan lagi: perasaan malas & kikir.

Riskan karena menunda kebaikan berarti juga menunda kebahagiaan untuk bisa kita rasakan. Kalau harus serba ideal, kapan mau mulainya?  Tanpa sadar, kita sedang terus membonsai diri.

Kita terkungkung dalam perasaan "belum layak" dan menihilkan perbaikan.

Padahal kebaikan yang kita selalu tolak, aslinya enggak se-rumit itu juga.

Sederhana, tapi kita yang merumitkan. Belum layak ilmu, pengalaman, harta - katanya. Kalau kebaikan baru tertunai saat kepantasan diraih, akankah kita merasa betul-betul pantas nanti?

Tiap orang punya ritmenya tersendiri. Toh kita pun terus melakoni perbaikan bertahap. Kalau timbul sedikit kekhawatiran, ya wajarlah. Yang penting, jangan dihambat rasa malas & kikir.

Kaya pertimbangan gue saban diminta ngisi materi di kelas atau sesi berbagi.

Ragu? Pernah. Banyak kok orang yang jauh lebih kece dari gue sebagai pemateri.

Tapi, kesempatan enggak datang begitu aja tanpa takaran. Ujungnya kembali ke diri sendiri. Mau enggak berbuat baik lewat berbagi? Mau enggak ambil peluang mengembangkan diri?

Berbagi kebaikan bisa dilakukan tanpa syarat asal relevan dengan keadaan. Karena kalau berbagi itu sedemikian bersyarat, ujungnya enggak semua orang bakalan bisa berbuat.

Kepantasan itu bukan buat ditunggu, tapi diusahakan konkret & berkelanjutan.

Jadi, kuatkan keyakinan, jaga niat, kenali keutamaan, utuhkan rencana. Lakukan.

Keadaaan sering jadi kambing hitam ketika kita merasa terus jalan di tempat. Coba cek ulang. Berapa banyak kesempatan baik yang udah kita lewatkan karena alasan "belum pantas"?

Avatar

Waspada Kebocoran Halus

“Life is 10% what happens to you and 90% how you react to it” (Charles Swindoll)

-

Sifat yang mengganggu dari seseorang, enggak muncul tiba-tiba melainkan berawal dari kebiasaan yang sepele.

Tapi karena hal yang sepele tadi terbentuk berkali-kali, ia pun mengeras menjadi sifat. Sesuai dengan prinsip 1%.

Setiap hari kita selalu memilih: mau 1% jadi lebih baik atau buruk? Yang keputusan itu bermuara pada karakter yang nyata. Mirip beda 1° di arah terbang pesawat, akhirnya bisa jauuh banget*.

Kita "menabung" karakter lewat pengembangan sikap juga kebiasaan sehari-hari.

Mirip kebocoran halus di ban kendaraan atau atap rumah yang kita tempati.

Ada lubang/retakan mungil yang tak nampak tapi justru karenanya, muncul masalah yang lebih besar. Kendaraan enggak bisa bergerak, rumah enggak nyaman dihuni. Menyebalkan.

Makanya, kesiagaan penting supaya kita bisa tanggap lebih awal sama potensi terbentuknya kebiasaan jelek yang mengeras & mengakar. Sayangi diri lewat kepekaan yang seimbang.

Jangan cuek. Kalau udah parah, kita bisa repot gara-gara kelakuan sendiri.

Perlu juga untuk berada di lingkaran sosial yang tepat dan sarat dengan nasihat.

Karena mungkin kita enggak sadar sama bocor halus di perilaku sendiri. Di sana, nasihat memainkan perannya supaya kita enggak melenceng kejauhan dari trek semestinya.

Kalau hidup juga dipengaruhi oleh kualitas reaksi kita terhadap kenyataan, maka jadikan setiap pengalaman sebagai tabungan untuk menghasilkan reaksi & tanggapan terbaik.

Semua hal nampak sepele hingga ia membuahkan penyesalan di ujungnya.

Jangan biarkan diri kita menebus mahalnya harga penyesalan yang luar biasa.

Mencegah itu lebih baik (dan seringkali lebih murah) daripada mengobati. Peka terhadap tren terbaru itu penting, tapi jangan lupa, diri sendiri juga punya hak yang sama untuk itu.

Avatar

Janji-Janji Tinggal Janji

“Sometimes people don't understand the promises they're making when they make them” (John Green)

-

"Mana janjimu dulu, pak/bu?". Tagih kita lantang sebagai awam waktu ngeliat gelagat enggak beres wakil rakyat.

Jangankan mereka, kita juga dasarnya cenderung enteng mengumbar janji manis ke siapapun & kapanpun kan?

Sering kita kesel ngeliat orang yang ingkar, tapi sekuat apa sih komitmen kita sama janji yang pernah kita ucap? Manis di awal, getir di akhir. Ringan di lisan, berat di pelaksanaan. Gitu kan?

Inget lagi, dari yang paling deket. Janji kita sama diri sendiri ditepati enggak?

Persis pengalaman waktu gue lagi jalan pagi bareng ke sebuah hutan raya.

Ada seorang kakek penjaja kelapa muda. "Cep, neng, kelapa mudanya...". Tanpa pikir panjang, gue timpali, "Iya, kek. Nanti ya pas pulangnya". Begitu gue balik, kakek itu nagih janji gue.

