Avatar

katajiwa

@majalah-katajiwa-blog / majalah-katajiwa-blog.tumblr.com

Majalah Kebudayaan Membuat Sastra Lebih Berjiwa Twitter | Wordpress | Majalah Elektronik Katajiwa | Puisi (function(i,s,o,g,r,a,m){i['GoogleAnalyticsObject']=r;i[r]=i[r]||function(){ (i[r].q=i[r].q||[]).push(arguments)},i[r].l=1*new Date();a=s.createElement(o), m=s.getElementsByTagName(o)[0];a.async=1;a.src=g;m.parentNode.insertBefore(a,m) })(window,document,'script','//www.google-analytics.com/analytics.js','ga'); ga('create', 'UA-52118590-1', 'tumblr.com'); ga('send', 'pageview');
Avatar

Camouflage (Percik 19, Selesai)

Dari Redaksi Selain majalah Katajiwa, mulai beberapa waktu lalu Langit Sastra telah menerbitkan produk terbaru yaitu serial berjudul “Camouflage”. Camouflage ditulis oleh salah seorang anggota komunitas yang memiliki nama pena Anusapati Cannabis. Camouflage akan terbit setiap Jumat pukul 19.30 WIB setiap pekan. Selamat menikmati bagian terakhir dari serial ini. Semoga serial ini menghibur anda. Kami sangat berterimakasih jika ada dari teman-teman pembaca serial ini yang sudi memberi masukan, saran, atau apapun terkait kisah ini.  Salam.

[Apartemen Frederik]

Frederik mematikan televisi yang menyiarkan acara wawancara mengenai nasib sebuah sekolah anak jalanan yang juga ikut tergusur. Miranda ada di acara tersebut dengan kalung berlian dan gelang emas miliknya. Dari mulutnya meluncur harapan-harapan palsu. Mirip kebohongan Anna Karenina dalam karya Tolstoy. Perempuan bangsawan yang tidak dapat dipercaya karena terlalu banyak membuang muslihat dan omong kosong. Perempuan selalu mempunyai sisi busuk. Sekali penipu tetap menipu. Diam-diam di dalam hati, Frederik mengharapkan agar Maminya meninggal sia-sia seperti Anna.

Ia menukar saluran televisi dan merebahkan tubuh. Sejenak kemudian, Frederik bangkit dan menyalakan album Hujan Bulan Juni milik Ananda Sukarlan. Ia kembali merebahkan tubuh di kasur. Menatap langit-langit dalam diam.

Sesosok tubuh muncul melalui pintu. Sudah menjadi kebiasaan bahwa setiap perempuan itu akan datang, Frederik tidak pernah mengunci pintu.

Perempuan itu bersijingkat. Memandang tubuh Frederik.

Mereka tersenyum. Frederik membelai wajah Murni. Perempuan itu menatap wajah yang pertama kali tidur di sampingnya ketika berusia tiga belas tahun.

“Ibu,” ucapnya sambil menciumi Murni.

“Kau terlalu lelah Ibu. Mari bermain bersama anak lelakimu,” Frederik melanjutkan aksinya. Anak itu dapat membaca gurat-gurat kelelahan hidup yang bertumpuk di sudut mata Murni. Murni kembali merasakan semangat hidupnya kembali. Tamparan kehidupan belakangan ini melewati batas kemampuannya. Sebutir air mata jatuh. Anak kecil di depannya kini telah dewasa.

Frederik menatap wajah Murni.

“Tidak, apa-apa. Aku hanya merasakan bahagia,” Murni menenangkan suasana.

Frederik menyeka air mata itu. Ia kini telah mampu menjadi sandaran bagi duka yang merundung kehidupan Murni. Murni menggenggam erat bahu Frederik  yang kokoh. Mencari kekuatan di sana. Frederik menghormati Murni lebih dari siapapun. Tidak pernah menghina ataupun melecehkannya. Bahkan ia, tidak pernah mengoceh mengenai sikap Miranda yang buruk kepada orang-orang meski ia membencinya.

Murni mempererat cengkeramannya. Ia menarik napas dalam. Dulu Murni memang menolong Frederik, namun kini Frederik yang menyelamatkannya setelah pukulan bertubi-tubi terhadap kehidupan. Bayangan saat pertama kali ia menjadikan Frederik sebagai anak sekaligus kekasih berkelebat. Saat itu Frederik membawanya ke sebuah apartemen yang baru ia sewa. Aroma pertemuan pertama mereka berdua segera menyeruak.

“Maukah kau menjadi Ibu juga kekasihku,” tangan Frederik memperlihatkan dompet berisi uang.  Murni tidak dapat menyembunyikan rasa kagetnya. Bagaimana mungkin seorang remaja di usia yang tidak jauh dengan anaknya sendiri mampu berbuat seperti itu. Akan tetapi, Murni melihat ada penderitaan dalam di sorot mata yang kacau. Perempuan itu tersenyum menyembunyikan rasa tersontak. Ia meletakkan dompet itu kembali ke dalam saku Frederik.

“Anakmu telah mencuri perhatian Mami. Aku juga butuh seorang Ibu, tapi aku juga butuh kekasih. Semua ini sulit dijelaskan,” bibir Frederik bergetar. Ia lalu memeluk Murni dengan kuat. Air matanya mulai meluncur.

“Tolong ajari aku. Kau butuh uang bukan? Aku bisa menolongmu, aku tidak memiliki siapa-siapa.”

Frederik tidak mampu menahan rasa gundah. Ia rindu kasih sayang seorang ibu juga tidak mengerti kenapa tiba-tiba jiwanya memiliki hasrat yang lain terhadap perempuan. Murni terdiam. Bagian lain dari dirinya tidak dapat mengelak. Bukan tentang uang. Ini mengenai wajah seorang lelaki kecil yang membutuhkan pertolongan. Murni ingat betul hari pertama ia mengajari arti menjadi lelaki kepada Frederik. Ia menelusuri labirin kelam yang mengantarnya ke dalam lorong yang pengap dan sembab. Rasa kasihan Murni telah menyiram energi baru untuk menumbuhkan bunga-bunga di labirin itu. Kelembaban sirna. Di dalam dirinya sendiri, Murni seakan mendapatkan kesenangan hidup yang lain. Ia menyebutnya bahagia. Sesuatu yang sublim dan selalu dicari-cari manusia. Murni merasa menjadi lengkap setelah bertemu Frederik. Bukan hanya Frederik yang membutuhkan Murni. Murni pun membutuhkan dirinya.

Kau telah menjadi lelaki anakku.

Kalimat yang ia ucapkan bertahun-tahun lalu terus mengiang di ingatan Murni.

Perempuan setengah baya itu masih ingat ketika Frederik menangis sejadi-jadinya di pangkuannya. “Maafkan aku, aku tidak bermaksud memaksamu.”

Aku hanya ingin Ibu yang tulus, seperti yang kulihat saat matamu memandang anakmu.

“Aku mengerti. Aku mengerti.”

Saat itu, Murni membawa Frederik kecil ke pelukannya kembali.

“Kau benar-benar mencintaiku bukan karena uangkan? Jika kau butuh uang, aku bisa memberimu kapan saja. Bermainlah terus ke sini. Kau boleh melakukan apa saja.”

“Aku perlu uang, tentu. Tapi, ini semua tidak benar-benar karena uang.”

“Kau telah membantuku, terima kasih.”

“Frederik, bawa aku menjadi perempuan dan ibumu selamanya,” Murni meracau tidak karuan. Ia berpegangan erat pada bagian apapun dari tubuh Frederik yang mampu digapainya. Energinya menjalar kembali hingga ke ujung tubuhnya. Penderitaannya pucat dan tersungkur di tempat terkelam. Murni merasa menang. Kali ini ia kembali menjadi pejuang.

Frederik menatap langit-langit. Murni setengah terlelap setelah menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Meski Frederik tidak pernah mengatakan apapun, Murni tidak pernah yakin dengan bentuk tubuhnya sendiri. Selimut telah menjadi semacam pelindung tetap bagi Murni.

“Mengapa kau dulu mau membantuku, benar-benar perbuatan tolol. Aku yang sekecil itu telah berani memaksa untuk tidur dengan kau,” Frederik terkekeh.

“Cinta memiliki banyak wajah, Nak!” Sambung Murni sambil menyalakan Hotel California milik Eagle setelah mengenakan kemeja lengan panjang Frederik yang dipakai sekenanya.

Frederik tersenyum kecil mendengar potongan karya Tolstoy yang mampu meluncur dari bibir Murni. Murni tersenyum seakan membaca kegelisahan itu.

“Perpustakaanmu telah meminjami banyak buku untuk anakku. Salah satunya Anna Karenina,” Murni kembali membaringkan tubuhnya di sebelah Frederik.

“Pendapatmu?”

“Tolstoy si Bangsawan mungkin hendak membela kaum pria dengan menjadikan tokoh perempuan seperti Anna sebagai pelaku perselingkuhan.”

“Sepertinya aku melihat ramalan Tolstoy tepat di depan mataku.”

Murni tersenyum.

“Anna tidak berselingkuh dengan pria yang lebih muda,” Murni membalas sembari meraih sebuah buku dan pensil dari atas meja yang terletak tepat di sisi tempat tidur.

“Hei, kau sedang mencoba membalikkan keadaan dengan mengatakan bahwa perselingkuhan bukan hanya masalah perempuan tapi juga lelaki ya?” Frederik tertawa.

“Karena itulah kita ada di sini. Sudah saatnya Tolstoy merevisi idenya Nak!” Murni mengacak-acak rambut Frederik dengan tangannya.

“Ngomong-ngomong soal Anna Karenina. Kau ingat permainan kata yang dimainkan Kitty dan Levin di novel itu?”

“Tentu saja,” Frederik menyambut.

“Tidak terlalu sulitkan. Hanya menerka kata apa yang diwakili setiap huruf pertama.”

Murni lalu menulis beberapa kata.

KSM

“Kita,” Frederik tampak berfikir.

“Suka?”

Murni menggeleng.

“Saling?”

Murni menggangguk.

“Ah ya, kita saling membutuhkan.”

Ibu Fiska bertepuk tangan kecil.

Giliran Frederik.

AMSKJI

“Aku mencintaimu...”

“Seperti seorang kekasih juga ibu?”

“Luar biasa,” Frederik tersenyum senang. Mereka berdua terdiam.  Tidak hendak melanjutkan permainan itu lagi.

“Ternyata permainannya tidak semenarik seperti yang diceritakan di dalam novel ya, ha ha ha,” Frederik seakan membaca pikiran Murni.

Murni tertawa.

“Kau harus tahu sekali lagi bahwa aku...”

“Tidak tentu saja tidak. Aku hanya merasa bahwa diriku berharga setelah aku berguna bagi orang lain, kau sama sekali tidak memaksa apa-apa,” potong perempuan itu berbalik menatap langit-langit.

Kemudian hening mengambil tempat.

“Apa kau bisa melihat laut?”

“Jangan bercanda. Film itu lagi. Apa kita harus menontonnya bersama sekali lagi?”

“Jep Gambardella.”

“Fiska juga pernah menonton film itu ketika ia berkunjung di perpustakaan. Mungkin ia menyangka bahwa film itu adalah koleksi yang disediakan Miranda. Padahal, aku yang menaruhnya di sana. Sepertinya sudah menjadi takdirnya untuk juga menonton film itu, ha ha ha...”

“Kegilaan dan penderitaan jiwa Jep Gambardella yang membawanya dapat melihat laut di langit-langit rumah yang putih,” sambung Murni.

“Aneh ya?” Frederik bergumam.

“Memang aneh. Mungkin hal itu memberikannya kesenangan.”

“Seperti juga kita yang melakukan hal ini berulang-ulang.” Ujar Murni menyadari kesamaan dirinya dengan Gambardella.

“Ouuuu, kau merasakan kesenangan?” Frederik kembali menggoda.

“Paling tidak, uangmu telah membantuku membesarkan Fiska.”

“Kau tidak menyesal, seperti ketika kau tetiba menghilang setelah suamimu meninggal. Waktu itu aku juga merasa bersalah sekali.”

“Ada hal-hal yang akhirnya hilang bersama waktu.”

Frederik menarik napas. Dadanya yang bidang berdegup pelan. Murni meletakkan tangannya di dada itu menjalan-jalankan jari telunjuknya. Frederik membiarkannya.

“Sepertinya Ibu mulai tertarik dengan tubuhku? Jangan bohong. Aku bukan lelaki kecil lagi,” goda Frederik.

Murni tersenyum. Ia memandangi jemarinya yang masih dimain-mainkan mengikuti pola tertentu di dada Frederik yang bidang.

“Relax said the Night Man, We are programmed to receive,” Frederik mengikuti lirik lagu yang dinyanyikan suara khas Don Henley, vokalis Eagle.

“Fiska mencintaimu bukan?”

“Ya, aku tahu. Ia hanya belum mengerti bahwa segalanya tak pernah penuh dengan cinta saja,” Frederik menjawab ringan.

“Wajah cintaku berbeda dengan dirinya. Tolstoy benar, cinta memiliki banyak wajah.”

“Ia akan sembuh dengan sendirinya dan mencari lelaki lain.”

“Kau kelihatan yakin sekali, Nak.”

“Tentu saja. Cinta adalah hal yang logis. Dua orang berdekatan mengaku gila ketika dimabuk cinta. Begitu waktu memisahkan, perasaan itu jadi hambar. Ini hanya manipulasi sejumlah saraf dan hormon di tubuh manusia.Dan aku melihat bahwa kepiawaianmu mampu memanipulasi hormon-hormonku. Mungkin aku hanya dapat merasa penuh bersamamu, Ibu.”

Murni tersenyum seperti biasa. Ia amat menyukai kegiatan mendengarkan analisis Frederik. Pria itu seakan mampu membawa Murni ke dunia yang jauh, sekaligus menyenangkan.

“Kita harus menjaga Fiska bukan?”

Murni mengangguk.

“Jika kau membiarkan Fiska mencintaimu, kelak ia pasti akan terluka,” sambung Murni.

“Fiska tidak boleh terluka, ia harus menjadi anak baik, sejak kecil aku dan Arlan bekerja keras untuk menciptakan lingkungan dan situasi senormal mungkin.”

Frederik tersenyum.

“Kau benar-benar merindukan Ibu?” Tanya Murni.

“Tidak, hanya jiwaku yang berdarah kelaparan mencari Ibu,” Frederik terkekeh.

“Kadang kita tidak bisa terlalu banyak menuntut.”

“Tolstoy telah mengajarkan bahwa Anna Karenina yang terlalu banyak menuntut akhirnya mati dalam kerapuhan.”

Frederik terkesima. Hubungan bertahun-tahun telah membawa perubahan dalam beberapa cara berpikir Murni.

“Mau mendengarkan Camouflage lagi?”

Murni mengangguk. Frederik bangkit lalu mengambil selimut untuk menutupi tubuhnya yang tidak mengenakan pakaian.Tangannya tampak kerepotan memegang dua sisi selimut itu di depan perut. Murni tertawa geli melihat kaki-kaki Frederik yang terpaksa berjalan dengan langkah pendek karena dibelit oleh selimut.

Frederik duduk di depan grand piano. Ia menatap murni sejenak. Nada-nada itu berdentang melewati birama. Rendah lalu meninggi. Tidak lupa meninggalkan nada yang membuat jiwa nelangsa. Telinga Murni telah dijadikan sebagai pengukur keindahan lagu itu dulu ketika Frederik masih mengotak-atik notasi-notasi yang abstrak.

Murni menatap langit-langit kamar. Kali ini ia menatap laut di loteng itu. Ada laut biru di sana.  Ada suaminya yang tengah berlayar. Dari kejauhan Murni berteriak kepada Mas Arlan.

Aku telah mengeluarkan anak kita dari tempat itu. Aku tidak pernah mengkhianati janji kita.

Murni terdiam mendengar alunan nada Camouflage. Manusia yang berubah dan berpindah. Tak pernah tertebak. Tidak ada yang tahu kegelisahan masing-masing kecuali diri mereka sendiri. Hidup kadang hanya menjadi penyesuaian yang dipaksa. Betapa susah menjadi merdeka di antara dinding-dinding kokoh yang mengukung. Siapa saja dapat bersembunyi di dalam jubah yang diinginkan. Kehidupan memaksa segalanya agar manusia dapat bertahan.

