Avatar

anak rohani dari banyak ibu

@sajaknakal / sajaknakal.tumblr.com

menulis membuatmu abadi
Avatar

Riuh Senyapnya Pendidikan Kita

Seperti kebanyakan problem yang menemani hiruk-pikuk Keindonesiaan kita, persoalan pendidikan menjadi tema besar yang tak henti-henti menjadi perbincangan hangat penyembuhan peradaban kita. Berbagai acara ilmiah, pertemuan para pakar di universitas terkemuka,  seminar di hotel mewah hingga diskusi-diskusi pelataran kampus memposisikan pendidikan menjadi tema wajib yang menjadi isu tiap tahunnya. Ketidakjelasan output dari lembaga pendidikan, metode transfromasi yang kurang efektif, hingga polarisasi marjinal yang dialami masyarakat adalah sedikit dari sub-sub tema yang memperjelas ketidakberesan dunia pendidikan kita hari ini. Dalam konsep pembangunan manusia, indicator yang harus dicapai sebuah bangsa, selain pembenahan pelayan kesehatan dan daya beli masyarakat dalam pemenuhan kebutuhannya. Adalah optimalisasi masyarakat dalam bidang pendidikan. Coraknya jelas ada pada keharusan bersekolah dengan durasi tertentu dan jumlah melek huruf dari sebuah bangsa. Nah disini kemudian posisi pemerintah sebagaimana amanat konstitusi  bahwasanya pemerintah menjadi penanggunjawab keseluruhan kualitas pendidikan, utamanya pendidikan dasar-menengah. UUD 1945 Pasal 31 ayat 2 dan 3 yang menjelaskan bahwa pemerintah menjadi donator dan fasilitator bagi sarana-prasarana dan berbagai kebutuhan peningkatan kualitas pendidikan lainnya. Selain itu diperkuat oleh Pasal 31 ayat 1 bahwa siapapun warga Negara berhak mendapatkan pendidikan tanpa terkecuali. Secara garis besar visi Keindonesiaan kita adalah mewujudkan manusia-manusia merdeka sejak dalam pikiran. Implikasi yang diharapkan dari perwujudan pemerataan pendidikan secara adil adalah menciptkan kualitas manusia yang mampu survive menemani dinamika global yang sedemkian ketat. Era bias yang ditekankan oleh perubahan aspek sosial-kebudayaan membutuhkan manusia dengan kreatifitas yang menabi. Intensitas kebudayaan luar yang keluar-masuk secara mudahnya adalah gejala umum bagian mana posisi Negara-negara ketiga dikonstruk untuk semata menjadi masyarkat konsumtif. Hal ini tentu saja membutuhkan proses kaderisasi yang tahan banting, dan posisi pendidikan menjadi intrumen yang paling bisa diharapkan berbicara banyak. Sebagai institusi, Negara kemudian menyerahkan pola pendidikan generasi pelanjut bangsa ke institusi sekolah. Berbagai kucuran dana kemudian mengalir dengan intens dan tentu saja menjadi lahan baru untuk oknum-oknum untuk memperkaya diri. Sekolah Hari Ini Kemeriah pesta manusia merdeka yang sedang dipura-pura pemerintah harus ditanggapi serius oleh para pemerhati pendidikan. Keberadaan sekolah yang memiliki otoritas formal untuk mencetak label manusia terdidik masih penuh cacat sana-sini. Praktek persekolahan yang senantiasa mereproduksi kekerasan symbolik menjadi lantunan yang mengisi ruang-ruang kelas. Misalnya meminjam konsep Freire “pendidikan gaya bank” (banking concept of education) dimana posisi sang murid ditempatkan sebagai celengan dan guru sebagai penyetor pengetahuan. Skema ini diatur sedemikan kompleks oleh kurukulum. Mereka yang tak patuh akan distigmakan sebagai murid Bengal dan kosa kata lain yang bermakna negative. Aspek lain yang masih bermasalah dari kondisi persekolah kita hari ini adalah aspek pemerataan. Akan terlihat jelas bagaimana disparitas antara sekolah elit dengan sekolah menengah ke bawah. Belum lagi untuk wilayah pedalam dengan fasilitas terbatas. Padahal keberadaan pemerintah di masyarakat harus menjadi pionir terciptanya pemerataan. Di sudut-sudut marjinal wilayah bangsa ini masih terlampau bangsa kita temukan sekolah dengan keterbatasan yang sangat.Lalu kemudian sekolah dengan perlakuan istimewa oleh Negara dengan kucuran dana yang berlebihan hanya mengakomodir mereka yang berkecukupan, atau setidaknya mereka yang berada pada kota-kota besar. Sementara itu, untuk mereka yang berada diwilayah pelosok dengan kondisi ekonomi yang payah harus menemukan realitas persekolahan yang tak berdaya. Cerminan seperti inilah hanya harusnya menjadi konsentrasi pembangunan kita. Spirit pemerataan dalam rangka menciptakan pembangun yang sistemik dan berkualitas harus ditemani dengan hadirnya Negara pada wilayah ketidakberdayaan mereka. Apalagi symbol wong cilik yang dilekatkan kepada Presiden kita menjadi sampul depan di hadapan masyarakat masa kampanye. Penekanan untuk membangun bangsa ini harus dimulai dari membentuk kualitas manusia-manusia merdeka, cerdas, dan berkemampuan. Pola pendidikan melalui sekolah harus menyentuh aspek-aspek masyarakat yang selama ini diposisikan sebagai “the others”. Jangan sampai mereka yang teridentifikasi sebagai masyarakat miskin, kampungan, dan tak bisa apa-apa menjadi anak tiri yang sedang kesepian di bangsa sendiri.***