"Ayo, mampir, cep, neng...". Sepersekian detik gue hampir melengos sampai akhirnya inget sama janji untuk merapat ke lapak beliau. Kami lalu duduk untuk menikmati es kelapa muda.

Enggak lama kemudian, gue bersyukur enggak ingkar janji sama beliau.

"Maaf, belum ada kembali, cep. Hari ini kakek belum terima uang sama sekali".

Pungkas beliau waktu kelapa muda dibayar. Gue terenyuh & ngelamun. Andai tadi gue melengos, bisa jadi kakek itu terus termangu menunggu pembeli. Gue hampir ngerasa enggak bersalah ketika udah ngasih janji.

Janji yang diucapkan sendiri, diingkari sendiri. Hikmah sederhana itu bikin gue mawas lagi betapa pentingnya berpikir sebelum berucap. Terlebih ketika yang diucapkan adalah janji.

Se-ke-cil a-pa-pun. Sa-ma si-a-pa-pun dari pasangan, anak sampai orang tua.

Enggak bisa? Tolak. Ragu? Tunda. Jangan "iya, iya" tapi ujungnya "enggak".

Kita ingkar tanpa sadar. Padahal tau diingkari tuh ngeselin. Janji itu murah, komitmen mahal. Menjaga komitmen itu penting. Hati-hati jangan sampai janji kita jadi senjata makan tuan, nanti.

Avatar

Baca Buku Gaya Ngemil

“You don’t have to burn books to destroy a culture. Just get people to stop reading them” (Ray Bradbury)

-

Konon, orang Indonesia malas baca buku. Gue enggak setuju karena urusan "akses" lebih dominan ketimbang "malas".

Urusan kebiasaan masih bisa dikulik juga kalau kita alihkan waktu impulsif "berselancar" ke lembaran-lembaran buku.

Pengalihan itu bisa diawali dengan menjadikan kegiatan baca buku kaya ngemil. Dikit, enteng tapi rutin. Bedanya, waktu kita "ngemil" buku, yang diisi bukan perut tapi otak & pikiran.

Kaya cemilan, buku juga bisa bikin kita ketagihan kalau dibawa asik & fun.

Sering gue ditanya sama temen, "Sat, kok lo bisa sih baca buku sampe beres?".

Karena gue enggak pernah menganggap baca sebagai kegiatan yang berat, serius & bosenin. Kaya ngemil, gue biasanya baca buku ngècèr/ngètèng. Ada waktu 1/2 jam? Baca. 10 menit? Ya, baca.

Enggak ngoyo. Santai. Misal, "Fast Thinking, Slow Thinking"-nya Kahneman kurleb 600 halaman, tamatnya 2 bulan (sambil baca buku lain juga soalnya). Nyicil aja kaya ngemil, enggak berasa ujungnya tandas juga.

Memang, mindset dalam menyikapi kegiatan baca juga penting akhirnya.

Gaya ngemil ini juga yang bikin gue ngerasa perlu bawa buku kemana-mana.

Supaya gue punya pemantik kebiasaan juga. Ada bacaan yang enggak jauh dari jangkauan tangan. Ada pelarian dari kebiasaan iseng buka timeline biar bisa nurunin screen-time juga.

Untuk kebiasaan ngemil anti-gemuk ini, gue rasa siapapun bisa ngejabanin asal motivasi dijaga terus dengan memilih buku yang sesuai kebutuhan dan kemampuan, secara bertahap.

Biar sedikit, yang penting berkelanjutan daripada banyak tapi jarang-jarang.

Kebiasaan membaca juga jadi bagian penting dari kualitas sebuah bangsa.

Langkah konkret yang bisa kita pelihara untuk menjaga semangat kebangkitan ialah dengan terus membaca buku. Supaya bangsa kita bisa melaju seiring dengan kemajuan manusianya.

Avatar

Mengenali Blind Spot Sendiri

"We all need someone who understands us better than we understand ourselves..." (Ryan Holiday)

-

Dalam berkendara, kita mengenal istilah "blind spot". Yakni area yang berada di luar jangkauan pengemudi.

Pendewasaan diri mengenal blind spot-nya juga: saat kita tersadar pandangan dalam menilai diri itu berbatas.

Momen mengenal blind spot gue alami lagi kemaren pas ikut pelatihan bisnis. Ada banyak hal mendasar yang selama ini "gak keliatan". Sekeras apapun gue berusaha berkonsentrasi.

Apalagi kadang kita suka berlebihan dalam menilai diri. Angkuh tipis gitu.

Padahal, bisa jadi ada hal prinsipil yang terlewat lalu kita enggak sadari. Silap.

Salah ngeliat karena berbatasnya pandangan & subjektif-nya kita. Yang rasanya mustahil gitu kita auto-sadar tanpa peran orang lain. Kalau udah gitu, baru kita ngeh arti membuka diri.

Karena pendewasaan belum lengkap tanpa pemahaman diri yang sebagiannya berasal dari sudut pandang orang lain. Kita enggak se-super itu dengan semua hal yang udah dimiliki.

Kita perlu penilaian orang lain untuk tetap relevan & selamat di perjalanan...

Dengan sikap rendah hati. Dengan mental "bukan siapa-siapa". Kapanpun.

Menempatkan diri sebagai gelas kosong atau spons kering dalam menerima & menampung masukan dari orang lain. Pun masukan itu mau kita saring lagi setelahnya, akan beda urusan.

Untuk itu pula, kita perlu terus memperluas referensi. Rajin berproses lewat berbagai cara. Supaya kita bisa lebih membuka diri kemudian menyadari pentingnya memahami perbedaan.