Murni menarik napas. Ia sendiri telah menjadi kamuflase itu. Ia telah menjadi kekasih Arlan, kekasih Frederik, Ibu bagi Fiska. Juga Ibu bagi Frederik.

Nada-nada piano Frederik mulai merendah lalu sunyi.

“IBU!!!”

Fiska terpekur dengan apa yang ia lihat dari depan pintu. Buket bunga yang sebelumnya ia genggam erat telah lepas. 

Avatar

Camouflage (Percik 18)

Dari Redaksi Selain majalah Katajiwa, mulai beberapa waktu lalu Langit Sastra telah menerbitkan produk terbaru yaitu serial berjudul “Camouflage”. Camouflage ditulis oleh salah seorang anggota komunitas yang memiliki nama pena Anusapati Cannabis. Camouflauge akan terbit setiap Jumat pukul 19.30 WIB setiap pekan. Selamat menikmati bagian kedelapanbelas dari serial ini. Selamat membaca. Salam.

[Senen, Jakarta Pusat, 2014]

Anak-anak menjerit melihat rumah mereka dihancurkan petugas. Tripleks-tripleksrapuh itu tercabik-cabik dalam hitungan detik. Nenek Birah menangis sambil memeluk kursi sofa kesayangannya. Seorang pemulung dengan gerobak membawa barang dan anak-anaknya. Murni sudah berada di tempat itu sejak Subuh. Begitu bangun, ia bergegas menuju kawasan penggusuran. Minin, pengemis perempuan yang selalu pulang dan ditampar suami diam mematung. Mira menganggkut satu karung besar berisi legging barang dagangannya sembari menyeret bocah berusia lima tahun.

Kru Prapto tersenyum senang merekam kejadian itu.

“Hello, hello, the police is bleeding,” Prapto masuk ke dalam sorotan kamera seolah-olah sedang panik menelpon untuk mengabarkan polisi yang terluka terkena lemparan batu beberapa warga yang mencoba melawan. Latar kejadian yang kacau juga menjadi sorotan kamera.

Buk! Buk! Buk!

Yudha dan Jack yang berupaya mengajak Kong soleh, si tua penjaga mesjid yang tidak bersedia beranjak, tidak dapat menghindar dari gebukan polisi. Kursi roda Kong Soleh sedikit penyok dihantam tongkat yang digunakan aparat.

Prang. Prang.

Preman-preman lain balas memukul polisi untuk memberi kesempatan Yudha dan Jack berlari menjauh. Darah senasib secara sublim membuat mereka yang selama ini terlihat tak peduli menjadi saudara.

Kong Soleh mereka seret sekenanya.

“Bego mau mati lu!” Yudha masih tidak mengerti mengapa ia melakukan semua ini. Ia hanya tidak mau orang-orang yang berada di sekitar kehidupannya menghilang sia-saia. Lukisan hidup yang ia warnai sendiri di tempat ini mulai dikoyak-koyak.

“PRAPTO TAIK!!” darah Jack mendidih melihat kelakuan Prapto. Ia maju dengan cepat melempari Prapto dengan batu. Pergumulan Prapto dan Jack tidak dapat dihindari. Dua pukulan Jack mematahkan hidung Prapto. Kamera di tangan lelaki itu dibanting Jack hingga pecah. Kru film Prapto berusaha melerai. Yudha bersiap-siap mengantisipasi jika keadaan memburuk.

Murni menitikkan air mata melihat seorang anak kecil di dalam gerobak. Seperti dirinya dulu sekali. Mereka semua akan terpecah ke berbagai tempat. Mungkin sebagian menuju kawasan Ancol, Kampung Melayu, atau menggelandang dan tidur di bawah jalan tol hingga tempat tinggal baru ditemukan.

“Mur, aku pergi dulu,” Mira menyandang sekarung legging. Mereka berpelukan.

“Ke mana?”

“Ancol, deket pelabuhan.”

“Yumii!” Mira memeluk Yumi.

“TAIK,” Jack berteriak melihat semuanya. Seluruh bangunan mulai rata. Hatinya getir. Dilihatnya Prapto terduduk tidak berdaya. Pipi dan mata Prapto lebam. Hidungnya berdarah.

Nenek Birah menangis keras saat petugas menganggkat tubuhnya keluar rumah dan menjatuhkan dirinya dekat kerumunan begitu saja.

“Biarin gue mati! Biarin,” teriaknya. Di tangannya, ia masih memegang piring kesayangan. Sendok yang ia genggam telah terjatuh. Sembari meraung, Nenek Birah merangkak mengambil sendok yang telah menyuapi makanan ke lidahnya bertahun-tahun.

Hanya Susi yang diam menyaksikan segalanya.

Murni memandang satu persatu warga yang pergi serta yang masih berdiam menyaksikan kenangan mereka dihancurkan. Ia menatap bekas petakan tempat kenangan bersama suami dan anaknya yang kini juga telah lebur.

Anakmu telah berhasil dikeluarkan dari sini Mas. Selamat. Perempuan itu menyeka air mata lalu beranjak pergi. Setidaknya ia telah melakukan sesuatu.

Avatar

Camouflage (Percik 17)

Dari Redaksi Selain majalah Katajiwa, mulai beberapa waktu lalu Langit Sastra telah menerbitkan produk terbaru yaitu serial berjudul “Camouflage”. Camouflage ditulis oleh salah seorang anggota komunitas yang memiliki nama pena Anusapati Cannabis. Camouflauge akan terbit setiap Jumat pukul 19.30 WIB setiap pekan. Selamat menikmati bagian ketujuhbelas dari serial ini. Selamat membaca. Salam.

[Bagian 8]

September, 2014. Uluwatu, Bali.

Ini hari kedua Fiska berada di penginapan tepat di sebelah tebing dengan jurang yang dalam. Ia sengaja ke Bali selama dua hari sebelum memutuskan berangkat ke Jakarta. Fiska harus kembali ke Jakarta untuk mengambil bahan penelitian skripsi. Tidak ada hal menarik di kota itu, kecuali ibunya, sejak respons Frederik yang benar-benar menyinggung perasaannya. Tontonan tari kecak menjelang senja yang disambut riuh rendah orang asing dari Jepang, Eropa, maupun kawasan lain tak mampu menyelesaikan pikiran Fiska.

Fiska menatap buku hariannya dengan kecewa. Buku itu ia tulis sejak pertama bertemu Frederik. Fiska kecil yang gugup menggurat malam-malam dengan kata untuk sang Pangeran di sebuah istana sana. Sungguh tidak masuk akal bagi dirinya bahwa Frederik yang selama ini tidak menyukai siapa pun, juga tidak dirinya.

Atau aku masih terlalu cepat?

“Hah, elu LDR, maksudnya lu doang relationship?”

Guyonan Tina, teman kuliahnya, ketika Fiska menceritakan hubungannya dengan seorang pria menggema kembali. Cerita karangan Fiska itu ditanggapi Tina dengan cemooh.

Lalu apa maksud lelaki itu menyuruh Fiska terduduk sejak kecil mendengarkan lagu-lagu yang dibawakan oleh pianonya. Apa perempuan selalu salah memaknai kebaikan pria? Ini hanya sedikit rumit. Fiska yakin pria itu mencintai dirinya, akan tetapi seorang monster telah membangun dinding-dinding tebal yang menjauhkan Frederik dari apa yang seharusnya ia rasakan.

Ia masih bisa merasakan tangan Frederik yang mengucek-ngucek rambutnya sambil mengatakan, “Kok, kamu pendek terus. Gak besar-besar.”

Fiska masih tidak percaya. Kejadian malam itu benar-benar membuat Fiska seperti burung menggelepar. Setelah dijerat getah pemburu. Sama sekali tidak berdaya. Ini kali kesekian di dalam hidupnya yang membuat ia merasa nasib terlampau sering mempermainkannya.

Fiska menarik napas. Mungkin ia terlalu cepat. Fiska berpikir untuk mencari jalan kembali menuju Frederik. Ia harus meluruskan semua ini. Ia akan menunggu meskipun selambat mungkin. Selama mungkin. Sepanjang mungkin. Tidak mungkin lelaki tidak tertarik kepada wanita.

Avatar

Camouflage (Percik 16)

Dari Redaksi Selain majalah Katajiwa, mulai beberapa waktu lalu Langit Sastra telah menerbitkan produk terbaru yaitu serial berjudul “Camouflage”. Camouflage ditulis oleh salah seorang anggota komunitas yang memiliki nama pena Anusapati Cannabis. Camouflauge akan terbit setiap Jumat pukul 19.30 WIB setiap pekan. Selamat menikmati bagian keenambelas dari serial ini. Selamat membaca. Salam.

Kabut yang likat

Dan kabut yang pupur

Lekat dan gerimis pada tiang-tiang jembatan

Matahari menggeliat dan gembali gugur

Tak lagi di langit

Berpusing di langit berpusing di pedih lautan

(Kartu Pos Bergambar Jembatan Golden Gate San Fransisco oleh Sapardi Djoko Damono)

Musikalisasi puisi karya Ari Reda itu menggema untuk kesekian kalinya di apartemen. Frederik tengah bercerita mengenai pengalaman masa kecilnya ke seorang perempuan yang sedang memasak di apartemen. Tangan perempuan itu begitu lincah mengiris daun bawang. Tangan Fiska.

“Kamu percaya, dadaku berlubang, lalu peri kecil itu berkata bahwa ia hanya mendatangi orang-orang yang kesepian.”

“Hahaha, mungkin hanya halusinasi.”

“Mungkin. Tapi ia juga berkata, mimpi tidak terjadi di saat kau terjaga.”

“Sekarang peri Jatayu tidak pernah datang lagi.”

“Kan ada aku. Jadi kamu tidak dalam keadaan kesepian,” seloroh Fiska memancing.

Juga ada dia.

“Tidak semua hal harus dimulai dengan cinta bukan?” Fiska memulai percakapan.

Frederik terdiam sejenak. Ia mulai mencari arah pembicaraan Fiska.

“Sepertinya tidak.”

“Dimulai dengan cinta atau tidak, saat ini aku lapar, ha ha ha...”

Frederik merendahkan suaranya dengan nada aneh. Dalam hati ia berharap semoga kalimatnya dapat mengalir bersama alur percakapan. Fiska kembali melanjutkan pekerjaan. Ia tidak habis pikir kenapa Frederik selalu mengalihkan pembicaraan yang akan mengantarkannya ke saat yang tepat. Fiska datang sambil membawa sup tahu dan daun bawang kesukaan Frederik.

“Tidak sesulit menghayati musikalisasi puisi kan untuk belajar mencintai?”

“Puisi punya nadanya sendiri,” Frederik menjawab singkat.

Tangan Frederik terletak di atas meja. Fiska memasang gerakan seolah-olah ia tidak sengaja menjatuhkan tangan itu di atasnya. Frederik menarik tangan itu pelan. Fiska menahannya kuat. Ia sudah tidak tahan lagi.

Kamu selalu menjauh kan. Fiska menelan ludahnya kecewa.

Frederik menatap Fiska tajam, ada amarah di sana. Bibir Fiska gemetar. Frederik menghentikan kegiatan makan. Lelaki itu melangkah menuju balkon.

Aku tidak hidup untuk mencari cinta. Aku mencari Ibu.

Fiska melanjutkan makan seolah-olah tidak melihat reaksi apapun. Dadanya sesak. Air mata Fiska meleleh. Butiran nasi tertahan di mulutnya.

Avatar

Camouflage (Percik 15)

Dari Redaksi Selain majalah Katajiwa, mulai beberapa waktu lalu Langit Sastra telah menerbitkan produk terbaru yaitu serial berjudul “Camouflage”. Camouflage ditulis oleh salah seorang anggota komunitas yang memiliki nama pena Anusapati Cannabis. Camouflauge akan terbit setiap Jumat pukul 19.30 WIB setiap pekan. Selamat menikmati bagian kelimabelas dari serial ini. Selamat membaca. Salam.

“Cut cut cut,” Prapto berteriak.

“CUUUUUUT,” teriak anak-anak.

“Ulang lagi, tadi elu pade ketinggian melompatnya. Jatuhnya di sini.” Prapto menunjuk lokasi tempat anak-anak seharusnya terjatuh.

“Aduh, pinggang gue pegel,” Nek Birah yang sejak tadi mendapat peran duduk di depan rel kereta mulai mengeluh.

“Eh, nek. Denger ya, ntar kalo ni film di puter di Prancis, nenek bakal kaya.”

Prapto mendengus. Film yang ia mulai bertahun-tahun lalu tidak kunjung selesai. Wellberg sialan itu tiba-tiba menghilang setelah membawa lari uang modal untuk film kedua. Baru kali ini Prapto menyaksikan maling versi Eropa. Yang lebih menyakitkan, ia mendapati nama Wellberg berjajar sebagai sutradara yang lulus seleksi di tahun penghianatan itu. Anjing!

Prapto menghisap dalam puntung rokok lalu membuang serampangan. Berita mengenai penggusuran yang akan dilakukan pemerintah menggeliatkan kembali semangat Prapto. Film ini akan diakhiri dengan adegan penggusuran yang ia ambil secara langsung. Karpet merah Cannes pasti bertekuk lutut di depannya. Tidak cukup Cannes, Sundance film festival atau bahkan Berlin Film Festival harus bersedia menggelontorkan piala-piala mereka ke dalam genggamannya.

Beruntung, selama masa-masa tragis, begitu Prapto menyebut masa setelah dihianati Wellberg, ia masih dapat hidup dari hasil paket tur.

Matahari semakin tinggi. Aroma panas menyengat. Seorang pedagang agar-agar keliling dirubungi anak-anak. Prapto mau tak mau membayar makanan murahan itu.

“Satu... dua... tiga... action!”

Udin melompat dari jendela ke pagar kemudian menuju jalan. Ia mengambil seember kain lalu berlari mengelilingi gang diikuti anak-anak lain yang pelan-pelan mundur ketika melompati bekas reruntuhan tembok. Satu per satu anak-anak itu berhenti berlari sesuai durasi peran masing-masing. Kamera lanjut menyorot Udin berlari sendirian. Di belakang, kamera mengikutinya. Anak itu terus berlari membawa kamera melihat kawasan kumuh. Petakan padat, bangkai tikus, got kumuh, bau bacin, sarang nyamuk, nenek Birah yang sayu bersatu padu menggores lukisan kemelaratan.

“Bagus-bagus,” Prapto memuji hasil rekaman itu.

“ Oke, bersiap-siap untuk adegan kedua,” Prapto memberi instruksi.

Beberapa anak yang sedari tadi menonton diikuti beberapa ibu-ibu maju. Kru film dadakan menyusun latar. Tema adegan akan dimulai saat seorang anak membawa pulang barang rongsokan dan menyerahkan kepada ibunya. Setelah itu, para ibu siap melancarkan dialog kemiskinan.

Tinggal sebulan lagi

Senyum Prapto mencerah. Adegan berjalan.

“CUT CUT,” Prapto mengagetkan adegan yang sedang berjalan.

“CUUUUUUUUUUUUUUUUUUUT,” teriak anak-anak lain dengan semangat.

**

Susi bersungut-sungut. Sejak Polisi mengadakan operasi Pekerja Seks dan Minuman Keras, ia resmi menjadi pengangguran. Rumah Korek yang biasa ia buka untuk mencari uang dibongkar polisi. Padahal, untuk membangun dan menemukan lokasi yang tepat, Susi harus merelakan cincin satu-satunya tergadai.

“Pemerintah, pemerintah. Ape-ape gak boleh. Semuanya digusur. Jalan selalu kurang gede. Mati gue bentar lagi,” sungut Susi di depan rumah Yumi. Ia mendudukkan tubuh di bangku panjang yang terletak di depan rumah Yumi. Begitulah cara Susi berbagi cerita kepada teman baiknya itu, bertahun-tahun.

Susi menatap petakan rumah Murni yang saat ini dijadikan kamar tidur rombongan Jack dan anaknya. Murni yang jarang berinteraksi dengan penduduk kawasan kumuh itu kini telah pindah ke kontrakan baru. Ada rasa senang juga iri di batin Susi.

Yumi yang tengah asik membersihkan ikan asin segera menangkap suara teman dekat.

“Sabar Sus.”

