Avatar

Fadil dalam Catatan

@fadildalamcatatan

it's about saying, sometimes arguing.
Avatar

Dan tiap kalimat yang kau keluarkan, aku hanya bisa mengiyakan. Bahkan saking tepatnya, ku sampai berkata tanpa arah.

Semoga ini adalah titik balik, dan kelak akan jadi pengingat, penanda dalam hubungan kita.

Avatar

Hal yang perlu di peringati di hari peringatan kemerdekaan republik indonesia

Bagi saya, memperingati hari penting itu sama halnya dengan mengingat kembali hal-hal yang pernah dilalui selama hari penting itu diperingati. Pada hari peringatan kemerdekaan republik indonesia, saya selalu mempertanyakan kembali apa itu arti kemerdekaan bagi bangsa ini. Berikut rangkuman celoteh di benak saya yang dikemas secara naratif seperti cerita pendek hasil memperingati hari kemerdekaan:

“Kita tidak pernah benar-benar merdeka” kata seorang bocah putus sekolah yang sehari-hari dipaksa menjajakan kerupuk gendar kepada abang-abang yang sedang nongkrong a.k.a ngopi di coffeeshop kesayangan mereka.

Kerupuk gendar disebut juga kerupuk malarat di kota cirebon. Kenapa malarat (dibaca: melarat), konon katanya kerupuk ini disangrai orang menggunakan pasir karena tak sanggup membeli minyak sawit. Minyak sawit hasil pembalakan hutan di seantero negri ini memang kadang tidak terjangkau oleh kaum-kaum tertentu.

Minyak sawit itu terbuat dari buah sawit yang pohonnya mampu menyerap unsur hara secara masif. Sawit adalah tanaman yang sangat produktif jika dihitung dari valuasinya berbanding dengan hutan yang tidak lebih liquid secara ekonomis. Oleh sebab itu, sangatlah mudah bagi orang-orang mengganti hutan dengan kebun sawit. Bakar saja hutannya, karena hutan tidak lebih cepat menghasilkan uang daripada sawit.

Hutan mungkin saja valuasinya akan semakin mahal jika manusia di kota sudah mulai sesak karena polusi udara. Polusi yang tidak baik untuk dihirup manusia. Pengahasil polusi terbanyak selain smelter batubara yaitu hasil pembakaran mesin bermotor (dibaca: pembakaran hutan itu sendiri).

Mana mungkin mesin bermotor bisa punah di dunia ini? Kepentingan semua orang, khususnya di kota, tak bisa lepas dari mesin. Mulai dari kepentingan logistik, kebutuhan pabrik hingga kepentingan (yang katanya) orang penting yang menganjurankan 4 in 1 (dibaca terbalik) kepada orang yang tidak lebih penting dari mereka. Sebab orang kota itu adalah manusia paling penting diantara manusia lain yang ada diluar perkotaan.

Kota itu tempat berkumpulnya uang. Semakin besar kotanya, semakin banyak uang yang beredar di kota tersebut. Katanya kota adalah jantung peradaban. Semua kemajuan berasal dari kota. Keinginan manusia akan selalu berlipat ganda seiring kemajuan kotanya.

Di kota, semua hal bisa ditukar dengan kertas (dibaca: uang). Kalaupun ada hal yang tidak bisa ditukar dengan uang, maka mereka akan terheran-heran. Bahkan ada diantara mereka yang sampai terharu seolah-olah hal tersebut adalah mukjizat

Uang adalah ciptaan manusia yang paling digdaya. Bagaimana tidak, uang bisa membuat seseorang terhindar dari maut (dibaca: sambo). Sebaliknya, uang juga bisa membuat orang cepat mati. Mati-matian mencari uang hingga ajal lebih cepat menjemput.

Bak senjata yang ampuh, buah simalakama yang bernama uang itu sigap meracuni siapapun. Termasuk didalamnya polisi, jaksa, wakil rakyat, tukang parkir, pedagang, bandar judi, pengangguran, pemilik cafe, ojek payung, pengemis dan bandarnya.

