Avatar

@sekociputih / sekociputih.tumblr.com

Janji Allah itu nyata
Avatar

Wibawa tidak hadir dengan kepura-puraan, melainkan dengan pengalaman hidup yang sudah kamu lewati sampai kamu tidak sadar kamu sudah memilikinya.

Avatar

Perasaanmu, dan harapan-harapan yang lama tertanam... Simpan rapat-rapat... Biarkan mereka abadi dalam kotaknya.

Sekilas lalu kamu melihatnya, mereka menjadi begitu cantik. Semakin tahun. Semakin berkilau.

Avatar
reblogged
Avatar
sekociputih

Narasi dalam Mimpi (Episode 6)

: Masayoshi Yamazaki

Aku pernah merasakan kehilangan, pada ia yang telah begitu lama tertanam dalam kebun mimpi. Masa lalu yang begitu indah sehingga tak bisa lagi diingat dalam dunia nyata. Kehilanganmu menyisipkan banyak tanda tanya kepada langit: tentang pertemuan yang akhirnya hanya membawa air mata. Semakin musim berganti, semakin duniaku memudar menjadi mimpi. Aku telah hidup dalam kenangan yang begitu lama. Aku telah terlatih dalam mengolah dunia nyata menjadi mimpi indah yang melenakan.

Tiap jejak memberikan kesempatan bertemu denganmu. Tiap waktu selalu menuju pada titik dimana kau pernah menjadi nyata dalam genggamanku. Sosok yang selalu kucari di setiap perempatan jalan, di lampu merah, di bawah bayang pohon di depan gedung tua. Warna merah dengan harum sabun menjadi panduan untuk menemukan kembali bayanganmu di tempat kau pernah berada. Aku selalu berjalan ke arah sana, menggandeng tanganmu yang tak terlihat. Merekam sekali lagi tiap-tiap rasa yang pernah tercipta dengan imaji yang sempurna. Sosokmu tak sekalipun luput dalam pandangan.

Kini raga kita telah sepenuhnya berubah. Tak ada lagi anak kecil yang berlari di bawah jendela, berteriak-teriak ketika ada layangan yang putus. Tak ada lagi yang akan duduk di bawah ayunan di rindang pohon di taman belakang sekolah. Tak ada lagi tawa keras yang mengalahkan lengkingan kereta api dan decit relnya. Tak ada lagi yang berlari di bawah taburan gugur daun dan tersenyum menghadapku. Sekali lagi kucari dan tetap tak ada.

Kau tumbuh bersamaku dalam tiap langkah yang kutapaki. Kau berjalan bersamaku di sepanjang jalanku menuju masa depan. Aku mengabur dan kau semakin nyata. Taman bermain semakin dingin dan ditelan gelap. Meskipun aku tau kau tak ada di tempat ini, aku selalu mencarimu. Jika ada keajaiban yang terjadi sekarang, maka aku akan tunjukkan padamu: fajar baru yang kumulai sekarang dan kata cinta untukmu yang tak pernah terucap. Jika harapanku menjadi kenyataan, maka aku akan berada di sisimu dan membawa peluk yang lebih erat. Sekali lagi. Satu kesempatan lagi.

(One More Time, One more Chance)

sudah lama rasanya ya tidak bermain hati seperti ini. hidup dalam dunia nyata benar-benar menghilangkan semua mimpi masa lalu. di satu sisi, realitas ini memuaskan logika pikir yang sudah terbentuk. tapi di sisi lain, menjadi melankolis sejak kanak-kanak menimbulkan kerinduan yang membuat sesak dada

Avatar

Beberapa minggu ke belakang saya sering duduk di sini, seolah-olah bekerja, tapi tidak menghasilkan apa-apa. Yang saya lakukan cuma membaca, bertanya, merenung, ujung-ujungnya melamun. Tapi anehnya kegiatan unfaedah ini membantu saya menata ulang sampah dalam kepala. 

 Satu hal yang benar-benar saya sadari adalah saya memerlukan momentum. Untuk menuliskan hal ini saja saya memerlukan alasan padahal kata-katanya sudah terangkai dalam kepala. Entah itu wujud sebuah kemalasan atau hanya alasan saya untuk menuntaskan taget di akhir waktu. Keduanya tentu bukan hal yang baik. 

Berkaitan dengan momentum, saya menuliskan beberapa target baru untuk dua tahun mendatang berkaitan dengan publikasi jurnal. Salah satu alasannya dilatarbelakangi oleh tingginya kebutuhan validasi dari orang lain. 