“Sabar-sabar apenye. Emang elu tau, kemana kita bakal pindah ntar? Murni mah enak. Anaknye yang kuliah di Malang sewain die kontrakan. Kite mah dari lahir mukanye emang pantas jadi orang melarat,” celoteh Susi tidak terbendung.

“Pindah ke bawah jalan tol kali. Rejeki orang pan beda-beda Sus. Kagak usah dipikirin,” jawab Yumi sekenanya.

“Huft, apa gue udeh kebanyakan dosa ye?” Ucapan Susi tidak memperoleh balasan.

Bau ikan asin meraung-raung mengaduk perut Susi. Susi berjalan masuk, mengambil piring dan nasi. Seperti rumahnya sendiri, ia mencomot satu ikan asin, menambahi dengan sambal, lalu makan dengan nikmatnya di kursi luar. Meskipun miskin, Susi tidak pernah takut kelaparan karena ia bisa mendatangi siapa saja di kawasan ini. Pertemanan lebih berharga daripada uang terkadang.

Kunyahan Susi menderu serupa motor dikejar waktu. Dari kejauhan ia menangkap sosok kurus. Siapa lagi kalau bukan Minin, istri Sukijo.

Minin mengulurkan tangannya di depannya. Susi menatap sebentar.

“Udeh. Gue lagi susah, lu masih aja datang.”

Minin tetap pada ekspresinya. Perempuan yang satu itu memang jarang sekali berkata-kata. Seluruh pemukiman telah tahu, pulang tanpa uang untuk Minin akan diganti Sukijo dengan tamparan. Susi tidak habis pikir mengapa Minin masih mencintai Sukijo. Baru setahun lalu Minin melahirkan anak, kini kabarnya dia sudah hamil lagi.

“Lu ade recehan gak Yum,” suara Susi dipaksa keluar di antara kunyahan nasi.

Susi mengambil uang lima ratus rupiah dari atas televisi.

“Nih!” ujarnya sambil menaruh uang di tangan Minin. Minin melihat uang itu lalu pergi tanpa berterima kasih.

“Jadi nih kita digusur bulan depan?” Susi menatap sisa reruntuhan satu bangunan yang dijadikan aparat sebagai peringatan minggu lalu.

Tidak ada jawaban.

Di balik dinding itu, Nenek Birah yang sedari tadi menguping menatap lemah. Tubuh tuanya tidak tahu akan dibawa lari ke mana. Ia sudah terlanjur menyayangi tempat itu selama bertahun-tahun. Digenggamnya piring kaleng, satu-satunya yang ia miliki.

Ting. Ting. Ting.

Nek birah memukul piring itu dengan sendok seperti detik jarum jam menghitung ajal sang waktu. Mata tua itu sudah terlalu lelah.

Avatar

Camouflage (Percik 14)

Dari Redaksi Selain majalah Katajiwa, mulai beberapa waktu lalu Langit Sastra telah menerbitkan produk terbaru yaitu serial berjudul “Camouflage”. Camouflage ditulis oleh salah seorang anggota komunitas yang memiliki nama pena Anusapati Cannabis. Camouflauge akan terbit setiap Jumat pukul 19.30 WIB setiap pekan. Selamat menikmati bagian keempatbelas dari serial ini. Selamat membaca. Salam.

[Bagian 7]

Agustus, 2014

Frederik memandang cermin di depan. Otot tubuh yang ia latih setiap malam dalam rutinitas yang teratur tumbuh dengan baik. Semakin baik setelah ia bertemu Seto di Perfect Gym. Lelaki flamboyan itu yang mengajaknya untuk selalu mengonsumsi protein alami dengan cara memakan sembilan butir putih telur setiap malam di sebuah kedai nasi goreng.

Frederik tersenyum sambil memutar tubuhnya ke sisi kanan maupun kiri. Sejak kecil, monoton dan keteraturan bukanlah hal yang membosankan. Frederik bukan pula tipikal orang yang mengutuki kebosanan karena mereka sejatinya adalah teman.

“Kenapa harus sembilan, gila lu!” Frederik mempertanyakan alasan Seto mengenai putih telur itu.

“Hahaha, biar ganjil aja. Tuhan kan suka yang ganjil,” Seto tertawa.

“Bra bra Brasilia,” gumam Seto lagi. Otak teman Frederik yang satu ini memang agak kusut.

“Ikutan nobar bola gak?” Seto kembali membuka pembicaraan.

“Gak, gue ada janji ma cewek.”

“Cieeh, akhirnya, lu tertarik sama perempuan, subhanallah,” ledek Seto.

“Yang bener masya Allah, “ balas singkat Frederik.

“Ha?”

“Iya kalau kita kagum itu harusnya bilang masya Allah, orang Indonesia suka salah. Elu kaga pernah buka situs luar negeri ya? Emang dasar bego! Makanya jadi orang berilmu”

“Woo Subhana...eh Masya Alloh pengetahuan elu Rik, Rik! Mancay!” balas Seto.

“Ikan di air juga bakal berdoa buat elu kalau pengetahuan elu begini terus!” balas Frederik sambil membuang kuning telur ke tong sampah.

“Ikan di air bukannya berdoa buat orang begok, ngarang elu. Yang bener nih ye, menurut hadis yang diriwayatkan Abu Darda, ikan justru minta sama Tuhan biar maafin orang-orang berilmu.” Seto menelan kunyahan putih telur.

“Masya Alloh, fabulous,” Frederik terkekeh.

Seto membuat skor menjadi satu sama. Teman yang ia dapatkan di gym itu memang selalu membuat percakapan yang selalu keluar dari kata-kata dan pemikiran umum.

“Tuhan belum selesai dengan manusia Frederik.”

“Ha?”

“Injil Philippians ayat 1 pasal 6.”

“Apa?”

“Philippian atau Filipi itu kota pertama yang dikunjungi Paulus di Eropa. Bersama dengan Timotius, Paulus mengirim surat dari jeruji penjara kepada jemaatnya di sana. Di pasal enam ayat satu tertulis bahwa Tuhan belum akan selesai urusannya terhadap manusia.”

Frederik terkagum-kagum dengan cara Seto menguasai suasana. Kali ini ia tidak sedang ingin berlomba menunjukkan taring.

“Wah, masya Allah. Penjara dan karya besar selalu berjalan beriringan,” seloroh Frederik. Kali ini Seto membuat skornya melambung mengalahkan Frederik.

Ponsel berbunyi. Lamunan terhenti. Frederik mengambil dan mengenakan kaus tanpa lengan. Ia langsung berlari ke depan. Hari ini ia berjanji bertemu Fiska. Dua hari yang lalu, Fiska kembali pulang. Frederik baru sadar kalau terakhir mereka bertemu saat Fiska kelas dua SMA.

“Tunggu bentar ya Fis,” ujarnya dan segera menutup telepon.

Fiska tersenyum. Ia menatap Frederik. Tubuh pria itu semakin memikat hatinya. Diperlakukan manis sejak kecil oleh Frederik pelan-pelan membuat Fiska menaruh dirinya ke dalam makna yang lebih dalam. Frederik, satu-satunya pria yang ia impikan setiap hari bahkan selama kuliah di Malang. Ia tidak pernah menemukan pria seperti Frederik. Hanya saja, Fiska melihat Frederik masih terlalu sulit untuk dicairkan. Entahlah, Fiska hanya merasa mereka tidak pernah menemukan saat yang tepat.

“Kita mau ke mana?”

“TIM,” Frederik menyerahkan dua buah tiket.

“Apa? Ananda Sukarlan?” Fiska tidak percaya. Wajahnya sumringah.

Mobil Frederik melaju pelan.

“Ia kembali lagi mementaskan The Humiliation of Drupadi. Lagu yang satu itu selalu membawanya pulang ke Indonesia. Aneh, tapi nyata.”

“Kuliahmu bagaimana?”

“Begitu-begitu saja. Sekarang aku libur. Mungkin minggu depan aku sudah bisa mengontrakkan ibu  di rumah yang baru. Selama kuliah, aku kerja paruh waktu.”

“Kamu memang anak yang membanggakan,” Frederik mengenakan jaketnya. Wangi parfum khas segera tercatat di memori Fiska.

“Kawasan itu kabarnya akan digusur dua bulan lagi.”

“Heh, penggusuran? Ah, iya. Ibu juga menceritakan kepadaku. ”

Fiska terdiam. Ia teringat Tono teman kecilnya yang mogok sekolah karena penggusuran ketika mereka kecil. Dirinya dulu juga harus tidur selama seminggu di dalam gerobak ayah sebelum menemukan petakan yang baru.

“Ibumu pasti akan sulit merayu orang-orang untuk kembali masuk ke sekolah di tempat-tempat yang akan dihuni korban penggusuran, seperti dulu,” lanjut Fiska.

Perempuan Serigala itu.  

“Jika lulus nanti, aku ingin seperti ibumu.”

Frederik tersenyum.

“Keadaanmu bagaimana?”

“Baik-baik saja, melanjutkan bisnis, rapat, bermain piano.”

Sejenak hening mengambil tempat.

“Kamu sudah punya kekasih?”

“Ada banyak, hilang dan silih berganti, lalu hilang lagi hahaha.”

“Kamu juga harus menemukan satu lelaki, sebaik ayahmu,” ucap Frederik lagi.

Aku harap itu kamu Frederik.

Mobil memasuki parkiran. Fiska merapikan dandanannya.

“Masih menyimpan cermin itu?” Frederik menunjuk cermin yang ia berikan kepada Fiska saat ulang tahun keempat belasnya.

“Menurut kamu?” Fiska bertanya kembali.

“Masihlah ya harusnya ha ha ha.”

Fiska dan Frederik berjalan ke dalam ruangan setelah mengisi buku tamu. Tamu-tamu dengan aneka gaun muncul. Detakan sepatu tinggi wanita bernyanyi di lantai. Fiska sangat menyukai aroma ruang pertunjukkan. Temaram dan mistis. Ia duduk di deretan kedua. Kursi berjejer ke atas. Dua buah grand piano terletak berhadapan di atas pentas. Acara akan segera dimulai.

Lampu mati sejenak. Perlahan-lahan muncul duet piano membawakan nada gamelan disusul pertarungan Pandawa dan Kurawa yang dimainkan oleh dua penari pria. Mereka menangkap dadu melempar perjudian ke dalam hidup. Sesaat kemudian, Drupadi muncul. Kenangan Fiska pertama kali menyaksikan video pertunjukkan itu di ruang Frederik melintas. Fiska mencuri pandang ke arah Frederik. Lagi-lagi ia menemukan dinding di sana. Tangan Frederik terletak di sisi bangku. Fiska ingin sekali menyentuh  tangan itu. Dalam diam, ia menikmati keanggunan dari karya sastra agung yang tersembul dari tangan Frederik.

Suatu saat, aku pasti berhasil mendapatkan tempat di hati Frederik. Fiska membatin. Ia seperti melihat jalan-jalan terang. Ditambah lagi, Frederik tidak terlihat menjalin pertemanan dengan perempuan lain.

Avatar

Camouflage (Percik 13)

Dari Redaksi Selain majalah Katajiwa, mulai beberapa waktu lalu Langit Sastra telah menerbitkan produk terbaru yaitu serial berjudul “Camouflage”. Camouflage ditulis oleh salah seorang anggota komunitas yang memiliki nama pena Anusapati Cannabis. Camouflauge akan terbit setiap Jumat pukul 19.30 WIB setiap pekan. Selamat menikmati bagian ketigabelas dari serial ini. Selamat membaca. Salam. 

Pagi hari Fiska mendapati ibunya belum bangun. Ia mengecek ibu yangtidur di depan televisi. Fiska khawatir ibunya akan terlambat memulai pekerjaan. Azan Subuh bersahut-sahutan memecah kesunyian.

“Ibu, bangun Subuh.”

“Iyaa,” suara ibunya parau dan goyah.

“Ibu,” Fiska mengecek ibunya. Bibir perempuan itu kering. Tangan Fiska sontak menjamah dahinya. Panas sekali. Fiska gelisah. Ia segera mengompres ibunya.

Pagi menjelang. Hari ini Fiska memutuskan untuk tidak masuk sekolah. Fiska harus mengantarkan seluruh pakaian yang sudah dijanjikan dan mengambil pakaian baru. Selain itu, ia juga masih harus mencuci pakaian yang semalam diambil ibu.

Pikiran Fiska kacau. Fiska keluar dari rumah menjelang siang.

“Ada orang! Woii bangun bayar utang!”

Dua orang preman mendatangi Murni. Perempuan itu kaget. Ia berputar menyapu keadaan kalau-kalau anaknya masih ada di rumah. Hatinya lega ketika tidak terlihat sosok anak gadisnya.

“Saya lagi sakit Pak. Besok saya bayar,” suara Murni memelas.

“Besok-besok. Ini sudah terlambat sebulan. Mau gue jadiin lonte elu kalo pinginnya gratis,” salah satu dari mereka memegang pipi Murni. Perempuan itu menelan ludah. Amarahnya naik. Ia menjauh. Air liurnya terasa begitu pahit.

“Jangan sok suci dong. Semua perempuan di sini juga sama aja. Gak punya uang berarti minta ditidurin.”

“Denger ya, kalau sampai besok elu belum bisa bayar. Lu tau kan risikonya. Oh, ya, anak elu itu, gue juga gak bisa jamin keamanannya.”

Bibir Murni bergetar. Ia tidak dapat membayangkan kemalangan yang akan menghantam. Seumur hidup ia belum pernah tidur bersama lelaki selain suaminya.

Kecuali pria di apartemen.

Tapi apa yang ia dapat setelah itu. Kemalangan. Suaminya meninggal. Ini sudah keterlaluan. Wajah Murni pucat. Kedua pria itu menjauh pergi sambil menendang dua kursi di depan.

Aku tidak mau memaksa. Kau boleh datang juga boleh pergi.

Suara dari suatu masa di hidupnya mengiang-ngiang. Ini tidak sepenuhnya dosa. Aku menolong pria itu, dan ia menolongku. Keputusan masih dapat diubah. Sejak kematian suaminya, ia tidak datang lagi berkunjung ke sana. Murni mengambil ponsel.

[Murni]

Aku akan kembali lagi

[+6281597051708]

Benarkah? Hei apa kau punya masalah. Aku bisa membantu. Hanya saja, aku tidak mau kau merasa terpaksa datang ke tempatku karena keadaanmu.

[Murni]

Seperti yang kukatakan saat pertama kita bertemu. Aku punya banyak sekali masalah. Tapi, aku punya alasan lain menerima tawaranmu. Kau yang bilang, aku membantumu. Aku pikir, kau membantumu dan aku membantu diriku.

[+6281597051708]

Penadah itu pasti datang lagi ke rumahmu. Sejak kematian suamimu, aku juga ragu mengenai apa yang kulakukan. Jika kau hanya butuh uang, aku bisa beri. Seperti dulu yang kutawarkan kepadamu.

[Murni]

Dulu? Dulu kau menawarkan agar aku bekerja sama sebelum kau akhirnya menyadari sebenarnya itu agak terlihat memaksa. Lalu kau bilang, terserah saja. Sejujurnya kau bisa membantuku begitu saja. Aku bahkan bisa datang hanya untuk mengurus kamar tidurmu tidak termasuk mengurus naluri kelelakianmu dan perasaan tidak puasmu terhadap kehidupan.

[+6281597051708]

Hei, aku sudah meralat kata-kataku.  Waktu itu, pikiranku masih terlalu belia. Sekarang jujur, kau sudah cukup membantuku. Hanya saja, terserah padamu. Tapi sejujurnya, aku merindukanmu. Kembalilah.

[Murni]

Aku tetap akan menjadi seperti dulu, membantumu. Aku tidak terbiasa berhutang budi. Selain itu, membantu orang lain membuatku merasa senang. Kau tahu, aku hidup untuk dikorbankan. Aku rindu medan perangku. Percayalah, busur panahku menanti untuk menghunus jantung-jantung yang merana.

[+6281597051708]

Ha ha. Jangan terlalu serius seperti itu. Kita baru empat bulan tidak bertemu. Kau pasti lelah. Datanglah. Aku bisa lebih dari sekadar mengembalikan semangat hidupmu. Kita bisa melakukan apa saja bukan?

Avatar

Camouflage (Percik 12)

Dari Redaksi Selain majalah Katajiwa, mulai beberapa minggu lalu Langit Sastra telah menerbitkan produk terbaru yaitu serial berjudul “Camouflage”.Camouflage ditulis oleh salah seorang anggota komunitas yang memiliki nama pena Anusapati Cannabis. Camouflauge akan terbit setiap Jumat pukul 19.30 WIB setiap pekan. Selamat menikmati bagian keduabelas dari serial ini. Selamat membaca. Salam.

