Avatar

Urfa's Blog

@urfa-qurrota-ainy / urfa-qurrota-ainy.tumblr.com

Menulis tentang manusia, psikologi, dan cerita sehari-hari. Beli buku saya: samudrabooks.id & Shopee Samudra Books.
Avatar

Pilihan-pilihan

Terkadang, aku ingin berperan menjadi perempuan yang punya kontribusi untuk dunia.

Namun, di lain waktu, aku hanya ingin menjadi ibu biasa, yang mengurus anak-anak, memasak makanan kesukaan mereka, dan membuat mereka tertawa dengan cerita-cerita masa kecilku.

Terkadang, aku ingin punya waktu sendiri. Makan mi kuah yang masih hangat, tak dingin seperti biasanya karena mesti mendahulukan kebutuhan anak-anak. Berjalan-jalan sendiri dengan bawaan ringkas, tanpa harus repot membawa berkantong-kantong kebutuhan anak-anak, tanpa harus mendengar pertanyaan di sepanjang perjalanan "Topiku di mana, Bu? Spidolku, kok, tidak ada?"

Namun, di lain waktu aku ingin selalu bersama mereka. Ingin memastikan mereka selalu dekat. Sekejap keheningan bisa memunculkan banyak pertanyaan dan kekhawatiran. "Apakah mereka baik-baik saja?"

Sejenak perpisahan menghadirkan banyak kecemasan, "Bagaimana jika .... ?"

Terkadang aku ingin pergi menjelajah dengan bebas. Keliling dunia mungkin tak terlalu sulit dibandingkan mengurus anak-anak.

Namun, adakalanya rumah menjadi dunia yang paling nyaman untuk kujelajahi, kutimang bayi kecilku yang mengantuk sambil kukelilingi tiap ruang di rumahku. Langkahku berirama, bayiku pun tertidur dalam buaian. Wajah bersihnya memudarkan keletihan, senyum manisnya menguapkan semua keluh dan kesah.

Terkadang aku ingin menjadi seseorang yang lebih dari ini.

Namun, adakalanya menjadi ibu sudah cukup. Cukup membuatku berguna, cukup membuatku bahagia.

Terkadang aku berpikir begitu jauh, imajinasiku melanglang buana ke langit tinggi yang menawarkan berbagai kemungkinan.

Namun, adakalanya aku hanya ingin menikmati semua yang ada di hadapanku saat ini dengan hati yang lapang menerima.

Ah, hidup memang selalu menawarkan banyak pilihan. Terkadang, semua itu terlalu membingungkan. Hidup adalah sekumpulan paradoks, kata orang-orang.

Beberapa pilihan menciptakan pertentangan. Selama ada pertentangan, kedamaian hati hanya menjadi angan-angan. Mari jalani saja sesuai kemampuan. Semua akan berujung indah, selagi kita yakin bahwa kita tidak sedang berjalan menuju penyesalan.

Avatar

menyusun keping demi keping kenangan dan cerita

bukan untuk meratapi atau berandai-andai

apalagi membantah ketetapan

melainkan untuk berterima kasih

atas waktu dan kebersamaan

cinta dan kesempatan

yang Tuhan berikan

kusadari bahwa waktu

tak mungkin berjalan mundur

tak peduli betapa pun aku ingin terlelap

dan terbangun di masa lalu

sebagai anak kecil yang lugu

kupungut hati yang remuk setiap malam

kususun kembali setiap pagi

yang terjadi, terjadilah

karena semua bukan milikku

:)

Avatar
I put these pictures of my father's grave here to remind me that death can be beautiful for those who have lived truthfully, compassionately, loyal to God and humanity, caring for others, and lived their lives to the fullest. No matter how hard it is for us, the family, to cope with the loss and bear the grief.
We don't say goodbye cause death is not the end.
Please wait for us. Till we meet again, Abi.
*My father died due to Covid-19, along with the delta-variant wave that hit Indonesia on June—July 2021. 5 days self-quarantined, 9 days on isolating room at the hospital, and 3,5 days on ICU. He died on Saturday, July 17th, 5.10 am, the day that we supposed to celebrate his son's 23th birthday.
He was just about to get vaccinated from his workplace, but the virus met him earlier. He was the healthiest person among the family. He had no serious health issues before (his blood, heart, kidneys, lungs, etc., were fine). But death is not only about the disease itself, right?
He was tested negative from the virus just about three days before his death. But his lungs couldn't make it. He was buried in our peaceful homeland in a small village at Tasikmalaya, West Java, under the Kamboja Bali and Katapang Kencana tree.
Avatar

Dalam Sunyi

Jiwa-jiwa berpulang dalam sunyi

Tak ada pelukan perpisahan

Tak ada kecupan selamat tinggal

Bunyi ambulans bersahutan

Namun kesunyian memanggilku lebih nyaring

Keluarga berduka dalam sunyi

Berita kesedihan kini bagai ideologi terlarang

Tak perlu disiarkan

Tak perlu didengarkan

Barangkali kematian hanya deretan angka dalam lembar laporan

Orang-orang yang kehilangan

menelan air matanya sendiri

Karena Bumi sudah terlalu basah

untuk menelan kucuran air mata

yang meluap setiap hari

Sunyi adalah lawan, tetapi juga kawan

Sunyi adalah awal dan akan menjadi akhir

Dalam sunyi:

semoga kita berjumpa lagi

(Urfa Qurrota Ainy, 2021)

Sampai berjumpa lagi, Abiku sayang.

