Avatar

Muhammad Jhovy Rahadyan

@muhammadjhovy / muhammadjhovy.tumblr.com

Tempat menumpahkan beragam isi pikiran.

Buku atau Podcast? #9

Ada bahasan menarik yang menggelitikku belakangan ini. Rangkumannya adalah apakah semua orang masih butuh untuk membaca, kan bisa belajar dari audio? Ada 3 macam tipe belajar orang yang kutahu. Tipe Audio (lewat suara), Visual (lewat gambar) dan Kinestetik (lewat pengalaman bergerak). Sebenarnya maksud dari pembuat teori ini baik. Untuk memaksimalkan cara belajar orang. Namun, nampaknya ada gesekan-gesekan kecil di masyarakat. Kira-kira seperti pertanyaan di awal. Apakah semua orang masih butuh untuk membaca, kan bisa belajar dari audio?

Menariknya, sebelum menjadi pilihan setuju atau tidak setuju, kita perlu tahu dulu keunggulan suatu tipe belajar. Contohnya mungkin dua situasi saja. Mendengar podcast (audio) dan membaca buku (visual). Podcast itu enak didengarkan sambil beraktivitas. Sambil jalan pagi misalnya. Namun, ada kalanya pembicaranya bertutur kata terlalu lambat. Oke masih bisa diatur speed soundnya. 1,2 kali atau 1,5 kali kalau perlu. Susah mencatat tentunya. Sering kali ada kalimat menarik di podcast. Akhirnya saya ingat-ingat saja. Susah kalau sedikit-sedikit harus berhenti jalan pagi untuk mencatat. Buku itu lebih statis. Speednya bisa kita atur sendiri. Kalau ada yang menarik bisa ditandai pakai pulpen atau stabilo. Kita bisa tutup dan refleksi dulu sebelum mulai membaca. Diresapi dulu. Kalau menunggu antrian pun lebih fleksibel. Oh ya, buku tidak harus berbentuk hard copy ya. Bisa juga pakai alat bantu baca dengan soft file/digital book. Bisa juga membaca artikel di HP. Sama-sama belajar. Kedua contoh di atas sudah memperlihatkan kalau ada kelebihan dan kekurangan atas dua tipe belajar itu. Bagiku pribadi, fleksibel saja. Selama semangat belajar itu dipelihara, maka kita akan mencari cara untuk terus belajar. Apa pun bentuknya. Jadi tidak hitam putih memilihnya. Tidak seperti jika pilih A, maka B itu buruk. Jika satu-satunya waktu belajar kita cuma saat jalan pagi sebelum aktivitas kerja, maka minimal dengar podcast. Jika menunggu antrian tetapi tidak bawa earphone, mending buka buku/HP daripada menggangu orang di sebelah karena bising. Jangan pernah padamkan keinginan untuk belajar. Jangan pernah padamkan keingintahuan kita selama itu baik. Kalau kita pelihara terus rasa penasaran yang baik ini, belajar itu bukan beban. Namun, sesuatu yang alami. Sehingga kita akan mencari banyak cara untuk belajar sebagai bagian dari hidup. Akhirnya kita pun tidak akan membentur-bentukan dua hal yang baik sekaligus. Bandung, 4 Februari 2025. 5.57 AM. Sedang berusaha merapikan cara berpikirku dengan menulis.