Karena dengan memahami perbedaan, kita bisa jadi manusia yang lebih kaya.

Diantaranya, kaya hikmah dengan mendapat bahan baku perbaikan dimanapun.

Mengenali blind spot diri menjadi ikhtiar agar kita bisa hidup dengan lebih selamat karena hidup yang kita lalui tak ubahnya merupakan perjalanan berkendara yang teramat singkat :)

Avatar

Memilih Hidup Bahagia

“The easiest way to increase happiness is to control your use of time” (Daniel Kahneman)

-

Kalau bahagia merupakan pilihan, akankah dengan sadar kita memilihnya?

Di "Fast Thinking, Slow Thinking", Kahneman bercerita tentang riset untuk mengukur waktu tak menyenangkan yang dialami seseorang dalam kesehariannya lewat ukuran bernama "indeks U".

Riset itu, dilakukan di banyak negara sehingga datanya bisa disandingkan.

Juga, dikaitkan dengan kegiatan yang dijalani seseorang. Misal, seberapa tak menyenangkan seseorang pergi ke tempat kerjanya, saat ia sedang bekerja atau ketika bertemu keluarga.

Kita sadar tentang rasa tak nyaman yang menggelayuti hati, tapi enggak terlalu banyak upaya signifikan untuk memulihkan keadaan tsb. Alhasil, ketidakbahagiaan tersebar dalam tiap satuan waktu aktivitas yang kita jalani.

Mau berbahagia, tapi kita enggak terbiasa mengelola waktu. Terus gimana?

Pertama - Kurangi Konten "Drakula”.

Karena perhatian kita adalah mata uang dalam ekonomi digital hari ini, cermatlah saat memliih konten untuk dikonsumsi. Kurangi konten digital yang membikin kita jadi kurang berdaya & produktif.

Salah satu modal penting di 2020 ini ialah energi mental yang terkelola baik untuk menghadapi ketidakpastian.

Kedua - Biasakan Sesi Monotasking.

Dari cerita tentang indeks U, disimpulkan bahwa perempuan Amerika lebih tidak menikmati waktu makannya ketimbang perempuan Perancis karena kebiasaan makan sambil mengerjakan hal lainnya.

Bahkan untuk makan aja, kita butuh kekhusyukan biar apa yang dikonsumsi juga jadi lebih...membahagiakan.

Ketiga - Ubah Cara Kita Bersantai.

Dari santai yang bersifat pasif, ke santai yang bersifat aktif. Dari nonton TV, ke olahraga ringan atau bersosialisasi. Dari hal yang memerlukan peran lebih sedikit ke kegiatan yang lebih "berkualitas".

Sama-sama santai, bedanya ada pada porsi peran yang bisa kita berikan untuk membuatnya lebih mengisi.

Waktu merupakan sumber daya kebahagiaan yang masih bisa kita kelola.

Kebahagiaan enggak datang dengan sendiri melainkan bergantung pada upaya & pilihan yang kita buat selama hidup. Kalau bahagia merupakan pilihan, maka pilihlah hal-hal terbaik yang menjadi sebab dari kehadirannya :)

-

“The true secret of happiness lies in the taking a genuine interest in all the details of daily life.” (William Morris)

Avatar

Saat Diri Terbiasa Meninggi

"Jika keberhasilan anda sebagian besar karena keberuntungan seberapa layak anda mengakuinya?" (Daniel Kahneman)

-

"Dia tuh membicarakan hal yang sama ke setiap orang tentang kehebatan dirinya".

Sebut seorang teman ketika bercerita tentang pengusaha muda yang bergelimang puja puji dari lingkungannya. Nahas, tanggapan baik itu malah membuatnya meninggi di hadapan orang lain.

Ya, mudah bagi kita untuk merasa hebat ketika sudah merasa menemukan pola.

Terutama pola dalam meraih capaian. Untuk itu, Kahneman dalam "Fast Thinking, Slow Thinking" membantah kecenderungan rasa bangga kita akan kesuksesan karena diremehkannya faktor keberuntungan yang justru, begitu menentukan.

Kalau kita enggak bersikap rendah hati, berat memang mengakui keberuntungan sebagai faktor penting atas capaian yang kita raih. Maka, penting bagi kita untuk cermat dalam menyikapi umpan balik positif dari orang lain.

Gimana caranya agar kita bisa mendidik diri untuk enggak terbiasa meninggi?

Pertama - Belajar Menahan Diri.

Apa tantangan terbesar setelah kita bisa meraih capaian tertentu? Menahan diri untuk tetap tenang & bersikap wajar. Terlebih saat mengekspresikan sesuatu begitu dimudahkan dengan media sosial.

Bayangkan, seberapa kuat mereka yang bisa menahan diri untuk tetap membumi walau capaiannya tinggi?

Kedua - Kita Bukan Ahli Segalanya.

Makin kita mendewasa, makin trade off mengemuka, makin setiap orang terarah untuk menguasai hanya bidang tertentu. Tiap orang punya keahliannya tersendiri. Orang lain juga punya potensi diapresiasi.

Kita bisa membuat suasana lebih menyenangkan dengan memecah perhatian untuk tidak terarah pada kita saja.

Ketiga - Kenali Esensi Hidup.

Seorang arif berkata, "Two things define: patience when you have nothing and attitude when you have everything". Esensinya, keadaan & ketiadaan jadi ujian untuk menilai kualitas perbuatan kita.

