Avatar

Penyihir Hati

@penyihirhati / penyihirhati.tumblr.com

Avatar

Metamorphosis

Mereka entah datang dari mana. Kurasakan kupu-kupu itu keluar dari dalam perutku. Namun satu hal yang kuyakini, sebelum bertemu denganmu mereka hanyalah kawanan ulat-ulat. Jauh sebelum aku bertemu dengan sepasang gingsulmu yang seolah-olah selalu ingin mengajak dunia tertawa, aku sudah merasakan kehadiran mereka. Mula-mula kawanan itu pelan-pelan memakan jantungku, paru-paruku hingga hatiku. Selama ini aku mengira hatiku telah dicuri oleh seorang wanita dan ia tak pernah berniat untuk mengembalikannya. Ternyata aku salah besar.

Bertahan hidup di jantung kota di mana kekuasaan, keserakahan dan gaya hidup manusia urban menjadi simbol prestise omong kosong belaka. Setiap detiknya kita selalu merasa diburu waktu dan sesuatu. Jika kau kenali lebih dalam lagi, mereka sudah menciptakan monster yang menghantui hidup mereka sendiri. Monster-monster itu kerap menganggu mimpi mereka di setiap bangun dan tidurnya. Mereka hanya mengenal adegan-adegan kolase hidup sebagai potret hitam dan putih saja. Ada area yang kerap dilupakan oleh mereka, yaitu area abu-abu. Kau tak bisa begitu saja menentukan siapa yang benar dan salah. Siapa yang berada di jalan benar atau tidak. Di kehidupan nyata kau bukanlah Tuhan yang berhak menentukan siapa yang berdosa atau tidak.

Hidup yang kujalani saat ini kadang aneh sekaligus lucu. Aku merasa hidup kita ditentukan oleh seorang penulis komedi satir juga sarkasme. Suatu saat kau pun bisa merasakan sebuah keberuntungan yang orang lain pun belum tentu punya kesempatan yang sama. Di hari lain kau bisa saja merasa bahwa dirimu adalah orang paling sial di muka bumi ini. Selalu merasa kekurangan, merasa kesepian dan merasa tidak diinginkan. Aku percaya kita bisa hidup bahagia. Kita tak perlu datang ke tempat-tempat mewah, menghabiskan banyak uang dan membakar bensin. Pergi jauh dari rumah hanya untuk mencari sebuah kebahagiaan. Sebab kebahagiaan itu bukan sesuatu yang harus dikejar, namun diciptakan. Asal kita terus percaya dan selama itu juga kita akan baik-baik saja.

Toko buku adalah bagian dari tempat pelarianku. Kau bisa bayangkan parfum yang menyeruak dari kertas buku mampu menghipnotis pikiran dan mengajak kita tenggelam ke dalam isinya. Semakin jauh kita tenggelam, di sana kita sudah tiba berada di dunia yang kerap disebut fiksi. Barangkali kau tak bisa membedakan cerita-cerita yang ada: antara kisah fiksi yang menjadi nyata atau kisah nyata diubah menjadi fiksi. Namun setelah bertemu denganmu, inginku sangat sederhana. Aku ingin kau menjadi sosok nyata dalam hidupku. Aku ingin seperti Jean Paul Sartre yang bertemu dengan kekasihnya di sebuah toko buku. Dan cerita-cerita bahagia akan mekar setelahnya.

Pameran benda seni selalu menghiasi acara gedung-gedung pencakar langit di setiap akhir pekan. Banyak pelukis, seniman dan kolektor berlomba-lomba memamerkan ide-ide gila di kepala mereka. Mereka memamerkannya di ruang sempit—senyap dan sunyi. Di sana akan kau lihat banyak sekali seniman itu berkarya seolah-olah mereka sedang telanjang tanpa harus merasa malu. Kau tak berkata apa-apa ketika aku mengajakmu melihat pameran seni termegah di kota ini. Kau hanya berkata satu-dua buah patah yang aku yakin sejuta orang lainnya akan berkata hal yang sama persis seperti ketika kau melihat sebuah lukisan abstrak yang diobrak-abrik tata warna. Mereka bisa saja mengatakan karya mereka bernilai ratusan juta rupiah, namun bisa saja kita menganggapnya hanya sebuah sampah yang dibingkai mewah.

Setiap aku menatap kedua matamu yang bening itu, aku seperti baru menemukan rahasia. Entah rahasia atau dosa-dosa apa yang sudah kau lewati jauh di masa lampau. Memang kenangan buruk itu seperti celoteh ibu yang cerewet. Dosa tetaplah dosa. Karena kita semua itu manusia dan dapat berbuat salah. Sebab kita bukanlah malaikat.

Kau boleh percaya, boleh tidak—kini aku melihatmu seperti kupu-kupu cantik yang sudah melewati fase metamorfosis dan tengah menikmati keindahan dunia. Sementara aku masih tersesat di dunia yang kuciptakan sendiri dan menulis beberapa hal tentangmu. Ada baiknya aku tak mau tahu dengan segala dosamu di masa lalu—begitu juga dengan kau. Kau tak perlu tahu dosa apa dan kepada siapa yang telah kuperbuat hingga kini tersesat dan ingin sekali diselamatkan. Memang ada baiknya rahasia tetaplah menjadi rahasia.

Bekasi, 2017

Avatar

apa semua orang bisa menulis?