Avatar

Riuh Senyapnya Pendidikan Kita

Seperti kebanyakan problem yang menemani hiruk-pikuk Keindonesiaan kita, persoalan pendidikan menjadi tema besar yang tak henti-henti menjadi perbincangan hangat penyembuhan peradaban kita. Berbagai acara ilmiah, pertemuan para pakar di universitas terkemuka,  seminar di hotel mewah hingga diskusi-diskusi pelataran kampus memposisikan pendidikan menjadi tema wajib yang menjadi isu tiap tahunnya. Ketidakjelasan output dari lembaga pendidikan, metode transfromasi yang kurang efektif, hingga polarisasi marjinal yang dialami masyarakat adalah sedikit dari sub-sub tema yang memperjelas ketidakberesan dunia pendidikan kita hari ini.

Dalam konsep pembangunan manusia, indicator yang harus dicapai sebuah bangsa, selain pembenahan pelayan kesehatan dan daya beli masyarakat dalam pemenuhan kebutuhannya. Adalah optimalisasi masyarakat dalam bidang pendidikan. Coraknya jelas ada pada keharusan bersekolah dengan durasi tertentu dan jumlah melek huruf dari sebuah bangsa. Nah disini kemudian posisi pemerintah sebagaimana amanat konstitusi  bahwasanya pemerintah menjadi penanggunjawab keseluruhan kualitas pendidikan, utamanya pendidikan dasar-menengah. UUD 1945 Pasal 31 ayat 2 dan 3 yang menjelaskan bahwa pemerintah menjadi donator dan fasilitator bagi sarana-prasarana dan berbagai kebutuhan peningkatan kualitas pendidikan lainnya. Selain itu diperkuat oleh Pasal 31 ayat 1 bahwa siapapun warga Negara berhak mendapatkan pendidikan tanpa terkecuali.

Secara garis besar visi Keindonesiaan kita adalah mewujudkan manusia-manusia merdeka sejak dalam pikiran. Implikasi yang diharapkan dari perwujudan pemerataan pendidikan secara adil adalah menciptkan kualitas manusia yang mampu survive menemani dinamika global yang sedemkian ketat. Era bias yang ditekankan oleh perubahan aspek sosial-kebudayaan membutuhkan manusia dengan kreatifitas yang menabi. Intensitas kebudayaan luar yang keluar-masuk secara mudahnya adalah gejala umum bagian mana posisi Negara-negara ketiga dikonstruk untuk semata menjadi masyarkat konsumtif.

Hal ini tentu saja membutuhkan proses kaderisasi yang tahan banting, dan posisi pendidikan menjadi intrumen yang paling bisa diharapkan berbicara banyak. Sebagai institusi, Negara kemudian menyerahkan pola pendidikan generasi pelanjut bangsa ke institusi sekolah. Berbagai kucuran dana kemudian mengalir dengan intens dan tentu saja menjadi lahan baru untuk oknum-oknum untuk memperkaya diri.

Sekolah Hari Ini

Kemeriah pesta manusia merdeka yang sedang dipura-pura pemerintah harus ditanggapi serius oleh para pemerhati pendidikan. Keberadaan sekolah yang memiliki otoritas formal untuk mencetak label manusia terdidik masih penuh cacat sana-sini. Praktek persekolahan yang senantiasa mereproduksi kekerasan symbolik menjadi lantunan yang mengisi ruang-ruang kelas. Misalnya meminjam konsep Freire “pendidikan gaya bank” (banking concept of education) dimana posisi sang murid ditempatkan sebagai celengan dan guru sebagai penyetor pengetahuan. Skema ini diatur sedemikan kompleks oleh kurukulum. Mereka yang tak patuh akan distigmakan sebagai murid Bengal dan kosa kata lain yang bermakna negative.

Aspek lain yang masih bermasalah dari kondisi persekolah kita hari ini adalah aspek pemerataan. Akan terlihat jelas bagaimana disparitas antara sekolah elit dengan sekolah menengah ke bawah. Belum lagi untuk wilayah pedalam dengan fasilitas terbatas. Padahal keberadaan pemerintah di masyarakat harus menjadi pionir terciptanya pemerataan. Di sudut-sudut marjinal wilayah bangsa ini masih terlampau bangsa kita temukan sekolah dengan keterbatasan yang sangat.Lalu kemudian sekolah dengan perlakuan istimewa oleh Negara dengan kucuran dana yang berlebihan hanya mengakomodir mereka yang berkecukupan, atau setidaknya mereka yang berada pada kota-kota besar. Sementara itu, untuk mereka yang berada diwilayah pelosok dengan kondisi ekonomi yang payah harus menemukan realitas persekolahan yang tak berdaya.