Adapun contoh lain seperti kepala adat suku tertentu, camat, ketua bem, atau keluarga muller (termasuk keluargahartanto, bisa juga keluarga: cendana, salim, bakrie, tanjung, djojohadikusumo, tahir, dkk, dkk).

Lalu dilanjut dengan makelar tanah, arsitek, enumerator, customer service, ah, sebut saja apapun profesinya, mereka tidak pernah benar-benar merdeka. Ya, kita semua tidak pernah benar-benar merdeka.

Catatan penulis:

Cerita diatas hanyalah fiktif belaka yang kebetulan dikarang dari kejadian sehari-hari yang begitu nyata. Rangkaian kata-kata diatas tidak bermaksud untuk menjadi sindiran kepada siapapun. Jika ada orang yang merasa tersindir, maka silahkan tanya pada dirinya sendiri: Apakah anda sudah benar-benar merdeka? Ataukah kemerdekaan itu hanyalah utopia belaka?

Avatar

Baru kali ini

Ya, dengan sadar, baru kali ini saya sangat tersentuh oleh sebuah tayangan video dari kanal youtube yang mengangkat cerita autobiografi tentang seorang public figure. Beliau pernah sangat terkenal di masanya kemudian menghilang entah kemana.

Seorang public figure yang berdiri diantara gelak tawa dan sumpah serapah pemirsa. Ia adalah seorang cross-dresser, yang lumrah disebut dengan kata-kata bencong. Seyogyanya, ia dalam dirinya sendiri secara biologis sadar bahwa ia adalah laki2. Sungguh benar, kita berada di masa dimana keadilah hanya berdasarkan hipokrisi opini manusianya.

Yang saya petik dari keseluruhan kontenya adalah bahwasanya, dewasa ini “media” yang tidak lagi di monopoli oleh segelintir orang. Kemudian kanal tersebut akhirnya dimiliki oleh masing-masing individu yang bisa kita sebut media sosial. Hal itu membuka banyak tabir yang menyoal kebebasan dalam memilih. Yaitu pilihan antara bermanfaat untuk banyak orang, atau lebih banyak bermanfaat untuk diri sendiri.

Acapkali kit berfikir bahwa, kita menulis, merekam suara, membuat video dan turunanya itu melibatkan perasaan. Perasaan dimana kita sebagai makhluk sosial bertanggung jawab kepada publik ataukah kita akan mengambil keuntungan yanb sebesar-besarnya untuk kepentingan pribadi dari apa yang kita bagikan?

Cobalah akui, menulis dengan kata2 bagus, merekam suara yang bagus-bagus, memilih angel foto atau video yang bagus2. Apakah serta merta agar orang lain nyaman menerimanya? Ataukah karna kita ingin dipandang sebagai manusia yang lebih berkualitas daripada mereka yang menonton?

Ataukah memang kita peduli dengan efek yang akan terjadi setelah kita memaparkan isi pikiran kita didalam karya2 tersebut?

Tanyakan kembali, timbang kembali, edit-re-edit. Betapa kebebasan berinformasi itu menjadi semacam pisau bermata dua yang sangat tajam dan semakin tajam. Tanyakan kembali kepada dirimu sendiri.

Avatar

“Turunin kakinya dari kursi!” Dia bilang. “Aku gak mau ya pacaran sama yg kelakuanya kayak abang2an begitu!”

“Oh, jadi sekarang kita pacaran?” Aku menanggapi.

“……..”

Sebuah cerita dari salah satu hari-hari menyenangkan bersamanya.

Avatar
Perasaan kita bukan tanggung jawab orang lain, begitupula sebaliknya, orang tidak punya tanggung jawab terhadap perasaan kita.

Hal yang mesti tetap diingat walaupun pada praktiknya memang tidak sesederhana itu.

Avatar

Krisis identitas

Betapa sulit menyelami kehidupan sosial dengan banyak perbedaan. Tapi katanya perbedaan itu suatu anugerah. Ya, semua tergantung cara pandang. Maka di sisi lain ada yang menganggap jika perbedaan itu memang takdir. Harus ada hal yang dikorbankan untuk menjadi seseorang diantara yang juga berbeda.

