Perempuan yang Seharusnya
Suatu ketika, seorang pria mengatakan bahwa perempuan itu harus berada di dalam rumah untuk mengurus anak dan rumah tangga. Urusan mencari nafkah biar menjadi tugas sang suami saja.
Di lain waktu, seorang pria lain berkata bahwa perempuan itu harus punya penghasilan sendiri agar tidak bergantung sepenuhnya kepada nafkah suami. Toh, akan lebih banyak manfaat yang bisa perempuan berikan jika ia punya penghasilan sendiri.
Dua nasihat itu berseberangan, tetapi punya satu kesamaan: Sama-sama disampaikan oleh seorang laki-laki (meski saya tidak menyebut nama, keduanya benar-benar terjadi). Dan, menurut saya itu menarik, sih. Apakah perempuan tidak punya pikiran dan penghayatan terhadap hidupnya sendiri sehingga dua laki-laki itu merasa perlu memberi "keharusan" pada perempuan? Akan tetapi, itu bukan poin utama dari tulisan ini.
Sebagai perempuan, saya tidak sedang menjadikan salah satu nasihat itu sebagai pemuas ego saya untuk merasa lebih benar dari orang lain—meskipun dorongan untuk melakukannya akan selalu ada.
"Tuh, kan, saya yang benar karena jadi IRT."
"Nih, udah bener saya jadi wanita yang punya penghasilan sendiri."
Saya hanya tergelitik untuk mengungkapkan isi hati saya dengan jujur:
Kenapa ada banyak sekali tuntutan terhadap perempuan—termasuk tuntutan dari sesama perempuan dan perempuan itu sendiri? Sejujurnya, standar-standar tentang "perempuan yang seharusnya" sudah ada di level yang memuakkan.
Dan, saya yakin, saya bukan satu-satunya yang merasa muak. Kebanyakan perempuan sudah dididik sedari dini untuk menjadi "perempuan yang seharusnya": harus cekatan, harus bisa multitasking, harus tahu cara mengurus rumah, dsb. Saat perempuan sudah berkeluarga, keharusan-keharusan itu semakin beranak pinak.
Saya enggak bicara ideologi. Kubu "kanan" maupun "kiri" sama-sama membuat standar "perempuan yang seharusnya" dengan ego yang besar. Kenapa saya menggarisbawahi pada ego yang besar? Karena sering kali keduanya hanya ingin menunjukkan kekuatan ideologinya masing-masing saja, bukan untuk menyelesaikan persoalan nyata yang ada di depan mata.
Saya rasa kita perlu menyadari bahwa tuntutan pada perempuan sudah terlalu bising, kecuali kita memang sedang mewajarkan budaya perfeksionisme menjangkiti kepala setiap perempuan dan menjadikannya rentan mengalami gangguan kesehatan mental. Ya, kecuali kita memang sedang melakukan audisi untuk mencari para superwoman untuk menyelamatkan dunia, saya rasa kita perlu mengurangi tuntutan dan perasaan bahwa diri kita dituntut untuk menjadi seorang wanita serbabisa, super, bahkan kalau bisa sempurna: tampil aduhai sebagai seorang istri, hebat sebagai ibu, jago masak, jago atur duit, cekatan dalam beberes rumah, punya gaji besar, bermanfaat secara sosial, dan selalu terlihat glowing.
Perempuan bukan manusia super yang bisa melakukan semua yang dilakukan laki-laki, ditambah bisa hamil, melahirkan, dan menyusui. Namun, perempuan juga bukan manusia lemah yang tidak boleh punya pilihan, pikiran, dan keinginan. Kita tak butuh berkubu-kubu untuk membicarakan perempuan, kita hanya butuh memanusiakan perempuan.
Ia bisa kuat, ia bisa lemah. Ia bisa berhasil, ia bisa gagal. Ia bisa hebat, ia bisa tumbang. Ia bisa tersenyum, ia bisa menangis. Ia yang sederhana dalam kerumitannya, ia yang rumit dalam kesederhanaannya. Ia yang bisa berpikir dan mengenali dirinya sendiri, ia yang bisa bingung dan kehilangan dirinya sendiri.
Sebagai gantinya, marilah kita para perempuan lebih banyak menelaah diri kita masing-masing (bukan menelaah orang lain). Mari kita hayati keinginan dan kebutuhan kita sendiri. Nilai apa yang kita utamakan, keyakinan apa yang kita percayai, hidup seperti apa yang kita cintai, hal apa yang paling penting untuk kita. Dari situ kita akan menemukan standar kita sendiri. Pilihan apa pun yang kita ambil, selama itu lahir dari penghayatan kita terhadap diri kita sendiri, bukan karena dipaksa atau dituntut orang lain, itu layak kita perjuangkan.
Jikalau ada satu keharusan, maka itu adalah: perempuan harus tahu bahwa tidak semua keharusan yang dikatakan orang lain padanya harus ia anggap sebagai tuntutan yang serius. Jika itu tiba-tiba mengusik hidup yang berjalan damai, biarkan suara itu tenggelam. Seperti sebuah batu yang dilemparkan ke danau, ia hanya memberi riak-riak sejenak, sebelum tenggelam ke dasar danau. Dan, danau itu lambat laun menjadi tenang kembali seperti sediakala.