Cerminan seperti inilah hanya harusnya menjadi konsentrasi pembangunan kita. Spirit pemerataan dalam rangka menciptakan pembangun yang sistemik dan berkualitas harus ditemani dengan hadirnya Negara pada wilayah ketidakberdayaan mereka. Apalagi symbol wong cilik yang dilekatkan kepada Presiden kita menjadi sampul depan di hadapan masyarakat masa kampanye. Penekanan untuk membangun bangsa ini harus dimulai dari membentuk kualitas manusia-manusia merdeka, cerdas, dan berkemampuan. Pola pendidikan melalui sekolah harus menyentuh aspek-aspek masyarakat yang selama ini diposisikan sebagai “the others”. Jangan sampai mereka yang teridentifikasi sebagai masyarakat miskin, kampungan, dan tak bisa apa-apa menjadi anak tiri yang sedang kesepian di bangsa sendiri.***

Avatar
Tibalah saya pada sebuah kesimpulan, mahasiswa dan sarjanawan hanya dibedakan oleh corak psikologis. tekanan mantan, odo-odo, dan beberapa perihal yang menjadi kelompok penekan di masa mahasiswa menjelma menjadi suasana psikologis cari duit, ngebet kawin, dan apa saja yang menyebut dirinya masa depan.
Avatar
Dalam diri perempuan terdapat kerumitan yang hanya bisa diterka dan dibarangkalikan.
Avatar
Menafsir perempuan sama halnya dengan menghitung logaritma dengan perkalian yang tak pernah kau tahu angkanya.
Avatar
Karena mendengarkan musik adalah cara lain memerdekakan diri.
Avatar
Kesepian selanjutnya ada pada jawaban yang tak pernah dilahirkan tanya.
Avatar
Di sebuah subuh yang entah kapan, kita butuh menutup pintu-pintu duka, menabik cemas yang esok pagi, bercakap bersama jam dinding yang mengiring lagu-lagu melow dramatik lalu tiba pada pertanyaan "untuk apa semua ini?"
Avatar

PSM: Sirri’ na Pacce’

Tak pernah ada olahraga semeriah sepak bola, antusias masyarakat pada permainan itu sungguh sangat riuh. Seolah ada spiritualitas baru yang melekat pada sepak bola di era modern hari ini. Di beberapa Negara di belahan dunia, sepak bolah menjadi symbol superior serta kematangan membangun keringat sebuah bangsa. Misalnya di Inggris, masyarakat menempatkan sepak bola sebagai salah satu identitas yang tak bisa lepas pada sebuah kota. Tak sekedar memburu sebuah kemenangan, kesan penting yang dibangun adalah fanatisme yang kuat dari sebuah kibaran bendera club untuk menjaga harga diri kota asal club tersebut. Reproduksi makna dari sebuah sepak bola telah menjelma menjadi indicator kesekian untuk dikatakan bangsa yang kuat. Fenomena itu kemudian tertular di Indonesia, sebagai salah Negara dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi. Indonesia memberi sumbangsi besar bagi riuhnya kompetisi sepak bola dunia hari ini. Contoh sederhada bagaimana beberapa klub besar dunia telah berhasil didatangkan di tanah air dengan tingkat penonton yang tinggi. Misalnya Milan, Juventus, Liverpool, dan beberapa tim elit lainnya. Namun kemeriahan sepak bola di tanah air tak diimbangi oleh kualitas tim yang dimiliki. Indonesia masih jauh tertinggal di wilayah asia. Hanya diposisikan oleh Fifa di urutan yang buncit di klasemen tim dunia menjadi kesedihan tersedia bagi penikmat sepak bola. Maraknya campur tangan politik di dalam prosesnya menambah derita yang tak kunjung padam. Dua pekan sudah liga Indonesia dipentaskan, dengan sponsor utama salah satu perusahaan besar asal Qatar. Dalam konteks