Dan untuk mengingat kesombongan ini, saya perlu menuliskan beberapa kesimpulan yang saya peroleh: 

1. Menulislah untuk dibaca orang lain. 

Jangan menulis karena kamu ingin menulis. Tulislah apa yang orang lain perlukan untuk bahan nutrisi otak mereka. 

 2. Lima karya pertama adalah sebenar-benar sampah 

Agak memalukan membaca kembali artikel-artikel yang pada masanya begitu saya sombongkan haha 

3. Penolakan adalah jalan lain dari penerimaan 

Ketika tulisanmu ditolak oleh satu penerbit, psatinya akan ada penerbit lain yang mau menerimanya. Optimis saja. Mungkin penerbit itu bukan jodohmu. 

4. Sadari kapasitas otakmu dalam menyimpan informasi 

Kalau sudah tau kepalamu tidak sanggup menyimpan terlalu banyak ide, biarkan alat lain yang membantu pekerjaan itu. Misalnya laptopmu, handphonemu, buku catatanmu. 

5. Berhenti membuat alasan untuk melakukannya nanti 

Setelah kamu sadar banyak waktu terbuang hanya untuk berangan-angan, itu percuma saja. Jadi apakah lebih baik tidak sadar saja? 

6. Action 

Jangan banyak alasan. 

 https://www.instagram.com/p/CARwcV8gQHr/?igshid=18os8udvidxug

Avatar

Aku melihat dari sisi yang tidak biasanya dilihat orang lain. Aku berpikir dengan cara yang tidak biasanya dipikir orang lain. Aku berlaku dengan cara yang tidak biasanya dilakukan orang lain.

Siapkah kamu dengan semua itu?

Avatar

Dengan segala hak dan kewajiban yang sama, ada segelintir orang yang inginnya hanya di rumah saja bersantai bersama keluarga dengan dalih mengurus anak, merawat orang tua, mendekatkan diri dengan suami, dan alasan-alasan yang menurut saya terlalu klise untuk disampaikan oleh orang dewasa.

Karena ada juga segelintir lain -dengan hak dan kewajiban yang pula sama- yang berusaha menghadirkan tidak hanya pikiran maupun ide-idenya, tetapi juga fisiknya.

Keduanya sama-sama punya keluhan, sama-sama memikirkan apa yang harus dikorbankan dengan pilihan mereka masing-masing. Yang berbeda hanya: yang satu ngedumel di depan orang banyak, yang satunya ngedumel dalam hati 😝

Bohonglah kalau kelompok kedua bekerja ikhlas tanpa ada secuilpun iri hati dengan kelompok pertama. Namanya manusia yang punya keluarga tentunya semua ingin punya quality time. Apalagi kalau hak dan kewajiban mereka sudah dijamin sama. Buat apa sih kerja susah payah begitu? Meskipun katanya semua orang punya tujuan dan jalan hidupnya masing-masing, rasanya masih manusiawi jika menginginkan kerja sedikit dengan penghasilan besar.

Lantas, lebihnya kelompok kedua dari kelompok pertama apa? Yah saya pun belum tau karna saya juga menginginkan jadi anggota segelintir kelompok pertama itu 😁

Avatar
reblogged

Menjadi Perempuan

Subuh-subuh tadi gue dapet pasien anak yang datang dengan keluhan demam dan muntah-muntah. Dia datang diantar dua perempuan, satu agak muda, satu lebih tua dan kayaknya seumuran nyokap gue. Saat menjelaskan hasil lab dan kesimpulan diagnosis gue ke mereka berdua, gue baru tau ternyata tidak satupun dari mereka adalah ibu kandung si pasien. Yang nampak lebih muda adalah tantenya, yang nampak seperti nyokap gue adalah neneknya. Menurut si tante, ibu si pasien sudah meninggal sejak si pasien masih bayi. Ayahnya di luar kota.

Saat akan berpamitan pulang, si tante cerita sedikit kalau dia harus sampai rumah sebelum jam 6, karena ada 3 anak lagi yang harus dia siapkan untuk berangkat sekolah; 1 orang kakaknya si pasien, dan 2 lagi anaknya sendiri. Katanya, yang mengurus mereka berempat ya hanya dirinya dan si nenek. Saat dia dan nenek ke rs, ketiga anak tadi dititipkan ke tetangga.