“Bukankah kita diciptakan berbeda agar kita mempelajari satu sama lain?” Hakikat perbedaan itu sendiri memang agar tidak sama. Kesel kan, tapi ya memang begitu adanya. Hal yang lekat dan abadi dalam kehidupan manusia salah satunya adalah perbedaan. Tidak mungkin tidak berbeda.

Satu bangsa, beda bahasa.

Satu bahasa, beda cara bicara.

Memang kita itu berbeda, tapi kita sama-sama manusia. Kita sama-sama harus makan, tapi makanan kita berbeda. Kadang cara pandang kita berbeda, tapi kita tau mana yang sama-sama baik dan buruk. Kita sama-sama ingin kembali ke masa lalu, tapi masa lalu kita berbeda. Kita sama-sama mencintai, tapi kita berbeda. Lalu kita itu apa? kamu siapa? Aku itu apa? Siapa?

Avatar
“Rindu itu semacam kata kerja pikiran, bagai memupuk harapan di sela-sela kemampuan manusia berekspektasi. Mengerami dan mengekspresikan rindu tak ubahnya menandur asa hingga pada akhirnya harus memilih antara bahagia dan kecewa. Karena hakikatnya tak ada keniscayaan dalam rindu dan harapan sebelum segalanya terwujud, entah karena paksaan ataupun keberuntungan belaka.”

Bajingan, asu!

Avatar

Tidak seperti biasanya, kali ini kepulangan saya ke kampung halaman terasa begitu singkat. Mungkin karena pikiran saya yang masih tertambat di perantauan, karna belum saja saya genap sehari di rumah sudah ada panggilan masuk yang mempersoalkan pekerjaan.

Rasanya saya ingin pulang saja, tapi melihat tanggung jawab disana juga begitu besar hal itu hanya jadi omong kosong belaka.

Mungkin ini sinyal, betapa pentingnya saya kembali ke kampung halaman lebih sering dari tahun-tahun berikutnya. Karna seminggu disini saja bagi saya hanya terasa semalam. Banyak orang yang belum saya temui, banyak makanan yang belum saya cicip, banyak tempat yang belum saya sambangi, banyak, banyak hal.

Tulisan ini saya buat sesaat sebelum menginjakan kaki keluar dari rumah di kampung halaman. Betapa berat rindu itu jika diresapi. Hanya saja, hingga hari ini sudah terhitung 12 tahun lalu saya tidak pernah bisa lagi meneteskan air mata, bahkan untuk hal sesentimentil ini, pun.

Avatar
“Ketika kamu memberi kepedulian kepada orang di sekitarmu, maka kepedulian itu akan kembali padamu dengan cara yang tidak kamu duga”
Kata temen aing, semalem.
Avatar

Peduli Lindungi

Mengutip judul aplikasi yang begitu telatnya dibuat dan digaungkan pemerintah, aing mau bercerita soal kepedulian orang-orang di sekitar aing.

Ketika kamu memberi kepedulian kepada orang di sekitarmu, maka kepedulian itu akan kembali padamu dengan cara yang tidak kamu duga” Kata temen aing, semalam.

Seringkali aing mulai bosen mendengar komentar orang (lagi) tentang kehidupan pribadi aing. Kirain suara sumbang itu bakal hilang pas aing udah nyentuh kepala tiga, tapi nyatanya, makin sering dan banyaaak (pake banget) komentarnya. Mantap, sayang banget orang-orang tu sama aing. Saking sayangnya, marahnya mereka sudah menyerupai keluarga sendiri.

Satu sisi, namanya manusia pasti ada keselnya ketika diberi komentar negatif, secara spontan. Tapi setelah dipikir lagi ya mungkin itu bentuk sayang/care nya mereka terhadap kehidupan aing. Mereka melakukan tugas sebagai makhluk sosial, memastikan lingkaran sosial mereka bahagia menurut pandangan mereka. Sekali lagi, ya, gitu ya.

Sama halnya dengan kritik, ada kritik yang membangun dan ada yang menjatuhkan. Menurut aing komentar mereka ada di tengahnya. Karena di satu sisi mereka mengungkapkan komentar tersebut karna peduli, tapi di sisi lain mereka gak menghargai pilihan aing untuk menjadi aing yang sekarang.