Makassar, sebagai kota yang memiliki garis sejarah sepak bola yang tak main-main. Maka tentu saja ekspektasi besar disematkan oleh tim kebanggaan kita semua PSM Makassar. Dua laga dengan 4 poin yang berhasil diperoleh menjadi oase pengembira yang semoga saja terus mengalami peningkatan permainan. Kondisi tiga tahun terakhir yang membuat PSM Makassar tidak memiliki girah yang cukup dipertontonkan di tingkat nasional telah menjadi kejenuhan tersendiri bagi fans sepak bola di kota ini. Padahal kontribusi pemain asal Makassar di club-club besar di Indonesia cukup banyak Sepak bola di kota Makassar telah menjadi sebuah perayaan meriah bagi penikmatnya di tengah-tengah sorotan kamera yang ditujukan kepada kota Makassar karena fenomena kekerasan di jalan raya yang belakangan menjadi hal yang cukup menganggu. Catatan sejarah yang menempatkan PSM Makassar sebagai salah satu penyumbang aktif pemain timnas Indonesia merupakan prestasi yang harus terus dipertahankan. Bersama Persipura, PSM Makassar telah menjadi sebuah cerminan kualitas sepak bola di Indonesia bagian timur yang tak bisa dipandang sebelah mata. Hal ini tentu saja menjadi beban moral tersendiri bagi pasukan Ramang. Sebelum liga dimulai, posisi PSM hanya dianggap sebagai tim medioker semata, mengingat penampilan inkonsisten yang diperlihatkan beberapa musim ke belakang. Kesan inilah yang harus diruntuhkan oleh Pasukan Ramang dengan pertarungan lapangan yang lebih mengigit. Dua laga awal cukup memberi kesan bahwa ekspektasi yang dilekatkan pada tim musim ini tak sekedar menjadi pengharapan semata. Kembalinya Syamsul Chaeruddin sebagai Il Capitano tim dan Ponaryo Astaman semoga bisa menjadi nostalgia kebahagiaan bersama pemain-pemain muda lainnya. Ini bukan saja untuk mengulangi kejayaan masa lampau dimana nama pesepak bola Ramang disimbolkan sebagai kehebatan permainan yang pernah dimiliki masyarakat Makassar. Namun lebih dari itu, diharapkan dengan kembalinya kejayaan PSM Makassar bisa menjadi sebuah pemicuh persatuan masyarakat di kota ini. Konsepsi Sirri’ na Pacce’ yang dimiliki kota Makassar menjadi spirit kesekian yang harus terimplimentasikan pada permainan pasukan Ramang. Harga diri besar yang harus dijunjung untuk kembali menjadi kekuatan bagi public kota Makassar. Biarkan para supporter yang dimiliki PSM Makassar menyanyikan lagu kejayaan untuk memacuh semangat permainan. Dan tugasnyalah para Gladiator lapangan ini untuk menghadiahi fans setia sebuah kemenangan. Represetase teriakan Ewako PSM! adalah perwujudan dari pengharapan panjang dari sebuah harga diri ibu kota Sulawesi Selatan dalam skala nasional. Pada sepak bola-lah kita bisa memulai sebuah sikap pantang menyerah yang kemudian diadopsi oleh masyarakatnya untuk bersama-sama membangun kualitas diri. Melalui tontonan yang berkualitas, masyarakat Makassar bisa belajar banyak hal di sudut-sudut stadium kebanggaan Stadium Andi Matalatta Makassar atau sekedar menyaksikan tim kebangga berlaga di layar kaya. Penularan nilai Sirri’ na Pacce’ sebagai sebuah harga diri yang telah lama diwariskan oleh tradisi Bugis-Makassar bagi masyarakat kekinian bisa menjadi warna baru membagun kota Makassar 2 kali lebih baik di tengah semakin kompleksnya persoalan social-politik-ekonomi yang menimpah bangsa ini, terutama di kota Makassar.