Gue menatap kepergian mereka keluar dari pintu UGD dengan mixed feeling. Ingatan gue terlempar pada perempuan-perempuan dengan bermacam tanggungjawab dan memutuskan mandiri--yang pernah gue temukan dalam hidup gue.

Menjadi perempuan itu mungkin sama saja dengan menjadi manusia pada umumnya. Tapi (maafkan untuk opini-opini sexist setelah ini), entah kenapa rasanya menjadi perempuan makin hari makin banyak term and condition-nya, dan makin banyak yang...how to say it, take them for granted?

Well, mungkin karena gue juga perempuan, jadi gue lebih melihat bagaimana dunia sekitar gue memperlakukan perempuan. Gue tau pasti menjadi laki-laki juga ada saja problematikanya. Sayangnya, gue belum pernah menjadi laki-laki, jadi sulit untuk membayangkan rasanya menjadi laki-laki.

Gue melihat bagaimana teman-teman gue yang memberanikan diri menggugat cerai suaminya yang toxic, lalu setelah dia merdeka sebagai janda, lingkungan sekitar tidak berhenti menyalahkannya, dibilang egois dan tidak memikirkan nasib anaknya. Gue bahkan pernah menyaksikan salah satu dari mereka dijadikan olok-olok dengan guyonan mesum di sebuah pertemuan formal, hanya karena caranya memegang mikrofon ketika sedang menjadi pembicara. Ntar giliran mereka dress up properly, merawat diri dengan passionate, dibilang janda gatel potensi jadi pelakor.

Gue melihat bagaimana perempuan sekitar gue melawan stigma atau terjebak stigma harus begini dan begitu, tidak boleh begini tidak boleh begitu. Gue tau masih banyak kerabat gue yang tidak peduli dengan gelar dokter gue selama gue masih belum menikah, dan gue akan selamanya jadi perbandingan dengan sepupu entah berantah gue yang anaknya sudah tiga padahal dulu kami bermain di selokan depan rumah kakek bersama-sama. Gue bahkan pernah mendengar adik gue yang perempuan dikasihani karena lensa kacamatanya makin tebal, sedangkan adik laki-laki gue yang silinder-nya lebih parah malah dibilang tampan.

Gue menyaksikan sendiri bagaimana nyokap sering dibahas rakyat sekitar karena bekerja dan sekolah lagi, padahal punya anak yang masih kecil-kecil. Sedangkan senior gue yang jadi spesialis bedah dan belum menikah dighibahin perawat dibilang perawan tua, ngga akan ada lakik yang mau sama perempuan yang sekolahnya ketinggian. Sama halnya kayak tante gue yang mau ambil S3. Sudah nikah mau sekolah lebih tinggi, salah. Belum nikah mau sekolah tinggi, salah juga.

Gue pernah sekolah di tempat yang jauh dari kota besar. Sebagian besar teman-teman gue saat itu, tidak melanjutkan sekolah sampai kuliah. SMA saja sudah mewah. Ada yang akhirnya hanya di rumah, menikah sebelum usia dua puluh, dan beranakpinak. Katanya, perempuan ya mau bagaimana juga hakikatnya adalah dapur-sumur-kasur. Sudah begitupun masih ada saja mulut bangsat yang terus berkomentar, kapan menambah anak, kenapa belum ada anak laki-laki, kenapa tidak ASI, kenapa tidak lahiran normal, kenapa bayinya tidak dibedong, kenapa ari-arinya ngga langsung dikubur, dll dsb dst.

Oh belum lagi kalau mau membahas bagaimana dunia mengatur cara perempuan berpenampilan. Sudah pakai jilbab, disuruh pakai cadar. Tidak pakai jilbab, dibilang dosa jariyah. Pakai bikini di pantai, dihujat tidak sudah-sudah. Pakai make up sedikit, dibilang menor dan tidak alami. Tidak pakai make up, dibilang tidak merawat diri.

Padahal katanya perempuan selalu benar. Tapi seringnya malah perempuan serba salah.

Pedihnya lagi, yang menyalahkan ya perempuan-perempuan juga.

Udah pernah nonton Kim Ji-Young, Born 1982? Salah satu film tentang perempuan yang sangat membuat gue patah hati. Se-patahpatahnya. Bahkan abis nonton itu, gue menangis sepanjang credit, sampe lampu bioskop menyala. Terlalu relate, terlalu dekat dengan kehidupan sehari-hari.