[Bagian 6]

Episode baru kehidupan Fiska dimulai. Ia harus berusaha lebih keras. Saat ini, ia hanya mengunjungi perpustakaan dua kali seminggu bersama teman baru bernama Ana. Sudah lama Fiska tidak bertemu Frederik. Pesan terakhir yang ia terima, Frederik sibuk dengan proyek bisnis.

Fiska menatap seluruh ruangan. Gubuk yang ia sebut rumah hanya memiliki satu ruangan. Semua benda-benda berjejal di sana. Mainan Fiska semasa kecil yang bertumpuk-tumpuk di dalam kardus. Boneka nenek sihir yang dibuat sendiri oleh ayah menyembul di antara tumbukan mainan.

“Jangan, ini punya aku.” Bayangan masa kecil Fiska berputar. Saat itu. Tono hendak merebut boneka yang dibuat ayahnya daribekas tabung sampo, sisa kain wol, dan perca kain.

“Pinjam sebentar kenapa?” Tono memukul Fiska.

Fiska bertahan memegang boneka itu. Tono pun mendorong tubuh Fiska hingga jatuh terjerembab. Fiska meringis. Tono mencibir dan bersiap meninggalkan Fiska sendirian.

“Berhenti!”

“Kembalikan bonekanya!”

Jack sang preman yang melakukan penusukan terhadap orang asing berdiri tidak jauh dari mereka. Fiska ketakutan. Ia mundur. Tono pucat mendengar bentakan dan wajah Jack. Setiap ia dibentak, ia teringat kepalanya yang selalu dipukul-pukulkan ayahnya ke dinding. Bayangan paling buruk yang ada di kepala Tono. Anak itu segera berlari. Boneka yang berhasil ia rebut dibuang begitu saja. Langkah kaki Jack perlahan mendekat. Fiska hendak berlari tapi kakinya sakit.

“Ini,” Jack menyodorkan boneka itu. Ia tersenyum, tapi senyumannya aneh. Fiska semakin takut. Namun, ia tidak melihat cara lain untuk selamat kecuali mengulurkan salah satu tangan.

“T...erima kasih,” Fiska mengambil boneka itu cepat. Rambut boneka sudah sangat semrawut. Jack yang sadar bahwa anak itu ketakutan melihat keberadaannya pelan-pelan menjauh.  

Fiska kecil pulang ke rumah sambil tertatih-tatih. Ibunya sedang pergi mengunjungi teman yang baru saja melahirkan. Setiba di rumah, Fiska menunggu ayahnya di depan pintu. Sembari menimang-nimang boneka, Fiska memasang mata awas. Kalau saja gerobak lelaki tua itu lewat bersama bau sampah, ia ingin menceritakan segalanya. Hatinya kacau sepanjang penantian. Perut Fiska kelaparan dan mulai mengelurkan bunyi aneh. Mungkin usus-usus itu sudah merana karena terlalu lama dibiarkan tertidur pulas dan nyaris tidak melakukan pekerjaan apapun.  Menjelang Magrib, derak-derak gerobak ayahnya baru terdengar muncul.

“Ayah,” Fiska menangis.

Lelaki itu memeluknya. Sambil sesenggukan Fiska menceritakan segalanya.

“Jack tidak jahat kepadaku.”

“Tidak semua orang menjadi jahat selamanya dan menjadi baik selamanya.”

“Mereka juga berkesempatan untuk berubah,” jawab ayah menenangkan Fiska.

Malam itu, Fiska tertidur di pangkuan ayah setelah lelaki itu memijat kakinya dengan minyak Nyonyong yang baunya begitu menyengak.

Fiska sungguh-sungguh merindukan perlindungan dari ayahnya yang kini tidak akan pernah ia rasakan lagi. Ia kasihan melihat ibu yang bekerja sejak subuh hingga sore. Bahkan, seringkali hingga malam. Ibu mulai mengambil cucian di beberapa rumah. Menjelang pukul sepuluh malam, ia baru pulang dari mengambil cucian yang baru serta mengambil borongan bando yang akan dipasangi aksesoris.

“Aku bisa bantu ibu,” Fiska menawarkan suatu hari.

“Aku bisa berhenti sekolah dan membantu ibu juga tidak apa-apa.”

“Fiska kamu bicara apa. Kamu tidak kasihan kepada ayah kamu. Dia hanya ingin melihat kamu keluar dari tempat ini. Dia ingin kamu menjadi anak yang cerdas. Dia lakukan apa saja. Dia tidak menangis di depan kamu. Dia tidak menunjukkan gelisah di depan kamu. Semuanya kami jaga berdua sejak kamu lahir. Kamu harus tetap sekolah, mengunjungi perpustakaan, ibu yang akan bekerja,” perempuan itu mengakhiri kata-katanya. Suaranya agak parau.

Aku tidak akan mengkhianati impiannya. Batin Murni lirih.

“Tapi, Ibu selalu pulang malam. Semua tetangga pasti akan bergunjing bahwa Ibu menjadi salah satu perempuan nakal yang turun dari truk-truk. Apa ibu juga tidak kasihan terhadap ayah?”

Perempuan setengah baya itu menarik napas.

“Selama mereka tidak punya bukti, mereka tidak bisa melakukan apa-apa.”

Fiska menatap ibunya.

“Tidurlah,” katanya sembari mengangkat cucian yang ia bawa.

Avatar

Camouflage (Percik 11)

Dari Redaksi Selain majalah Katajiwa, mulai beberapa minggu lalu Langit Sastra telah menerbitkan produk terbaru yaitu serial berjudul “Camouflage”. Camouflage ditulis oleh salah seorang anggota komunitas yang memiliki nama pena Anusapati Cannabis. Camouflauge akan terbit setiap Jumat pukul 19.30 WIB setiap pekan. Selamat menikmati bagian kesebelas dari serial ini. Selamat membaca. Salam.

[Kantor Miranda, 2004]

Gedung perusahaan lima puluh lantai menjulang di antara dua hotel berbintang lima. Salah satu pusat perbelanjaan termegah terletak di depannya. Sementara itu, pedagang-pedagang kecil berjejal di belakang-belakang gedung guna memberi makan karyawan yang gajinya tak akan bersisa sedikitpun tepat di akhir bulan.

Telepon berdering.

“Nyonya, satu dari mereka meninggal. Pembunuhnya kabur.”

Miranda memberikan beberapa intruksi kemudian tersenyum. Beatrice di saluran yang lain tengah mencerna perintah Miranda. Esok hari, bosnya itu akan mendapati foto dirinya muncul sebagai pejuang keadilan karena telah membantu keluarga korban untuk mendapatkan keadilan hukum. Beatrice bergerak cepat menelepon pengacara pribadi Nyonya Miranda yang biasa digunakan untuk memperlancar bisnis.

Miranda memungut barang-barang satu per satu di atas meja. Ia terhenti ketika melihat foto anaknya di atas meja. Semua orang yang berkunjung ke kantor memuji Miranda sebagai ibu yang sangat mengasihi anak begitu melihat gambar dalam pigura tersebut. Hanya Miranda yang tahu bahwa ada anomali tengik di dalam drama yang tengah ia perankan. Harusnya ia tetap menjadi perempuan berpendirian teguh. Bahwa menikah bukanlah syarat bahagia. Harusnya dulu ia tidak terpengaruh oleh bisikan keluarga dan lingkungannya. Ia sendiri masih tidak percaya bahwa diriya pernah membuat keputusan konyol.

Pernikahan adalah ide kaum klasik yang mencekik perubahan dengan kuku berlendir mereka. Miranda benar-benar merasa otaknya mendekati idiot setiap kali menyadari ada Frederik di kehidupannya. Ada sedikit pedih terbesit. Ia segera beralih pikiran. Anak itu harus tahu bahwa kesibukan yang ia pilih harus dibayar oleh harga yang lain. Lagipula, ia sudah berlaku adil dengan tidak pernah terlambat sedikit pun memerintahkan Beatrice untuk mengirim uang ke rekening anaknya.

Sudah berapa lama anak itu meninggalkan rumah? Bukan urusan penting.

Miranda adalah tangan-tangan terlatih untuk mengurus perkembangan rupiah sedari kecil. Ia sama sekali tidak tertarik dengan keluarga dan sejenisnya. Anak bernama Frederik terlihat sebagai korban akibat kesalahan berpikir di matanya. Miranda merapikan tatanan rambut. Pelan-pelan anak itu akan belajar mengenai jenis kehidupan yang nyata.

“Nyonya jadwal rapat lima menit lagi,” Beatrice yang baru saja bicara lewat telepon muncul di depan pintu.

“Kali ini anda akan bertemu Belinda untuk membicarakan masalah pembagian saham.”

“Oke, terima kasih.”

Asistennya menutup pintu kembali. Miranda diam sejenak. Ia mengangkat telepon.

“Halo!” suara Beatrice.

“Tolong antarkan steak ke ruangan setelah saya rapat.”

“Baik nyonya. Medium rare seperti biasa?”

“Tentu saja, aku bukan penyuka darah sepertimu,” Miranda membalas. Kefanatikan Beatrice pada makanan mentah adalah salah satu hal yang tidak bisa ia atasi.

“Juga segelas jus lemon tanpa es,” Miranda menutup percakapan.

**

Frederik terkekeh-kekeh melihat foto Mami di depan koran. Tepat di sebuah judul mengenai sosok pebisnis nan dermawan. Diceritakan bahwa pembunuh ayah Fiska berhasil ditangkap dan disidang dengan bantuan Miranda. Air mata Frederik hampir keluar. Terkadang, Frederik iri kepada anak jalanan yang dibantu Maminya. Anak-anak itu justru berhasil mendapatkan perhatian Mami meskipun hanya disalurkan melalui bentuk dana dan rasa simpati.

Sinetron. Mami bedebah. Jika membunuh diizinkan di dunia ini, ia pasti sudah menghabisi perempuan itu. Sama sekali tidak berguna di dalam kehidupan Frederik. Frederik menyesal ketika kecil ia sering menangis merindukan perempuan itu.

Langkah kaki Miranda memasuki rumah. High heel keluaran Viktor dan Rolf memainkan perpaduan warna dengan tas etnik dari pemilik rumah mode Dolce dan Gabbana. Mata Mami dan Frederik bertatapan.

“Ada pahlawan baru ya!” Frederik tertawa sambil memperlihatkan halaman depan sebuah koran. Hari ini ia memang sengaja pulang ke rumah. Bagaimanapun rumah itu tetaplah rumahnya dan perempuan pemiliknya telah meminjamkan rahim untuk perkembangannya selama berbulan-bulan.

“Jaga bicaramu Frederik,” Miranda melangkah dingin

“Miranda, Miranda, sampai kapan engkau akan menjaga citra diri. Belum juga menerima kenyataan bahwa sebentar lagi akan tua,” Frederik melangkah menjauh. Ucapan sinis itu keluar dan agak sedikit disesalinya sesaat kemudian.

Miranda menarik napas. Kemarahan menjalari tubuhnya.

“Jika kau tidak ingin datang ke rumah ini, tidak usah datang. Daripada hanya membuat masalah.“

Aku tak akan pulang jika aku mau. Kau bahkan tidak tahu apa yang terjadi pada diriku.

Miranda berlalu. Frederik tidak mau ambil pusing. Ia menuju kamar lalu menghabiskan malam bersama televisi. Sejak ia mendapatkan sosok ibu, Frederik sama sekali tidak merasa harus bersedih lagi. Ia sudah mendapatkan apa yang harus dicari dan berhak ia miliki.

Tahukah kau Miranda. Aku sudah menjadi lelaki sementara kau masih tidak becus menjadi ibu.

Di dalam kamar lain, Miranda melepas perhiasan. Ia menatap wajah tuanya di cermin. Miranda terdiam sejenak menatap pelupuk matanya. Matanya memerah. Mungkin tadi ia agak sedikit tersinggung. Miranda cepat-cepat mengambil pembersih muka. Ia harus rutin melakukan hal itu setiap malam jika tidak mau wajahnya menua lebih cepat seperti pesan dokter kulit. Besok pagi, sejuta jadwal telah mencuri waktu yang belum tentu dapat ia miliki.

Avatar

Camouflage (Percik 10)

Dari Redaksi Selain majalah Katajiwa, mulai beberapa minggu lalu Langit Sastra telah menerbitkan produk terbaru yaitu serial berjudul “Camouflage”. Camouflage ditulis oleh salah seorang anggota komunitas yang memiliki nama pena Anusapati Cannabis. Camouflauge akan terbit setiap Jumat pukul 19.30 WIB setiap pekan. Selamat menikmati bagian kesepuluh dari serial ini. Selamat membaca. Salam.

[Bagian 5]

Frederik

Apartemen Semanggi, 2001

Udara mengalun dingin. Sosok itu tidur dengan gelisah. Tubuhnya tidak pernah bertahan di posisi yang sama selama kurang dari dua menit. Frederik terbangun. Ia meminum air putih dari dalam kulkas.

Matanya menyapu ruang apartemen. Sebuah poster Bon Jovi terpampang besar. Tidak jauh dari Bon Jovi lukisan Jatayu menari riang.

Benar-benar perpaduan yang tidak menyejukkan pandangan.

Frederik bahkan tidak tahu mengapa ia mengatur komposisi hiasan dinding apartemen sedemikian rupa. Ia bangkit meraih satu buah novel Gabriel Garcia Márquez, One Hundred Years of Solitude, berharap bahwa dirinya akan dapat mengambil inspirasi dari novel tersebut untuk musik seperti yang dilakukan pianis favoritnya. Sementara itu, musikalisasi puisi milik Sapadi Djoko Damono mengalun lembut melalui duet dua mahasiswa dari fakultas tempat profesor itu mengajar.

Waktu lonceng berbunyi

Percakapan merendah

Kita kembali menanti-nanti

Kau berbisik siapa lagi akan tiba siapa lagi menjemputmu

Berangkat berduka

Suara penyanyi dalam duet Ari dan Reda mengalun. Frederik sangat mengangumi cara lelaki tua pemilik puisi itu memilih kata. Sederhana namun sarat makna. Hanya saja, ia tidak pernah menemukan cerita pendek sastrawan itu menarik perhatiannya. Terlalu berbau bangku kuliah, serba resmi, juga terlalu datar menurut Frederik.

Jika membaca sebuah karya, Frederik seakan ingin membaca karya tersebut langsung menggunakan bahasa asli karena bagaimanapun ia membenci terjemahan yang mengurangi banyak rasa dan kreativitas penulis asli. Frederik pernah berkali-kali kecewa terhadap terjemahan karya asing ke dalam bahasa Indonesia.

Lembar-lembar yang dibaca Frederik masih menceritakan Jose arcadio Buendia yang terobsesi untuk menemukan Tuhan juga menemukan alat yang bisa mengubah segala hal menjadi emas. Dua puluh lembar berikutnya, Frederik mulai merasa bosan. Akan tetapi, ia masih belum mengantuk. Musikalisasi puisi telah berganti menjadi dentingan piano The Humiliation of Drupadi.

Lagu itu mengingatkan Frederik akan ambisi para pria terhadap perempuan, tentu saja bukan hanya perempuan yang dipertahankan, sesuatu yang lain bernama harga diri juga mendapat tempat yang layak dipertaruhkan serupa ayam adu. Mereka hanya berhenti ketika darah telah bersimbah. Kemenangan adalah ketika semangat lawan telah kering juga layu.

Frederik menatap lukisan Jatayu. Hatinya bergemuruh memandang sayap-sayap burung yang kuat itu. Frederik teringat kembali akan mimpi tentang seseorang yang ia panggil ibu juga mengenai peri Jatayu.

Malam menuju kesunyian. Mata Frederik seperti terperangkap dalam aliran aneh. Suasana seperti yang pernah ia kenali. Perasaan gamang yang sama seperti saat itu. Frederik menggenggam novel lebih erat tanpa ia sadari. Sinar di sayap-sayap Jatayu memekat. Lengkingan kuat burung itu mengguncang kesadarannya. Frederik menarik napas.

Lengkingan adalah mantra. Yang diam. Yang lekang. Dalam mantra ada rupa. Dalam rupa ada wujud.