Avatar

Diingatkan sama Ummi bahwa pada Iduladha tahun ini, tak "hanya" sapi dan kambing yg perlu kami kurbankan. Ya, rupanya Allah meminta pengorbanan yang lebih besar.

Kami harus merelakan kepulangan seorang anak, kakak, adik, menantu, suami, mertua, ayah enam anak, kakek lima cucu, yang kami panggil Abi, kepada Sang Pemilik, sebesar apa pun keinginan kami untuk tetap bersama.

Tak ada alasan untuk marah jika itu adalah kehendak Allah. Seperti pesan Abi sebelum berpulang, "Jangan menyesali dan menyalahkan keadaan," dengan mengutip ayat ini:

"Qul lay yuṣībanā illā mā kataballāhu lanā, huwa maulānā wa 'alallāhi falyatawakkalil-mu`minụn"

Katakanlah: Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal.

— Quran Surat At-Taubah Ayat 51

Rasanya ingin ikut ke tempat Abi saat ini, seperti saat saya kecil, ingin ikut Abi ke kantor, masjid, dan pengajian. Namun, saya sadar saya belum selevel dengan Abi.

Enggak ada yang kami khawatirkan tentang Abi karena Abi adalah ahli ibadah, baik ibadah pribadi maupun sosial. Kebaikannya sangat melimpah seperti mata air, baik kepada keluarga, lingkungan RT, rekan kerja, rekan organisasi, dan umat.

Kami justru khawatir soal kami sendiri karena kami belum sebaik Abi, ibadah kami belum sesaleh Abi, manfaat kami belum sebesar Abi. Pantaskah kami meminta dipertemukan lagi di surga tanpa memperbaiki diri?

Kepada teman-teman yang kehilangan orang-orang tersayang di masa pandemi ini, semoga matahari esok pagi masih cukup benderang untuk menerangi hari-hari gelap kita. Meski tertatih dan terhuyung, pada akhirnya kaki kita harus terus berjalan. Mudah-mudahan di ujung terowongan panjang ini ada cahaya yang akan memeluk kita.

Selamat Iduladha. Semoga kita semua bisa meneladani kesalehan keluarga Nabi Ibrahim. 🙏

Avatar

Tempat istirahat Abi, di naungan pepohonan rindang yang selama ini Abi rawat bersama Ummi. Saat foto ini diambil, embusan angin begitu lembut, burung tak berhenti berkicau. Begitu damai .... 

Kata Ummi, waktu umur 2--5 tahun, saya seneng ikut Abi ke mana-mana. Waktu Abi kerja di majalah, saya ikut ke kantornya, liat Abi ngetik-ngetik. Bahkan pas udah nikah dan punya anak pun saya masih sering ikut-ikut kalo diajak pergi. 

Sesungguhnya saya pengin ikut juga ke tempat Abi yang sekarang, tapi ....

Tapi aku nyadar diri aku belum sesaleh Abi, manfaatku belum sebanyak Abi .... Jadi, tunggu Urfa ya, Bi. Urfa teruskan dulu perjuangan Abi,  Urfa lanjutkan kebiasaan-kebiasaan saleh Abi. Biar nanti kita ketemu lagi di tempat yang jauh lebih indah dari dunia yang fana ini.

My heart, my life, my sanity break into pieces .... Nanti dulu nasihat dan tipsnya. Semuanya masih terdengar terlalu besar untuk "dikunyah" dan "dicerna".

 "Wahai jiwa yang tenang, pulanglah kepada Tuhanmu dengan hati rida & diridai. Maka masuklah sebagai hamba-Ku, masuklah ke dalam surga-Ku." 

Cuma ayat itu yang bisa menguatkan saat ini. Itu salah satu ayat yang paling sering Abi baca ketika jadi imam salat. Insyaallah Abi tenang. :")

Avatar

Rumah yang Aman

Beberapa hari ini, saya teringat pada ayah saya. Mungkin karena seminggu yang lalu banyak yang merayakan Hari Ayah dengan mengunggahnya di media sosial. Saya tidak mengunggah apa pun, tetapi kepala saya dipenuhi memori indah sekaligus kikuk tentangnya.