Hasil, Proses & Tahu Batasan #8

Belakangan ini saya belajar bahwa setiap orang punya prosesnya masing-masing. Tiap orang bisa belajar IELTS, digital marketing, kehidupan, matematika dan lainnya. Mulainya bisa bersama, tetapi selesai mencapai targetnya belum tentu. Saya dulu orang yang cenderung menghargai hasil. Result-oriented. Get things done. Mungkin beberapa kalimat itu yang mewakili suasananya. Mungkin saja kata-kata itu masih mendominasi. Namun, saat ini belajar untuk menghargai proses. Tetap result-oriented dan get things done sebenarnya. Namun dalam takaran kecil. Target-target besar yang kurang realistis telah kukurangi. Meninggalkan target-target besar yang kuyakin dampaknya besar untuk saya dan keluarga. Misal rencana S2 kali ini. Saya tahu ingin MBA program, beasiswa yang menunjang hidup bertiga, dan kampusnya di luar negeri. MBA program artinya perlu persiapan minimal bahasa inggris (IELTS/TOEFL) dan GMAT/GRE. Buat orang yang masih kelu bicara bahasa inggris, saya tahu perjalanan ini panjang. Tetap mematok awal 2026 ingin berangkat S2. Namun, sekarang menjalani saja prosesnya. Saya sadar saat ini menjadi kepala rumah tangga dan bekerja kantoran. Artinya pagi sampai sore minimal penuh. Sisa waktu malam atau awal pagi banget adalah waktuku sendiri. Mau dipakai belajar bahasa inggris ngga? Jadi result-orientednya adalah apakah saya menjalani proses ini. Kalau tidak, artinya saya tidak result-oriented dan process-oriented sekaligus. Saya sudah berkali-kali sakit karena berlebihan. Ya akibat itu tadi. Result-oriented. Sakit itu kan alarm tubuh kalau kita tidak kuat. Itu membuatku paham kalau tiap orang punya prosesnya masing-masing. Ada yang sat-set belajarnya. Sekali baca mungkin langsung mengerti. Ada yang berkali-kali baru mengerti. Namun, mereka sama-sama berproses kan? Allah Maha Adil. Kekuatan besar itu tanggung jawabnya juga besar. Rezeki sudah Allah tentukan. Refleksiku kali ini mungkin bisa digambarkan dalam satu kalimat. Tetap menargetkan, tetapi menjalani langkah demi langkah dengan memperhatikan diri. Biar tidak terombang-ambing tanpa tujuan. Biar ingat proses itu penting. Biar tidak sakit. Bandung, 4 Februari 2025. 5.25 AM. Ada gap lumayan antara tulisan #7 dan #8 ini. Meski tadinya mau tiap hari menulis. Gapapa Jhov, kamu sudah berusaha.

Kaku Leher dan Budaya Menunduk #7

Suatu hari saya terbangun dengan leher kaku. Kesakitan untuk digerakkan. Salah tidur? Awalnya saya berpikir begitu. Namun karena usia sudah tidak muda, terpikir pula kolesterol sedang tinggi.

Akhirnya tes darah saja di apotek. Periksa kolesterol. Sekalian kadar gula dan asam urat. Kolesterol dan gula masih tidak bahaya hasilnya. Justru asam urat yang 9,5 angkanya. Pria dewasa harusnya di bawah 7.

Sudah minum obat asam urat. Kok masih sakit. Cek ke klinik faskes 1 BPJS. Ternyata dokter menduga ada masalah dengan otot. Penjelasan ini masuk akal. Sebagai pekerja WFH, banyak waktu dihabiskan untuk menunduk lihat laptop. Setelah pakai laptop? Pakai HP masih dengan cara menunduk. Beres semua kegiatan dan lanjut tidur? Saya sering tumpuk 2 bantal atau 1 batal & 1 guling untuk kepala saya. Bayangkan, tidur saja saya suka nunduk.

Sejak saat itu saya menaruh meja kecil, meja yang biasa dipakai lesehan, di atas meja kerja saya. Low budget, high impact. Mau tidak mau saya akhirnya mengangkat kepala kalau mau bekerja. Tidur juga berusaha cukup satu bantal sebagai ganjalan.

HP ini yang masih susah. Sering otomatis menunduk pas buka. Namun, mari diusahakan yang bisa. Ibarat ada 10 kebaikan. Kalau tidak bisa 10 kebaikan dilakukan, maka jangan tidak melakukan kebaikan sama sekali. Bandung, 18 Januari 2025. 10.37 AM Setelah nulis, gerak-gerakin kepala.