Jatayu tidak datang pada kesetiaan. Takdir adalah air dalam gelas yang digulung sang kucing kuning beringas. Jatayu hadir dalam rimba hitam di dalam gericik air yang dimainkan sihir.

Frederik seakan mendengar suara bisikan. Sesosok perempuan yang ia panggil dengan sebutan Ibu di dalam mimpi muncul dengan keanggunan yang khas setelah lengkingan Jatayu menggema. Perempuan itu menggunakan gaun tanpa lengan bewarna toska. Wajahnya teduh memainkan alunan kecepatan sampan yang terombang-ambing di sanubari anak lelaki di hadapannya.

“Tenanglah!” perempuan itu mendekat. Frederik meyakinkan berkali-kali bahwa ini bukan mimpi.

Mimpi tidak terjadi di saat kau terjaga.

Frederik terdiam. Jantungnya berdegup kencang.

“Ibu,” bisiknya lirih.

Perempuan itu mendekati Frederik. Seperti mata air yang menyiram padang pasir, ia datang mendekati Frederik. Matanya serupa telaga di dalam hutan. Teduh, lembut, dan anggun. Ia mendekapnya bagai seorang Ibu. Frederik tidak melakukan perlawanan apa pun. Ia kesulitan mengendalikan napasnya. Pelan-pelan perempuan itu mengecup kening dan lehernya persis seperti apa yang ada di dalam mimpi.

Apakah ini saatnya? Ia akan menjadi Pandawa atau Kurawa?

Frederik merasakan bahwa pakaiannya telah terbuka satu per satu. Frederik mencoba menghalangi gerakan tangan itu. Perempuan itu kembali tersenyum dan menurunkan tangan Frederik. Ia memeluk Frederik untuk menghancurkan keraguan. Frederik dapat merasakan detak jantungnya. Kulit perempuan selembut ibu itu memberinya kehangatan hingga perlawanan kebas di ujung batas.

Percintaan adalah ibadah yang memberi energi kepada debur ombak untuk berani menyentuh karang. Ruang-ruang kosong dalam jiwa Frederik dirayapi jalaran bunga-bunga kecil yang ditanami makna satu persatu. Batu-batu karang menyeruak semakin kokoh. Ada kesunyian yang dalam. Ada jiwa yang gemetar. Ada dahaga yang terhenti. Karang itu kini berdebur bersama ombak lalu berpadu dalam harmoni. Frederik menatap langit-langit meresapi setiap jengkal perubahan yang merayap melalui seluruh saraf tubuhnya. Ombak semakin berdebur tinggi dipermainkan air. Jantung Frederik bergemuruh menerima hempasan debur air yang bertubi-tubi mengantarkannya kepada keanggunan yang kokoh dan beringas. Bulir-bulir air mempelajari setiap sendi batu karang itu pada napas Frederik yang semakin memburu. Memasukinya dan mengukir celah yang nelangsa. Para burung camar merayakan pesta mereka. Gunung dan hutan meniup genderang.

Perlahan gelombang menuju ketenangan. Laut menjadi jinak. Karang itu menjelma pada ketinggian yang selama ini hanya mampu ia rindukan. Akhirnya ia menemukan selesaian dari gelisah berkepanjangan.

Perempuan itu mendekatkan bibirnya ke telinga Frederik. Hangat napasnya menjalar.

“Kau telah menjadi lelaki anakku,” bisiknya.

Ia kemudian berbalik memandang dinding. Frederik masih terlentang memandang langit-langit. Sama sekali tidak mengatakan apa pun. Semua terlalu beruntun. Ia menarik napas beberapa kali. Sejenak kemudian, Frederik berbalik dan mencium leher perempuan itu.

“Tidurlah bersamaku hingga pagi,” bisik Frederik memberanikan diri.

Avatar

Camouflage (Percik 9)

Dari Redaksi Selain majalah Katajiwa, mulai beberapa minggu lalu Langit Sastra telah menerbitkan produk terbaru yaitu serial berjudul “Camouflage”. Camouflage ditulis oleh salah seorang anggota komunitas yang memiliki nama pena Anusapati Cannabis. Camouflauge akan terbit setiap Jumat pukul 19.30 WIB setiap pekan. Selamat menikmati bagian kesembilan dari serial ini. Semoga membuat anda makin penasaran dengan kelanjutan kisah ini. Selamat membaca. Salam.

[Frederik]

“Camouflage” berasal dari bahasa Prancis. Orang Indonesia menyebutnya kamuflase. Kamuflase merupakan cara hewan bertahan di alam, dengan menyamarkan diri sesuai keadaan sekitar. Di alam liar, hewan berkamuflase untuk menyelamatkan diri dari predator, mangsa, dan lainnya. Seekor bunglon akan mengamuflase dirinya dengan warna di sekitar. Di dunia militer, landasan udara sering dibuat dengan motif mirip pesawat tempur agar pesawat yang mendarat di sana tidak terdeteksi.

Penyamaran di medan perang dengan cara kamuflase baru dimulai pada abad 17 dan 18. Sebelum itu, baju perang dibuat dengan warna mencolok dan terang. Pada saat Perang Dunia I, beberapa negara berbondong-bondong mengubah seragam mereka dengan warna yang lebih netral. Bukan hanya itu, segala peralatan militer juga diciptakan dengan teknik kamuflase.

Salah satu seniman kamuflase yang paling digemari Frederik bernama Lio Bolin. Ia memanfaatkan tubuhnya untuk berkamuflase menyerupai benda-benda sekitar sehingga tidak terlihat. Bolin pernah menyamar di antara tumpukan sayur setelah mengecat tubuhnya menjadi serupa sayuran selama kurang lebih sepuluh jam. Menurut Bolin, karyanya ditujukan untuk memperlihatkan masalah-masalah kehidupan modern.

Tangan kukuh Frederik menari indah di atas tuts piano. Lagu pertama karangannya yang paling dia sukai. Camoflauge. Jemari Frederik lincah memainkan partitur-partitur yang dibuatnya selama seminggu ini. Bekas coretan masih tampak menyisakan jejak-jejak beberapa nada yang pernah diperbaiki. Lagu itu dipersembahkan khusus untuk keahlian Maminya yang gemar menyamar menjadi perempuan dermawan.

Fiska duduk di depan mendengarkan. Ia sengaja ke tempat Frederik setelah pulang sekolah. Gadis itu kini telah berusia 12 tahun. Badannya tumbuh subur, wajahnya tegas, dan ia mulai terlihat menjadi seorang perempuan seutuhnya. Ia tersenyum. Frederik membalasnya. Hingga saat ini, Fiska satu-satunya pengunjung perpustakaan yang paling setia. Hari ini, Frederik sengaja berhenti mengurus bisnis sebagai broker online yang ia pelajari otodidak. Ia ingin mengajak Fiska mendengarkan lagu di ruang sebelah perpustakaan.

Fiska mendengarkan dengan khidmat. Ia berusaha mencari Frederik di labirin-labirin nada yang tenang namun bergejolak. Nada itu mengalun pelan namun juga mempunyai bagian yang sulit dipecahkan. Liar dan menarik di telinga Fiska.

Prok! Prok!

“Wah hebat. Seperti seniman Italia waktu itu,” Fiska membandingkan Frederik dengan salah satu pianis Italia yang sempat hadir di Jakarta.

“Dia jauh lebih baik daripadaku,” balas Frederik. Ia melangkah mengambil air putih.

Fiska menatap punggung Frederik, ah, tidak, ia sedang memandang tengkuk putih bersih itu yang berbatas rapi dengan rambut belakang. Darah Fiska mengalir lebih cepat.

“Ini.” Frederik menyerahkan segelas air putih.

Fiska mengambil air dan meminumnya dengan cepat. Dalam imajinasi Fiska berkelebat bayangan andai ia dapat menjadi sedikit lebih berani. Ah, jika di dunia ini tidak ada ikatan karena hutang budi yang terlalu dalam tentu segalanya tidak akan serumit ini. Fiska paham betul apa jasa orang tua Frederik terhadap dirinya meskipun ia tidak terlalu mengenal Nyonya Miranda.

Tapi sebenarnya bukan hal-hal seperti itu yang benar-benar membuat Fiska ragu. Setiap ia melihat Frederik, ia seperti melihat karang kukuh di sana. Fiska adalah burung kecil yang bahkan untuk mencapai karang menjulang itu tak tahu caranya. Sayap-sayap Fiska masih terlalu kecil. Frederik terlalu gelap untuk ditelusuri dan tidak menyisakan celah sama sekali. Fiska tidak mengerti. Ia hanya merasa tidak pernah menjadi terlalu yakin untuk meruntuhkan karang besar yang penuh misteri itu.

“Aku antar pulang.”

“Kamu tidak sibuk,” balas Friska.

“Untukmu selalu ada waktu,” goda Frederik.

Fiska terdiam. Frederik terlalu baik sekaligus terlalu sulit dimasuki. Frederik terlihat seakan memperumit labirin-labirin saat ia semakin dimasuki. Selain itu, lelaki itu juga tidak menyisakan penjelasan yang mampu menjabarkan dengan ajeg. Menurut Frederik, segala hal antara ia dan Fiska biasa dan baik-baik saja.

Fiska menarik napas. Ia merasakan kesenangan di setiap saat Frederik memperhatikannya. Hanya, ah sudahlah. Fiska melangkah ke luar.

Nada-nada piano Ludovico Einaudi mengalir pelan, jalanan agak macet. Beribu mobil berhenti di jalan kota.

“Lagu ini, seperti film yang kamu rekomendasikan waktu itu!” Fiska membuka pembicaraan.

“Waw, seleramu sudah mulai bagus ya,” ujar Frederik seolah kaget.

“Aku rasa, otakku mulai mengalami peningkatan cara berpikir. Maksudku, film The Great Beauty agak kreatif dan berbeda.”

“Maksudmu?”

“Cara film itu berbicara tidak pakai kata-kata tapi menggunakan emosi manusia yang direkam rapi lewat gerakan maupun raut wajah. Teknik seperti itu, jarang aku temukan di film-film lain.”

“Analisis yang menakjubkan. Kau menonton film di mana? Di rumahmu ada televisi?“

Fiska melempar Frederik dengan boneka yang ia ambil di dashboard.

“Perpustakaan ibu kamu Frederik. Gimana sih! Di sana ada tiga buah televisi dan pemutar DVD yang begitu banyak. Dan tentu saja di rumahku ada televisi dan pemutar VCD meskipun bekas. Puas?” Fiska merungut-rungut. Tapi, dalam hati ia senang Frederik menggodanya dengan cara seperti itu.

“Oh, iya. Iya. Ha ha ha. Sepertinya, ruang itu sudah menjadi rumah bagimu ya.”

“Hmmm. Kamu sendiri sudah berapa lama tidak pulang ke rumah. Tidak kangen ibumu?”

Ibu

“Oh, Mamiku. Tenang dia perempuan modern. Jadi kami bisa bertemu di mana saja. Memangnya kamu, selalu bertemu ibu dan ayah di rumah.”

Mobil sudah melaju dengan tenang. Ludovico Einaudi masih sibuk memainkan nada Fuori Dal Mondo.

***

Mobil Frederik memasuki kawasan penuh sesak. Seperti biasa ia berhenti di ujung gang dekat rumah Fiska. Fiska menangkap kerumunan orang-orang di depan rumahnya. Hatinya tidak enak. Fiska langsung berlari begitu mobil Frederik berhenti di depan rumahnya.

Friska terdiam. Ia terpaku melihat raga yang terbujur kaku itu. Mayat ayahnya. Ia tidak menangis. Ya, ia tidak menangis. Ia hanya terdiam berusaha mencerna segala yang terjadi. Badannya lemas. Air mata meleleh begitu saja. Lelaki tua itu kini benar sedang ada di lantai di sela-sela tangisan ibunya. Ibunya menatap Fiska kemudian menangisi kembali mayat suaminya yang tadi pagi masih segar bugar. Perkelahian konyol Ucok dan Arlan mengiris perasaannya. Seharusnya, lelaki sebaik Arlan meninggal dengan cara yang lebih terhormat.

Ayah ingin memiliki anak yang kuat.

Ibunya memeluk Fiska. Frederik memandang dari depan pintu menatap isteri yang telah kehilangan suami itu. Perempuan itu pun, seolah sudah ada perjanjian di antara mereka, juga sedang menatap kedua matanya. Frederik menunduk, dan mencoba memejamkan mata. Hanya saja, ia tak bisa mengelak dari suara tangisan yang makin menjadi-jadi dari perempuan itu.

Tidak jauh dari tempat itu, salah satu kru Prapto tengah mengabadikan upacara kematian. Prapto yang nyaris kehilangan bisnis sejak peristiwa penusukan orang asing yang disiarkan oleh beberapa stasiun televisi dunia kini sudah mulai bangkit. Walaupun di awal-awal kejadian, ia hanya mendapatkan sedikit tamu. Bahkan beberapa kedutaan besar membuat kritik terhadap bisnisnya yang dimuat di media. Beberapa organisasi sosial bertubi-tubi menyerang. Terlebih lagi, tamu itu juga mengadukan hal ini ke kedutaan besar negaranya di Indonesia. Saat itu, Prapto sungguh-sungguh tidak dapat berpikir. Untunglah masa-masa itu cepat berlalu dan ditimpa oleh berita-berita kurang penting yang lain.

Dulu, ia sempat menganggap bahwa badai kehancuran telah siap menghadang. Akan tetapi, bukan Prapto namanya jika tidak berhasil bangkit. Impian untuk memenangkan ajang film dunia kembali mengguncang gairahnya. Dengan tangan-tangan di sela bau keringat, Prapto kembali menyusun rencana berisi skenario.

Kamera tersembunyi Prapto terus bekerja. Ia harus mereguk kembali sungai kejayaan Cannes Film Festival yang berisi ribuan mutiara di dasarnya. Seruling pembawa lagu kemenangan sudah menanti saat untuk ditiup.

Wellberg kembali menghubungi untuk membuat sekuel film dokumenter Jakarta’s Rainbow yang telah mengantarkan mereka mereguk wangi udara Eropa. Sebentar lagi, Cannes Film Festival siap mengguncang pasar Eropa. Bayangan kerlap-kerlip kota Prancis masih membayangi pikiran.

Semua akan berjalan kembali dengan sempurna.

Prapto masih merasakan betapa konyolnya penyesalan karena ia membawa tamu saat itu jauh ke dalam pasar. Harusnya mereka tetap berada di luar. Bahkan, ibu-ibu dan para anak yang biasa ia jadikan aktor dadakan pun mampu mencemooh kebodohan dirinya.

Gambaran kematian yang sempurna.

Prapto merekam mobil Mercedez milik Frederik yang parkir tepat di ujung gang terdekat setelah sebelumnya merekam gubuk kumuh berisi mayat. Ia mengontraskan keadaan itu sambil tersenyum. Andai saja di dunia ini manusia tidak perlu menjaga tatakrama, tentu Prapto tidak perlu repot-repot mengambil gambar secara diam-siam. Kru yang lain sibuk merekam titik-titik lainnya.

Frederik ikut mengantarkan jenazah ayah Fiska ke pemakaman. Ia juga menjadi penanggung biaya sewa kuburan. Kematian yang sulit. Langkah kaki ibu dan anak yang mengiringi jenazah Arlan begitu lemah. Di gengaman Fiska tersimpan dongeng anak Si Tudung Merah, yang menjadi hadiah ulang tahunnya sekaligus penghargaan atas keberhasilan Fiska menghafal juz tiga puluh. Buku itu dibeli ayahnya menggunakan tabungan yang ia sisihkan diam-diam. Fiska masih ingat wajah cemberutnya karena sang ayah tak kunjung pulang hingga matahari tenggelam. Sementara, di luar sana, ayahnya sedang berdebat keras dengan pemilik toko buku hingga pemilik toko merasa bosan dan memberikan potongan harga.

Mungkin ayah melakukan hal itu karena hampir tiap hari Fiska bercerita mengenai kisah Si Tudung Merah yang dibaca di perpustakaan. Buku pertama yang diambilkan oleh Frederik untuk Fiska.

“Orang itu sama sekali tidak mau beranjak dari toko. Akhirnya aku memberikan potongan harga,” cerita pemilik toko buku ketika Fiska diam-diam berpura-pura mencari novel untuk melihat harga buku yang dibelikan ayahnya tersebut.