Keadaan menguji? Iya. Berapa banyak orang yang tersungkur ketika mereka sedang merasa berada?

People know you're good if you're good. Langit tinggi tanpa perlu meninggi.

Belajar dari Kahneman, kita mesti berhati-hati supaya enggak berlebihan dalam menilai diri. Pengalaman memang memegang peranan penting dalam pencapaian, tapi bukan karena itu kita merasa layak untuk meninggikan diri :)

-

"Never curse a fall. The ground is where humility lives" (Yasmin Mogahed)

Avatar

Seni Membuat Cadangan

“You cannot swim for new horizons until you have courage to lose sight of the shore” (William Faulkner)

-

Dari kisah Nabi Yusuf, kita juga belajar tentang arti cadangan bagi masa sulit.

Tentang arti ketahanan pangan lewat optimasi produksi lahan pertanian. Tentang antisipasi masa paceklik & krisis dengan pengaturan cadangan yang bisa mencukupi kebutuhan.

Kalau Sandiaga Uno bilang dalam sebuah obrolan, "Life is about preparation".

Mempersiapkan cadangan/penyangga adalah bentuk ikhtiar kita dalam menghadapi dampak dari ketidakpastian. Karena ketidakpastian itu bersifat pasti, maka kita perlu mempersiapkan cadangan sebagai bentuk antisipasi risiko.

Cadangan bisa hadir dalam berbagai bentuk. Utamanya, selisih lebih dari setiap sumber daya yang kita anggap penting: waktu, energi, biaya,. Kenapa penting? Supaya kita bisa lebih leluasa dalam merespons keadaan & beradaptasi.

Gimana cara kita memulai kebiasaan untuk membuat cadangan yang optimal?

Pertama - Extreme Preparation.

7 dari 20.400 perusahaan yang bertahan dalam masa ekstrem di buku "Good to Great"-nya Collins adalah mereka yang membuat persiapan dengan lebih baik & rinci. Selebihnya? Bukan domain mereka.

Kadang, kita menjadikan ketidakpastian sebagai alasan untuk tidak berusaha menyempurnakan rencana.

Kedua - Tambahan 50% Waktu.

Satu hikmah penting dari buku "Fast Thinking, Slow Thinking"-nya Kahneman ialah Planning Fallacy. Kita sering pede berlebih kalau disuruh bikin estimasi. Padahal ujung-ujungnya, selalu ngaret.

Khususnya dalam urusan waktu, kita perlu menambah 50% dari prediksi awal agar rencana kita lebih relevan.

Ketiga - Scenario Planning.

Coba tanya sama diri sendiri. Risiko apa yang dihadapi? Seperti apa skenario terburuknya? Apa dampak sosial & finansial yang terjadi? Bagaimana cara kita mengurangi risiko, menguatkan finansial atau ketahanan sosial?

Pertanyaan di atas adalah contoh skenario pemetaan risiko supaya kita mengasah kesadaran berencana.

Menyempurnakan cadangan menjadi wujud perbaikan ikhtiar karena rencana kita enggak pernah bisa mengantisipasi ketidakpastian 100%. Maka yang layak kita optimalkan adalah mengurangi dampak dari ketidakpastian.

Ketidakpastian akan selalu menggelisahkan ketika kita enggan bersikap dewasa. Rencanakan, hadapi :)

-

"Wherever there is change and wherever there is uncertainty there is opportunity" (Mark Cuban)

Avatar

Passion & Dinamika 20-an

“Passion is energy. Feel the power that comes from focusing on what excites you” (Oprah Winfrey)

-

Gue adalah satu dari sekian banyak orang yang takjub sama topik tentang passion.

Dulu, sepuluh taun lalu. Waktu gue masih kuliah dan bergulat dengan pencarian jati diri. Gue nemuin fakta kalau banyak orang besar yang meraih capaian mereka bersebab passion. Untuk itu, gue ngerasa harus nemu passion juga. Wajib.

Passion itu sumber energi. Alasan yang bikin kita bernyala sebagai manusia.

Perjalanan untuk menemukan passion pun bergulir, sampai akhirnya ketemu. Gue girang! Tapi, ada satu hal yang gue sadari kemudian: passion aja enggak cukup tanpa alasan yang kuat untuk mengubahnya jadi lebih bernilai.

Gue sempet terjebak ilusi ketika gue enggak berbuat lebih setelah mengenal passion. Alhasil, passion yang bertahun-tahun gue cari & akhirnya temuin malah jadi senjata makan tuan ketika ia membuat gue terus berdalih.

Jadi gimana dong supaya kita bisa menempatkan passion dengan adil?

Pertama - Dalami Prioritas.

Dua ciri prioritas: ia bersifat vital dan/atau ia bersifat meaningful. Disebut vital ketika menopang kebutuhan, meaningful ketika berarti bagi kita secara personal. Sayang, kadang kita enggak mau berkompromi.

Ketika kita berharap dua ciri itu hadir pada hal yang menyibukkan kita. Padahal? Belum tentu sekaligus :)

Kedua - Lebarkan Sudut Pandang.

Di bahasannya Michael Hyatt (Free to Focus), passion bisa bikin kita enggak produktif ketika kita terjebak dalam ilusi kenyamanan diri. Tapi bisa juga berdampak hebat saat kita bisa mengolahnya sebagai keahlian.