Avatar
Yang termewah dari seorang perempuan adalah sisi keibuannya.

@sajaknakal

Avatar
Kenangan, hanya sebentuk tumpukan buku yang tak harus kau baca secara utuh, cukup kau ingat daftar isi dan nama penulisnya.

@sajaknakal

Avatar
Setelah sepi, tuhan menciptakan kerinduan. Mereka kemudian ditakdirkan menjadi sepasang teka-teki yang kita reka-reka.

@sajaknakal

Avatar

Nelayan Nasibmu Kini

“Nenek Moyangku Seorang Pelaut….”. Nyanyian itu pastinya tidak lagi asing di telinga kita. Betapa tidak, dari kecil kita sudah diajari oleh guru kita tentang dendangan lagu tersebut. Sebuah lirik yang berasal dari kondisi riil masyarakat Indonesia masa lampau. Cara manusia Indonesia menerjemahkan kondisi alamnya yang sangat maritim, kondisi yang menjadi keberkahan bagi tubuh geografis Indonesia itu sendiri. Kekayaan bahari dan sumber daya alam lainnya merupakan potensi yang memposisikan Indonesia sebagai bangsa yang sangat strategis dalam pengembangannya jikalau dikelolah secara baik. Namun, untuk konteks kekinian, ketika istilah laut, nelayan, dan kemiskinan menjadi satuan kesatuan yang seolah tak bisa dipisahkan. Sumbangsih nelayan untuk tingkat kemiskinan penduduk Indonesia cenderung sangat tinggi, kesan kemiskinan structural yang terjadi di wilayah tersebut menjadi lagu lama yang sampai hari ini hanya diselesaikan pada tahap janji dan klaim politik semata. Posisi tawar masyarakat nelayan yang sangat lemah di sektor politik-ekonomi menjadi penguat bahwa mereka memang cukup dipososikan sebagai the others. Belum lagi berbagai pertemuan ilmiah yang menghadirkan para pakar dari universitas dan kementrian terkait hanya selesai pada tahap pendiskusian, sementara pengentasan secara teknis lebih sering dimanfaatkan oleh para mafia-mafia anggaran untuk memperkaya diri sendiri. Pidato kampanye Presiden Jokowi tentang kejayaan laut Indonesia sampai hari ini masih belum menemukan titik perbaikan. Jangan sampai, Negara hanya memposisikan masyarakat pesisir sebagai tamu di wilayahnya sendiri, lalu kemudian menyiapkan kue besar bahari hanya untuk masyarakat kelas menengah ke atas melalui kebijakannya dan kekuatan ekonomi kapital. Pola kebijakan ekonomi belah bambu –yang memposisikan masyarakat kecil sebagai korban yang diinjak untuk menaikan kalangan kapital ke atas–  merupakan ketidakberesan yang menjadi marak di Indonesia kini, padahal prinsip kemerdekaan yang pernah dibangun oleh Bung Hatta adalah prinsip kemerdekaan ekonomi, dimana masyarakat harus berdaulat di wilayahnya sendiri dengan regulasi ekonomi yang mestinya berpihak ke masyarakat langsung tanpa ada monopili dari segelintir oknum, apalagi korporat asing. Pengawalan kebijakan yang memiliki dana yang tak sedikit harus betul-betul diawasi agar tak mengulangi dosa masa lalu yang membiarkan masyakat pesisir pada konteks ekonomi-sosial sebagai masyarakat terlupakan dan hanya dilirik saat memasuki musim kampanye. Logika sederhana, jika klaim kekayaan laut Indonesia memang berada pada wilayah nyata, maka masyarakat pesisirlah yang harusnya menjadi penikmat dari kekayaan bahari tersebut. Secara umum program-program pemerintah tidak membuat nasib nelayan menjadi lebih baik daripada sebelumnya. Salah satu penyebab kurang berhasilnya program-program pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan nelayan adalah formulasi kebijakan yang bersifat top down. Formula yang diberikan cenderung seragam padahal masalah yang dihadapi nelayan sangat beragam dan seringkali sangat spesifik lokal. Di samping itu, upaya penanggulangan kemiskinan nelayan seringkali sangat bersifat teknis perikanan, yakni bagaimana upaya meningkatkan produksi hasil tangkapan, sementara kemiskinan harus dipandang secara holistik karena permasalahan yang dihadapi sesungguhnya jauh lebih kompleks dari itu. Jalan Keluar Kemiskinan merupakan masalah yang multidimensional, sehingga pendekatan untuk mengentaskan kemiskinan juga harus multidimensional. Nelayan dengan kondisi kemiskinan yang larut memiliki banyak faktor. Namun, posisinya sebagai komunitas tak berdaya menghadapi suasana ekonomi kapital membuatnya tak bisa apa-apa. Faktor akses yang jauh dari kekuasaan menjadi penguat marjinalisasi mereka. Namun demikian, persoalan kemiskinan di masyarakat nelayan harus diawali dengan akurasi statistik persoalan yang riil. Setelah itu, ditindaklanjuti secara serius dengan memperhatikan betul kebijakan pemerintah yang dikeluarkan, apakah sudah tepat sasaran dan sesuai prosedur pelaksanaan. Hal itu juga bisa membantu mengurangi penyelewengan yang kerap dilakukan para mafia. Bagaimana pun penyebab kemiskinan di sebuah wilayah pesisir tak semua sama.  Sehingga butuh formulasi yang sesuai dengan wilayah. Selain itu, akses penguatan politik dari kalangan elit dibutuhkan, agar pemberdayaan mereka bisa diperkuat dari atas. Selamat memperingati hari Nelayan Nasional, semoga masa depan bahari dan masyarakat pesisir bisa lebih mencerahkan ke depannya.