Langit mendung di atas kota Jakarta. Kabut berdecit dengan himpitan resah. Ada kelam juga harapan. Jenazah itu pelan-pelan menyatu bersama penghuni tanah. Fiska dan Ibunya masih terperangah.

Avatar

Camouflage (Percik 8)

Dari Redaksi
Selain majalah Katajiwa, mulai beberapa minggu lalu Langit Sastra telah menerbitkan produk terbaru yaitu serial berjudul “Camouflage”. Camouflage ditulis oleh salah seorang anggota komunitas yang memiliki nama pena Anusapati CannabisCamouflauge akan terbit setiap Jumat pukul 19.30 WIB setiap pekan. Selamat menikmati bagian kedelapan dari serial yang makin tak terduga ini.
Selamat membaca.
Salam.

[Bagian 4]

Ucok mengendarai angkot itu dengan serampangan. Pedal gas ia injak sekencang-kencangnya lalu ia memaki-maki orang-orang yang dianggap terlambat menghindar. Kegiatan ini cukup menghiburnya. Lagipula hidup telah memaki dirinya dengan cara lebih mencekam selama bertahun-tahun.

Hatinya kesal karena Supri, supir yang ia suruh membawa angkot kemarin, memanipulasi jumlah uang setoran. Ingin rasanya Ucok menendang lelaki kurus tengik yang kini entah berada di mana itu. Beberapa kali Ia berusaha menghubungi Supri. Tidak ada jawaban. Ucok merasa kepercayaannya dipermainkan untuk kesekian kali.

Udara panas dan suara klakson berjejalan. Penumpang masih kosong. Ia menginjak gas memasuki jalan kecil melewati pasar berharap penumpang ada yang singgah. Biasanya, para ibu rumah tangga pulang pada jam ini. Ucok memainkan gas bertingkah seolah-olah angkotnya akan maju ketika melihat calon penumpang yang membawa keranjang berisi sayur. Lama menunggu, tak satu pun orang menaiki angkot bewarna biru muda itu. Ucok mulai jengah. Ia menginjak pedal gas kembali. Lagu Butet gubahan Vicky Sianipar dan Herman Delago, komposer asal Austria yang sudah berulang kali merajai konser dengan membawakan lagu Batak di Eropa, melantun dari ponselnya. Ponsel itu ia hubungkan dengan speaker kecil hasil otak-atik bengkel amatir di dekat kontrakan. Nada-nada getir dengan bahasa asli kampung lelaki berbadan tegap itu mampu membelah-belah lapisan daging di dalam hatinya.

“Buteeeeeet, di pangungsian  do amangmu ale Buteeeeeet. Damargurila da mardarurat ale Butet...” Ucok mengikuti lagu. Sembari membayangkan, tokoh liris yang terdampar di kesengsaraan karena berada jauh dari istri dan anaknya dalam lirik syair adalah dirinya sendiri. Jakarta juga tidak kalah menyedihkan jika dibandingkan dengan tempat pengungsian yang  menawarkan kesumpekan yang sama. Bayangan ketika ia ada di tanah Toba menyanyikan beberapa lagu dengan membagi suara menjadi tiga nada bersama dua teman dekat di Lapo Tuak muncul bergantian. Ia tersenyum membayangkan kejayaannya memainkan nada-nada tinggi. Kemampuan mencapai nada tinggi adalah anugerah Tuhan yang tidak diturunkan kepada sembarangan lelaki.  Kenangan masa itu sangat menyenangkan jika diingat saat keruh seperti sekarang.

Sudah berapa tahun ia tidak pulang? Mungkin tidak akan pernah pulang. Jakarta sudah mengubah segalanya. Ikan warna-warni yang berenang di danau melayang-layang dalam ingatan Ucok. Mungkin, saat ini ayah dan anjing tuanya masih setia menyalakan mesin perahu untuk mengantar pengunjung dari Prapat ke Danau Toba. Anjing Tua itu seperti biasa akan memberi salam kepada turis asing yang bersedia menyeberang bersama. Tingkahnya yang menunjukkan kesetiaan dan keramahan telah terekam dalam jejak foto yang ribuan kali diambil oleh penumpang. Sementara ibunya asyik mencuci baju di pinggir danau sembari menatap nasib yang suram. Tidak jarang Ucok mendapati ibunya tengah melamun dengan cucian di tangan sambil memandang jauh ke arah danau.

Ciiiiiiiiit!

Ucok menginjak rem dengan kasar. Mata Ucok menangkap ekspresi seorang nenek yang terjatuh karena terserempet mobilnya. Ia kesal bukan kepalang pasalnya ia sama sekali tidak mengendarai dengan kecepatan tinggi.

“Kimaklah!! Mau mati kau ha? Nenek tua! Kalo jalan itu pake mata kau. Kupulangkan kau ke rumah opungmu nanti baru tahu rasa!” Hardik Ucok. Jantungnya bergemuruh. Ini pertama kali ia memaki-maki seperti itu.

Kalau di Jakarta Cok, siapa yang paling dulu marah-marah itu yang benar.

Beberapa warga berkumpul. Ucok mulai cemas. Melarikan diri di saat  semua orang menyaksikan apa yang ia lakukan hanya akan menjadikannya daging panggang. Ucok tidak mau dikenang dengan cara meninggal yang mengerikan seperti itu. Metro mini yang dibakar warga seminggu lalu cukup untuk dijadikan lebih dari sekadar pelajaran.

“Kimaklah!!” Ucok menyesali ketidakfokusannya. Tangan hitam legam itu memukul-mukul setir.

“Woi! Bantuin tuh. Woii! Jangan lari lu!”

Warga berbondong-bondong mendekati angkot.

“Iya, maaf-maaf, ada tukang pijit dekat sini?” Ucok mencoba menunjukkan rasa tanggung jawab. Orang-orang terus saja berdatangan.

“Ya Alloh! Nenek Sutri,” seorang pedagang kaget melihat kaki Nenek Sutri yang membengkak dua kali lipat. Kaki Nenek yang sehari-hari berjualan kembang itu kini bewarna hijau kebiru-biruan.

“Bang anterin ke tukang pijet, ada tuh dekat kelurahan RT delapan.”

“Iya, iya,” dalam hati Ucok bersungut-sungut. Ia tidak memiliki uang sama sekali.

Ucok menghidupkan mesin. Berjalan pelan menjauhi pasar. Nenek Sutri masuk ke angkot dipapah oleh beberapa orang. Setelah orang-orang tersebut turun dari angkot, ia mulai menjalankan kendaraan. Nenek itu terus merintih di belakang. Ban berputar menuju jalan raya lalu masuk ke lajur cepat. Berpasang-pasang mata mengawasi kepergian angkot.

“Kasian ye, ya, neneknya, ya, supirnya,” ujar seorang Ibu yang sedang membeli pakaian dalam.

“Yah, gimana lagi. Kita juga harus tahu diri. Yang namanya tukang bajaj atau angkot pan kagak punya duit. Gak bisa dituntut. Minimal udah mau minta maaf ye ato nganter ke tukang pijit itu udah bagus,” jawab pelayan toko.

Jalanan Jakarta tampak lebih lapang di siang hari. Setelah lama berjalan, angkot tidak berhenti di tempat yang seharusnya. Sang nenek terlihat gelisah. Matanya mengawasi jalanan yang mulai mencurigakan.

“Abang! Kita mau ke mana? Ujar Nenek itu sambil tetap memegang pergelangan kakinya.

“Diam kau! Banyak tanya!”

“Tapi, tukang pijitnya udah lewat Bang.”

Kaki ucok menginjak gas lebih dalam. Angkot mulai berjalan tidak karuan. Sang Nenek berpegang erat. Wajahnya menunjukkan kegelisahan. Dalam hati, nenek itu mulai merapal doa untuk diserahkan kepada Tuhan.

Mobil memasuki kawasan terminal. Pelan-pelan mobil itu menuju kumpulan mobil lain dengan warna dan nomor yang serupa. Ucok  memberhentikan mobil tepat di depan teman-temannya yang sedang berkelompok. Ia keluar sambil membanting pintu. Sang Nenek terkejut dan ketakutan. Perasaannya berubah menjadi was-was.

“Woi!! Kalian lihat semua. Ini nenek-nenek sengaja berpura-pura ketabrak. Pakai acara mintak diantarin ke dokter pulak,” cemooh Ucok.

Teman-temannya seolah paham akan situasi yang terjadi. Teknik serupa ini sudah mereka lakukan ribuan kali untuk sekadar menyelamatkan diri dari kesialan.

“Hahahaha, emang nenek gila! Wuuuu,” sorak supir-supir.

Sang Nenek merasa dipermalukan. Ia menangis. Ia turun perlahan-lahan sambil meringis. Beberapa kali Nenek itu sempoyongan dan hampir terjatuh. Ia sama sekali tidak menyangka di masa tua yang seharusnya damai, dirinya masih harus menerima penghinaan. Sembilu yang berbisa menusuk-nusuk perasaan sang Nenek. Adakah ia telah berbuat kesalahan besar hingga Tuhan menghukum sedemikian rupa. Pertanyaan itu kini menggantung mempermainkan asanya.

“Pulang sana, pulang kau!”

“Dasar nenek-nenek.”

“Enggak, saya enggak bohong, demi Alloh,” nenek itu menitikkan air mata.

“Wuuuuuuu, udeh miskin. Belagu,” sorak para supir sembari sibuk membungkus erat rasa kasihan.

“Ucok,” Arlan muncul dengan gerobaknya.

“Apa kau ikut campur tukang sampah!”

“Mau binimu si Murni aku tiduri!” Hati Ucok semakin panas. Emosinya meledak-ledak.

Arlan tersinggung.

Buk.

Ia meninju wajah Ucok.

“Hati-hati kalau bicara,” Arlan mengatur napasnya. Teman-teman Ucok diam menyaksikan Arlan menggamit tangan nenek.

“Ayo Nek! Saya antar!” ujarnya sambil memapah sang Nenek. Arlan baru saja hendak berangkat memulung setelah mengantar Fiska sekolah. Sebenarnya anak itu sudah bisa berangkat sendiri, Arlan hanya ingin memberi waktu khusus untuk anak semata wayangnya itu.

Buuk!

Sebuah batu yang dilempar Ucok tanpa perhitungan tepat menimpa tengkuk Arlan. Tubuh Arlan limbung, terjatuh, dan tidak bergerak lagi. Sebercak darah tampak muncul dari kepala bagian belakang.

Sang Nenek berteriak ketakutan. Orang-orang mulai berkumpul. Ucok kaget setengah mati. Dadanya panas. Ia lari sekencang-kencangnya.

Avatar

Camouflage (Percik 7)

Dari Redaksi
Selain majalah Katajiwa, mulai beberapa minggu lalu Langit Sastra telah menerbitkan produk terbaru yaitu serial berjudul “Camouflage”. Camouflage ditulis oleh salah seorang anggota komunitas yang memiliki nama pena Anusapati CannabisCamouflauge akan terbit setiap Jumat pukul 19.30 WIB setiap pekan. Selamat menikmati bagian ketujuh dari serial ini.
Selamat membaca.
Salam.

[Murni]

Juli, 2004.

Harimau tidak akan membunuh anaknya sendiri. Pun, aku. Anakku harus tumbuh dalam surga yang kami buat dengan baik meskipun beberapa hal mengerikan terjadi di tempat kami. Suamiku bercita-cita untuk mengeluarkan buah hatinya itu dari kepekakan yang banal. Cita-cita besar suamiku adalah sambungan langkah yang harus kuteruskan. Juga pengabdianku terhadap pria lain di apartemen mewah itu.

Aku masih ingat ketika tanganku merapikan pakaian dalamku dan membuang kondom ke dalam tong sampah beberapa tahun lalu saat pertama kali aku bersamanya. Ia masih tertidur. Mungkin juga sedikit malu untuk menatapku secara langsung. Lelaki yang aneh. Berlagak bisa menaklukkan perempuan, namun memiliki kebimbangan lain.

“Dompet ada di laci meja. Silakan ambil berapa saja,” suaranya menyembul dari mulut yang mengarah ke bantal. Entah mengapa ia memillih posisi telungkup.

Aku berdiri di pintu. Mengelus lembut kepala yang ditumbuhi rambut hitam legam dan subur.

“Tunggu sebentar.”

Aku berhenti di pintu.

“Terima kasih,” ujarnya pelan. Kini ia menatapku. Ada sosok rapuh yang bercahaya di sana.

Aku berjalan menuju jalan raya dengan perasaan tidak karuan. Semoga Tuhan mengampuni dosa semua umat manusia. Matahari hampir menuju tempat tenggelam. Minum. Kata pertama yang berhasil dicerna pikiranku. Tanganku berhenti di sebuah keran di dekat warung. Menatapnya dengan muak lalu meminum air keran untuk diriku sendiri.

Ini satu-satu rahasia yang aku mohon kepada Tuhan agar selalu dijaga, terutama dari suami dan anakku. Setelah yang satu ini, aku akan rutin mengunjungi apartemen yang sama untuk mendapatkan penghasilan tambahan, jauh dari jangkauan anak dan suamiku. Aku mendapatkan apa yang aku inginkan, tuanku mendapatkan apa yang ia inginkan. Kami impas. Bisnis selalu begitu. Berjalan lancar jika dianggap impas.

Tapi benarkah hal yang kulakukan?

Kegelisahan sontak menyerang saat muncul kesadaran bahwa selalu ada kemungkinan kesalahan dalam menghitung peluang. Dan di dunia ini, kesalahan berpadu campur dengan kebenaran. Ketika ditelisik lebih dalam rahasia menyeruak diam-diam. Menampilkan wujud masing-masing bahwa racun bisa menyembunyikan madu. Bahwa madu adalah racun yang bercampur jelaga. Siapa yang tahu kebenaran. Kecuali Tuhan.

Aku terlahir di keluarga yang biasa saja. Sepanjang hidupku aku tidak pernah merasa dibutuhkan. Tidak seperti kakak dan adikku. Meskipun membuat beberapa masalah, mereka selalu diandalkan keluarga. Ibuku akan bolak-balik bertanya kepada kakak atau adik sebelum mengambil keputusan, tetapi tidak kepadaku.

Suamiku adalah pria pertama yang membuatku sedikit berguna. Pria kedua, tentu pria di apartemen itu. Meskipun untuk bersama dengannya, aku harus bertarung melawan rasa berdosa yang kadang mengeringkan guci-guci mungil berisi gairah hidup. Aku punya pembelaan sendiri bahwa aku tidak benar-benar sedang menanak dosa.

Ah, ini untuk anakku. Lagipula, aku masih sedikit terhormat dibandingkan dengan tetangga-tetanggaku yang menjadi budak sejuta pria, supir mobil rendahan pula. Aku tidak merugikan siapapun. Pria itu mengatakan bahwa ia sangat terbantu olehku. Ia tidak perlu banyak berpikir di tengah kesibukan bisnis yang dijalani dengan adanya diriku. Menurutnya, aku lebih pandai dalam hal memanjakan dirinya. Jadi, ia membiarkan saja aku melakukan apapun terhadap dirinya.

“Kau akan mengajariku banyak hal jauh lebih terang dibandingkan guru manapun,” bisiknya saat pertama menawariku. Ia terlihat begitu yakin. Berusaha keras mengusir keraguan yang membersit di matanya. Mungkin ini adalah kali pertama untuk dirinya. Dan tentu saja kali pertama pula untuk diriku.

Aku juga terbantu olehnya. Ia memiliki sebuah cawan yang sanggup mengalirkan dahagaku bersama bulir air nan manis. Tatapan mata yang sayu, ia begitu rentan. Ia membutuhkan aku. Aku gemar berkorban. Aku mampu membuat sayap-sayap lelaki rapuh itu berkibar lebih tegap. Ia rindu untuk ditumbuhkan.

Tidak ada yang dirugikan. Lalu mengapa di dunia ini selalu ada rasa bersalah? Aku ingin meludahi norma-norma dan agama yang mencekik leher, kaki-kaki, dan tanganku. Aku ingin terbang membantu semua orang yang membutuhkan.

Dan yang paling penting, aku tidak mau anakku malu dan dibentak-bentak oleh penagih utang. Ia terlalu muda untuk menangisi kemiskinan yang sepele ini. Seperti kata suamiku, ia harus jadi besar, juga keluar dari lingkungan kami. Suatu  saat, tidak satu ekor nyamuk pun dapat melintas di pori-pori kulit gadis itu.