Tapi, enggak semua orang ngerasa perlu menjadikan passion sebagai sesuatu yang menghasilkan. Pilihan.

Ketiga - Sadari Perbedaan Orientasi.

Enggak semua orang orientasi utamanya cuan. Ada yang orientasi khidmat sama sosialnya kuat, ada yang mengutamakan dedikasi thd profesi. Beda-beda. Untuk itu, kita layak bersikap lebih moderat.

Banyak orang yang enggak kenal passion, tapi mereka ngerasa bisa hidup dengan bersyukur & bahagia juga.

Passion itu penting ketika lo mau & bisa mengelola, tapi bukan syarat mutlak.

Ada orang-orang yang membesar dengan membawaserta passion-nya. Ada juga mereka yang enggak memedulikan passion dan lebih berfokus pada penciptaan kemanfaatan. Jadi, enggak perlu bingung. Teruslah berproses :)

-

"Most folks are as happy as they make up their minds to be" (Abraham Lincoln)

Avatar

Because Manners Matter

"Good manners will open doors that the best education cannot" (Clarence Thomas)

-

Dari pengalaman nyata, gue belajar: manner itu esensial.  Kapanpun & dimanapun.

Good manner yang tercermin lewat kesantunan akhlak bikin yang seumuran respek, yang lebih muda menyayangi, yang lebih tua menghargai. Siapapun kita, apapun titel juga pencaharian kita.

Manners matter. Sampai risalah agama aja, memuat misi perbaikan akhlak.

Baru ngeuh kenapa guru gue sering ngingetin prinsip "adab sebelum ilmu". Karena tanpa adab & akhlak, ilmu jadi keliatan kurang berwibawa. Jangan heran kalau kita mendapati cerita ahli ilmu jaman baheula, telaten belajar adabnya.

Alhasil, "musibah" terjadi di generasi kita saat ilmu dielu-elukan tapi adab dikesampingkan. Ada banyak orang (mungkin juga kita) yang nampak berilmu, tapi ilmunya enggak memengaruhi perilakunya pada orang lain.

Terus gimana supaya kita bisa menjaga manner dan tetap relevan dengannya?

Pertama - Kenali Pokok Pokoknya.

Cari sesuai sumber yang dianggap baik. Telusuri keutamaaan berperangai baik sebagai muara dari langkah perbaikan yang berlandaskan ilmu. Pelajari tentang prinsipnya sebelum kita bersosialisasi.

Supaya kita bisa melatih kepekaan tentang "rasa" dari ucapan & perbuatan kita pada hati orang lain.

Kedua - Ketahui Pelanggarannya.

Dari lingkungan sekitar, kita bisa belajar banyak. Tentang sebagian pihak yang berperilaku seenaknya, lalu merugikan orang lain. Jadikan "pelanggaran" mereka sebagai pelajaran untuk tak kita ulangi.

Kalau kita mau kumpulkan banyak contoh di lapangan, ada banyak hal yang patut kita hindari untuk jadi baik.

Ketiga - Jangan Mulai dari Nol.

Mengawali kebiasaan baru terasa lebih berat dibanding memperbaiki yang ada. Sisipkan good manner dari kebiasaan baik yang kita sudah rintis untuk menjadikannya lebih berarti bagi sesama.

Misal, walau sederhana, tapi kata "tolong", "maaf" dan "terima kasih" amat sangat bermakna sebagai imbuhan.

Kita perlu menguasai ego untuk bisa berperilaku baik kepada orang lain. Kok?

Karena di relung hati yang terdalam, manusia paling kejam sekalipun ingin disikapi baik oleh orang lain. Jangan terus menerus ingin disuapi. Karena orang lain pun akan berperilaku sesuai dengan perilaku kita kepada mereka :)

-

“A man’s manners are a mirror in which he shows his portrait” (Johann Wolfgang Goethe)

Avatar

Are We Thinking Too Much?

“Rule number one is, don't sweat the small stuff. Rule number two is, it's all small stuff” (Robert Eliot)

-

Ada dua hal yang bikin pikiran gue sering ngaco: overthink & overwork (kebanyakan mikir & gawe). 

Overthinking bikin kita gelisah sama hal-hal yang belum tentu juntrungannya, overwork bikin kita kepayahan. Benang merah dari keduanya? Tanpa sadar kita berbuat kejam sama diri sendiri.

Khusus overthinking, kita sering tenggelam dalam keriuhan pikiran sendiri.

"Hayo, lho. Bakal sukses emang?, "Kalau gagal gimana coba?" atau "Pertimbangin ulang deh". Ada banyak  monolog yang bikin pikiran kita enggak mengenal rehat, pada akhirnya.

Padahal, salah satu tujuan dari pengelolaan pikiran ialah kejernihan. Biar kita bisa mutusin hal-hal esensial di dalam hidup secara tepat & sesuai. Untuk itu, enggak semua hal harus dipikirin terus-terusan dengan serius kok.

Coba kasih jeda diantara ruang-ruang pikiran kita. Iya, caranya gimana?

Pertama - Doing Nothing.

Mengosongkan pikiran itu sulit, maka hal yang biasa gue kerjain kalau lagi kelewat ruwet: enggak ngapa-ngapain. Berhenti beraktivitas, duduk tenang, minum air, atur napas, ngeliatin dinding - sebentar.

Ada banyak hal yang sering jadi pengalih perhatian kita di luar sana, tugas kita: mengesampingkan sesaat.