Avatar

Pemuda Dalam Tanda Kutip

Dalam isitlah yang menarik, Franz Kafka pernah menyebut istilah “seni melupa” (the art of forgetting) yang hanya akan terjadi kalau kita membunuh pikiran dan kesadaran kita. Ini tentu saja bentuk lain dari sebuah autokritik yang ingin disampaikan Kafka tentang realitas yang terbangun hari ini melalui jalan terjal panjang yang tak main-main. Dalam konteks keindonesiaan kita, beragam lagu mellow menemani rentetan laju kebangsaan kita menuju kedewasaan yang semoga. Ada yang apresiasi setinggi langit, ada pula yang cukup diposisikan sebagai figuran semata. Banyak corak yang telah dilahirkan oleh rahim sejarah, membuat kerentangan melupa menjadi sesuatu yang mengkhawatirkan. Bukan saja sebatas cerita-cerita using yang tak lagi menemani kebangsaan kita, melainkan pola laku yang kadang gagal diwariskan oleh mereka yang bernama generasi selanjutnya. Dalam deretan panjang ini, posisi pemuda adalah lakon yang paling sering ditempatkan sebagai ujung tombak perubahan dan pendewasaan bangsa. Hal ini bukan  karena berulang kali kita disuguhi pengetahuan sejarah yang menempatkan pemuda sebagai lokomotif terjadinya pergerakan nasional melawan tirani kolonial, melainkan juga spirit yang mendarah-daging di tubuh seorang pemuda yang identik dengan sikap militansi. Seolah kategori manusia yang terhebat adalah pada sosok pemuda, barangkali. Pemuda menjelma sebentuk perasaan yang mengikat untuk tetap “survive” bersama arus deras globalisasi dari semua penjuru. Ini mungkin ungkapan yang terlalu hiperbola bagi realitas yang ada sekarang ini. Namun, dengan tetap menanamkan konsepsi kepemudaan yang  heroik bagi sugesti kebangsaan kita, itu bisa menjadi oase penggugah bahwa bangsa ini butuh perbaikan kondisi yang lebih membahagiakan. Bangsa ini tak bisa dibiarkan tumbuh-kembang bersama nostalgia masa lalu yang konon pernah begini dan begitu. Kebiasaan mengutip ucapan Soekarno, atau sekedar meminjam kosa kata kebahagiaan dari bapak Mario Teguh lantas kemudian persoalan seolah selesai. Ada yang lebih mengkhawatirkan bagi realitas kepemudaan kita saat ini. Setidaknya posisi para pendiri bangsa  cukup menjadi bacaan pengingat sikap bersikeras merdeka dari mereka yang dulu pernah muda. Selebihnya tugas kitalah sebagai pemuda melakukan kreatifitas gerakan pembaruan mengikuti konteks dan dinamika peradaban. Rumusan kata pemuda tak berhenti pada kosa kata tertentu, mereka adalah cerminan dari masa depan dengan tanda tanya nasib dan berbagai ketidakpastiannya. Sehingga memperbaiki kualitas diri sebagai seorang pemuda sesuai disiplin kerja dan keilmuwan yang ada, merupakan opsi terbaik dari sebuah pengharapan panjang untuk sebuah bangsa. Dalam teks sumpah pemuda misalnya “berbangsa satu, bertanah air satu”, ada sebentuk kesadaran bersama untuk menyatakan kebersamaan dan keyakinan kolektif. Substansinya sebenarnya ada pada tugas pemuda menjaga harga diri bangsa dalam bingkai keindonesiaan, bukan sekedar seremoni peringatan semata. Lewat giringan pemuda, kenyataan bangsa dititikberatkan pada kemampuan berdialektika bersama perubahan zaman. Akhir-akhir ini misalnya, kita dicemaskan oleh maraknya gerakan makar dari kelompok radikal berkegok agama. Belum lagi, trend konflik kepentingan yang tak berkesudahan di jajaran elit, dan banyak lagi problematika kebangsaan yang seolah terbiarkan begitu saja. Kesemuanya ini menjadi pekerjaan besar dari para pemuda dan mereka yang sedang dalam perjalan menuju usia muda. Mempersiapakan diri sedini mungkin menghadapi arus deras yang entah dalam bentuk apa. Misalnya tawaran Cak Nun untuk mereka yang berusia muda untuk tetap berlaku santun dan tak gemar sok tau, memperbanyak bersentuhan dengan aspek kehidupan nyata, merasakan realitas yang sesungguhnya agar terbiasa dengan perasaan bisa merasa, bukan merasa bisa. Dan yang terpenting usia muda, sikap mencari tahu dan lebih banyak mendengarkan nostalgia masa lalu untuk pijakan awal di masa mendatang. Banalnya kebudayaan yang dibawa melalui banyak sumber hari ini menjadikan kerentangan bagi pemuda untuk menjadi generasi konsumtif. Lihat saja bagaimana tontonan media dan berbagai kemudahan yang berlakon sebagai pisau bermata dua. Pemuda dan masyarakat muda jangan sampai berada pada lingkaran generasi yang miskin ide, generasi tanpa identitas, tanpa orientasi, generasi yang hobi menyebut dirinya sebagai sekelompok orang yang terancam disebut calon intelektual masa depan padahal sama sekali tak menempuh internalisasi apapun untuk sebutan itu. Akhirnya, masa depan bangsa ini tergantung masyarakat mudanya menempatkan kebiasaan dirinya, dia ibarat halte yang terus berjalan dan menurunkan penumpang dan mengambil penumpang baru untuk di antarkan ke sebuah visi dan misi yang sesuai karakter yang selama ini mereka bangun. Semoga setelah ini, Indonesia punya cerita yang lebih mengembirakan selain korupsi dan kabar tukar menukar amarah atas nama perbedaan.