Jalan Pagi dan Podcast #6

Dokter bilang kalau saya harus olahraga. Hasil pemeriksaan menunjukkan ada lemak di liverku. Saya tidak tahu seberapa bahaya itu. Tidak mencoba googling juga sampai sekarang. Hal yang ada di kepalaku saat ini adalah olahraga.

Badan sudah sempat tembus angka 106 kilogram. Dulu banget pernah coba jogging, ternyata kaki jadi sakit. Akhirnya malah rest lama dan akhirnya jarang olahraga. Kuputuskan saat ini cukup jalan. Dokter Tirta, seorang dokter dan influencer kesehatan terkenal, menganjurkan minimal sehari 5.000 langkah. Kalau iklan Anlene dulu malah menggaungkan 10.000 langkah per hari. Tidak mau pusing, pokoknya sekarang harus mau jalan lebih banyak dulu. Sebagai orang yang kerja Work From Home (WFH), mencapai angka 1.000 saya ada kalanya susah. Sudah 3 hari berturut-turut belum putus jalan pagi. Sambil pakai TWS, sambil dengar podcast. Menariknya, justru 3 hari ini menjadi waktu recharge pagi-pagi. Badan diberikan hak dengan gerakan. Otak diberikan hak asupan ilmu. Peran ayah di dewasaku ini lumayan menantang. Merasa nyaris tidak ada waktu tenang dan santai. Kalau dibilang produktif, ya memang mengerjakan banyak hal. Tahapnya masih terpaksa karena banyak agenda yang sudah masuk kuadran "penting & mendesak". Konteksnya, lagi bicarakan Eisenhower Matrix. Kalau sudah sibuk, terasa mulai khawatir kalau tidak belajar. Minimal dengar podcast pagi-pagi ini semoga menjadi awal yang baik. Bandung, 18 Januari 2025. 1.15 AM. Belum tidur. Biidznillah keruwetan pikiranku berkurang setelah mulai menulis lagi. Alhamdulillah.