Avatar

Tentu saja. Semua orang bisa menulis. Sama seperti halnya memasak. Semua orang bisa memasak. Tapi tidak semua masakan itu enak. Itu tergantung bagaimana caramu mengolahnya.

Avatar

Bias

Jika satuan jarak terjauh adalah cahaya, kau adalah matahari pagi paling setia menyinari semua gelap mimpiku yang kosong. Bumi masih berputar dan bulan masih bercahaya. Hanya kau satu-satunya menjadi poros hidupku. Duniaku berputar padamu.

Jarak terdekat adalah ketika telapak tangan saling menggenggam. Melebur segala bilur dalam dada. Membalur seluruh perih dengan pecah tawa.

(lalu apa yang kau tunggu?)

Jika jarak diantara kita hanya sebesar gelembung udara, maka kita pecahkan semuanya. Biarkan segala bias menyentuh inti jantungmu.

Jakarta, 2017

Avatar

Postcard

Kau bisa saja menghapus aku dalam hidupmu. Ketahuilah segala yang terjadi dalam hidup ini bisa datang tiba-tiba kemudian pergi begitu saja. Termasuk cinta. Tetapi kau tak pernah percaya. Kau percaya cinta tak memiliki tanggal kadarluasa.

Kau bisa saja melupakan aku dalam ingatanmu. Ketika kau ingin melepas lelah dari tumpukan berkas dan celoteh atasanmu, kau selalu berharap aku ada di dekatmu. Menemani kau bercerita tentang hari kemarin, kejadian lucu yang kau alami sekarang atau perihal tentang masa depan. Kau mengharapkan keberadaanku dan menghabiskan sepanjang hari liburmu yang jarang sekali liburan. Menonton film-film favoritmu, menghisap berbatang-batang rokok dan menikmati buih bir hingga kau mabuk di pelukanku. Kemudian aku mengusap tiap inchi lembut hitam rambutmu yang panjang seperti air terjun sebelum kau beranjak tidur.

Kau bisa saja menghapus tanggal ulang tahunku di kalendermu. Barangkali kau berandai-andai dapat melompati waktu dan membuang bulan April dari hidupmu. Namun kartu pos yang kutemukan kemarin mengatakan hal lain. Usia hanyalah angka, katamu. Kau ingin aku segera menjadi pria dewasa dan menemani seluruh panjang dukamu.

Kau bisa saja menghapus bibirku dengan bibirnya. Seolah-olah air liurnya mampu meluruhkan segala jejak tentang aku di sana. Seolah-olah orgasme paling purba adalah kenikmatan surga duniawi hanya kau dapatkan dari dirinya. Kau merasa bahagia dalam pelukannya. Tetapi ketahuilah, sekeras apa pun kau berusaha, tak akan kau temukan diriku lagi dalam tubuh siapa pun. Kau tahu itu meski kau terus menyangkalnya.

Kau bisa saja menghapus aku dalam hidupmu. Tetapi aku tahu, kau tak akan benar-benar mampu.

Jakarta, 2017

Avatar

Racun

Kota ini terbuat dari racun. Udara mengandung timbal, asap knalpot dan racun-racun yang dapat membunuh jantung kekasihmu.

Makananmu juga berbahan racun. Restoran cepat saji menawarkan bumbu dan penyedap dalam berbagai rasa yang dapat membuat tubuhmu melebar dan kolesterol.

Pejabat pemerintah juga memasang racun di tiap-tiap tikungan jalan. Menawarkan janji semanis botol kecap dan bualan-bualan lainnya.

Kita juga menciptakan racun dan membuang racun. Termasuk cinta. Kita tak sadar sudah terjebak dalam racun dan mengolahnya berulang-ulang kali.

Bekasi, 2016

Avatar

Perempuan yang Hidup di Masa Lalu

Perempuan itu tak pernah berada di masa kini. Masa sekarang di mana aplikasi chatting menggantikan surat-surat dan sepeda pak pos yang setia, jalan-jalan dihubungkan oleh rel-rel panjang dan rangkaian besi yang melaju berkecepatan seratus kuda, sinyal internet yang tak dipahami orang-orang namun mereka sangat membutuhkannya. Perempuan itu tak pernah ada di sana. Tak pernah ada.

Biarlah. Barangkali kau merasa sangat nyaman di dalam masa lalu. Masa-masa lelah yang telah kau coba menghindari getar dan getir perihal masa depan. Berharap suatu pagi terbangun dari tidur panjang dan tiba di masa yang sebelumnya tak pernah kau duga. Pikiranmu lebih nyeri dari palung luka paling dalam. Harumnya selalu mampu menandingi parfum-parfum bermerek koleksimu dari negeri Eropa. Parfum itu yang selalu kau gunakan kemana saja. Saat kau pergi ke kantor, pergi berlibur dan bahkan saat kau sedang terbenam di dalam pelukan seorang lelaki yang tak jelas asal-usulnya.

Sejak lama kau membunuh waktu dan membutuhkan banyak sekali uang, aku sudah letih menjadi tombak mesin yang bekerja seperti buruh yang dibayar murah. Hanya untuk menyakinkan sekali lagi: Mimpi ini tak akan meraksasa jika kau hanya berdiam diri. Keluarlah! Ini sudah hampir pagi!