Tapi ya karena mengendalikan orang lain itu lebih sulit daripada mengendalikan diri sendiri, yasudah, sesuaikan lah dirimu. Gak simpel, tapi lebih mudah dijangkau dan diperjuangkan.

Avatar

Biasakan Tenang

Hidup tu emang roller coaster ya, kemaren bisa sempurna banget sejak bangun tidur, sarapan, terus ngopi pagi sama doi. lalu siangnya kerja panas-panasan sampe pulang malem, eh pas sampe rumah hujan! What a day, ceunah. Betapa bersyukurnya aing malam itu, tidur nyenyak deh aing. Cihuy.

Tapi keesokan harinya, tepatnya hari ini, neraka dunia dimulai dengan kegagalan riset produksi: hampir 10 liter kopi coldbrew terbuang sia-sia karena setitik debu yang bawa bakteri, kemudian berkembang di permukaan liquidnya. Buang, buang semua kegagalan, gapapa, ngelus dada, namanya juga riset butuh pengorbanan. Move on, ulangi risetnya.

Tapi, belum selesai sampai situ, hari ini aing liat laporan keuangan. Rasanya beban perusahaan di taun depan kok bakal gede banget. Padahal sekarang omset lagi moncer, tapi kalo diitung dari nett profit dan diproyeksikan hingga pertengahan taun depan, gabakal cukup buat pengembangan. Di titik itu kami ingat prinsip bahwasanya kami males kalo mesti berhutang, bahasa kerennya sih buka investasi. Tapi kami coba tahan gimana caranya gak ngutang dulu, tapi profit bisa nambah berkali lipat.

Sekelumit cerita dari masa kini, yang mungkin bakal aing baca di masa depan sebagai reminder. Kalau kalian nunggu kesimpulan dari cerpen diatas aing saranin jangan. Karena ga ada, hahaha.

Avatar

Woke up without you

And so long

No chance for us this time to stay

Now and forever

We had to face for all the sake that weve been through,

theyre gone awaaay

Honestly theres so much feeling inside me

That no one can never imagine

How hard their got stumble

Cause i let them carry ooon

- paraloka #3, 2021

Avatar

Being ordinary

Dream are intention

Forced lullaby’s that keep haunting

Came while you sleeping

In the middle of the dark

Why it should be damned

Everythings made to gave them

Something meaningful

Its not over yet, not yet

Calm down,

Hold on for a second

Where everyone pushed you up

Imagine theres an open arm to lay back

Keep going,

The truths are stay

Probably just hiding behind the storm

There must be ease after the chaos

Be patience my child

There's nothing wrong with making hope

- Paraloka #1, 2021

Avatar

Ternyata gue bisa capek juga dengan keadaan. Buat nulisin unek-unek aja gak mampu gue. Bangsat.

Avatar

Ketika tidak ada lawan dialog mau di bawa kemana ide-ide ini?

Avatar

Fasisme ada di dalam diri kita, wahai tuan dan nona.

[Workshop | 15:30 | 7 April 2016] Kami terlibat percakapan singkat dengan seorang pendidik dan researcher di bidang sejarah. Pengalamanya di bidang tersebut tidak kurang dari 15 tahun, khususnya mengenai kasus 1965. Saat ini dia adalah seorang bipartid, entah apartid atau mungkin multipartid antara negara indonesia dan australia. Seorang wanita berdarah bali yang mendapati kesulitan dalam berkewarganegaraan. Pasalnya, dia akan menikahi pasanganya yang berbeda kewarganegaraan. “Aku tidak peduli orang berkata apa, demi menjalani kehidupan berkeluarga jika memang aku harus menanggalkan kewarganegaraan kenapa tidak?” Begitu pungkasnya. Aku bersilang tangan.

[Warung Kopi | 19:58 | 5 April 2016] Segerombolan wanita muda datang ke tempat kami. Dua diantaranya berkulit putih dan berperawakan beda dengan etnis indo-china. Kemudian kami bertanya apakah mereka ingin minum kopi, lalu mereka menjawab “ya”. Kemudian kami menyeduh kopi sesuai pesanan mereka. Ah ternyata, dua orang wanita cantik itu tidak dapat berbahasa indonesia.