Mental Juara Anak Papua #5

Mental juara itu bukan berarti pasti selalu menang. Mental juara itu artinya punya jiwa kompetitif dan terbiasa untuk berada dalam situasi persaingan. Itu definisiku. Saya merasa menghabiskan waktu di Papua lebih dari 10 tahun punya andil besar membentuk mental juara. Papa dulu kerja di tengah hutan. Sebuah perusahaan pertambangan. Tidak semua karyawan bisa membawa keluarganya ke sana. Rumah dinas terbatas dan mungkin hanya untuk jenjang pekerja tertentu saja. Suatu saat, rezeki untuk membawa keluarga hadir di keluarga kami. Alhamdulillah. Bisa saja mamaku memilih LDM. Menolak relokasi ke Papua dan menolak rumah dinas. Bertemu suami bisa setahun dua kali. Terlebih gaji papa akan terasa lebih besar kalau dibandingkan biaya hidup di Pulau Jawa. Alasannya pun bisa saja terkait kualitas pendidikan anak-anak. Masuk akal ya sampai sini? Tidak. Mamaku ternyata tipikal ibu yang ingin anak-anaknya merasakan sosok ayah. Beliau ingin keluarganya "utuh". Hal yang sampai saat ini patut saya syukuri. Karena kelak saat saya SMA, papa meninggal. Saat saya kuliah, mama meninggal. Minimal, saya punya memori keluarga utuh saat kecil. Berangkat lah kami ke Papua. Kami saat itu berada di lingkungan yang memang kekurangan akses dan mimpi. Jika dibandingkan dengan Pulau Jawa. Ada beberapa fasilitas dari perusahaan. Namun, tentu terbatas. Jangan disamakan kami yang orang Papua dengan kalian yang di Pulau Jawa. Kita bicara konteks saat itu. Kalian sedari pagi sudah bertarung cari angkot ke sekolah. Kami punya keinginan untuk sekolah saja sudah bagus. Kalian lengah sedikit terkait pelajaran, selanjutnya bisa tidak dapat sekolah negeri bagus. Kami mau berusaha atau tidak, sekolah di lingkungan kami hanya ada satu. Toko buku dan perpustakaan kalian melimpah. Seingatku, di tempatku tidak ada toko yang khusus berjualan buku meski perpustakaan masih ada. Orang itu bercita-cita juga sejauh pengetahuan yang dimilikinya. Mama tahu suatu saat anak-anaknya akan menghadapi kehidupan Pulau Jawa yang lebih ketat persaingannya. My mom was a tiger mom. Didikannya keras. Tidak semua didikannya saya benarkan, tetapi banyak didikannya yang tentu baik. Disiplin kencang. Teman-temanku yang lain sibuk main, saya terpaksa sibuk belajar. Buku-buku dibelikan saat kami liburan ke Jawa. Sedari kecil saya sudah minum kopi biar kuat belajar. Kopi susu menemani belajar pagi. Tidak ada cerita saya ketiduran saat pelajaran di sekolah. Tidak berhenti di persaingan ranking di sekolah, perlombaan-perlombaan juga saya ikuti. Lomba menulis puisi, membaca puisi, Musabaqah Tilawatil Qur'an (MTQ), sampai olimpiade fisika. Jiwa bertarung dipelihara terus meski di tengah hutan. Refleksiku mengatakan sebenarnya saya bukan yang paling cerdas secara IQ di sana lantas menang banyak lomba. Dulu pernah ada tes IQ di sekolah, ternyata saya bukan yang paling tinggi. Saya itu sudah menang pengetahuan sejak awal. Pengetahuan yang Allah titipkan ke mama kalau di luar hutan Papua ini ada dunia yang keras. Perlu jiwa survival. Perlu jiwa kompetitif. Maka mama berusaha membuat lingkungan yang kondusif. Sehingga, jika minim akses buku, maka mama carikan. Harga makanan bergizi mahal, tetap dibeli. Ada kesempatan belajar jauh terkait olimpiade fisika, mama dukung untuk berangkat. Saat SMA, saya pindah ke Jawa. Kaget. Ranking terjun bebas. Saat itu pertama kalinya ngekost sendiri. Pertama kalinya hidup menetap tanpa ada satu pun keluarga kandung. Namun, mental juaranya masih tersisa. Ada kerinduan untuk mencicipi juara lagi. Perlahan mulai mencari celah. Hingga akhirnya dengan ijin Allah, saat kuliah pernah beberapa kali lomba tingkat yang lebih luas dan kompetitif. Uniknya, di tingkat nasional, saya dikenal sebagai Anak Bandung. Bandung memang banyak mendidikku, tetapi Papua jauh lebih banyak mendidikku.

Sekali lagi, mental juara itu bukan berarti pasti selalu menang. Mental juara itu artinya punya jiwa kompetitif dan terbiasa untuk berada dalam situasi persaingan. Terima kasih, Ma. Bandung, 17 Januari 2025. 8.24 PM Berusaha mengumpukan sisa-sisa mental juara. Kepingan ini harus terus kujaga. Perlombaan dalam ikut memberi manfaat masih terbuka lebar. Semoga kali ini tidak cari piala terpajang di lemari.

Dahlan Iskan #4

Pulang ke Jawa artinya bisa menikmati membaca Koran Jawa Pos. Sebuah koran yang terkenal di daerah Jawa Timur. Selangka itu kah? Waktu itu saya sebagai perantau Jawa Timur yang besar di Papua. Mungkin datang ke Papua tahun 1998. Ada 10 tahun saya menetap di Papua. Dulu saat datang namanya masih Irian Jaya. Pulang ke Jawa tidak bisa terlalu sering. Setahun dua kali sudah bagus sekali. Dulu ada jatah naik pesawat dari kantor papa. Sebuah service dari kantor agar karyawan dan keluarganya tidak jenuh berada di wilayah remote di tengah hutan. Menariknya, saya bahagia lho di Papua. Jadi kalau pulang ke Jawa itu menambah kebahagiaan. Kembali lagi terkait Koran Jawa Pos. Karena koran ini susah ditemukan di Papua, maka saat liburan rasanya senang bisa membaca koran lokal. Update berita loka khas Pulau Jawa. Saya memang dari kecil dibiasakan hobi baca oleh mama.