Sering kali aku bermimpi ingin sekali pergi ke suatu pagi menyodorkan sehelai kertas berisi surat permohonan berhenti. Ingin pergi ke tempat jauh yang sebelumnya tak mampu kujangkau, minum anggur dan membaca puisi-puisi penyair kesayanganku. Mengasingkan diri beberapa hari di awal bulan April dan merayakan ulang tahun sendiri.

Aku ingin tertawa dari dasar kepedihan di jantungku. Sekeras apa pun aku tertawa tak akan sampai ke ujung telingamu. Jika kau bertanya, “Bagaimana hari ini?” aku dan telepon genggamku akan meledak sesaat lagi.

Kau percaya hidup ini adalah berisi serangkaian pencarian-pencarian. Bahagia, katamu, adalah harta karun yang sengaja disembunyikan oleh para pelaut. Percayalah: sekeras apapun kau mencari, bahkan hingga ke ujung dunia, tak akan pernah kau temui aku lagi dalam diri siapa pun.

Kini perempuan itu tak berada di masa kini. Juga di masa lalu. Perempuan itu tak pernah ada di mana-mana. Juga di dalam hatiku.

Bekasi, 2016

Avatar

Pabrik Anak-anak dan Rahim-rahim Wanita

Karya Mad Ulil Ayidi

Pabrik-pabrik adalah rahim bagi benda-benda mati; telepon genggam, motor, pakaian, makanan-minuman.

Perutmu juga rahim bagi benda-benda hidup; anak sulung, anak tunggal, anak bungsu atau anak keguguran.

Anak-anakmu yang hidup gemar sekali menggunakan benda-benda mati; terlebih motor dan telepon genggam.

Anak-anakmu tumbuh dewasa dan mencari-cari pekerjaan, terjebak mereka di pabrik-pabrik; melahirkan berulang kali benda-benda mati.

Puisi-puisi lainnya bisa anda baca di sini.

Avatar

Makam

Jika saja angan dan kenangan adalah jaring-jaring internet, sudah kugulung kabel-kabelnya dan kugunting bagian yang sudah kusut.

Setiap harinya orang-orang datang silih berganti ke pemakaman. Beramai-ramai berpakaian serba hitam. Dengan tatapan muram membawa karangan bunga dan ucapan turut berduka. Mereka berpura-pura menangisi kepergian seseorang dari keluarganya atau bukan keluarganya. Juga seorang wanita di hadapan batu nisan tengah berpura-pura bersedih menangisi kekasihnya atau bukan kekasihnya. Mereka semua bersedih karena tak ingin cepat-cepat bertemu dengan Tuhan. Jika kematian datang terlalu cepat, akan menjadi masalah baru untuk mereka atas segala janji dan dosa mereka yang belum tuntas.

Kemarin aku datang ke areal pemakaman dan memesan sebidang tanah atas nama diriku. Awalnya mereka tertawa dan menggangapku sinting. Aku menertawakan mereka yang tak percaya kematian bisa datang kapan saja. Maka aku tak ingin dipersulit birokrasi, sesegera mungkin aku membayar beberapa lembar uang dan mereka menukarnya dengan selembar kertas.

Negara kini membatasi kita berbicara semaunya. Semua orang hanya diperbolehkan berbicara dengan seratus empat puluh kata. Tidak lebih dan tidak kurang. Jika telepon berdering, aku akan meletakkannya di telingaku tanpa menyebut kata halo. Di warung aku memesan makanan hanya dengan jari telunjuk yang hapal betul tata letak Tempe Orek, Sayur Nangka dan Ikan Mas Goreng.

Tengah malam aku selalu menelpon kekasihku. Aku hari ini berbicara kepada semua orang menghabiskan sembilan puluh kata. Sisanya kusimpan untukmu. Jika ia tak menjawab, aku sudah tahu pasti menghabiskan jatahnya kepada entah siapa namanya dan apa pekerjaannya. Kemudian aku pelan-pelan berbisik: Aku mencintaimu hari ini, esok dan selamanya. Kemudian tidak lagi.

Untuk itu aku menyiapkan makam ini sebagai lahan kosong yang kelak biji-bijinya menumbuhkan bunga-bunga. Juga meneduhi segala pepohonan hijau, burung-burung, semut-semut dan anjing hutan. Agar nantinya arwahku tenang sebagai sebuah hutan yang pandai menampung segala hujan kesakitan.

Kau nanti tentu boleh datang ke pemakamanku. Datanglah dengan setangkup bunga mawar dan juga perasaan berduka. Aku akan lebih mudah melihat kau: apakah sedang berpura-pura menangisi diriku atau tertawa bahagia ketika mendengar aku telah tiada.

Bekasi, 2016

Avatar

Protes

Di jantung Ibukota di mana kemacetan menjadi denyut nadi, keangkuhan dan keserakahan menjadi simbol prestise belaka. Juga produk-produk luar negeri yang memberi aneka potongan diskon terutama di hari kemerdekaan. Iklan-iklan dan politisi sesering mungkin menipu kita dan memberikan harapan bahwa kita adalah manusia yang serba kekurangan. Kita terjebak di dalamnya.

Patung-patung di kota selalu berdiri sepanjang hari. Dari matahari terbit hingga tengah malam menjelang. Mereka melakukan tugas Negara dengan rasa bangga dan penuh hormat. Tetapi kau tak pernah tahu sebuah rahasia Negara. Maka dengan alasan aku menulis kisah ini dan sebentar lagi akan kuberitahu kau sebuah rahasia. Sesungguhnya ketika aku menceritakan rahasia ini kepadamu, aku telah menggadaikan nama dan kepalaku jika rahasia ini bocor sampai ke meja kerja mereka.