Mereka bilang “kami berasal dari australia sana, melbourne tepatnya.” Lalu kami bercakap-cakap, tidak banyak tapi sedikitnya kami tahu apa maksud mereka mendatangi warung kecil di bilangan jendral sudirman yogyakatra itu. “Bisakah kamu mengajari kami tentang bagaimana bebisnis kopi yang baik?”.

[Kurir | 17:21 | 7 April 2016] Cuaca cerah sekali siang ini. Jarum jam menunjukan pukul dua siang. Aku lupa, seharusnya siang ini aku mengirim sebungkus kopi pesanan dari kabupaten cepu. Tak lama kemudian aku bergegas mengambil barang lalu berangkat ke kantor kurir pengiriman. Syukurlah jadwal terakhir pengiriman masih sempat aku kejar. Setelah itu aku kembali ke workshop tempat aku bekerja. Rupanya perempuan bali itu pun sudah berangkat menuju workshop dari kediamanya. Rasanya akupun harus segera ke workshop, dia bukan perempuan yang terbiasa dengan keterlambatan pikirku.

[Hangspot | 23:42 | 6 april 2016] “Kita itu berawal dari jalanan! Semua sama dan setara disini, tidak ada bos atau karyawan. Jadi kamu juga mesti merasa memiliki, anggaplah tempat ini miliknu sendiri, ini panggungmu bung!!” Begitu kiranya dia berucap, memang ada benarnya walaupun ia sedang dalam pengaruh oplosan cola-whisky. Begitulah ia, kawan laki-lakiku yang kerap mendadak bijak ketika sedang mabuk.

[Kost | 02:12 | 8 April 2016]

“Kau mungkin tak selalu mampu memaksakan kehendak. Jika memang ia lupa, biarlah begitu jangan dipaksakan. Entah itu janji atau tuntutan, kau sudah berusaha sejauh ini. Mencoba mananamkan secercah cahaya untuk menerangi keinginanya, walau ia lupa. Dia hanya seorang manusia, begitupun dirimu.”

Sajak itu terngiang di dalam kepalaku, seolah terus mencoba menenangkan diri yang gundah. Semua orang tahu tanggal tujuh, ya ini sudah hari kedelapan di bulan april. Langit sudah terlalu gelap, sebentar lagi bulan dijemput cahaya mentari. Biarlah ia melanglangbuana, terbang kesana-kemari demi menghidupi keluarganya. Melayani mereka yang duduk di kursi terbang itu. Kau tahu ia senang sekali menjalani mimpinya keliling dunia, walau terlihat instan. Hahaha, instan betul seperti kata ibu dosen kemarin. Tapi aku mungkin mencintainya. Kau hanya terlalu tunduk pada orbital frontal cortex dalam otakmu. Akui saja. Wahai aku disisi lain.

[Workshop | 16:17 | 7 April 2016] Wanita muda itu kemudian menanggapi obrolan tentang bisnis yang kami jalani. “Anak muda umur 20-30 zaman sekarang itu adalah generasi instan. Aku berumur 34 saat ini, 10 tahun tenggat umur kita. Apakah kau merasakan hal yang sama? Bahwa generasi kita serba instan?”. Kami tak mampu menjawab, kami sadar itu sebuah tamparan buat kami. “Kami punya pekerjaan yang settle, dengan itulah kami menggali jam terbang karena kami tahu pekerjaan kami tidak bisa didapat hanya dengan membaca dan menonton video” balas kami.

“Lalu, untuk apa sebenarnya kamu belajar berbisnis kopi kepada kami? Kamu bahkan tidak memiliki background apapun di bidang ini?“ jelas kami.

“Apa kiranya yang bisa aku lakukan disana dengan puluhan prestasiku di negri ini? Menjual sejarah kita kepada orang yang belum tentu mau mengetahuinya?” Jawabnya. “Point-nya adalah, jika kalian merasa bangga dan superior dengan titel profesi kalian itu salah. Sekarang, saat ini, saya bingung. Di australia tidak ada pekerjaan yang tidak dihargai. Maka aku berinisiatif untuk mempelajari apapun diluar konsentrasi bidangku.”

