Metamorphosis
Mereka entah datang dari mana. Kurasakan kupu-kupu itu keluar dari dalam perutku. Namun satu hal yang kuyakini, sebelum bertemu denganmu mereka hanyalah kawanan ulat-ulat. Jauh sebelum aku bertemu dengan sepasang gingsulmu yang seolah-olah selalu ingin mengajak dunia tertawa, aku sudah merasakan kehadiran mereka. Mula-mula kawanan itu pelan-pelan memakan jantungku, paru-paruku hingga hatiku. Selama ini aku mengira hatiku telah dicuri oleh seorang wanita dan ia tak pernah berniat untuk mengembalikannya. Ternyata aku salah besar.
Bertahan hidup di jantung kota di mana kekuasaan, keserakahan dan gaya hidup manusia urban menjadi simbol prestise omong kosong belaka. Setiap detiknya kita selalu merasa diburu waktu dan sesuatu. Jika kau kenali lebih dalam lagi, mereka sudah menciptakan monster yang menghantui hidup mereka sendiri. Monster-monster itu kerap menganggu mimpi mereka di setiap bangun dan tidurnya. Mereka hanya mengenal adegan-adegan kolase hidup sebagai potret hitam dan putih saja. Ada area yang kerap dilupakan oleh mereka, yaitu area abu-abu. Kau tak bisa begitu saja menentukan siapa yang benar dan salah. Siapa yang berada di jalan benar atau tidak. Di kehidupan nyata kau bukanlah Tuhan yang berhak menentukan siapa yang berdosa atau tidak.
Hidup yang kujalani saat ini kadang aneh sekaligus lucu. Aku merasa hidup kita ditentukan oleh seorang penulis komedi satir juga sarkasme. Suatu saat kau pun bisa merasakan sebuah keberuntungan yang orang lain pun belum tentu punya kesempatan yang sama. Di hari lain kau bisa saja merasa bahwa dirimu adalah orang paling sial di muka bumi ini. Selalu merasa kekurangan, merasa kesepian dan merasa tidak diinginkan. Aku percaya kita bisa hidup bahagia. Kita tak perlu datang ke tempat-tempat mewah, menghabiskan banyak uang dan membakar bensin. Pergi jauh dari rumah hanya untuk mencari sebuah kebahagiaan. Sebab kebahagiaan itu bukan sesuatu yang harus dikejar, namun diciptakan. Asal kita terus percaya dan selama itu juga kita akan baik-baik saja.
Toko buku adalah bagian dari tempat pelarianku. Kau bisa bayangkan parfum yang menyeruak dari kertas buku mampu menghipnotis pikiran dan mengajak kita tenggelam ke dalam isinya. Semakin jauh kita tenggelam, di sana kita sudah tiba berada di dunia yang kerap disebut fiksi. Barangkali kau tak bisa membedakan cerita-cerita yang ada: antara kisah fiksi yang menjadi nyata atau kisah nyata diubah menjadi fiksi. Namun setelah bertemu denganmu, inginku sangat sederhana. Aku ingin kau menjadi sosok nyata dalam hidupku. Aku ingin seperti Jean Paul Sartre yang bertemu dengan kekasihnya di sebuah toko buku. Dan cerita-cerita bahagia akan mekar setelahnya.
Pameran benda seni selalu menghiasi acara gedung-gedung pencakar langit di setiap akhir pekan. Banyak pelukis, seniman dan kolektor berlomba-lomba memamerkan ide-ide gila di kepala mereka. Mereka memamerkannya di ruang sempit—senyap dan sunyi. Di sana akan kau lihat banyak sekali seniman itu berkarya seolah-olah mereka sedang telanjang tanpa harus merasa malu. Kau tak berkata apa-apa ketika aku mengajakmu melihat pameran seni termegah di kota ini. Kau hanya berkata satu-dua buah patah yang aku yakin sejuta orang lainnya akan berkata hal yang sama persis seperti ketika kau melihat sebuah lukisan abstrak yang diobrak-abrik tata warna. Mereka bisa saja mengatakan karya mereka bernilai ratusan juta rupiah, namun bisa saja kita menganggapnya hanya sebuah sampah yang dibingkai mewah.
Setiap aku menatap kedua matamu yang bening itu, aku seperti baru menemukan rahasia. Entah rahasia atau dosa-dosa apa yang sudah kau lewati jauh di masa lampau. Memang kenangan buruk itu seperti celoteh ibu yang cerewet. Dosa tetaplah dosa. Karena kita semua itu manusia dan dapat berbuat salah. Sebab kita bukanlah malaikat.
Kau boleh percaya, boleh tidak—kini aku melihatmu seperti kupu-kupu cantik yang sudah melewati fase metamorfosis dan tengah menikmati keindahan dunia. Sementara aku masih tersesat di dunia yang kuciptakan sendiri dan menulis beberapa hal tentangmu. Ada baiknya aku tak mau tahu dengan segala dosamu di masa lalu—begitu juga dengan kau. Kau tak perlu tahu dosa apa dan kepada siapa yang telah kuperbuat hingga kini tersesat dan ingin sekali diselamatkan. Memang ada baiknya rahasia tetaplah menjadi rahasia.
Bekasi, 2017