(bentar, spoiler alert dulu)

Ceritanya tentang ibu muda anak satu yang akhirnya mengidap mental issue serius karena stress dengan tekanan sekitar sejak dia menjadi ibu. Bagaimana dia harus berkutat dengan rutinitas mengurus anak, mengorbankan karir cemerlang, siang malam menghabiskan waktu demi suami, anak dan rumah. Sudah begitu, all the credits still go to the husband.

Ini bagian paling perihnya. Menjadi perempuan, kadangkala, adalah menjadi bayang-bayang. Ketika berhasil mencapai sesuatu, jika sudah menikah, yang disebut adalah suaminya. Jika belum menikah, yang disebut orang tuanya. Perempuan seperti tidak boleh dipuji sebagai dirinya sendiri, dihargai sebagai dirinya sendiri tanpa imbuhan orang-orang lain. Seolah-olah perempuan tidak mungkin berdiri sebagai entitas sendiri.

Sebagain besar perempuan di sekitar gue yang sudah menikah, panggilannya bukan lagi namanya, tapi nama suaminya dengan tambahan kata Bu. Misal, Bu Bambang, Bu Broto. Atau kalau sudah punya anak, yang disebut nama anaknya. Misal, Mamanya Aisyah, Bundanya Keanu. Padahal si Bambang sama Broto ngga bakal bisa punya Aisyah atau Keanu kalo ngga ada si perempuan ini sebagai entitas nyata. Aisyah sama Keanu juga ngga bakal ada di dunia kalo ngga ada rahimnya si perempuan ini sebagai sosok spotlight.

Dulu, nenek gue pernah nasihatin gue pas gue abis sumpah dokter. Katanya, gue harus ngerasain dulu jadi perempuan mandiri yang tau harus apa dengan diri sendiri, mencapai apa yang mau gue capai selagi gue belum menikah. Karena ketika sudah menikah, kehidupan gue sebagai diri gue sendiri, akan berakhir.

Gue akan jadi Bu-(nama laki gue), atau Mamanya- (nama anak gue). Gue akan menjadi imbuhan, bukan lagi kata dasar. Segala apapun yang gue capai, credit-nya akan diberikan kepada mereka, bukan kepada gue. Bahkan ketika anak gue melakukan sesuatu yang membanggakan pun, yang akan disebut pertama kali adalah bapaknya.

Gue dulu mungkin ngga paham dengan itu, sampe akhirnya gue makin tua dan teman-teman sekitar gue satu persatu menikah. Nasihat nenek gue mulai masuk akal.

Mungkin maksud nenek gue bukan mendiskreditkan peranan istri dan ibu. Nenek gue hanya memberikan bitter pill yang sebaiknya gue ketahui sebelum menjalaninya. Karena toh dalam hal apapun akan ada menyenangkan dan tidak menyenangkan-nya.

Pada akhirnya, gue cuma mau bilang ke sesama perempuan dulu aja deh. Muluk-muluk banget kalo gue berharap semua orang paham.

Tolonglah, perempuan, kita tuh sama-sama perempuan. Sedikit banyak, kita lebih mudah memahami sesama, dibanding yang beda. Jadi, apa susahnya berhenti saling mengintervensi keputusan dan pilihan hidup satu sama lain, apalagi dengan kata-kata pedih menyayat hati, hanya atas nama "peduli"? Ngga ada peduli yang melukai, sayang.

Tolong biarkan perempuan mau menikah atau tidak, mau punya anak atau tidak, mau melahirkan caesar atau normal, mau asi langsung atau asip, mau beli baju anak di mothercare atau itc, mau bekerja atau tidak, mau sekolah sampai phd atau sampai smp, mau pakai skincare drugstore atau high end, mau rambut dicat atau dibotak cepak, mau pakai backless atau gamis, mau jadi escort atau biarawati, mau bela Kale atau bela Awan, mau mpasi instan atau masak sendiri, mau pulang malam atau pulang pagi, mau suka Hindia atau BTS, mau jadi janda atau perawan sepanjang usia, mau tinggal sama mertua atau tinggal di kontrakan sempit, mau jadi gojek atau dokter perusahaan tambang lepas pantai, mau pakai balenciaga atau produk miniso, mau gaya make up tasya farasya atau bare face kemana-mana, dll.

Mari saling peluk, saling tepuk pundak, saling rangkul, saling genggam--atas apapun keputusan dan pilihan hidup masing-masing. Mari menjadi lingkungan yang nyaman untuk sama-sama ditinggali. Mari saling menjadi kekuatan disaat dunia sedang jahat-jahatnya.