Kelahirannya dibantu oleh bidan. Saat itu, tenagaku hampir habis. Bidan kebingungan karena ketubanku belum pecah. Beruntung ia mengambil alat pemecah ketuban. Dengan kecepatan penuh, bidan itu memutar alat itu. Matanya menyiratkan sedikit rasa lelah. Anak itu lahir, meraung menyambut dunia. Ia yang pertama kali mengajarkanku bahwa perasaan menyenangkan akan mendatangi manusia ketika kita benar-benar memberikan sesuatu kepada orang lain. Aku tatap bayi merah itu. Malaikat kecilku.

Sejak saat itu, aku bersumpah untuk mengusir penagih hutang hadir di depan rumahku. Apapun akan aku lakukan agar anakku tidak melihat wujud mereka. Beberapa hari sebelum kejadian itu, aku mendapati dua pria berbadan besar di tengah jalan sedang menuju ke rumah. Aku memohon agar kedua utusan Bu Haji tidak muncul di depan rumahku dengan jaminan kebohongan. Sejujurnya aku bingung. Sudah lama aku tidak mendapatkan pekerjaan serabutan yang biasa kudapat. Uang yang tersimpan tidak cukup. Hingga seorang pria datang. Ia tidak memaksaku seperti seorang tuan menyuruh pembantu. Ia hanya mengatakan bahwa ia membutuhkanku.

Aku adalah kata-kata yang menyusun diri lelaki itu yang telah lama kering. Di taman itu, kini tumbuh sepasang kembang edelweis yang kokoh berisi lembaran kelopak bunga yang kurangkai dengan aksara. Lelaki itu, entah mengapa, mampu membaca bagian diriku yang sunyi. Ia membuatku tidak merasa sedang berkhianat. Di tangannya, aku mampu menghargai suamiku sekaligus menumbuhkan taman di ladang sunyi sanubari. Mungkin kami memang ditakdirkan Tuhan untuk berada dalam cerita ini. Seperti kata dalang tua di desaku bahwa ada beberapa karakter buruk dalam dunia pewayangan yang sudah ditakdirkan Tuhan. Dalam keadaan seperti ini, manusia tidak mengandung benih dosa. Tuhan telah menakdirkan dia menjadi tokoh jahat. Untuk orang-orang terpilih seperti itu, pengabdian kepada Tuhan adalah ketika ia menjadi jahat. Kini, aku sedang mengabdikan tubuhku kepada Tuhan. Kepada cita-cita besar Pria Pertamaku. Melindungi anak kami. Aku hanya sedang berkorban.

Wajahku berkerut memikirkan semua ini sembari berjalan. Entah. Aku kadang tidak mengerti mengapa aku begitu haus perasaan akan pengorbanan untuk orang lain. Menjadi pahlawan membuat diriku merasa sedikit hidup.

Ini hanya sementara. Aku masih mencintai keluargaku. Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang. Pemberi pengampunan. Jagalah keluargaku.

Lelaki itu berjanji akan menjaga rahasia kami selamanya. Saat itu aku kembali yakin bahwa ia adalah pelengkap di dalam ketidaklengkapan hidup. Aku tidak  mengerti mengapa ia membiarkan aku membawa uang sesuka hati, membebaskanku datang kapan saja, membiarkanku merencanakan apa saja.. Perlakuannya itu seperti jaring-jaring laba-laba, memenjarakan kakiku dengan kokoh sekaligus lembut bersamaan.

Dug

Gelisah kembali menyerang. Aku menarik napas. Keahlianku menyimpan uang untuk membayar hutang setiap bulan adalah tipu muslihat yang tidak dapat dielakkan. Sejak dulu, aku sudah beberapa kali diam-diam bekerja serabutan jika keuangan kami dalam keadaan parah. Suamiku hanya tahu bahwa aku mengunjungi teman lama. Aku akan terus bertarung untuk permata kecil yang dicintai suamiku itu. Ia yang setiap pagi mengunjungi rumah Tuhan dan menutup malam dengan membaca ayat suci. Anak itu boleh melihat kekacauan terjadi di rumah orang lain dan lingkungan, tetapi tidak di rumahnya sendiri.

Hanya sedikit. Aku hanya sedikit mereguk jenis minuman lain. Semua akan baik-baik saja. 

Avatar

Camouflage (Percik 6)

Dari Redaksi
Selain majalah Katajiwa, mulai beberapa minggu lalu Langit Sastra telah menerbitkan produk terbaru yaitu serial berjudul “Camouflage”. Camouflage ditulis oleh salah seorang anggota komunitas yang memiliki nama pena Anusapati CannabisCamouflauge akan terbit setiap Jumat pukul 19.30 WIB setiap pekan. Selamat menikmati bagian keenam dari serial yang makin menarik ini.
Selamat membaca.
Salam.

[Bagian 3]

[Frederik]

Ada beberapa nama pianis yang wajib diketahui oleh orang-orang untuk menjaga intelektualitas mereka di mata orang lain. Mamiku menyebutnya citra. Sesuatu yang ia jaga bertahun-tahun. Ia menjaga citra diriku tetapi tidak memelihara diriku sebagai anaknya. Citra adalah sesuatu yang lebih agung ketimbang objek di dalamnya. Oleh karena itu, banyak perusahaan meskipun memiliki manajemen yang buruk, mereka akan terus bertarung demi citra yang baik.

Di mata Mami, aku adalah citra dari perusahaan raksasa bernama penyesalan atas kesalahan berpikir. Akan tetapi, bukan Mami jika tidak dapat memanfaatkan hasil dari remah-remah jelaga kegagalan. Aku pun dipoles ke dalam berbagai periuk berisi didihan tinta bewarna-warni. Mami memerintahkan budak-budaknya untuk merebusku menjadi maha karya agung. Didihan yang teratur pelan-pelan mengeluarkan tembikar yang bersinar seperti yang diinginkan Mami. Akan tetapi, ia lupa bahwa rongga di dalam tembikar yang sunyi itu kosong.  Sesekali, Mami memajang keanggunan diriku di depan para kolega. Di sebelahku, Mami bisa berdiri dengan senyum sumringah. Aku adalah citra terbaik yang menumpang lahir di rahim Mami. Aku adalah kucing kecil yang menyelaraskan pandangan orang-orang bahwa Mami adalah wanita karier yang juga becus mengurusi anak. Sebagai citra, aku harus bisa dijual dan bertarung dengan berbagai keanggunan bisnis lain.

Aku tidak pernah memanggilnya “ibu” dan dia tidak pernah memanggilku “anak”. Siapa ayahku, aku tak tahu.

Untuk menjaga kehormatan, aku harus memanggil ibuku dengan sebutan “mami” bukan “ibu” karena ia memang bukan ibu menurutku. Ia adalah ibu anak-anak ular perusahaan yang menjalar-jalar sepanjang Indonesia dan melintasi pasar Asia. Taringnya tajam serta menyimpan lebih dari sembilan puluh sembilan jenis bisa.

Pergerakan harga saham merupakan anak-anak kesayangan yang dipelihara oleh Mami sejak dalam rahim baik-baik. Setiap kali mereka mencicit, Mami selalu datang dengan beribu kasih sayang.  Aku hanya menumpang di rahimnya.

Ibu adalah bunga mawar yang menebar aroma ke ruang kosong pada tatapan mata penerus mereka. Ibu adalah tangan halus yang menenangkan sejak jemari mungil bertanya mengapa angin membuat pori mereka geli atau mengapa debu mampu menggelitik hidung hingga harus bersin. Ibu adalah perempuan yang memeluk anak mereka ketika terjatuh dan menangis saat berlari-lari lalu menyanyikan untaian puisi yang akan menarik bulir-bulir air mata, serupa angin sejuk menyapa sayap burung yang baru keluar dari cangkang telur. Mami bukanlah ibu.

Sesak sekali. Aku butuh satu tarikan napas panjang. Wajah perempuan teduh dalam mimpi itu muncul. Ia tidak dipungkiri memiliki telaga lindap tempat para anak berkumpul. Di dalam matanya yang jernih, aku berenang sembari meminum air sepusanya. Tidak ada ketakutan di sana. Pohon-pohon menyanyikan kidung suci penutup cabik di dalam kenangan. Perempuan dalam mimpi itu yang menggerakkan bibirku untuk menyebutnya “Ibu”, tapi benarkah ia ibuku?

Aku kembali menatap lukisan Jatayu. Berharap ia dapat hidup kembali seperti waktu itu. Meskipun menakutkan, entah mengapa aku merindukannya. Mungkin karena ia juga membawa wajah yang bijak serupa Ibu.  Aku merindukan Ibu.

Mimpi tidak terjadi di saat kau terjaga.

Ah, ya. Mengenai daftar pianis dan komposer, paling tidak kalian harus mengenal Beethoven dan Mozart sebagai langkah pertama menjejakkan kaki di kelas sosial sepertiku. Sedikit sejarahnya dan tentu saja juga pembicaraan panjang mengenai karya paling revolusioner Simphony 9 milik Beethoven yang juga terpampang dalam bentuk lukisan di bus kota. Tepat di badan bus tertulis kata-kata “Simphony 9 Beethoven.” Lebih daripada itu, kalian boleh mengenal Arturo Benedetti Michelangeli yang mampu menghasilkan karya sempurna bahkan sebelum diedit atau Walter Wilhem Gieseking yang memainkan lagu di saraf-saraf otaknya hingga sempurna sebelum menekan balok hitam putih piano. Atau  jika kalian berminat, kalian bisa pula mengagumi pianis favoritku Ananda Sukarlan. Di tangannya puisi-puisi Sapardi lahir kembali. Album piano Sukarlan berjudul Hujan Bulan Juni, Gadis Kecil, dan Becoming Dew berjajar rapi di deretan koleksiku. Sesekali, aku turut pula memainkan dan mencoba menggubah menurut penafsiranku sendiri.

Meski merasa dipaksa mempelajari nada oleh Mami, hal ini adalah satu-satunya yang tidak akan kusesalkan. Di antara nada, aku membiarkan darah mengalir menuju taman sukma. Di sana, ada burung, rumah tua, sihir mungil, arloji tua, dan beberapa gadis kecil. Anak-anak lelaki sibuk memanjat pepohonan. Dalam nada pula, aku dapat menekuk perih yang menggelitik melewati sumsum yang marah.

Akan tetapi, lebih dari semua itu, aku sedang tertarik kepada hal lain. Di usiaku yang menuju tiga belas tahun aku tidak melihat bahwa Maryam adalah ibuku, seperti cerita usang Mami. Semua mulai tampak menjadi tumpukan kebohongan yang semu. Aku semakin yakin bahwa Mami memang pernah menjadi makhluk berkelamin ganda di suatu masa dalam hidupnya.

Kucing kecil ini. Mami kini telah belajar mengoyak sarang-sarang muslihat.

Aku menemukan pemikiran itu ketika mendengar komposisi The Humiliation of Drupadi milik komposer besar Ananda Sukarlan. Benarlah kata orang bijak, semakin banyak kau belajar, semakin damai kehidupanmu. Saat itu, jemari tangan Ananda Sukarlan menari rapi untuk mempertunjukkan karya tersebut bersama Chendra Panatan di Taman Ismail Marzuki. Siapa sangka, pianis yang mengaku sering terinspirasi puisi Sapardi bahkan karya Eka Budianta di Eropa itu akhirnya dapat memasukkan unsur tradisional ke dalam nada-nada dan memainkan di tanah airnya sendiri.

Sukarlan adalah seniman eksentrik yang berhasil memadukan nadanya dengan sastra serta membubuhkan penari dalam pertunjukan. Bagiku itu merupakan bukti pencapaian seninya yang adiluhung. Di Eropa masyarakat mengenalnya sebagai pianis sastra. Di Indonesia, mungkin sedikit yang tahu tentang dia. Orang-orang berbakat pelan-pelan dapat terusir dari tanah airnya sendiri.

Di dalam pertunjukkan itu, aku menyaksikan Drupadi, sang perempuan yang diperebutkan Pandawa dan Kurawa melalui pertarungan dadu. Saat itu aku mengerti bahwa takdir perempuan  adalah diperebutkan para lelaki. Mereka adalah melati suci yang amat membutuhkan perlindungan. Mereka dipertaruhkan, dipuja, juga dipermalukan. Aku geram sekali. Mami bohong mengenai kisah kelahiranku. Kini aku tahu bahwa ibuku bukan Maryam. Mungkin Drupadi. Perempuan yang ditaklukkan para lelaki.

Aku merasakan desir di dalam darahku seolah-olah mereka berteriak bahwa inilah saatnya menjadi Pandawa atau Kurawa. Aku harus menuju ke medan perangku untuk memperebutkan Drupadiku. Tapi, ada luka lain menganga di sana, bahwa aku juga merindukan seorang ibu. Aku rindu menjadi lelaki sekaligus haus belaian ibu.

Sesuatu yang lain mulai bergeliat dan menanamkan akar-akar gelisah di taman-taman kelam pada tidur-tidur yang tak pernah teduh di malam-malam hari. Aku kembali menatap lukisan Jatayu. Teringat peristiwa malam itu. Kepalaku sakit sekali. Mungkin ini harga untuk menemukan arti menjadi laki-laki seperti kata peri kecil itu. Kebingungan yang kusut melandaku bertubi-tubi. Aku tidak akan menyerah untuk terus hidup. Aku bukan pecundang busuk seperti yang mami takutkan. Di saat ini aku tidak memiliki Ibu. Hanya ada musik. Siapa yang dapat menjelaskan atau menguraikan kepadaku mengenai kegelisahan serupa ini kecuali alunan nada?

Aku sudah muak berada di rumah. Aku ingin sendiri. Tak perlu izin dari Mami. Laporan singkat kepada penjaga rumah sudah lebih dari cukup. Kemarin, aku sudah menyuruh satpam kesayangan Mami menghubungi salah satu apartemen di kawasan Semanggi. Kerajaan Pandawa juga Kurawa sedang dibangun. Apakah aku sebenarnya Pandawa? Atau akan jadi Kurawa? Atau perpaduan kedua-duanya? Betapa sesungguhnya salah satu hal paling sulit di dunia ini adalah mengenali diri sendiri.

Aku memandang kaca. Pelan-pelan, kusingkap tirai yang menghubungkan ruanganku dengan proyek ramah-tamah perpustakaan milik mami. Anak perempuan itu lagi. Kali ini temannya tidak bersama. Ia selalu datang pukul dua siang dan pulang pukul empat, saat hari beranjak sore. Setidaknya kami punya satu  kesamaan, kesenangan menyendiri. Juga satu perbedaan, bahwa ia memiliki ibu sedangkan aku hanya memiliki Mami.

“Dang-Gu, mitos yang meyakini bahwa orang Korea merupakan keturunan dewa.”

Anak perempuan itu membalikkan tubuhnya. Ia agak kaget. Aku tersenyum. Di tangannya tersimpan buku dongeng asal Korea.

“Frederik,” aku memajukan tangan kanan.

“F...iska,” ujarnya malu-malu.

“Buku dongeng selalu saja memunculkan binatang yang licik,” aku mengamati rak buku dan menarik satu buah buku bersampul gadis berjubah merah.

“Si Tudung Merah asal Prancis. Di dalamnya ada singa yang licik dengan seribu muslihat untuk mengelabui Tudung Merah dan neneknya,” ujarku sambil memperlihatkan buku itu kepadanya.

“Aku sudah pernah membaca buku itu,” jawabnya pelan, tetapi tetap menerima buku cerita itu dari tanganku. Aku sedikit terkesima.

“Ayahku juga senang mendengar cerita itu,” lanjutnya lagi.

Aku kembali tersenyum.

“Hmmm.. suara musik yang tadi?”

Apa? Sejak tadi aku pikir ia membaca, ternyata mendengarkan. Telinga yang tidak biasa. Sayang pikiran yang belum matang itu terperangkap dan tumbuh di tanah kering. Tempat air tersuruk dari partitur.

Aku menatapnya. Diam sejenak.

“The Humiliation of Drupadi,” ujarku lantang.

“The.....” lidahnya berhenti.

Aku tersenyum lagi.