Koran Jawa Pos itu punya bagian yang namanya Deteksi. Isinya berita untuk anak remaja. Saya sering mencari bagian ini saat membacanya. Deteksi ini kelihatannya yang jadi cikal bakal Deteksi Basketball League (DBL). Liga basket sekolah terbesar di Indonesia saat ini. Azrul Ananda adalah tokoh besar di balik Deteksi. Koran Jawa Pos juga yang mengenalkan saya dengan sosok bernama Dahlan Iskan. Owner Jawa Pos. Sekaligus bapaknya Azrul Ananda. Kalau sepak terjangnya tentu banyak orang yang sudah tahu. Namun, saya ingin cerita suatu hal yang mungkin tidak semua orang tahu. Dahlan Iskan itu menulis artikel setiap hari. Bahkan saat tangannya sakit. Kita bisa cek tulisannya di website disway.id. Cari bagian "Catatan Harian Dahlan Iskan". Saya tidak tahu apakah benar-benar tiap hari dia menulis, karena setahuku dulu dia pernah menjalani operasi. Ya kan bayangan saya namanya orang operasi dibius dan lemas. Namun, valid kalau saya bilang: tulisannya banyak sekali dan sering update. Dahlan Iskan sebelum menjadi menteri memang punya rekam jejak jadi wartawan. Namun, dia kan bisa berhenti saja menulis. Menikmati masa tua. Mungkin dia memang menikmati, tetapi dia meninggalkan warisan berupa tulisan yang banyak. Bayangkan sosok wartawan, pejabat negara, dan pemilik bisnis besar disatukan. Ya itu Dahlan Iskan. Menulis itu adalah meninggalkan jejak. Coba kita pikir-pikir, sejarah jaman dulu itu dapat dari mana kalau bukan tulisan? Saat pelajaran sejarah, pernah tahu bahasan prasasti yang ada tulisan untuk menceritakan sejarah kan? Kita ini tidak semua akan jadi pejabat yang bisa membawa kebermanfaatan lewat kebijakan yang diambil. Minimal lewat tulisan-tulisan kita, kali aja jadi kebermanfaatan. Entah siapa yang mengambil manfaatnya, entah kapan diambilnya. Bandung, 17 Januari 2025. 7.15 PM Sudah empat kali menulis tanpa review dulu. Mengalir. Saya bahagia bisa menulis panjang lagi.

Cari Persamaan di Obrolan #3

Saya suka ngobrol. Suka mendapat teman baru. Suka cari-cari bahan obrolan kalau ada orang baru yang frekuensi bertemunya banyak. Misal orang tua teman anak saya di sekolah. Sering bertemu kan? Kenapa tidak saya ajak kenalan dan ngobrol saja? Biasanya saya berusaha mencari persamaan dalam obrolan untuk membangun chemistry. Misal, orang tua lain di sekolah. Berarti minimal anaknya satu sekolah dengan anakku. Sudah ada persamaan. Tinggal ditanya, anak ke berapa, tinggal di mana, pekerjaan apa, dan lainnya.

Saya pernah mendapat komentar yang kurang lebih mengatakan saya sering mengaku dari banyak daerah. Konteksnya saat mengobrol dengan orang, saya memang sering ngobrolin daerah yang dekat dengan kehidupan dia, lalu saya hubungkan dengan pengalaman kedaerahanku. Lahir sebagai orang Jawa, besar di Papua, pernah kerja di berbagai tempat di Pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan, lalu akhirnya menetap di Bandung tentu menjadi suatu keunggulan tersendiri. Kalau dalam bahasa marketing itu USP (Unique Selling Point). Tentu saya gunakan USP ini sebagai bagian mencari persamaan dalam obrolan.

