Berbagi Tanpa Syarat
“Kita tidak diminta menyempurnakan pengetahuan sebelum melakukan suatu kebaikan" (Riza Zacharias)
-
Berapa kali penunaian sebuah kebaikan sengaja kita tolak atas dalih...merasa belum ideal, pantas & sempurna?
Mungkin belajar rendah hati. Mungkin juga karena rendah diri atau hal yang lebih riskan lagi: perasaan malas & kikir.
Riskan karena menunda kebaikan berarti juga menunda kebahagiaan untuk bisa kita rasakan. Kalau harus serba ideal, kapan mau mulainya? Tanpa sadar, kita sedang terus membonsai diri.
Kita terkungkung dalam perasaan "belum layak" dan menihilkan perbaikan.
Padahal kebaikan yang kita selalu tolak, aslinya enggak se-rumit itu juga.
Sederhana, tapi kita yang merumitkan. Belum layak ilmu, pengalaman, harta - katanya. Kalau kebaikan baru tertunai saat kepantasan diraih, akankah kita merasa betul-betul pantas nanti?
Tiap orang punya ritmenya tersendiri. Toh kita pun terus melakoni perbaikan bertahap. Kalau timbul sedikit kekhawatiran, ya wajarlah. Yang penting, jangan dihambat rasa malas & kikir.
Kaya pertimbangan gue saban diminta ngisi materi di kelas atau sesi berbagi.
Ragu? Pernah. Banyak kok orang yang jauh lebih kece dari gue sebagai pemateri.
Tapi, kesempatan enggak datang begitu aja tanpa takaran. Ujungnya kembali ke diri sendiri. Mau enggak berbuat baik lewat berbagi? Mau enggak ambil peluang mengembangkan diri?
Berbagi kebaikan bisa dilakukan tanpa syarat asal relevan dengan keadaan. Karena kalau berbagi itu sedemikian bersyarat, ujungnya enggak semua orang bakalan bisa berbuat.
Kepantasan itu bukan buat ditunggu, tapi diusahakan konkret & berkelanjutan.
Jadi, kuatkan keyakinan, jaga niat, kenali keutamaan, utuhkan rencana. Lakukan.
Keadaaan sering jadi kambing hitam ketika kita merasa terus jalan di tempat. Coba cek ulang. Berapa banyak kesempatan baik yang udah kita lewatkan karena alasan "belum pantas"?