Ada satu hal yang paling saya ingat dari beliau, yaitu kepekaannya. Bagi saya, beliau adalah orang yang paling bisa menjaga perasaan orang lain.

Apa buktinya? Sebetulnya banyak. Namun, saya hanya bisa menceritakan apa yang saya rasakan sebagai anak perempuannya.

Sebagai seorang ayah, beliau agaknya mengerti kalau anak perempuan punya kecenderungan untuk merasa cemburu. Saat kecil, saya kerap menunjukkan kecemburuan itu secara samar-samar. Apalagi saya adalah anak tengah dari enam bersaudara. Bagaimana rasanya jadi anak tengah? Ada sebuah film yang sungguh menggambarkan perasaan anak tengah dengan akurat: Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (NKCTHI). Di situ, anak tengah digambarkan sebagai sosok yang merasa dilupakan. Semua perhatian tersita pada si bungsu. Maka cemburu adalah responsnya demi mendapatkan kasih sayang.

Ayah saya paham pada kecenderungan itu sehingga beliau sering berusaha memastikan agar saya tidak merasa dilupakan. Misalnya, saat saya berulang tahun yang ke 17, beliau meminta ibu saya untuk menjenguk saya di Tangerang Selatan (saat itu saya sekolah di SMA berasrama), untuk "merayakan" ulang tahun saya.

Bahkan sampai saya sudah menikah dan punya anak seperti sekarang, beliau adalah orang yang masih selalu menjaga perasaan saya

Suatu kali, saat pulang ke rumah orangtua, saya melihat-lihat foto pernikahan Kakak dan Adik saya yang dipajang di ruang tengah. Kedua foto itu membingkai potret keluarga kami dalam panggung resepsi pernikahan. Hanya saja, foto keluarga saat pernikahan saya tak ikut dipajang di situ. Sebetulnya, saya tidak menyadari apalagi menganggap itu masalah sampai ayah saya melihat saya dan berkata, "Abi udah niat mau cetak foto keluarga pas nikahan Teteh dulu. Nanti Abi pasang di sini juga."

Beliau seperti khawatir saya akan merasa terlupakan karena foto pernikahan saya tak dipajang di sana. Beliau menjaga perasaan saya. Padahal, saya, sih, tidak menganggap persoalan foto pernikahan sepenting itu. Dan, di saat itulah saya tersadarkan bahwa saya adalah anak perempuan yang sangat beruntung karena memiliki ayah seperti beliau.

Di luar segala kekikukan yang tercipta di antara kami, saya selalu merasa dipahami di depan beliau. Pertanyaannya, basa-basinya, dan obrolan dengannya menyiratkan bahwa beliau sangat menjaga perasaan lawan bicaranya.

Saya menuliskan ini sambil berurai air mata. Entah karena haru, sedih, atau gembira. Yang jelas, saya bersyukur kepada Tuhan karena memiliki beliau dalam hidup saya. Dan, sebagai bentuk syukur, saya berjanji untuk meneladani beliau, terutama dalam hal menjaga perasaan anak perempuan.

Berhubung saat ini saya dikaruniai dua orang anak perempuan, saya mengamati betul bahwa karakteristik anak perempuan memang sangat mudah cemburu. Dan, saya tahu bagaimana menghadapinya, karena saya ingat bagaimana ayah saya memperlakukan saya.

Karena sikap beliau, saya merasa dicintai. Meskipun terdengar sederhana, tetapi semua memori itu jadi sesuatu yang menumbuhkan rasa aman, nyaman, dan tenang dalam diri saya hingga sekarang.

Suara-suara beliau menjadi sebuah rumah yang aman untuk pulang, ketika saya merasa kesepian, dilupakan, atau terpinggirkan.

Membaca ulang tulisan setahun lalu ini selagi menunggu perkembangan Abi yang masih dirawat di ICU. Abi sedang berjuang melawan infeksi paru sebagai dampak covid. Hari ini sudah hari ke-16 sejak Abi dinyatakan positif. Hari ke-12 di rumah sakit, dan hari ke-3 di ICU.

Saya emosional sekali saat ini. Sejak kemarin-kemarin, emosi saya terus tertahan. Terkadang mengurus anak-anak jadi mengalihkan perhatian, tetapi saat membaca ulang tulisan di atas, plus karena anak-anak sudah terlelap, semua perasaan itu datang seperti banjir.

Abi, banyak yang sayang dan kangen sama Abi. Abi pasti bisa merasakannya, kan?

Semua orang bilang Abi adalah orang yang selalu peduli, selalu memudahkan urusan orang lain, bahkan ada yang cerita kalau Abi itu suka memuji dan memperhatikan hal-hal kecil yang orang enggak pedulikan, seperti baju yang dipakainya atau gaya rambutnya.

Berarti aku benar, kan, Abi itu orang yang sangat peka dan peduli pada perasaan orang lain.