Tentunya, kita berbicara kebiasaan orang Indonesia yang cenderung terbuka untuk ngobrolin banyak hal terkait pribadinya ya. Namun, saya sadar tidak semua orang nyaman. Privasi. Itu sangat bisa dipahami. Biasanya kalau jawabannya sudah singkat-singkat, tidak ada elaborasi dari jawabannya atau tidak ada pertanyaan balik, saya memilih untuk menyudahi obrolan. Sadar atau tidak, mengajak ngobrol orang baru itu menambah pengetahuan. Kalau networking kan sudah banyak dibahas ya. Namun ini tentang menambah pengetahuan. Belajar. Minimal mengetahui alasan saat dia memutuskan suatu hal. Suka baca buku? Suka dengar podcast? Di dalam keduanya ada proses memasukkan pengetahuan ke diri kita. Mirip juga dengan ngobrol. Bedanya, kita bisa menanggapi. Terlebih ada satu hal yang bermanfaat untuk kita mengajak ngobrol orang baru di lingkungan terdekat kita. Mereka menghadapi tantangan-tantangan yang mirip dengan kita. Berarti jika kita mentok terkait suatu masalah, bisa jadi solusinya sudah terpikir orang lain itu. Bandung, 15 Januari 2025. 9.27 AM. Masih masa penyembuhan. Jadi punya waktu untuk menulis.

Rawat Inap #2

Saya baru beres rawat inap di rumah sakit. 3 hari sempat merasakan tiduran di tempat tidur rumah sakit. Ada penyumbatan di usus. Ceritanya, beberapa hari lalu terasa sakit di bagian kiri perut. Tertawa sakit, menarik napas yang agak dalam sakit. Saya lalu pergi ke klinik fasilitas kesehatan 1 karena menggunakan BPJS. Kaget, ada kemungkinan batu ginjal kata dokter. Lalu dirujuk ke dokter spesialis penyakit dalam. Saat diperiksa dokter spesialis, kaget lagi. Ternyata diminta langsung rawat inap. Gawat ini. Kalau tidak terlalu mengkhawatirkan, tentunya masih bisa diberikan obat, disuruh pulang lalu diminta kontrol kembali. Terakhir rawat inap itu saat SMA. Kalau tidak salah demam berdarah. Rawat inap itu bagiku waktu untuk melambatkan hidup dalam artian yang baik. Kultur yang terbangun buat diriku saat ini adalah serba cepat. Naik motor ngebut. Mengetik cepat. Jalan pun cepat. Namun, tidak semua cepatnya hal baik. Makan cepat, minim kunyahan. Minum glek-glek-glek, ada kalanya sampai ga enak ke badan. Terkapar di rumah sakit. Mau buru-buru apa lagi sekarang? Saya mendapatkan kamar yang diisi untuk 2 orang. Ranjangku bersebelahan dengan jendela besar. Sudah lama tidak selama ini melihat langit biru dan awan yang berarak-arak. Oh, terkadang mendung, lalu hujan. Terkadang menghitam tapi tidak hujan, ya itu malam hari sih. Banyak pemeriksaan dilakukan. USG, EKG, rontgen, dan lainnya. Dokter bedah datang berkunjung ikut memeriksa. Agak bagaimana begitu, saat dengar dokter bedah ikut mencari tahu. Sampai akhirnya disimpulkan ada penyumbatan di usus. Setidaknya sejauh ini, karena dokter spesialis penyakit dalam bilang masih mau rontgen bagian perut. Rontgen pertama lebih ke dada. Alhamdulillah. Rawat inapnya sekali, tetapi diperiksa banyak hal. Setidaknya sudah ikhtiar mengenal lebih jauh apa yang ada di dalam diri. Tidak bayar sama sekali. Ditanggung BPJS. Alhamdulillah. Jadi pelajaran berharga. Pulang dari rumah sakit kucek berat badanku sudah tembus angka 106 kilogram. Mau sampai kapan begini hei diriku. Alhamdulillah. Saya punya waktu melambatkan hidup. Banyak berpikir dan banyak mengevaluasi diri. Adil itu memang sejak dalam pikiran. Termasuk adil untuk memberikan hak diri sendiri. Salah satunya hak untuk berikhtiar menjaga kesehatan. Iya, saya tidak menulis kewajiban. Hak. Bandung, 15 Januari 2025. 6.51 AM Pagi ini mendung. Namun, saya suka mendung, hujan & kabut. Kapan pun waktunya. Apa yang menurut kita tidak enak, bisa jadi enak buat orang lain.