Ketika waktu dipukul malam dua belas telak, patung-patung di Ibukota akan turun dari singgasananya secara serempak. Seperti patung yang selalu menghadap dan menunjuk ke arah Utara tak pernah terlihat jika tengah malam tiba. Juga Patung Arjuna Wijaya, Patung Chairil Anwar, Patung Jendral Soedirman dan patung-patung lainnya. Mereka selalu sepakat berkumpul di satu tempat untuk sekadar mengobrol, berbagi suka dan duka ketika bertugas dan memperhatikan tingkah laku manusia Ibukota.

Di tengah jantung Ibukota berdiri sepasang patung menyerupai suami-istri. Hingga kini siapa mereka berdua masih menjadi misteri walaupun sudah berulang kali diwawancara polisi masih tak pernah mau menjawab perihal status mereka. Tangan mereka selalu menadah ke arah langit dan lengan yang terbuka lebar mengisyaratkan ucapan selamat datang.

Suatu hari sang istri berkata, “Kini Ibukota lebih kejam dari ibu negara. Ini bahaya,” candanya.

“Tapi masih ada yang lebih kejam,” Sang Suami menimpali istrinya sendiri, “Yaitu ibu tiri.”

Semua patung tertawa mendengar banyolan dari seorang bapak-bapak. “Tapi manusia Ibukota makin angkuh dan sombong. Tinggal di kota, gayanya kampungan,” ujar Patung Chairil Anwar. “Gengsi gede tapi mental tempe.”

Semua tak ada yang tertawa. Hanya senyam-senyum mendengar penyair besar yang hidup di masa penjajahan mengutarakan keluh kesahnya. Mereka semua tahu begitu pahit dan kelamnya Ibukota pada masa itu. Sejarah telah membuktikan kebenarannya.

Patung-patung itu sudah bertahun-tahun melihat perubahan Ibukota. Dari tanah kosong melompong hingga menjadi sempit saling menghimpit. Dari jalanan sepi hingga jalanan menjadi ramai dan kemacetan menjadi masalah klasik tak terurai. Dari negara miskin hingga kekayaan Negara terus dikeruk banyak orang-orang serakah dan tak bertanggung jawab. Ibukota kini masih tetap saja miskin. Miskin moral dan kepedulian kepada sesama.

Patung-patung itu juga muak melihat tingkah manusia Ibukota. Mereka menganggap manusia Ibukota lebih dungu dibandingkan manusia primitif. Mereka berbicara uang dan kekuasaan dengan begitu bangga, mereka berbicara satu sama lain menggunakan klakson dan menertawakan satu sama lainnya jika mengalami kesialan. Mereka bersama-sama mengotori udara dengan timbal, mereka bersama-sama membangun gedung pencakar langit yang menindas nurani dan mereka juga ramai-ramai mencekik leher sendiri atas nama gengsi.

Suatu hari mereka sepakat untuk berdemo. Diadakan rapat meja bundar dan menentukan jalan tengah. Setelah pintu ditutup rapat-rapat, pikiran dibuka lebar-lebar, ditumpahkan isinya dan dikuras hingga mereka semua menentukan kata mufakat. Mereka sudah memberi pilihan dan menentukan jalan keluar. Yaitu dengan protes. Bagaimana bisa patung-patung itu protes tanpa menggunakan suara? Itu adalah awal dari perdebatan mereka. Juga pertanyaan yang sama kulontarkan ketika pertama kali mendengar rahasia Negara ini.

Keesokan harinya patung-patung itu tetap bertugas seperti biasanya ketika matahari terbit. Berdiri tegap dan kokoh di tempatnya, memakai seragam kebanggaannya masing-masing. Namun semua patung-patung itu melakukan satu gerakan tangan yang sama. Seperti gerakan tangan ayahmu mengusir kucing kampung yang tiba-tiba masuk ke dapur ibumu. Hingga kini tak ada satu orang pun yang tahu selama ini patung-patung itu dapat berbicara.

 *Cerita ini murni fiksi belaka.

Bekasi, 2016

Avatar

Tiga Catatan Ketika Aku Tak Bisa Tidur

1)

Warung kecil di depan rumahku selalu sepi pembeli. Dengan rasa kasihan aku mendatanginya dan membeli detergen dua lusin dengan merk terbaru untuk mencuci baju, celana, parfum tubuhmu, mimpi dan air mataku sendiri. Sebelum segalanya menjadi kekal dan bebal seperti dosa yang harus dipikul sepanjang usia.

Bertahun-tahun sudah aku bertahan menyembunyikan perasaan dan berharap tak ada seorang pun yang menemukannya. Tapi memang kau penambang paling tabah. Pelan-pelan kau susuri rindu dari jalan terjal berliku menuju diriku, menggali lorong-lorong kecemasan, mendirikan tiang-tiang kepercayaan dan mengikis gunung batu bernama ego. Kau menemukan aku disaat aku benar-benar membutuhkanmu.

Aku yang tak lagi tabah kini selalu menunggu datang terang dan membiarkan segala gelap menghilang. Seberkas cahaya yang kupunya kini akan menerangi jalan dan harapan akan menuntun.  Aku selalu setia menunggu roda kehidupan membawaku.