“Sekarang semua orang selalu bangga jika anaknya berhelat ke luar negri entah apa tujuanya. Tapi tidak dengan ibu saya” kami mulai mengerutkan dahi tanda tidak mengerti.

“Nak, untuk apa kiranya kamu berpindah ke sebrang sana. Disini kau dihormati, seorang yang punya dedikasi terhadap ilmu. Bahkan kamu mendidik murid-murid kulit putih itu. Sedangkan disana kau tidak pernah tahu harus menjadi apa” ia menghela nafas. “prestige, right?” Aku bertanya. “You said that”

“Kalian tahu penyakit klise yang sekarang diidap generasi muda? Bahkan aku pun merasa aneh melihat kenyataanya begitu, malah generasi tua yang cenderung diam. Mereka anak muda, berubah menjadi agen-agen yang sombong, sedikit saja mereka tahu ilmunya dengan serta merta mereka bisa berkoar-koar. Siapa yang diuntungkan? Tidak ada, mereka merugi!”

Kami hanya sanggup mengangguk

“Kalian tahu, ketika kalian berbicara tentang nasionalisme buta kemudian kalian merasa paling memiliki lalu tercipta superioritas atas dasar hal itu. Hati-hati, kalian berubah menjadi seorang facist! Kau bisa menggunakan apapun untuk menjual produkmu, tapi ingat, idealisme hanyalah alat”

Kami berubah menjadi mahasiswa sesaat, lalu kami bertanya “Apakah fasisme yang kau katakan sama halnya dengan mereka para ekstrimis berkedok agama? Menjual agama untuk kepentingan kelompoknya sendiri? Merekalah yang jadi alasanmu berpindah ke negara lain agar dapat menikahi pasangan wanitamu, bukan begitu?”

Ia hanya mengangguk, raut mukanya tidak berubah. Begitu mengesankan. Hal yang membuat aku berpikir dua kali untuk mengalah pada sisi melankolisku. Ya kawan, rona aura perempuan ini begitu tegar.

“Sekarang kalian mengerti untuk apa aku rela pulang pergi aussie hingga akhir tahun nanti?” Tegasnya mengakhiri percakapan.

[Kost | 04:10 | 8 April 2016]

Selamat jalan dan terima kasih wanita lesbian penjelajah sejarah, selamat berbahagia denganya nanti. Dan kau, hei kau di timur sana, aku rindu ingin bertemu. Lekas pulang, aku lelah berpura-pura tegar. Apa aku harus meninggalkan semuanya dan berkeliling dunia bersama denganmu? Seperti apa yang mereka lakukan saat ini?

@fadildalamcatatan April 2016

Avatar

Krisis identitas

Betapa sulit menyelami kehidupan sosial dengan banyak perbedaan. Tapi katanya perbedaan itu suatu anugerah. Ya, semua tergantung cara pandang. Maka di sisi lain ada yang menganggap jika perbedaan itu memang takdir. Harus ada hal yang dikorbankan untuk menjadi seseorang diantara yang juga berbeda.

“Bukankah kita diciptakan berbeda agar kita mempelajari satu sama lain?” Hakikat perbedaan itu sendiri memang agar tidak sama. Kesel kan, tapi ya memang begitu adanya. Hal yang lekat dan abadi dalam kehidupan manusia salah satunya adalah perbedaan. Tidak mungkin tidak berbeda.

Satu bangsa, beda bahasa.

Satu bahasa, beda cara bicara.

Memang kita itu berbeda, tapi kita sama-sama manusia. Kita sama-sama harus makan, tapi makanan kita berbeda. Kadang cara pandang kita berbeda, tapi kita tau mana yang sama-sama baik dan buruk. Kita sama-sama ingin kembali ke masa lalu, tapi masa lalu kita berbeda. Kita sama-sama mencintai, tapi kita berbeda. Lalu kita itu apa? kamu siapa? Aku itu apa? Siapa?

Sponsored

You are using an unsupported browser and things might not work as intended. Please make sure you're using the latest version of Chrome, Firefox, Safari, or Edge.