Abi sedang diuji, pertanda bahwa Abi orang yang kuat dan hebat.

Aku membayangkan, setelah semua ini berlalu, kita bisa main lagi sama cucu-cucu Abi. Kita bakar jagung lagi di Lembang sambil nonton bareng.

Semua bertanya tentang Abi. Semua berharap Abi sembuh lagi. Abi, kami semua menunggu Abi pulang. Abi harus ketemu cucu baru Abi tahun depan, Abi juga nanti mesti ikut nganter anak bungsu Abi ke UGM. Kakak Aufina, Adik, semuanya kangen banget pengin main sama Abi. ☺️😘

Avatar

Di ujung hari, saat tubuh sudah lelah, tenaga habis, pikiran penuh, perasaan tidak keruan, lidah terlalu kelu untuk berkisah, jemari pun terlalu bingung untuk menuliskannya, satu-satunya yang bisa berbicara hanyalah hati.

Saat itulah membisikkan "Alhamdulillah" dalam hati terasa sangat nikmat.

"Alhamdulillah" adalah satu kata yang menyembunyikan banyak cerita getir manusia, yang hanya diketahui oleh dirinya dan Tuhannya.

"Alhamdulillah, baik", padahal hanya berusaha terlihat baik-baik saja.

"Alhamdulillah, senang," padahal ada kesedihan yang tidak diumumkan.

"Alhamdulillah, berhasil," padahal ada kegagalan yang disimpan sendirian.

Semoga semua yang tengah menguatkan diri di balik "Alhamdulillah" diberi kelapangan dan kebahagiaan yang sejati. ☺️

Avatar

Setelah sekian tahun menikah, saya baru menyadari satu kesamaan "kecil" saya dan suami. Saking "kecilnya", saya jadi baru terpikir untuk menganggapnya sebagai sesuatu yang esensial dalam hubungan pernikahan saya.

Kesamaan itu adalah: Kami sama-sama senang menikmati hal-hal kecil yang bagi orang tertentu mungkin biasa-biasa saja, atau bahkan norak. Dengan kata lain, standar kesenangan kami rendah.

Sering kali, kami duduk-duduk di teras hanya untuk melihat awan bergerak begitu cepat dan kami merasa senang dengan itu. Kami saling mengirim meme dan terkekeh-kekeh karenanya.

Hal kecil itu jadi tidak kecil karena berdampak besar dalam pernikahan kami. Bagi saya, kesamaan itu membuat hubungan ini tidak membosankan—yang tidak perlu kubuktikan dengan banyaknya foto atau Instastory berdua.

Saat baru menikah, mungkin kita dan pasangan punya tujuan-tujuan pernikahan yang visioner dan ideal. Tujuan itu mampu menyatukan kita dan pasangan untuk beberapa waktu. Namun, setelah beberapa tahun, tujuan-tujuan itu terdengar terlalu besar, bahkan jadi menakutkan dan membuat kering pernikahan.

Maksudku, memang sampai usia pernikahan yang ke berapa kita masih membicarakan tujuan itu di pillow talk kita dengan pasangan?

Bukan berarti tujuan dalam pernikahan itu tidak penting. Hanya saja, memiliki tujuan yang benar dan besar tidak cukup untuk membuat sebuah hubungan bertahan.

Mungkin institusi pernikahan sudah terpengaruh cara berpikir industri yang senang menggegas hasil dan tujuan, kita lupa bahwa yang kita jalani sehari-hari lebih penting daripada yang masih menjadi misteri di masa depan.

Setelah semakin banyak tahun berlalu, kita bertahan bukan sekadar karena tujuan lagi, tetapi karena rasa nyaman. Setinggi dan semulia apa pun tujuan kita saat menikah dengan seseorang, pada kenyataannya kita akan cenderung mementingkan kenyamanan.

Dan, kenyamanan itu sering kali lebih dipengaruhi oleh hal-hal yang terlihat kecil dan remeh, tetapi terjadi berulang-ulang, seperti cara berbicara, cara menghibur, cara menyimak cerita, cara menghabiskan waktu bersama, daripada hal-hal yang besar seperti ideologi dan visi misi pernikahan.

Jadi, jangan anggap remeh hal-hal yang terlihat "kecil" dalam hubungan pernikahan kita. Mungkin hal remeh itulah yang jadi penentu apakah kita bisa terus bersama ... atau tidak.

Avatar

Endapkan Dulu

Saya masih belajar untuk memahami bahwa tidak semua pengetahuan yang kita miliki harus kita bagikan kepada orang lain secara tergesa-gesa. Baru dengar sekali, langsung pengin klik tombol 'forward'. Baru baca artikel separagraf, merasa sudah paham lantas buru-buru mem-broadcast. Sulit, memang. Apalagi jika ada rasa cemas akan tertinggal tren. Ampuni aku, Tuhan!