2)

Negara telah menutup matanya sendiri. Berjalan dengan mata kaki dibungkus keserakahan dan kaki tangannya selalu bekerja berdasarkan perintah yang tak dapat dibantah. Berita dan televisi sibuk bersaing dan menawarkan kepedihan untuk menu sarapan dan makan malam. Juga catatan utang-piutang yang tak ada ujungnya. Pada akhir cerita mereka menggiring penonton setianya dan mengubah dunia menjadi arena adu domba.

Tak ada lagi yang bisa kubanggakan dari puisiku. Jika sampai saat ini keadilan masih terasa mahal dan menjadi barang langka. Kemanusiaan hanya slogan sampah belaka. Hidup ini perkara siapa yang hebat dan kuat. Siapa yang bertahan dapat menindas yang lain. Pilihan cuma dua: berani menindas atau siap tertindas. Tinggal pilih. Betapa kejamnya hidup ketika manusia menjelma serigala untuk manusia lainnya.

Ketika lampu-lampu dinyalakan, hati-hati dimatikan. Jalan-jalan dilebarkan. Keangkuhan semakin ditinggikan. Beradu cepat dengan pembangunan apartemen, pusat perbelanjaan dan juga menggusur tanah kuburnya sendiri. Dalam satu jentikan jari dunia berubah menjadi dingin dan tak mau menunggu. Manusia kerap merasa dikejar-kejar oleh waktu dan monster yang mereka ciptakan sendiri.

Akar-akar kini tak lagi bertanya kepada angin atau rumput bergoyang. Mereka muak dipinggirkan dan ditelantarkan. Derita sudah cukup busuk dan jangan paksa lagi mereka menelannya mentah-mentah.

3)

Mimpi buruk akan selalu datang sebelum beranjak tidur. Hidupku kini penuh lubang seperti jalan-jalan kampung kumuh menuju ke kota. Menampung peluh pejalan kaki dan getir nelayan membawa jaring yang jarang menangkap ikan.

Kota yang menyimpan kau kini tak lagi kujaga dalam ingatan dan segala perih yang kau pelihara ingin sekali kubangun sebuah persimpangan jalan. Tempat pertama kali cinta diciptakan, tempat terakhir pula kita dipisahkan. Dan sekali lagi kita akan berpapasan sejenak dan bertukar senyum sebelum dan sesudahnya memilih jalan hidup masing-masing.

Akan ada saatnya aku melupakan dan tak lagi bergetar mengingat namamu. Butuh proses panjang dan waktu yang sangat lama. Lama-lama juga lupa. Lama-lama juga terbiasa. Lama-lama ketemu gantinya.

Bekasi, 2016

Avatar

Perempuan yang Terjebak Dalam Toples Kaca

Kau selalu tertawa dengan hal-hal yang tak mampu kau pahami. Sudah berulang kali kukatakan kepadamu, aku ini seorang penyihir. Bukan seperti dalam adegan film sekolah Hogwarts yang berisi sapu terbang, tongkat sihir atau kodok yang terbuat dari cokelat. Aku tak tahu mantra-mantra yang mampu mengeluarkan cahaya. Aku ini penyihir kata-kata. Kau selalu tertawa ketika aku mengulang pernyataan itu.

Sepi kadang berbicara kepadaku, betapa sempitnya waktu. Betapa luasnya kenangan. Aku ingin menciptakan kenangan-kenangan indah bersamamu. Sebab nyawa yang kita pinjam ini hanya sementara, bahagia dan luka akan hidup selamanya di dalam pikiran kita. Tapi kau tak pernah percaya.

Sudah berulang kali kunyatakan cinta kepadamu. Namun kau selalu menolak dengan alasan-alasan yang tak mampu kumengerti. Ini ketujuh kalinya aku menyatakan cinta kepadamu, berharap kau jatuh ke dalam pelukanku lalu cerita-cerita bahagia akan mekar setelahnya. Semakin keras kau menolak cintaku, semakin keras pula aku berusaha mengejarmu. Aku tahu betul cinta membutuhkan banyak perjuangan dan pengorbanan. Bukan seberapa lama kau menyakitiku, tapi seberapa tangguh aku mampu bertahan. Digerus oleh keangkuhan tembok tinggi yang kau bangun antara aku dan dirimu.

Seorang kawan pernah berkata kepadaku: "Ketika gadis yang kau suka tidak mencintaimu, masukan saja ke dalam botol kaca. Lalu simpan di dalam kamar."

Tujuh kali kunyatakan cinta, tujuh kali pula kau menolaknya. Cukup sudah aku bersabar dan menanti. Tak percuma jutaan puisi kuciptakan untukmu dan berakhir sia-sia di depan pintu kamarmu. Juga rintik-rintik rindu yang kadang tiap malam mengetuk atap-atap rumahmu. Kau selalu menganggap cinta hanyalah sebuah lelucon belaka.

Sudah kurencanakan berminggu-minggu sebelumnya. Aku akan mengendap-ngendap masuk ke rumahmu lewat pintu belakang, lalu menuju pintu kamarmu dengan menaiki tangga yang memutar. Setelah sampai di sana, kudapati pintu kamarmu berwarna putih langit dan berhiaskan gantungan seorang penari Bali. Perlahan-lahan kubuka pintu kamarmu yang tak pernah tertutup rapat. Segera kutemukan dirimu dalam keadaan terlelap dibuai oleh mimpi-mimpi.