Academy of Champions #1

Saya kemarin menonton Academy of Champions (AoC). Sebuah acara ajang adu cerdas, cermat, tangkas dari Ruang Guru untuk anak SMA. Ruang Guru sendiri sebuah start up di bidang pendidikan di Indonesia.

Cerdas, cermat dan tangkas. Saya susah menemukan kata-kata lain selain itu untuk menggambarkan definisi acara tersebut. Mereka diuji pengetahuan, mental, kecepatan, dan kerja sama tim. Tontonan ini membuatku ingat dengan acara serupa jaman kecil. Kuis Digital LG Prima. Individu-individu siswa SMA ditarungkan dengan metode cerdas cermat. Kalau ingat berarti rentang usia kita kemungkinan tidak jauh. Menonton Kuis Digital LG Prima bagiku ternyata memupuk jiwa kompetitif. Lihat kakak-kakak SMA yang pintar-pintar. Tentu ada keinginan untuk pintar seperti mereka. Tiba-tiba punya role model untuk masa depan pendidikanku seperti apa. Seperti halnya saat dulu tahu orang pintar bernama B. J. Habibie. Bisa jadi banyak anak Indonesia yang dulu saat ditanya cita-citanya akan mengatakan "Jadi Pak Habibie". Sebuah simbol kecerdasan dan kesuksesan yang sederhana dipahami anak kecil.

Kembali ke AoC, bagiku ini seperti guyuran air segar di tengah kecamuk berita buruk terkait beberapa "tokoh muda". Bagaimana pun, ada sebagian kecil dari masyarakat kita itu menjadi mercusuar bagi sebagian besar yang lain. Ya kalau "tokoh muda" itu sibuknya pacaran, narkoba, pesta, apakah kita yakin itu tidak jadi sesuatu hal yang normal di masyarakat.

Semacam "itu orang yang terkenal dan sukses aja pakai narkoba kok" Kita butuh role model baik. Jaman digital mengedepankan visual yang menarik, konten yang mudah diakses dan hal yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. AoC bagiku memenuhi syarat untuk viral di jaman digital, di mana kontennya banyak yang baik. Bagaimana pun, ada yang namanya wadah dan isi. Wadah itu sifatnya netral, tidak perlu denial kalau wadah itu ada. Tinggal isinya yang perlu kita pastikan baik. Bandung, 15 Januari 2025. 6.16 AM. Pagi ini hujan. Pagi ini pula saya menulis panjang sejak sekian lama.

Saat pandemi justru waktu yang baik untuk menikah. Kita terlepas dari tuntutan untuk melakukan resepsi besar dan sebagainya yang berlebihan. Sederhanakan pernikahan. Jangan sampai karena rumitnya pernikahan, menjadikan seseorang berzina.

Memiliki kegiatan baik yang bisa mencabut rasa ingin tidur di pagi hari itu mahal. Maka kalau udah punya, jangan dilepas.

Jadi Orang Baik

Saya ingin jadi orang baik. Orang bisa membantu istri dan melayaninya. Pribadi yang berpikir bagaimana bisa membantu perusahaan tempatku bekerja. Subyek yang senang membantu orang-orang. Sosok yang menebar manfaat di mana-mana.

Saya ingin jadi orang yang fokus ke hal baik. Berbicara yang baik. Mendengarkan yang baik. Melihat yang baik. Bergerak dalam kebaikan.

Saya tahu, masih jauh dari kata baik. Tapi mau berlari, berjalan atau merangkak pun kepada perbuatan baik, saya tahu berbuat baik itu baik.

Semoga Allah melindungi kita dan memberi banyak kemudahan bagi kita untuk berbuat baik. Semoga Allah beri kenikmatan kepada kita saat berbuat baik. Aamiin.