Bahkan terkadang ada dalil yang kita jadikan pembenaran atas sikap tersebut, "Sampaikanlah walau satu ayat." Hadis tersebut sering dilihat dalam konteks dakwah. Lambat laun itu menjadi semacam mindset, lantas tak sedikit orang gemar mem-broadcast informasi hanya dengan modal spontanitas. Padahal menurut penjelasan ulama yg saya baca/dengar, hadis itu membahas penerusan informasi dari Rasul.

Rasul meminta para sahabat yang hadir untuk meneruskan wahyu yang disampaikan Rasul kepada sahabat yang tidak hadir. Hadis itu bukan perintah agar kita berdakwah/menyampaikan sesuatu hanya dengan modal satu ayat atau pemahaman yang minimum. Karena itu dalam kitab Bukhari, hadis itu tidak masuk dalam Bab Dakwah, tetapi dalam Bab Bani Israil. Kenapa Bani Israil? Karena ternyata ada lanjutannya. Hadisnya terpotong di kata 'ayat'. Selanjutnya, hadis itu membahas tentang Bani Israil.

Saya mengagumi bagaimana cara alam semesta ini bekerja. Dan, saya belajar banyak dari proses pemupukan. Bahwa untuk menjadi pupuk kompos yang baik, kotoran hewan atau sampah dapur pun mesti melalui proses fermentasi, diendapkan beberapa waktu bersama bakteri pengurai. Setelah itu, barulah ia bisa menjadi jadi zat yang berguna bagi tanah dan tanaman. Tanpa fermentasi, ia hanyalah "sampah", bukan?

Barangkali demikian pula pengetahuan yang kita miliki. Kita perlu mengendapkannya terlebih dahulu sebelum membagikannya. Beri waktu agar kebijaksanaan dalam diri kita memproses pengetahuan tersebut lebih lama dan lebih mendalam.

Dengan begitu, semoga perasaan "Akulah yang pertama tahu" serta misinformasi yang begitu marak terjadi hari ini bisa kita hindari. Dan, kita benar-benar menikmati pengetahuan yang berkualitas, bukan sekadar cepat dan banyak, pengetahuan yang menggugah lebih dalam, jauh dari pamer sensasi dan emosi belaka.

Pemikiran dan tulisan ini juga salah satu hasil pengendapan itu. Semoga ada manfaat yang bisa diambil.

Avatar

Pernahkah kamu menyambut Ramadan dalam kesunyian?

Tak ramai oleh euforia yang kini lebih terasa sebagai repetisi tahunan nan simbolis. Ucapan yang sama, konten media sosial yang serupa, obrolan soal menu makanan berbuka, dan acara penyambutan yang lebih mirip upacara bendera.

Tak bising oleh ceramah kaku dan kering yang tidak membuat hati tersentuh apalagi jatuh cinta. Tak relevan, tak terdengar akrab dalam keseharian, dan tak melibatkan perasaan.

Tak penuh oleh agenda mendengarkan seminar yang narasumbernya gemar sekali berbicara. Seolah-olah makin banyak yang berbicara, pendengarnya akan makin paham (padahal makin tak paham).

Tak terkekang oleh berbagai target yang mengunggulkan kuantitas dibandingkan kualitas. Tentu alasannya karena lebih mudah mengukur kesalihan lewat angka daripada kualitas amal.

Hanya ada kamu dan Ramadan, berdua saja.

Mendalami dan mengalaminya dengan kaki dan tanganmu sendiri.

Menggali dan menemukan sendiri rasa yang tersembunyi.

Sebuah petualangan sunyi untuk mencintai Ramadan.

Sebuah perjalanan spiritual yang tak semua orang mengerti.

:)

Avatar

Tumblr Bikin Nyaman Karena ....

1. Karena tidak ada konsep waktu pada kontennya. Buat saya ini ada sisi positifnya, sih, yaitu bikin saya enggak merasa fear of missing out (FOMO). Enggak merasa ketinggalan karena baru baca tulisan yang padahal udah dipos 14 jam yang lalu—seolah 14 jam itu waktu yang lama banget. Sampai sekarang, tulisan saya dari lima tahun yang lalu masih aja ada yang nge-like atau nge-reblog. Wkwkwkwk.

2. Jenis kontennya bukan konten yang muncul berdasarkan tren semata. Ini beda kayak Twitter yang tiap hari tren obrolannya berubah-ubah. Atau Instagram yang kalau ada filter baru, tantangan yang ngetren, atau fitur baru, semua langsung nyobain. Facebook juga sama, kayaknya. Intinya, kontennya seiring dengan isu atau fenomena yang lagi ngetren di dunia nyata. Dan, menurut saya, itu bikin cepet bosan (dan capek). Ya, bayangin aja kalau lagi rame soal nikahan Atta-Aurel, semua ngomongin. Prinsip abundance of information. Sebuah informasi kalau terlalu banyak diunjukin malah bikin yang liat ngerasa jengah. Kalau Tumblr, menurut pengalamanku isinya ya begini-begini aja. Ya, random aja. Mungkin dipengaruhi sama akun yang saya ikuti juga, ya. Buatku itulah yang bikin Tumblr jadi timeless. Enggak bikin cepat bosan.