Keesokan paginya, kau akan terbangun di dalam toples kaca yang kupersiapkan untukmu. Aku sudah mendekor ruangan toples kaca itu semirip mungkin dengan kamarmu. Agar kau tak begitu kaget bahwa kau sudah kuculik dan kujadikan dirimu seutuhnya tawananku. Tak perlu lagi aku mencuri-curi cara mengajakmu kencan ke taman, bioskop atau tempat favorit bersantai bersama dengan teman-temanmu. Aku sudah tahu pasti kau akan menolaknya.

Aku akan lebih mudah mencarimu jika kau selalu ada di dalam kamarku. Di sudut meja kerja persis di samping desktop tempat biasa aku menyimpan foto-fotomu. Aku akan lebih leluasa mengajak berbincang tentang hal-hal yang kualami seharian di kantor, kejadian-kejadian lucu yang kutemui di jalanan atau tentang berita televisi yang selalu mengabarkan kebohongan dan berharap semua orang yang mendengarkan mereka percaya begitu saja. Kau akan menjadi pendengar setia terbaikku, selain tembok kamarku.

Sudah seminggu kau terjebak di dalam toples kacaku. Sudah seminggu pula aku berusaha menjadi lawan bicaramu. Setiap pagi kau kuberi sarapan semangkuk sereal dan segelas susu. Setiap malam menjelang, setelah aku tiba dari tempat kerja, kubawakan makanan apa saja yang kutemukan di perjalanan pulang. Kadang ketika kau merasa bosan kubawakan buku-buku baru penulis favoritmu yang kubeli dari toko langgananku.

Seminggu kemudian kau jenuh berada di dalam toples kaca. Kau ingin menjadi gadis normal seperti pada umumnya. Pergi ke kampus, bertemu dengan teman-temanmu atau kekasihmu yang tak pernah kau ceritakan sebelumnya kepadaku. Kadang aku juga merasa bosan memandangi tubuhmu yang mungil. Aku ingin sekali memelukmu dan merasakan wangi tubuhmu mendesirkan jantungku.

Aku tersadar bahwa cinta yang sesungguhnya adalah membiarkannya bebas. Bukan mengekang. Bahkan untuk ukuran manusia normal tak akan mengurung binatang peliharannya dalam kandang seumur hidupnya. Apalagi kekasihnya sendiri. Ketika kau mengatakan ingin kembali kepada kehidupanmu, aku harus siap merelakanmu menolak kembali cintaku. Aku tak apa-apa. Tetapi kau tak akan lupa aku ini masih seorang penyihir kata-kata. Aku masih dapat mengurung kau di dalam tulisanku untuk seribu tahun lamanya.

Bekasi, 2016

Avatar

Requiem For a Rose

Sudah berulang-ulang kali kukatakan: aku tidak mencintaimu. Namun tak kusangka betapa kerasnya kepalamu dan semakin hari semakin membatu. Tak ada satu seorang pun yang menginginkannya dan dijadikan prasasti. Kubakar cintamu diatas tungku api berbahan bakar dendam dan menjadikannya abu. Kemudian kulemparkan jauh-jauh ke tengah laut dan membiarkan ombak menghempaskannya tenggelam di palung paling dalam. Tetapi kau hujani aku dengan cinta yang lebih membara membuat kepalaku terasa meleleh. Kau membuat basah kuyup segala pakaianku, hatiku dan juga masa laluku. Kau buat segalanya menjadi berantakan.

Di pagi hari kau datang mengetuk pintu kamarku dan membawakanku semangkuk rindu. Namun hampir setengah hati aku ingin menumpahkannya, aku melahapnya dengan malu-malu. Baru sampai ke tenggorokan, rasanya hambar, perutku mual, membuat dadaku sesak dan jantungku berhenti berbunyi. Karena memang betul aku tidak mencintaimu. Kau tak pernah percaya.

Di malam hari kau datang kembali dan mengetuk pintu kamar yang sama. Kau bawakan sepasang baju penghangat yang terbuat dari pelukan-pelukan. Kau gerayangi seluruh isi kamarku, dompetku dan masa depanku. Kau acak-acak dan memuntahkan segala apa yang ada di dalamnya. Kau setubuhi aku dengan hormon kemudian beradu sengit dari luapan buih letupan bir murahan.

Keesokan harinya tak ada yang mengetuk pintu kamarku. Tak ada yang menghujaniku dengan cinta. Tak ada yang membawakanku semangkuk rindu. Tak ada baju penghangat. Tak ada pelukan. Tak ada kau. Aku tersenyum dan terlambat kusadari aku hanya sedang bermimpi. Kau yang sudah sangat jauh kulewatkan. Aku belajar satu hal: kau selalu datang berkunjung ke dalam mimpiku ketika kau begitu teramat merindukanku.

Bekasi, 2016

Avatar

Ulat

Semua penyair atau penulis ingin tampil memukau sejak kalimat pertama. Tetapi siapalah aku ini. Tak ada yang bisa kubanggakan—kecuali harga diri adalah harga mati. Dan rasa hormat yang tak pernah mampu kau beli.