Menikmati Hal Kecil

Cemas. Hal yang mungkin sering dirasakan di antara kita. Badan di mana, pikiran di mana. Dunia terasa serba cepat. To do list kegiatan terasa berdatangan terus. Satu selesai, ada yang lain datang.

Tak ada masalah sih, kalau bisa mengatur badan, pikiran dan hati. Membuat to do list pun baik. Hanya saja, kalau sering merasakan badan di mana, pikiran di mana itu bahaya. Belum lagi kalau sering overthinking. Sesuatu yang belum terjadi, sudah dibuatkan skenario buruk.

Seorang teman yang baik hati pernah mengajarkan kepadaku: to be a mindful person. Jadi kita perhatian terkait badan, pikiran dan hati kita di waktu saat ini. Menikmati apa yang dikerjakan sekarang. Here and now. Mindfulness.

Oh tentu saja susah bagi orang yang sering cemas. Tapi kebiasaan baik perlu dibiasakan kan? Kalau kata dia caranya, fokus ke hal yang dilakukan saat ini. Tidak melakukan dua hal dalam satu waktu. Nikmati satu kegiatan itu.

Saya merasa jauh lebih tenang dengan cara ini. Masih banyak cemas. Tapi kalau ingat pesan temanku ini, saya biasanya mencoba untuk tenang dan kembali mencoba menikmati hal yang saat ini.

Bahkan hal-hal kecil yang sering luput, rasanya ternyata nikmat.

Saya baru sadar (lagi) kalau soto yang dimakan itu enak. Sebelumnya pikiran sering ke mana-mana luar biasa saat makan.

Di jalan ternyata banyak hal-hal menarik. Saya beberapa kali pakai earphone sambil mendengarkan podcast di motor.

Renang hari ini segar, terasa air mengalir dingin ke badan. Tak harus buru-buru sampai tepi.

Saya yakin daftar kenikmatannya bisa bertambah.

Semoga cerita ini bisa bermanfaat untuk pribadi-pribadi kita yang diam-diam rapuh di tengah menjulangnya dunia.

Bekasi, 7 November 2019

Kurang Capek

Ada kalanya orang-orang tertentu mengeluarkan kata-kata yang tidak enak kepada kita. Entah mengomentari pekerjaan, kehidupan pribadi, selangkangan sampai tak ada hujan tak ada badai pun dia tahu-tahu menghina.

Sindiran dibalut bercanda. Hinaan dibalut tawa. Kalau diladenin, ya tentu saja kita yang banyak kalah.

Pernah suatu ketika saya baru salaman dan memperkenalkan diri ke seseorang di wilayah kerja baru. Bicara sewajarnya. Sangat wajar. Ya senormal kalau kenalan sama orang pertama kali. Tak ada satu menit. Dihina-hina dong. Posisi kerja yang saya duduki memang posisi agak panas. Posisi yang rawan membuat iri orang.

"Kan saya cuma bercanda. Baperan amat."

Kira-kira seperti itu kalimat yang mungkin meluncur kalau kita ladenin. Tapi ya mana saya percaya itu murni bercanda, orang-orang seperti itu biasanya memang tajam lidahnya dari dulu. Bahkan memang ada yang mengaku memang suka menyindir sebagai cara komunikasi dia.

Tapi nih tapi, ada satu metode yang sering berhasil saya lakukan untuk menanggapi orang seperti itu. Sibukkan diri. Sampai malas menanggapi hal kecil seperti itu.

"Udah lah, masih banyak urusan lain yang segera harus diberesin nih. Fokus hal penting aja yang lebih besar."

Kalau hati lagi kurang luas, sepertinya salah satu penyebabnya ya kurang capek. Kurang kegiatan penting untuk dikerjakan. Maka kerjakan banyak hal penting, sampai sudah kecapekan duluan mau menanggapi hal seperti itu.

Bekasi, 6 November 2019

You are using an unsupported browser and things might not work as intended. Please make sure you're using the latest version of Chrome, Firefox, Safari, or Edge.