3. Adem. Sejauh ini (sejak 2010), saya belum pernah lihat konten yang isinya ngajak ribut, spall-spill aib orang, atau komentar netizen yang akhlakless. Enggak tahu apa memang begitu atau perasaanku saja. Baca tulisan-tulisan di sini berasa lagi duduk-duduk di tengah perkebunan teh sambil minum teh kotak.

4. There's a boundary. Baca tulisan-tulisan di sini kayak nyimak buku diari. Tapi, saya hanya tahu ceritanya saja, saya enggak tahu orangnya. Jadi tetep kayak ada batas, tiap orang punya alam semestanya sendiri-sendiri. Dan, saya rasa kita sama-sama menghargai batas itu. Enggak berani masuk terlalu jauh ke semesta lain, kecuali sekadar lewat untuk say hello. Enggak pengin sok-sok ngerespons biar edgy, atau ngebantah pakai argumen enggak setuju biar beda. Gara-gara ini kali, ya, anak Tumblr enggak demen ribut.

5. Ini Tumblr banget. Tumblr itu enak buat ngomongin sesuatu yang deep. Apa karena di sini banyak filsuf? Hehehe. Yang saya rasakan, di Tumblr ada space pribadi yang luas buat para pengguna, engga sumuk. Beda dengan media lain yang padat merayap, bikin capek mikir dalem-dalem.

Eh, lagian, Tumblr emang bukan media sosial, sih, ya, melainkan hybrid antara blog dan media sosial. Jadi, maaf kalau perbandingan dariku ini tidak apple-to-apple. Hehe.

Btw, kalau menurutmu gimana? Ada yang mau berbagi?

Avatar

Perempuan yang Seharusnya

Suatu ketika, seorang pria mengatakan bahwa perempuan itu harus berada di dalam rumah untuk mengurus anak dan rumah tangga. Urusan mencari nafkah biar menjadi tugas sang suami saja.

Di lain waktu, seorang pria lain berkata bahwa perempuan itu harus punya penghasilan sendiri agar tidak bergantung sepenuhnya kepada nafkah suami. Toh, akan lebih banyak manfaat yang bisa perempuan berikan jika ia punya penghasilan sendiri.

Dua nasihat itu berseberangan, tetapi punya satu kesamaan: Sama-sama disampaikan oleh seorang laki-laki (meski saya tidak menyebut nama, keduanya benar-benar terjadi). Dan, menurut saya itu menarik, sih. Apakah perempuan tidak punya pikiran dan penghayatan terhadap hidupnya sendiri sehingga dua laki-laki itu merasa perlu memberi "keharusan" pada perempuan? Akan tetapi, itu bukan poin utama dari tulisan ini.

Sebagai perempuan, saya tidak sedang menjadikan salah satu nasihat itu sebagai pemuas ego saya untuk merasa lebih benar dari orang lain—meskipun dorongan untuk melakukannya akan selalu ada.

"Tuh, kan, saya yang benar karena jadi IRT."

"Nih, udah bener saya jadi wanita yang punya penghasilan sendiri."

Saya hanya tergelitik untuk mengungkapkan isi hati saya dengan jujur:

Kenapa ada banyak sekali tuntutan terhadap perempuan—termasuk tuntutan dari sesama perempuan dan perempuan itu sendiri? Sejujurnya, standar-standar tentang "perempuan yang seharusnya" sudah ada di level yang memuakkan.

Dan, saya yakin, saya bukan satu-satunya yang merasa muak. Kebanyakan perempuan sudah dididik sedari dini untuk menjadi "perempuan yang seharusnya": harus cekatan, harus bisa multitasking, harus tahu cara mengurus rumah, dsb. Saat perempuan sudah berkeluarga, keharusan-keharusan itu semakin beranak pinak.

Saya enggak bicara ideologi. Kubu "kanan" maupun "kiri" sama-sama membuat standar "perempuan yang seharusnya" dengan ego yang besar. Kenapa saya menggarisbawahi pada ego yang besar? Karena sering kali keduanya hanya ingin menunjukkan kekuatan ideologinya masing-masing saja, bukan untuk menyelesaikan persoalan nyata yang ada di depan mata.