Mari berhenti sok tau, sok paling benar. Hidup nelangsa lo ngga akan lebih baik dengan opini-opini "sekedar mengingatkan" lo ke sesama perempuan, dan hidup bahagia lo juga ngga akan berkurang nilainya dengan menerapkan standar bahagia lo ke sesama perempuan lainnya.

Mari sibukkan diri dengan berbagi kabar baik, memuji dengan bahasa baik, berbagi info diskon skincare di online shop, saling mengingatkan jika ada flash sale popok atau tempat thrift shop atau spa yang enak atau makanan yang murah meriah kenyang, bertukar kabar kalau ada shade lipstik terbaru atau warna cat rambut atau merk catokan yang reccomended.

Mari menjadikan perempuan sebagai dirinya sendiri, sebagai kata dasar, bukan imbuhan.

Avatar

Ketika lagi ga pengen tebar senyum di kantor tapi qadarullah ketemu bos kepegawaian begitu parkir motor, jadi terpaksa senyam senyum. Begitu sampai lantai 3 pak bos juga ngajak becanda.

Energi untuk bertahan seharian langsung habis.

:dalam hati asnwbgdgskahsggshsksnvdgdjsjsjsn

Avatar

Aku cinta dia

Ada banyak cara mencintai orang lain. Cinta kepada orang tua, pasangan hidup, adik, kakak, bahkan kepada orang yang sama sekali tidak ada hubungan darah dengan kita. Semua cinta itu bentuknya bermacam-macam. Namanya satu, cinta. Tapi bentuknya banyak. Cara menunjukkannya juga banyak.

Seringkali orang salah memahami ketika ada yang bilang "aku cinta dia", sedangkan yang dimaksud adalah sesama jenis dan bukan kalangan keluarga dekat. Sekali kata cinta itu disebut, yang dimaknai pasti cinta kepada pasangan. Masyarakat yang sungguh maha benar membuat definisinya sendiri.

Bukankah tidak ada yang salah ketika sesama wanita atau sesama pria mengatakan hal seperti itu? Kita manusia yang punya bahasa untuk berkomunikasi, sebagai simbol rasa sayang, kita gunakan kata-kata seperti itu, dan penempatannya memang benar; rasa sayang yang begitu besar kepada orang lain sehingga tidak ingin melihat orang yg dituju terluka.

Mungkin kita memerlukan kamus baru yang dengan jernih bisa memilah penempatan kata yang benar dan salah. Atau masyarakat yang harus diberi pengertian dan dibiasakan dengan kata-kata semacam ini. Keduanya juga harus disertai niat baik untuk tidak menghakimi orang lain.

Avatar

Aku hanya ingin menunjukkan padamu bahwa dirimu berharga, terlepas dari apapun yang orang lain katakan tentangmu.

Kamu berharga meskipun itu hanya bagiku dan keluargamu. Hal itu juga tidak mengurangi nilaimu sebagai manusia.

Kamu pantas disayangi, diperlakukan dengan baik. Kamu pantas diperhatikan, diberi apresiasi.

Avatar

Kalau saja dia tau, aku tidak pernah ingin menyakitinya lebih dari ini.

Kalau saja dia tau, melihatnya terluka juga membuatku sama terlukanya.

Kalau saja dia tau, bahagiaku tidak pernah berdiri di atas lukanya.

Jika dia tau, aku sungguh berharap bisa mengganti setiap kesedihan yang dirasakannya.

jika aku mampu...

Avatar

Mereka menasihatiku untuk menyelesaikan lebih dulu urusan perasaan diri sendiri dengan dia yang sejak sepuluh tahun lalu aku kagumi. Sementara, aku dan dia tidak pernah melakukan apa-apa, tidak terjadi apapun di antara kami. Tidak ada barang-barang peninggalan darinya, pun hanya sedikit foto yang kami punya beserta secuil kenangan yang bahkan tidak ada tempat di dalamnya untuk moment-moment berdua.

Dia memang pernah jadi segalanya, yang utama, dan yang terbaik. Dia selalu menjadi standar. Yang memiliki nilai kurang dari standar akan dengan cepat tersingkir dan memang tidak ada yang memiliki nilai lebih darinya. Tentu saja ini penilaian yang subjektif, karena aku sudah mengaguminya bertahun-tahun tanpa melirik yang lain. Atau bisa saja orang memanggap ini obsesi, toh tidak hanya aku yang tertarik padanya.