Kedua - Don’t Overanalyze.

Kita dikasih akal, iya. Kita cerdas, iya. Tapi Ryan Holiday bilang, "The problem is we're thinking too much". Alhasil, kita jadi analis untuk suatu hal yang belum tentu tapi dipikirkan bersambung & mendalam.

Kemungkinan itu, enggak ada batasnya dan seringnya enggak sesempit analisis kita. Bisa habis energi kita.

Ketiga - Be Present & Enjoy.

Alih-alih menguasai & mengendalikan pikiran, sering justru kita dikuasai & dikendalikan pikiran sendiri sehingga keterhubungan kita dengan keadaan di hadapan mata berkurang kualitasnya.

Sering kita berusaha mencari waktu, padahal kita sendiri yang menyia-nyiakan waktu ketika ia hadir & ada.

Maka jaga pikiran kita dengan mengelola isinya sebaik & sejernih mungkin.

Karena, lucu kalau pada akhirnya kita dibikin kewalahan sama diri sendiri. Yang mikir kita, yang keliru kita, yang capek kita. Gue percaya, jelas bukan untuk alasan itu akal kita tercipta :)

-

"Because mind is an important & sacred place, keep it clean & clear" (Ryan Holiday).

Avatar

/the real social dilemma_

”There are only two industries that call their customers ‘users’: illegal drugs and software” (The Social Dilemma, 2020)

-

Gue berterima kasih sama Jeff Orlowski untuk film "The Social Dilemma"-nya.

Karena sejak kecermatan bermediasosial jadi salah satu pemengaruh produktivitas individu, gue menaruh perhatian yang signifikan sama bahasannya. Relate sama digital minimalism.

Tentang gimana kita bisa sadar "memanfaatkan" alih-alih "dimanfaatkan".

"The Social Dilemma" bukan karya pertama yang bahas sisi lain & efek samping media sosial dari beragam aspek  hidup. Ada banyak akademisi & praktisi industri teknologi yang udah mengungkap realitanya di Amrik sono.

Kurang cermatnya pola bermedia sosial bisa berakhir terganggunya fokus sehingga proses & output kita dalam bekerja jadi terancam. Belum lagi kalau kita ngobrol efek samping dari sisi energi fisik berikut kesehatan mental.

Terus gimana dong supaya media sosial enggak jadi dilema di keseharian kita?

Pertama - Kenali Tujuan Penggunaan.

Selalu ada tujuan yang enggak kita kenal di balik keberadaan sebuah alat. Media sosial bermanfaat? Iya - ketika kita bisa menggunakannya sesuai keperluan kita. Bukan tergiring oleh hasrat impulsif diri.

Tujuan membantu kita untuk mengendalikan diri ketika kebutuhan atas media sosial sudah tertunai. Seperlunya.

Kedua - Kenali Gejala Kecanduan.

Kecanduan media sosial bisa kita deteksi dengan nanya ke diri sendiri beberapa hal terkait penggunaannya. Seberapa penting & mendesak urusannya? Atau pengakuan & pelarian yang kita cari?

Kondisi jadi merisaukan ketika kita enggak sadar kalau kita lagi kecanduan. Lho, kemana kesadaran?

Ketiga - Kenali Batasannya.

Pakem klasik yang tetep asik: apapun itu kalau berlebihan pasti akibatnya buruk. Cek lagi kondisi fisik dan psikis terkait pola penggunaan media sosial kita. Menghancurkan atau membangun?

Di ponsel, tetapkan batas maksimal screen time harian kita & bersikaplah disiplin dengan catatan waktunya.

Seperti ucapan Dr. Anna Lembke di bagian akhir "The Social Dilemma", enggak semua orang menganggap isu ini sebagai masalah. Akhirnya, semua kembali pada pemaknaan kita terhadap kualitas hidup yang diinginkan.

Media sosial tak perlu jadi dilema ketika kita paham dunia mana yang menjadi dasar dari kehidupan kita.

-

"Less scrolling, more living. Because offline is the new luxury"

Avatar

Sederhana Namun Bermakna

“Simple can be harder than complex. You have to work hard to get your thinking clean to make it simple” (Steve Jobs)

-

Mewah itu memesona, tapi terlihat sederhana juga punya pesonanya tersendiri.

Terlebih, ketika kesederhanaan dipilih sebagai prinsip secara sadar untuk menjalani hidup dan lebih dekat dengan pemaknaannya. Biar begitu, bersikap sederhana enggak se-sederhana itu.

Apalagi ketika seseorang memilih jadi sederhana - bukan terpaksa sederhana.

Sebabnya, kita harus bergulat lebih sengit dengan nafsu di dalam diri. Alih-alih menyuapi kehendaknya terus, kita cermat menentukan mana hal yang esensial mana yang impulsif.

Mungkin tantangan itu jadi alasan kuat di balik ketakjuban kita pada manusia-manusia yang bermakna dengan kesederhanaannya. Daya tarik mereka, enggak lekang oleh waktu. Hadir kecermatan & keteguhan lewat sikap mereka.

Lalu dengan cara apa kita bisa belajar bersikap bijak lewat kesederhanaan?

Pertama - Sederhanakan Pola Pikir

Kalau bisa berpikir dengan lebih simpel namun tujuan tetap tercapai, kenapa harus menyulitkan & merumitkan diri? Awali pikiran dari hal yang sederhana, kawal cara kita berpikir sampai akhir.