Avatar

Smart City Untuk Wilayah Marjinal Makassar

Sebagai masyarakat biasa yang bergumul di lingkungan terpinggir Makassar, Penulis merasa bahwa kampanye “smart City” dari bapak Walikota harus senantiasa menyiapkan wadah bagi keluh-kesah masyarakatnya. Tentu saja jika ditarik dari penjabaran kata “smart” terkait kebijakan dan tata kelolah wilayah, maka kesemuanya harus melihat situasi dan kondisi agar tak sekedar menjadi aturan yang timbang pada realitas. Hal ini penting, sebab sebagai seorang pemegang pucuk pimpinan di kota ini. Pak Walikota tak hanya meleburkan diri pada angka-angka semata, tak bisa mengunakan kacamata kuda bersama para prajuritnya, atau sebatas melaksanakan apa yang menjadi kewajiban tanpa menceburkan diri pada kenyataan kota. Dinamika yang sesak sebagai konsekuensi menuju kota dunia adalah hal lumrah. Tingginya tingkat frustasi social yang melahirkan banyak bentuk kriminalitas merupakan seni dari keterpilihan bapak sebagai walikota. Makassar dengan alur sejarah panjang dan kompleksifitas cerita di dalamnya merupakan wadah bagi bapak Walikota untuk melaksanakan apa yang selama ini menjadi slogan politiknya “2 kali lebih baik”, sekaligus menjadi lading pahala bagi sikap amanah bapak yang semoga saja bisa terurai dalam kebijakan. Mengutip ucapan bijak dari Mahatma Gandhi bahwa “bunga mawar tak pernah berkhotbah. Ia hanya hanya menebarkan wewangiannya. Aromanya itulah yang menjadi isi khotbah bagi wangi kehidupan”. Pak Walikota yang terhormat, sebagai seorang arsitek terkemuka di kota ini, bapak dengan kemampuan membangun tata kota denagn disiplin ilmu arsitektur tak perlu diragukan lagi. Ini merupakan keyakinan awal bahwa Makassar benar-benar bisa menjadi kota yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Akan tetapi, ada hal yang merisaukan dari kenyataan yang hadir sekarang ini. Kondisi tubuh social masyarakat Makassar cenderung mengalami disparitas tajam antara satu wilayah dengan wilayah yang lainnya. Tentu saja bapak akan setuju jika Penulis mengatakan bahwa satu hal yang harus ada pada sebuah kota adalah pemerataan. Mari tinggalkan sejenak euphoria sorak-sorai pembangunan gedung dan infrastruktur lainnya yang kian kerap  di Makassar ini. Bagi penulis, persoalan pembangunan imfrastuktur harus ditemani dengan pembangunan kualitas dan kondisi manusianya. Ada tiga hal dalam kaitannya pembangunan kualitas manusia: pertama, bahwa masyarakat harus mendapatkan kualitas pelayanan kesehatan yang baik, kedua, bahwa manusia yang mengisi kepadatan kota hari ini harus dibekali dengan pendidikan yang matang dengan durasi pendidikan yang telah diatur oleh negara, dan yang ketiga adalah daya beli ekonomi masyarakat terkait kebutuhannya sehari-hari. Ketiga hal ini merupakan indicator utama terciptanya kebahagiaan secara umum dalam masyarakat. Kebijakan Yang Mendengarkan Tentu saja bagi masyarakat biasa, hiruk-pikuk politik yang senantiasa hadir di layar tv hanya sebatas tontonan pengisi rutinitas kehidupan atau menjadi tema perdebatan mengisi jeda di warung-warung kopi. Bagi kami masyarakat biasa, tak ada yang lebih mengembirakan selain anak-anak yang bisa sekolah dengan nyaman, urusan dapur yang aman, pemuda yang bisa bekerja, atau terciptanya suasana mengembirakan di jalan-jalan kota. Meskipun mendambakan pemerintahan yang ideal tanpa cela hanya menjadi angan eutopis. Tetapi sikap optimis harus senantiasa dibangun sejak pagi hari saat bangun tidur dan memulai aktivitas perkotaan. Pada titik inilah masyarakat harus menjadi alarm pengingat untuk pemimpin kita saat ini, utamanya untuk Pak Walikota bersama kabinetnya. Membangun kota Makassar harus berangkat dari kondisi masyarakat yang paling lemah. Apalagi taline politik semasa kampanye mengunakan istilah anak lorong –tempat dimana kemiskinan dan ketidakberdayaan sebagian penduduk ter-reproduksi dengan begitu intens– Penulis merindukan sebuah kebijakan yang mampu memacuh –tak hanya di wilayah arsitektur kota– pemerataan bagi kondisi social ekonomi masyarakatnya, pak Walikota sebelum mengeluarkan kebijakan, beliau bisa menjadi telingan yang baik bagi isak-tangis perempuan tua yang tak mampu membeli kebutuhan pangan, atau sesekali melakukan aktivitas pagi di ruang-ruang kumuh-miskin yang banyak tersebar di kota ini. Rumusan “pemimpin yang melayani” yang kerap hadir di deretan berita politik dari berbagai narasumber harus menjadi kata kerja aktif bagi kepemimpinan bapak walikota. Tak hanya itu, kecenderungan pembangunan yang hanya melibatkan pusat-pusat kota harusnya bisa lebih dikurangi, mengingat penduduk kota Makassar yang berada di wilayah marjinal jauh lebih membutuhkan perhatian bapak. Konsep “Smart City” sebisa mungkin tak hanya sibuk bermain pada wilayah masyarakat atas dan aktivitasnya. Penduduk miskin yang berada di wilayah pinggiran Makassar pun butuh untuk (di)smart(kan) melalui kebijakan bapak yang harusnya bisa selalu mendengarkan. Memberangkat kebijakan yang kerjakan oleh para prajurit bapak harus mampu memperbaiki keadaan yang hari ini terlihat jelas di bawa lampu-lampu jalan, lorong-lorong kota, serta wilayah kumuh miskin lainnya. Semoga cabinet baru yang telah dibentuk oleh bapak walikota dengan mengusng konsep “Smart City” bisa melakukan akselerasi bagi ketidakberdayaan masyarakat yang di masa-masa lampau hanya dijadikan lumbung suara di tiap suksesi pemilihan elit lalu kemudian di tinggal sebagai “the others”, semoga ***

Avatar

Teks Untuk (Men)cerdaskan Bangsa

oleh: Mustaqim Ibnu Adam

Mungkin pernah anda melakukan sebuah pencarian tempat, lalu kemudian dengan peta anda bisa dengan mudah melakukan akses ke tempat tersebut. Melalui keterangan dan petunjuk peta, anda dengan mudahnya akan mendapati lokasi yang dimaksud. Itu barangkali logika sederhana dari bagaimana pentingnya pengetahuan menuntun kita dari ketidakjelasan menuju kejelasan, dari remang menuju cerah.