Saya rasa kita perlu menyadari bahwa tuntutan pada perempuan sudah terlalu bising, kecuali kita memang sedang mewajarkan budaya perfeksionisme menjangkiti kepala setiap perempuan dan menjadikannya rentan mengalami gangguan kesehatan mental. Ya, kecuali kita memang sedang melakukan audisi untuk mencari para superwoman untuk menyelamatkan dunia, saya rasa kita perlu mengurangi tuntutan dan perasaan bahwa diri kita dituntut untuk menjadi seorang wanita serbabisa, super, bahkan kalau bisa sempurna: tampil aduhai sebagai seorang istri, hebat sebagai ibu, jago masak, jago atur duit, cekatan dalam beberes rumah, punya gaji besar, bermanfaat secara sosial, dan selalu terlihat glowing.

Perempuan bukan manusia super yang bisa melakukan semua yang dilakukan laki-laki, ditambah bisa hamil, melahirkan, dan menyusui. Namun, perempuan juga bukan manusia lemah yang tidak boleh punya pilihan, pikiran, dan keinginan. Kita tak butuh berkubu-kubu untuk membicarakan perempuan, kita hanya butuh memanusiakan perempuan.

Ia bisa kuat, ia bisa lemah. Ia bisa berhasil, ia bisa gagal. Ia bisa hebat, ia bisa tumbang. Ia bisa tersenyum, ia bisa menangis. Ia yang sederhana dalam kerumitannya, ia yang rumit dalam kesederhanaannya. Ia yang bisa berpikir dan mengenali dirinya sendiri, ia yang bisa bingung dan kehilangan dirinya sendiri.

Sebagai gantinya, marilah kita para perempuan lebih banyak menelaah diri kita masing-masing (bukan menelaah orang lain). Mari kita hayati keinginan dan kebutuhan kita sendiri. Nilai apa yang kita utamakan, keyakinan apa yang kita percayai, hidup seperti apa yang kita cintai, hal apa yang paling penting untuk kita. Dari situ kita akan menemukan standar kita sendiri. Pilihan apa pun yang kita ambil, selama itu lahir dari penghayatan kita terhadap diri kita sendiri, bukan karena dipaksa atau dituntut orang lain, itu layak kita perjuangkan.

Jikalau ada satu keharusan, maka itu adalah: perempuan harus tahu bahwa tidak semua keharusan yang dikatakan orang lain padanya harus ia anggap sebagai tuntutan yang serius. Jika itu tiba-tiba mengusik hidup yang berjalan damai, biarkan suara itu tenggelam. Seperti sebuah batu yang dilemparkan ke danau, ia hanya memberi riak-riak sejenak, sebelum tenggelam ke dasar danau. Dan, danau itu lambat laun menjadi tenang kembali seperti sediakala.

Avatar

Sekarang itu, orang yang ngepos konten bernada positif aja bisa ditanggapi negatif. Apalagi kalau kontennya beneran negatif. Memang, ya, persepsi itu subjektif sekali. Dan, media sosial adalah pasar subjektivitas.

Kita bermain dalam persepsi kita masing-masing, ngomong dalam gelembung kita sendiri-sendiri, dan berdebat sama suara dalam kepala kita sendiri. Dan akhirnya, kita pun lelah sendiri.

Avatar

Dalam beberapa hari ini, kepala saya susah untuk ditenangkan. Ingin menggegas dan mengerjakan banyak hal sekaligus. Berbagai ide bermunculan dengan cepat, terkoneksi satu sama lain, menunggu segera diwujudkan. Sementara itu, tenaga tentu sudah makin terbatas.

Salah satu kelemahan saya dalam mengerjakan sesuatu adalah susah berhenti jika sudah "jalan". Terkadang saya sulit untuk memulai, tapi jika sudah memulai, saya ingin menyelesaikannya dengan segera, sulit berhenti jika sedang asyik mengerjakan yang saya suka. Misalnya, jika sedang menulis buku, saking masuknya ke dunia naskah, saya jadi lupa untuk memperhatikan urusan lain. Dan, itu bisa jadi bencana karena saya punya peran lain: istri dan ibu.

Suami saya mungkin sudah sangat paham bahwa saya adalah tipe mobil yang ngegas, tetapi sering enggak tahu cara mengerem. Kata ibu saya, perilaku itu mirip seperti citah atau singa: kalau lagi tenang, mereka tenang banget, bahkan bisa tidur dan santai begitu lama, tetapi kalau lagi "ngejar" sesuatu, larinya kenceng, enggak berhenti sebelum dapet mangsa. Sudah dapat mangsa? Santai lagi. Rebahan seharian.

Kalau lagi begini, rasanya pengen punya kekuatan kayak Mantis di Guardian of the Galaxy, menenangkan pikiran dengan sekali sentuh saja.

Yah, semuanya membutuhkan kesadaran dan penerimaan. Pada kenyataannya, enggak semuanya bisa dilakukan sekaligus. Enggak semuanya bisa dikejar dalam satu waktu. Semua butuh kesabaran.