Kadang kita terjebak dalam pola pikir sendiri dengan anggapan, lebih rumit itu lebih keren. Padahal? YGTD.

Kedua - Sederhanakan Perilaku

Kita bisa bersikap sederhana dengan memahami batas kewajaran atas suatu tindakan di sekitar. Untuk itu, penting bagi kita untuk latihan bersikap peka terhadap situasi dengan tetap berprinsip.

Tanya ke diri sendiri. Pantas enggak gue bersikap begini? Sesuai aturan enggak ya? Cukup atau berlebihan ya?

Ketiga - Sederhanakan Kesan

Kadang, nampak rumit di mata orang lain itu keren. Tapi, kita sadar kalau sesuatu jadi lebih keren ketika apa yang rumit bisa terlihat lebih sederhana dengan penyesuaian lewat sikap & perbuatan.

Makin kita terkesan rumit, makin lebar jarak yang bisa tercipta dengan sesama. Seberapa rumitkah kita?

-

Dari mereka yang bersikap sederhana, kita memetik hikmah untuk diterapkan.

Bahwa perkara yang betulan esensial dalam hidup, jumlahnya enggak banyak. Kita yang seringkali menyulitkan diri dengan merasa kurang dan terus menambah-nambahi :)

-

“With wisdom comes the desire for simplicity” (Brendon Burchard)

Avatar

"Kadang, umur berlangsung panjang namun manfaat kurang. Kadang pula umur berlangsung pendek namun manfaat melimpah" (Ibnu Athaillah)

-

Alhamdulillah. Gue bersyukur masih dikasih usia sampai tiga dekade. Gue percaya, ada checkpoint penting di tiap kelipatan sepuluh taun usia seseorang.

Beberapa bulan sebelum berumur 30, gue bilang ke Citra kalau gue lagi betul-betul menikmati hidup dengan semua keseruannya. Unik, perasaan kaya gini belum pernah gue alami sebelumnya.

Mungkin, karena gue lagi terus berusaha untuk meresapi tiap momen hidup kali ya.

Makanya, umur 30 ini jadi sentimentil karena ada banyak hikmah "mahal" dari umur 20-an yang gue lewati dan pengen gue bagi. Lo boleh ambil hal baiknya dan sisihkan hal buruknya.

Pertama - Belajar Menerima, Belajar Bahagia

Setiap dari kita punya luka, kecewa dan kerentanannya tersendiri. Semua hal itu bisa membebani diri ketika kita terus menerus menyelisihinya. Kita perlu coba mengakrabi diri & menerima keadaan.

Kebahagiaan akan terasa pelik ketika kita tak sanggup menerima diri sendiri. Kalau bukan kita yang terbuka pada diri sejak pertama kali, kenapa harus berharap orang lain menerima kita dengan utuh?

Kedua - Syukuri Sesuatu Melebihi Nikmatnya

Gue baru sadar kenapa gue sering cerita ke Citra tentang "menikmati hidup" tadi. Gue lagi latihan bersyukur lewat cerita yang gue bagi. Somehow, cerita itu jadi sugesti diri dalam menyikapi nikmat.

Nikmat hidup kerasa berharga? Pasti. Tapi jadi kerasa biasa kalau kita gagal mensyukuri. Sebaliknya, jadi luar biasa ketika ia disikapi dengan rasa syukur yang sesuai dan melimpah ruah.

Ketiga - Sadari Batasan, Kenali Peranan

Makin dewasa sikap, makin semestinya wawasan akan batasan diri membaik. Raga & jiwa kita berbatas, mustahil kita meniadakan prioritas lalu mengiyakan semua hal yang masuk menginterupsi.

Celaka nanti. Babak belur. Merepotkan diri sendiri & orang lain. Kenali hal yang paling esensial dalam diri, optimalkan keunggulan untuk kemanfaatan, lakukan perbaikan & pembaharuan diri, berkala.

Keempat - Integritas Bukan Ilmu Roket

Banyak orang yang jadi bahan omongan di sekeliling gue karena mereka enggak menjalankan apa yang mereka ucapkan. Ujian integritas itu nyata di masa dewasa. Tanpa sadar, kita bisa berbuat ingkar.

Cek ulang ucapan & tindakan dari diri sendiri. Selaras? Satu sama lain saling bertentangan? Pastikan kita adil dalam menilai diri dan jangan sungkan untuk meminta penilaian dari orang lain.

PR gue masih banyak tapi enggak tau dikasih usia sampai kapan. Checkpoint besar hadir satu dekade lagi. Entah, gue semangat ngebayanginnya: 40 tahun.

Semoga gue bisa terus hidup dengan pemaknaan & kemanfaatan yang baik karena sejatinya, hari-hari baru selalu menjadi penanda atas perpisahan & pertemuan kita dengan diri sendiri :)

-

“To live is the rarest thing in the world. Most people just exist” (Oscar Wilde)

Avatar

Kebaikan tak pernah datang terlambat karena takdir akan hadir pada waktu yang tepat.

Persiapkan sabarnya. Siagakan prasangkanya. Biar peradaban berkembang melesat, tapi tak semua hal bisa kita percepat.

-

Buah yang matang di pohon bernilai lebih tinggi juga berkualitas lebih baik secara rasa dibanding buah yang matang dikarbit.

Kadang, kita tak sanggup menahan laju inginnya diri akan hal-hal di luar sana. Kalau bisa tak perlu menunggu, kenapa harus? 