Spirit berpengatahuan adalah sesuatu yang harus menjadi pengawal kehidupan. Dalam sebuah peradaban yang survive, ada dua hal yang harus senantiasa diolah terus menerus, pertama adalah moralitas, dan yang kedua adalah pengetahuan yang terus menerus ditransformasikan. Dua hal ini sangatlah penting karena merupakan sayap peradaban yang bisa membawa manusia ke arah yang lebih dewasa.

Dalam diri seorang subjek, pengetahuan diakses melalui sikap rasional dan nalar yang kerap bertanya-tanya. Sikap keingintahuan adalah virus yang baik bagi seorang yang ingin tahu. Berangkat dari sebuah tanda tanya kecil, kita bisa kemudian melakukan kreatiftas mencari tahu dengan beragam pola. Spirit kemerdekaan dan prinsip kemanusiaan selalu menyirat seorang subjek untuk tahu lebih banyak hal.

Daya bangkit dari kondisi normatif sebuah bangsa adalah fenomena bagaimana kemajuan peradaban harus senantiasa dipicuh. Degradasi aspek kehidupan selalu berangkat dari sikap acuh pada kondisi diri. Hal ini yang kemudian harus dipropoganda di kalangan masyarakat muda. Bagaimana pentingnya membangun peradaban dengan tradisi membaca dan sikap ingin tahu.

Akses pengetahuan yang melimpah dari berbagai teks yang ada, harus dimanfaatkan betul masyarakat untuk senantiasa memperkaya kualitas diri. Bagaimana pun canggihnya kondisi teknologi dan informatika dunia kini, masyarakat yang tidak mau membacakan akan tetap diposisikan sebagai lakon konsumtif dari mereka yang memproduksi beragam kreasi.

Di Cina misalnya –seperti yang diberitakan salah satu media online– Negara dengan peradaban yang sangat kuat ini memiliki tradisi mengantri di perpustakaanm hanya untuk sekedar meminjam buku atau mengembalikannya. Antusias masyarakat muda Cina dalam memperbahrui isi kepala membuat bangsa ini ditakuti dari banyak aspek. Hal ini dalam konteks Indonesia dengan banyaknya penulis yang berkualitas, harusnya juga memiliki semangat membaca yang tak kalah riuhnya dengan semangat saat menonton konser band terkenal.

Dalam teks suci umat Islam misalnya, perintah membaca merupakan perintah pertama dalam melaksanakan peribadatan kepada Tuhan. Sehingga secara sederhana, spiritualitas seseorang akan semakin berkualitas jika dibarengi dengan kemampuan belajar terus menerus. Karena mengingat keberagamaan selalu menemukan dinamika masyarakat yang tak tunggal. Kemampuan membaca situasi dan kondisi –atau dengan isitlah konteks, selalu ditunjang oleh literasi teks yang menumpuk, agar substansi nilai ajaran bisa terjabarkan secara utuh di masyarakat.

Peradaban dan Pengetahuan

Fenomena kita hari ini adalah miskinnya penghargaan pada literasi yang ada. Ribuan buku diterbitkan begitu saja tanpa dibaca dan seolah tak ada masalah setelah itu. Belum lagi budaya instan yang ditawarkan oleh kondisi membuat kita semakin terasing dengan teks-teks. Copy paste adalah jalan keluar yang paling gamblang yang bisa dilakukan. Sementara peradaban butuh pembenahan kualitas membaca kondisi yang semakin ruwet.

Akhirnya budaya banal semakin menjadi-jadi, mereka yang tak banyak membaca lalu sering rapu rata dengan argument tak mendasar. Inilah bagian paling menyeramkan dari sebuah masyarakat yang jauh dari sumber pengetahuan.

Penulis berkeyakinan bahwa ketersediaan teks-teks pengetahuan hari ini adalah berkah bagi mereka yang paham betul makna peradaban. Bagaimana kemudian jayanya peradaban yunani kuno kala itu dengan kukuatan retorika, logika, dan tentu saja tradisi tulis-menulis. Di belahan timur ada era kejayaan Islam di masa Bani Abbasiyyah yang melakukan penyebaran ajaran dengan memposisikan pengetahuan di aliena pertama dan utama, alhasil di masa itulah lahir pemikir-pemikir besar yang karyanya masih dibacakan sampai hari ini semisal Ibnu Rusyd, Al Farabi, Al Jabar, Al Ghazali, Ibnu Zina.

Visi para pendiri bangsa yang dengan teks proklamasi menempatkan “pencerdasan kehidupan bangsa” sebagai “the road of freedom” ada capaian paling purba bagi dimensi kemanusiaan kita. Sehingga teks-teks yang ada hari ini harusnya dinikmati sebagai hadiah kemerdekaan dari berpikir, berdiskusi, berekspresi, dan apa saja yang pernah dibungkam. Tugas kita selanjutnya adalah memposisikan teks pengetahuan sebagai alat pencerdas bangsa, yang selanjutnya bisa memacuh dan memicuh tradisi membaca, menulis, berdiskusi, dan lain-lain di kalangan penerus bangsa, semoga***

You are using an unsupported browser and things might not work as intended. Please make sure you're using the latest version of Chrome, Firefox, Safari, or Edge.