Pada akhirnya, saya mesti memilih untuk mendahulukan yang lebih penting terlebih dahulu.

Lagi pula, kalau dipikir-pikir lagi, apa, sih, yang saya kejar? Kenapa ingin cepat-cepat? Sering kali kalau keinginan sudah tercapai pun rasanya "cuma gitu doang". Yang dirindukan justru proses dan penantiannya itu. Yang bikin nagih adalah deg-degan dan dorongan untuk mengejar. Kalau sudah dapat? Ya, ternyata biasa aja, rebahan lagi kayak Si Citah.

Jadi, mari atur napas panjang. Jalan perlahan. Dan, nikmati prosesnya!

Avatar

“And when nobody wakes you up in the morning, and when nobody waits for you at night, and when you can do whatever you want. What do you call it, Freedom or Loneliness?” - Charles Bukowski

Avatar

Tulisan random karena Tumblr emang tempat paling enak, aman, dan personal untuk nulis hal-hal random. Beda sama platform sebelah yang seolah semua kudu sesuai sama keinginan warganet.

Pernah, tuh, saya ngepos di IG story, maksud hati mengkritik jargon motivator yang suka nakutin orang-orang, tapi ya namanya juga medsos, konteks suka hilang, kalaupun udah jelas konteksnya, pembacanya yang enggak nangkep. Jadi aja banyak mispersepsinya. Ada yang komentar tanpa nanya maksud dan konteks, lalu ujungnya ngatur menyarankan saya supaya pakai platform saya untuk lebih "berdakwah". Alias, jangan bacot aja, coba, biar story-nya lebih manfaat. Atau mungkin saya mesti lebih banyak ngepos dalil-dalil gitu? Ah, entahlah. Saya sudah beranjak dari tipe berdakwah yang hard selling kek gitu. Yang kudu menyertakan istilah bahasa Arab, yang kudu langsung ngajak ke masjid atau ikut dengerin ceramah. Enggak, enggak. Sia-sia saya kuliah psikologi kalau enggak pakai pendekatan yang lebih humanis untuk "berdakwah".

Lagian kalau update sama dunia dakwah yang sebenarnya, pendekatan dakwah juga udah banyak diubah, lho. Sekarang mah enggak usahlah pakuat-kuat nunjukkin identitas, ga usah lomba panjang-panjangan hijab atau jenggot, ga usah menuh-menuhin profil dengan label-label yang terlalu kentara dan beda. Justru mending diem-diem bae. Membaur, ga usah pengin beda sendiri. Tunjukkin aja pake perilaku, pake kerja, pake portofolio, pake track record, budayakan sesuatu yang baik. Karena orang makin realistis sekarang. Kalau terlalu eksklusif gitu, sih, dakwah enggak akan ke mana-mana.

Ehehehehehe. Karena random, ya pasti ke sana ke mari, yhaa, nulisnya.

Kebetulan ini lagi kepikiran aja, sih, tentang topik-topik keislaman. Ada juga yang aneh, nih. Di saat kaum Islamis 90an-2000an lebih beranjak ke tengah dengan moderasi dlm beragamanya, kaum Islamis generasi baru yang dikenal dgn gelombang hijrahnya malah seolah ngegeser lagi moderasi itu ke kanan. Contoh aja, soal hijab, deh. Seorang guru ngaji pernah "ngomel" karena jilbab ibu-ibu kepanjangan menurut beliau. Kenapa ngomel? Karena menurut beliau, itu sering bikin kelompok ibu-ibu tersebut sulit membaur dengan masyarakat, akhirnya jadi eksklusif. Ehehe aku pun ibu-ibu berjilbab agak panjang. Maksud beliau, Islam itu harus lebih dari sekadar simbol dan identitas. Nah, tapi sekarang generasi Islamis dgn gelombang hijrahnya justru cenderung terlalu melebih-lebihkan simbol-simbol ketimbang esensi dan nilai dari Islam. Yhaa, panjang lagi, dong, urusannya.

Sekali lagi, ini mah tulisan random. Kalau esai atau artikel ilmiah enggak bakal ku upload di sini, dong. Hahaha.

Yowislah, semua ada jalan dakwahnya sendiri-sendiri. Dakwahku adalah membuat orang-orang merasa tidak sendirian lewat buku-bukuku. Dakwahku adalah membuat orang lebih tahu soal literasi lewat toko bukuku. Dan, yang paling berat, dakwahku adalah lewat jempolku di media sosial—berusaha tidak julid itu berat, hahaha—dan tentunya lewat akhlakku di dunia nyata sama tetangga, temen, pelanggan, keluarga, dsb.

Karena dakwah yang efektif adalah yang enggak terasa seperti dakwah. Asikk.

You are using an unsupported browser and things might not work as intended. Please make sure you're using the latest version of Chrome, Firefox, Safari, or Edge.