Hasrat itu pun terakomodasi dengan zaman yang mengedepankan kecepatan. Lambat = membuat orang lain menunggu = tertinggal.

Pun rekayasa zaman terus memangkas waktu tunggu atas segala sesuatu, ketetapan takdir atas peristiwa hidup kita sebagai manusia tak pernah bisa dikarbit.

Apapun yang terjadi, kebaikan dengan rasa manisnya akan selalu datang pada waktu yang paling tepat. Jadi? Persiapkan sabarnya, siagakan prasangkanya.

Sabar lagi sebentar, maju terus tak gentar. Nanti, semua ada waktunya.

Avatar

“Letting go of toxic people in your life is a big step in loving yourself” (Husein Nishah)

-

Minimal sekali, kayaknya kita pernah ketemu sama orang yang bawaannya cenderung bikin kita capek, kewalahan atau ngerasa selalu ada yang kurang.

Mereka adalah tipe orang yang, begitu kita beres ketemu/interaksi, ninggalin jejak ketidaknyamanan. Energi internal kita yang tadinya mayan oke, tiba-tiba drop seolah terserap begitu banyak.

Orang-orang yang melelahkan sejenis itu bisa siapa aja. Baik bersifat temporer di kesempatan tertentu atau permanen. Sebagian menyebutnya, toxic/beracun.

Sekilas sifat "racun"-nya mirip sianida: sulit terdeteksi karena enggak berbau juga berwarna tapi membahayakan ketika masuk ke dalam hati kita dalam bentuk perbuatan ataupun ucapan.

Kalau kepekaan lagi oke, di satu-dua kesempatan kita sadar kalau mereka jadi sebab eksternal dari kebocoran halus energi kita. Kalau enggak, riskan.

Riskan ketika kita bisa menghabiskan waktu untuk terus menanggapi mereka. Alih-alih energi tercurah untuk hal yang cenderung signifikan, kita keburu capek dengan pikiran & perasaan yang kacau.

Untuk itu, kepekaan diri jadi penting agar kita bisa berperan aktif menjaga kewarasan.

Ya. Bukan sebatas mengusahakan hal yang bersifat menambah kewarasan, tapi juga memedulikan sebab yang menguranginya. Seiring waktu, kita perlu mengaktifkan alarm tersendiri.

Kalau kata seorang arif, "I will not allow anyone to walk in my mind with dirty feet”. Pikiran & perasaan yang jernih adalah modal untuk kebahagiaan kita.

Kalau mental belum kuat, lakukan social distancing dengan mereka yang bikin kita kewalahan. Tapi kalau kuat, kita bisa menyikapi tindak-tanduk mereka dengan tanggapan baik, semampunya.

Beda dengan reaksi Syaikh Ali Jaber pada pelaku penikamannya: mendoakan ampunan.

Orang lain bisa mengacaukan keadaan - ketika kita mengizinkannya. Kita perlu menggunakan kesadaran sebagai alat bantu untuk menyaring perlakuan dari mereka yang kerap meracuni sesama.

Hidup terdiri atas rangkaian keputusan. Termasuk, sejauh mana batas interaksi akan ditetapkan dengan mereka yang mengusik ketenteraman hati kita.

Let things come and go. Ada banyak hal dadakan yang menjadi pengalih fokus kita untuk menjaga kewarasan. Lebih baik pedulikan hal-hal yang memang bisa kita ubah & upayakan, bukan? :)

-

“You create more space in your life when you turn your excess baggage to garbage” (Chinonye J. Chidolue)

Avatar

"Semua orang berbuat salah selama hidupnya, walau enggak setiap kesalahan bisa berbuah pelajaran & perbaikan".

-

Karena enggak ada manusia yang terhindar dari kesalahan, maka semestinya kesalahan jadi rekan pembelajaran terbaik kita. 

Kesadaran sederhana ini berangkat dari bagaimana cara kita menempatkan kesalahan di dalam hidup: sebagai dakwaan final atau sarana perbaikan yang bisa dimanfaatkan? 

Maka tempatkan kesalahan sebagai modal awal untuk perbaikan diri di kesempatan berikutnya. Terus bergerak, terus menata. 

Syukurlah, kita masih punya alasan untuk terus membenahi diri lagi. Kita masih punya alasan untuk mengingat kembali tentang fitrah diri. 

Andai setiap kesalahan bisa disikapi dengan tepat lewat pola pikir yang membangun, bayangkan, sudah ada berapa kesempatan yang menjadi jalan pengembangan diri kita? 

Tapi kadang, kita masih menyikapi hadirnya kesalahan dengan reaksi yang berlebihan. Kita tersungkur lebih lama dari biasanya, kita enggan melaju lagi dan berakhir selamanya. 

Padahal, mereka yang kita lihat telah berada di capaian yang lebih baik hari ini, tumbuh dari setiap retakan-retakan kesalahan mereka di masa lampau. Mereka menjadi lebih tangguh. 

Ucapkan maaf, terima kasih dan tolong. Ucapkan maaf atas kesalahan yang membuat orang lain merasakan ketidaknyamanan. 

Ucapkan terima kasih karena kita masih diberikan kesempatan untuk memperbaiki diri. Ucapkan tolong lewat perantara doa agar kita bisa menyikapi setiap kesalahan dengan bijak.

You are using an unsupported browser and things might not work as intended. Please make sure you're using the latest version of Chrome, Firefox, Safari, or Edge.