Sejak bertemu denganmu, kurasakan ulat-ulat mulai tumbuh di dalam perutku. Entah datang dari mana dan berkembang begitu saja. Ulat-ulat dalam tubuhku pelan-pelan memakan lambungku, jantungku dan paru-paruku. Kutemukan mereka sebagai ulat yang gagal menemukan cahaya untuk menjadi kupu-kupu.

Tahun demi tahun bertahan dari ulat-ulat semakin mengganas dan beringas, aku mulai membaca Rumi. Dunia berjalan dan berputar seperti biasanya. Tetapi aku merasa seperti bumi yang kehilangan matahari sebagai porosnya. Aku sedang tidak berada di mana-mana. Namun rasa rindu yang meraksasa membuat diriku seolah-olah aku terbang ke angkasa dan menembus tujuh langit bidadari.

Dari kepalaku berhamburan terjemahan sajak-sajak Frans Kafka. Dari darahku meletup-meletup syair-syair indah milik Gibran. Dan dari mulutku sesederhana itu tumpah kata-kata dan mengalirkan kecipak puisi-puisi. Apabila cinta memanggilku, ikutilah. Walaupun jalan jauh yang harus ditempuh terjal dan berliku. Dan bila sayap-sayapnya datang merengkuhku, aku pasrah dan menyerah. Dan jika ia berbicara kepadaku, percayalah, walaupun segala ucapannya akan membuyarkan segala mimpiku. Bagai angin utara yang memporak-porandakan taman hijau. Ia akan memberiku mahkota kerajaan, namun ia juga akan menyalibku. Sebagaimana bunga menumbuhkan kuncup kelopak, maka ia juga akan memotong akar-akar perjalananku. Cinta memang tidak harus memiliki dan dimiliki, karena cinta bukanlah sesuatu yang dapat diperjual-belikan.

Setiap sore menjelang kujelajahi semua toko buku di kota ini. Berharap aku menemukanmu di situ. Di dalam deretan kalimat-kalimat buku novel yang tak kukenal betul pengarangnya. Dari balik senyum malu-malu seseorang yang tengah berjalan melintas di hadapanku atau papan reklame yang mengatakan keindahan adalah wanita yang tak memiliki bulu.

Setiap malam tiba kutulis ulang semua puisi-puisi sedih milik penyair-penyair besar. Kubacakan lantang-lantang agar mengundang sedih kepada siapapun yang mendengarkannya. Kupilih kalimat-kalimat yang mengandung iba dan setelahnya dunia terasa semakin hampa. Aku tenggelam dalam dunia kekosongan yang kuciptakan sendiri.

Kubaca sekali lagi Sayap-sayap Patah Sang Nabi. Kutulis ulang surat-surat cinta seperti cara Gibran menorehkan tinta di atas kertas yang telanjang. Dipungut kembali kalimat-kalimat yang mengharukan dan menyusunnya kembali ke dalam surat yang tak pernah kukirimkan. Dalam waktu singkat, kutasbihkan diriku sebagai penyair paling menyedihkan dan gampang sekali berduka.

Dengarkan puisi ini yang kutuliskan untukmu, wahai cintaku: Bukankah kita sering merasa kehilangan tanpa sempat memiliki?

Bekasi, 2016

Avatar

Menunggu

Kau tahu betul cara terbaik mengisi kekosongan adalah menunggu. Kau sedang menunggu aku terjatuh. Dengan rayuan kata-kata seperti kue ulang tahun yang terbuat dari cokelat, gula dan pemanis buatan lainnya kau berharap aku terjatuh ke dalam pelukanmu. Kau berharap aku menggulung bintang di langit seperti karpet Turki dan menawarkannya kepadamu sebagai pengganti lampu kamar tidur.

Kau sedang menunggu aku berduka. Ketika air terjun dari pelupuk mata atau badai kata-kata yang tumpah dari kepalaku. Kau berharap dapat menampung segala getir seperti hutan yang liar menampung segala hujan kesakitan. Kau berharap mampu menerjang ombak dalam lautan cemas dadaku.

Kau sedang menunggu aku bahagia. Ketika negara mengaburkan semua berita yang mengabarkan bahwa dunia ini baik-baik saja. Kau berharap pundakmu adalah satu-satunya tempatku berpulang untuk seorang petualang yang tersesat dalam ketidakwarasannya sendiri.

Kau sedang menunggu aku di hadapan puisi. Kau berharap menemukan diriku dalam deretan kalimat-kalimat milik puisi Aan Mansyur yang terjebak cinta masa lalu, kepahitan hidup dan perih perihal memeluk diri sendiri. Kau menunggu aku seperti segelas anggur Italia dan sepotong keju sebagai kudapan pembuka sebelum menyantap hidangan utama.

Kau sedang menunggu. Menunggu entah apa dan entah siapa. Sementara aku sedang tidak mencari dirimu.

Bekasi, 2016

Avatar

Shiver

Kau selalu mengenakan wajah murung. Ketika kau pergi ke kantor, pulang ke rumah atau ke tempat-tempat rahasia yang barangkali kekasihmu tak menginginkan kau tahu ada di mana dan dengan siapa. Hanya wajah itu yang selalu kau gunakan kemana saja.