Selama ini aku tidak kesulitan bertahan menyukainya tanpa tatap muka, tanpa chat yang intens. Kami hanya punya kesempatan bertemu dua kali dalam setahun, setiap kalinya dalam pertemuan yang singkat. Sungguh tidak ada alasan aku bertahan dengan perasaan ini, tapi nyatanya tetap dia menjadi yang terbaik.

Lalu jika diminta harus menyelesaikan, apa yang sebenarnya harus diselesaikan? Dimulai saja, tidak.

Avatar

Aku tidak tau apakah aku bisa menyayangi orang lain sehebat aku menyayangi kamu.

Keadaan ini sudah terlalu nyaman dan aku tidak ingin merubahnya lagi. Kamu membuatku merasa seolah aku tidak perlu orang lain lagi di hidupku.

Avatar

Kamu tidak harus menjadi berharga lebih dulu agar kamu mendapat tempat dan disayangi.

Nyatanya, dengan kamu menjadi dirimu sendiri saja, kamu sudah pantas mendapat kasih sayang yang berlebih-lebih dariku.

Avatar
reblogged

Perempuan yang Pernah Mencuri Takdir

tak ada yang lebih lara dari dua yang tak dibuat satu tak ada yang lebih rindu dari melihat masa lalu aku melangitkan langkah mencari kitab takdir

Begitulah, aku pernah bermimpi memanjat langit untuk menemukan kitab takdir. Mengubah beberapa isinya agar sesuai keinginan; khususnya perihalmu. Mungkin itu cara terakhir agar kebersamaan yang telah berada di pinggir jurang terselamatkan. Mungkin itu satu-satunya cara agar garis tangan kita yang tak pernah bertemu bersinggungan di satu titik lalu menyatu.

Dengan sulur-sulur yang menembus awan, berasal dari tanaman yang dirangkai oleh gerombolan kupu-kupu cahaya, aku memanjat tergesa. Di langit ketujuh langkahku mengendap-endap, kaki berjinjit agar panah-panah api milik malaikat penjaga yang terbuat dari gemintang tak mengetahui keberadaanku. Coba bayangkan, bisa-bisa mereka membakarku. “Ah, rupanya di sana ia berada; kitab yang memuat segala ketentuan manusia. Dimulai dari Adam Hawa hingga manusia di pungkasan zaman,” ujarku dalam hati. Dengan pena yang kuasah dari batu bulan, butir-butir takdir mulai kuganti. Sadarkah kau?

mereka, yang menamai diri Adam dan Hawa  membawa gelisah menguntai takdir yang gigir seperti mengartikan percakapan musim semi pada sebuah rumah tempat malaikat bekerja aku memperkenalkan diri sebagai tokoh utama yang bermain-main dengan takdir di ujung tinta– satu-satunya pelakon cerita

Jumawa, aku kembali ke bumi dengan kepercayaan diri melampaui gunung tinggi. Iktikadku pasti terpenuhi. Tanpa meminta kerendahan hatiNya, aku bergantung pada ikhtiar yang kupancangkan menembus bumi. Lalu, saat kedua kelopak terbuka, kenyataan getir menampar-nampar. Hingga nyawaku terasa hilang sebagian; kau tetap pergi. 

Rupanya aku salah, takdir tak pernah mampu kucuri, ia hanya terjadi dalam mimpi yang penuh kesemuan. Menipu. Benang merah di kelingkingmu memang tidak untuk diikatkan padaku. Kau bukan Kresnaku dan aku bukan Laksmimu.

demikianlah aku dan seluruh cerita kubawa pulang menjadi pentas komedi dalam panggung mimpi kamar tidur menyisakan lirih manuskrip takdir selembar naskah yang tak ada pada sasana nyata

Hanya Ia pemilik sejati. Harusnya kupinta padaNya sepenuh hati, serendah diri. Bukan dengan keangkuhan yang berkelindan tanpa henti.

Puisi oleh @limamaret Prosa oleh @krisanyuanita (Semacam nostalgia)

Ku kangen kolab cem gini @sekociputih 😔

Avatar
sekociputih

Ku kangen moment moment cem gini @krisanyuanita

Avatar

All the things I want to ask you. Long ago.

You are using an unsupported browser and things might not work as intended. Please make sure you're using the latest version of Chrome, Firefox, Safari, or Edge.