Semua orang menyembunyikan dan membunyikan rahasia. Tentang negara yang merahasiakan kematian seorang anak muda yang mati membela tanah kelahirannya. Dijajah orang-orang rakus yang mengeruk tambang uang di atas penderitaan orang lain. Tentang gedung-gedung kantor, restoran, kafe-kafe, tempat hiburan dan pelacur yang memberi segala kemewahan yang ada. Semuanya hanya simbol prestise belaka.

Kau selalu mengenakan senyum berduka. Ketika kau bertemu dengan atasan, rekan kerja bahkan ketika kau sedang bercermin. Ketika kau mematut-matut dirimu, berias beralaskan bedak, mengulas pipimu dan membersihkan dosa dan resah di jantung dadamu. Kau selalu menganggap dunia ini tak pernah adil.

Semua orang di kota ini sedang berduka. Tentang bagaimana seorang anak yang sengaja dipisahkan ibunya karena ayahnya lari bersama perempuan yang tak jelas siapa nama dan asal-usulnya. Tentang seorang laki-laki yang menerjunkan air bah di atas makam kekasihnya. Pintanya sungguh sederhana. Ia ingin bertemu dengan kekasihnya sekali lagi. Ia akan membelai rambutnya, memeluknya, menciumnya dan mencumbunya. Andai ia bisa dapatkan itu, apa pun akan ia lakukan. Meski pun nyawa taruhannya. Juga tentang pemulung, pengamen, supir bis kota yang berduka atas nasibnya sendiri. Semua orang berhak menjalani hidup atas segala impian mereka. Namun lagi-lagi terbentur dengan kalimat: hidup memang tak pernah adil.

Kau selalu ingin mengenakan wajah bahagia dan senyum tertawa. Ketika segala impianmu, segala kemauanmu, bahkan sebuah pesta pernikahan yang selalu kau idam-idamkan. Memiliki rumah sederhana dan selalu mengadakan pesta minum teh saat sore menjelang tiba. Memiliki seorang gadis yang begitu cantik dan selalu memikat hati siapa saja yang bertemu dengannya. Kau akan mengajarinya membaca, berhitung, menulis dan bermimpi. Kau menginginkan itu semua. Namun semuanya kembali lagi ke kalimat: hidup memang tak pernah adil.

Bekasi, 2016

Avatar

Saudade

Rindu pada pukul dua pagi, perayaan menjadi simbol tak berarti dan hal-hal yang tak mampu kaupahami. Tak luput juga kenangan yang seolah-olah ingin meraksasa. Beberapa impian sederhana seorang buruh kasar telah kuciptakan bersamamu. Aku menikmatinya.

Matamu pancarkan cahaya yang selalu menembus mataku. Hanya kau yang mampu melebur segala sakit dan tiap inchi bilur dadaku. Aku sering kali ingin mengucapkan rasa sayang yang begitu besar kepadamu. Namun aku tak mampu. Hati dan mulutku seolah-olah dikunci dan dilupakan oleh negara. 

Aku ingin menulis tentang negara. Tentang kamera-kamera yang mereka rekam di tiap-tiap sudut lampu jalanan kota. Tentang kemiskinan yang selalu bersedih tak berkesudahan. Tentang bagaimana mereka menipu kita di setiap acara berita.

Tak ada rumah. Rumah bagiku seperti barang mewah. Aku hidup di antara orang-orang yang gemar menyakiti dada mereka sendiri dengan merelakan lehernya terperangkap renternir. Hidup bagi mereka seperti gali-tutup lubang atas nama gengsi. Pada akhirnya mereka kelak mereka menggali liang kuburnya sendiri.

Di kota ini semua orang hidup dalam kenangan. Aku menjalani hari demi hari dengan berbahan bakar dendam. Aku tidak membenci dirimu, sungguh--tetapi aku membenci diriku sendiri. Aku membenci diriku mengapa si pelupa ini telah menjatuhkan hati pada orang yang salah.

Bekasi, 2016

Avatar

Wonderwall

Akan ada waktu di mana mendengar namamu aku tak lagi merasa sakit, tetapi aku harus menempuh kesepian dan waktu panjang untuk mencapainya. Kesepian ini tak akan lebur hanya dengan tengkuk perempuan atau bir dingin. Kita berangkat dari ada mencari ketiadaan.

Dewi Fortuna sudah lama mati ditikam puisi. Dunia yang kita pijak saat ini, berisi sekumpulan manusia cengeng dan udara yang terbuat dari timbal. Kita terjebak di dalamnya. Kita pernah merasa berada di mana-mana dan tidak ada di mana-mana. Termasuk di dalam puisi ini. Kata-kata yang liar hanyalah jembatan yang menghubungkan antara aku, kau dan kehampaan.

Sudah lama aku tidak menangis tanpa perasaan dan air mata. Lebam di tubuhku seolah-olah menumpang hidup di dalamnya. Bilur tubuhku terbuat dari mimpi-mimpi yang telah lama dikubur dan rasa sakit yang sulit dicabut. Segala hal yang dapat membunuhku akan membuat aku merasa lebih hidup.

Bagaimana caranya diriku melupakanmu, sementara kau masih saja mengisi kekosongan rongga dalam dadaku. Mimpi kita perlahan musnah bersama aroma tubuhmu yang tersisa di dalam napasku dan seolah-olah melekat bersama udara selamanya. Dan aku tak tahu caranya berhenti.

Bekasi, 2016

You are using an unsupported browser and things might not work as intended. Please make sure you're using the latest version of Chrome, Firefox, Safari, or Edge.