“The Humiliation of Drupadi, peristiwa saat seorang perempuan merasa dipermalukan. Drupadi adalah istri Pandawa akan tetapi mereka harus menjadikannya taruhan akibat ketamakan ketika kalah judi. Mau mendengarkan?”

Ia ragu kemudian mengangguk. Kami menuju ruang piano.  Matanya begitu berbinar menyaksikan jari-jariku yang lincah. Kupermaikan partitur-partitur hasil interpretasi terbaruku sebelum akhirnya mengulang nada lagu inti yang asli.

“Mau mencoba?” aku menawarkan.

“Tidak, terima kasih. Kata ayah, aku hanya boleh membaca buku di sini.”

“ Aku kembali ke perpustakaan,” ia bersikap pergi. Kegugupan seakan mendorong kakinya untuk menjauh secepat mungkin dari diriku.

“Sebentar!” Ujarku.

Aku mengambil tumpukan kepingan CD rekaman pertunjukkan lagu yang sama di Rusia. Kamu harus menyaksikan ini, rekaman pertunjukkan asli. Aku menyalakan televisi.

Fiska terdiam seperti mengerti, seperti tidak. Drupadi meraung-raung ketika selendangnya ditarik dari dua buah sisi. Ia melempar sedikit pandangan dan menoleh ke arahku.

“Ada apa?” Tanyaku.

“Eh, tidak,” ia kembali mengalihkan pandangan ke layar kaca.

Pertunjukkan ditutup dengan tepuk tangan meriah dari penonton. Fiska gugup dan sedikit gelisah menyadari bahwa di ruangan itu hanya ada kami berdua. Ia terlihat sungkan memulai pembicaraan. Matanya berpendar melihat seluruh isi ruangan.

“Fotomu jatuh?” Suara Fiska sedikit serak. Ia menunjuk foto Mami dan diriku yang tidak pernah disentuh sejak kulempar ke lantai.

Aku terkesiap.

“Ah, iya. Itu foto lama ketika aku bermain di Ancol.”

“Ancol,” Fiska mengulangi.

“Kenapa?”

“Tidah, eh, kata Wak Mijon di sana ada permainan menyenangkan bernama roler kostur,” Fiska berkata ragu.

“Roller Coaster,”aku memperbaiki ucapannya.

“Iya, roles kostur,” Fiska mengulang pelan tetapi masih salah. Matanya tertunduk malu.

Aku tersenyum geli.

Mahal adalah haram. Haram adalah dosa.

Mantra Fiska menggema. Gadis kecil itu berusaha menjinakkan raungan gemuruh yang sedari tadi menghentak tubuhnya.

Aku menatap wajah Fiska kemudian beranjak seolah tidak peduli terhadap foto di lantai.

“Ini fotomu tempo hari,” aku menyerahkan foto itu sebelum ia pulang.

“Terima kasih,” Fiska menjawab.

“Mungkin minggu depan, aku sudah tidak di rumah ini lagi. Tapi, sesekali aku  kembali,” ujarku.

“Boleh kapan-kapan aku bermain ke rumahmu?” Pancingku.

“Di sini sepi sekali. Ibuku sibuk. Sepertinya rumahmu menyenangkan.”

Fiska terdiam lalu mengangguk. Ia pamit. Aku mengantarkannya hingga depan pintu. Fiska segera berlari menuju gerbang. Pak Toto, satpam, yang merangkap sebagai pemegang kunci perpustakaan menutup gerbang itu.

**

Mata Fiska waspada menunggu ayahnya. Matahari sudah menurunkan sengatannya. Asap Metromini muncul silih berganti di antara jejalan angkot dan mobil pribadi. Gerobak sampah ayah muncul dari kejauhan.

“Ayah!” ia melambaikan tangan.

“Ayahnya tersenyum.”

“Tadi kamu membaca apa?”

“Kisah Dong-Gu, Tudung Merah lagi.”

“Ayah tau Drupadi?”

“Ya, tentu saja. Itu tokoh di dalam wayang.”

“Nanti malam ceritakan kepadaku. Biasanya aku yang membacakan Alquran atau dongeng untuk  ayah.”

Tayangan yang baru disaksikan Fiska kembali berputar di imajinasi. Menyelami Drupadi berarti memasuki pikiran Frederik. Fiska tidak sabar membuka lembaran misteri yang menantang rasa ingin tahu. Fiska memandang ayahnya. Ayahnya tersenyum.

“Bisa.”

“Ayah!”

“Mengapa sepulang sekolah ayah selalu menyuruhku ke perpustakaan Nyonya Miranda? Teman-temanku biasanya langsung pulang ke rumah? Apa ayah tidak kangen aku?”

“Semua ayah pasti rindu anak, juga istri sepanjang hidup mereka. Hanya, ada hal lain yang harus berkorban untuk hal lain. Dalam hal ini, kamu akan dewasa dan butuh ilmu yang banyak untuk menjelaskan segalanya paling kurang untuk dirimu sendiri.”

“Supaya aku tidak menjadi tukang sampah? Aku tidak apa-apa menjadi tukang sampah. Sejak kecil aku sudah mengikuti ayah,” Fiska menoleh menatap wajah ayah.

Ayah tertawa.

“Bukan itu, supaya kamu menjadi manusia yang lebih pintar.”

“Tapi, kalaupun pintar aku tetap boleh jadi tukang sampah kan? Aku suka dengan gerobak ayah.”

“Ya, boleh. Boleh.”

“Kamu tidak mau naik gerobak?”

“Tidak, sebentar lagi umurku delapan tahun. Jadi, tubuhku sudah berat. Lagipula gerobak ayah banyak sampahnya,” Fiska menggoda.

“Ha ha ha,” Ayah tertawa.

Mereka melintasi jalan di depan bioskop tua. Sebuah sepeda motor yang tergesa-gesa terpaksa mengerem mendadak memberikan jalan kepada ayah dan anak itu.

**

Setahun sudah Fiska mengunjungi perpustakaan Nyonya Miranda. Kini, ia tidak lagi dijemput ayahnya. Sesekali, Frederik datang ke rumahnya dan berdiskusi mengenai buku dan musik bersama Fiska dan teman-teman sekolahnya. Mengenai Claude Debussy hingga Harper Lee. Tentu saja pembicaraan paling banyak jatuh kepada Ananda Sukarlan. Frederik bisa datang kapan pun dia mau karena ia tidak bersekolah di sekolah formal. Sesekali Fiska, Frederik, dan beberapa teman yang lain menonton film bersama di perpustakaan itu.

Fiska kembali menjelajah aksara. Virginia Keile sedang menuju sebuah rumah sederhana untuk menyembuhkan keguncangan jiwa seorang putra dan putrinya. Virginia menatap kejadian yang terjadi beruntun dengan wajah sayu. Perceraian yang sangat tidak ia harapkan  dengan suaminya. Kini episode panjang sebagai seorang ibu tunggal menghantui. Mata Fiska terpaku melalui lembar demi lembar karya Rosamunde Pilcher hingga akhirnya sebuah langkah kaki berhasil membuat ia menoleh.

“Frederik,” Fiska tersenyum.

“Hai Fiska.”

Fiska terdiam. Suara Frederik terdengar lebih dalam. Tubuhnya tinggi dengan kulit putih bersih. Mahakarya yang akan mampu memanggil para burung untuk berkicau lebih dalam dan syahdu.

Hari ini Frederik mengajak Fiska berjalan-jalan setelah mereka cukup lama tidak bertemu. Fiska membayangkan betapa menyenangkan  kesempatan ini meskipun untuk itu ia harus mengeluarkan kemampuan yang besar untuk mengendalikan diri.

Frederik menatap dua buah novel di sebelah Fiska. Anna Karenina, karya besar Tolstoy. Tulisan yang bahkan membuat sastrawan sebesar Dostoyevsky berdecak kagum terhadap kepiawaian Tolstoy menata kata.

“Hei, kau sudah menyelesaikan Anna Karenina? Kedua versinya?”

Fiska terkesiap seakan tahu apa yang dimaksud Frederik. Buku yang lebih kecil adalah karya klasik bangsawan Rusia itu yang telah disederhanakan bahasanya agar bisa dipahami anak-anak. Akan tetapi, naskah di bawah buku kecil itu adalah naskah asli seperti apa yang ingin digambarkan Tolstoy. Tidak ada pemotongan adegan atau penyaringan data.

Ada dua kemungkinan pernyataan yang Fiska baca di dalam tatapan Frederik. Pertama, Frederik menganggap naskah asli itu tidak seharusnya dibaca oleh anak seusia Fiska. Kedua, Frederik merasa tidak habis pikir bahwa anak semacam Fiska mampu memahami novel klasik dengan tokoh yang banyak dan alur yang cukup panjang.

“Hmm, aku meminjam dan membacanya di rumah,” Fiska berdehem menghilangkan keparauan suara.

“Kedua-duanya?” Frederik semakin penasaran.

“Ah.. tidak. Hanya yang versi untuk anak-anak. Yang ini, aku baca di sini sejak beberapa hari lalu dan baru selesai,” Fiska menghembuskan napas menurunkan telunjuknya yang sedari tadi menunjuk ke naskah asli Anna Karenina. Ia kemudian menatap Frederik dengan pandangan cemas.

Frederik diam sejenak.

“Ha ha ha,” Frederik tertawa.

“Kamu memang aneh!”

“Ayo! Berangkat nona buku,” Frederik mengajak Fiska. Fiska merasa lega. Ternyata Frederik tidak bertindak semenakutkan yang ia pikirkan. Mungkin bagi Frederik, hal seperti ini biasa saja. Sejak lahir ia sudah berteman dengan banyak informasi.

Ini adalah pertama kali ia pergi hanya berdua bersama Fiska dengan kendaraan pribadi. Frederik selalu berhasil membuat polisi tidak berkutik setiap kali ia hendak ditilang. Sebelumnya, mereka banyak bermain di perpustakaan atau di ruang sebelah. Kadang hanya berdua atau bersama Tono. Kadang yang lain, Fiska datang bersama teman lain. Di mata Fiska, Frederik dan ibunya memiliki sifat yang sama. Baik hati.

“Pasang sabuk pengaman ya.”

Fiska sedikit kaget.

Sabuk pengaman. 

Fiska gugup. Ia teringat adegan di televisi. Fiska memutar matanya. Sambil menyembunyikan kegugupan yang menjalar ke tangan, ia menarik sabuk pengaman itu.

Ternyata agak berat.

Tangan Fiska berhenti menggantung. Sabuk itu tidak berhasil ia tarik lebih panjang. Fiska gugup. Tiba-tiba, ia merasa bahwa naik gerobak sampah jauh lebih nyaman. Bau pewangi mobil juga agak sedikit menggangu dirinya. Kepala Fiska sedikit pening. Frederik tertawa.

“Fiska.. Fiska,” ujarnya sambil menarik sabuk pengaman itu dan memasukkan ujung besi ke sebuah celah kecil di sisi kanan kursi.

Klik. Sabuk terpasang rapi.

“Gampang kan?” Frederik tersenyum simpul.

“Kamu bahkan lebih gugup dari Anna Karenina ketika belajar mengendarai kuda bersama Vronsky, selingkuhan yang juga kekasih lamanya itu,” Frederik terkekeh.

Wajah Fiska memerah. Ia hanya diam sambil menundukkan wajah. Perasaannya tak karuan.

“Kamu tidak sedang jatuh cinta seperti Anna kan?” Goda Frederik.

Jantung Fiska berdetak. Bayangan luapan perasaan Anna Karenina yang akhirnya mengabaikan keluarga kecilnya demi cinta lama yang muncul kembali mulai dapat diterima akal sehat Fiska. Bahwa ketika jatuh cinta, perempuan mengukur segalanya dengan perasaan. Dengan perasaan, segalanya menjadi sulit dikendalikan. Pandangan tidak akan mendapat celah untuk bersua cahaya. Di dalam gelap, akal sehat mati. Jiwa yang haus berdebur bersama kesejukan. Fiska mulai merasa bahwa Anna Karenina tidak sepenuhnya jahat. Ia meninggalkan anak dan suami demi sesuatu. Anna Karenina tidak lagi keji seperti yang ia pikirkan dulu. Fiska menarik napas dalam. Ia kemudian menoleh ke arah Frederik yang sedang fokus mengendarai. Mobil meluncur membelah kota Jakarta.

**

HA? SEGITU DOANG?

“HA HA HA HA HA HA HA HA HA HA HA HA,” Fiska tertawa terbahak-bahak.

“HA HA HA HA HA HA HA HA HA HA HA,” Otak Fiska masih berupaya mencerna semua kegilaan ini. Ia seperti akan menangis di tengah ironi, tetapi tubuhnya mengajak dirinya tertawa. Jauh di dalam hati, ia ingin sekali menangis menggelontorkan berton-ton kesia-siaan.

Frederik keheranan. Fiska masih tertawa terbahak-bahak. Air mata mulai membayang di matanya akibat terlalu banyak tertawa.

Petugas membantu mereka melepaskan pengaman. Fiska berdiri sambil memegang perut.

“SEGITU DOANG? Satu menit empat puluh lima detik!” Fiska masih diguncang tawa. Frederik ternyata mengajak Fiska ke Dunia Fantasi Ancol. Sewaktu masuk, Fiska terbengong-bengong tidak pernah membayangkan bahwa Frederik menyimpan rapi keinginan dirinya.

Fiska meluncur dan berputar cepat sejak ia dinyatakan boleh melewati gerbang masuk.

“Fiska,” Frederik kesulitan mengejarnya dengan langkah tergopoh-gopoh. Sementara Fiska melaju kencang seperti orang kesetanan memasuki kawasan yang di dalam kitab lain menurut ayah dan Wak Mijon adalah haram.

Kaki Fiska berhenti di sebuah wahana. Ia mengingat-ingat gambar yang digores oleh Wak Mijon.

Benar yang ini. Fiska yakin. Roller Coaster.

Frederik kebingungan melihat Fiska yang berada di antrean roller coaster. Ia tidak menyangka kerinduan Fiska akan roller coaster mampu membawa kaki gadis kecil berjalan cepat seperti orang kesetanan. Paradoks yang tidak akan pernah terjadi, tetapi sangat Frederik rindukan dapat terjadi di dalam hidupnya.

Frederik bahkan tidak dapat merasakan lagi apa arti mendapatkan kesenangan. Mami mampu mewujudkan apapun dengan mantra-mantra ajaibnya. Frederik ikut berdiri di antrean yang cukup panjang. Tiga puluh menit ia berdiri. Ia tersenyum tipis saat otaknya mencerna adegan yang seperti tidak akan pernah terjadi, tetapi nyata di depan mata.

“Mau coba duduk di depan?” Frederik berbisik dari belakang.

Fiska mengangguk. Di tempat duduk ia berdoa. Bayangan keindahan dan hal menegangkan seperti cerita Wak Mijon akan ia rasakan sebentar lagi. Ia kembali meyakinkan diri bahwa ia benar-benar berada di atas roller coaster.

Hidup ini sungguh gila.

Mesin menyala. Mereka meluncur dan berputar sangat kencang. Lalu berhenti.

Fiska mengalami kebingungan. Ia tidak berteriak. Tidak berseru seperti yang lain. Tidak sempat berpikir. Tidak merasakan apa pun. Yang ia dapati adalah pertanyaan aneh.

Jadi cuma ini?

Cuma seperti ini? Ha ha ha ha ha.

Fiska tidak dapat menahan tawa. Ia merasa hampir-hampir manjadi gila. Terlalu tinggi terbang semakin sakit jatuh. Imajinasi yang dibangun oleh ketidakmampuan menggapai sesuatu tumbuh seperti balon yang ditiup: menggelembung besar sekali. Siapa sangka, imaji itu terlalu jauh. Ternyata balon itu bahkan belum sempat ditiup.

Fiska merasa sedikit menyesal telah membiarkan dirinya memuja-muja roller coaster terlalu agung bertahun-tahun pula. Melalui labirin kemelaratan, benda itu terlihat sangat ajaib. Bahkan lebih ajaib daripada apa yang ada di kenyataan. Entah apa yang akan diceritakan kepada ayah dan ibunya nanti. Juga kepada Wak Mijon tentunya.

***

Mobil Frederik telah sampai di ujung gang terdekat dari rumah Fiska. Fiska harus berjalan ke arah dalam.

“Terima kasih,” ucapnya tersenyum.

Frederik melanjutkan perjalanan pulang. Fiska menyaksikan mobil hitam itu hilang di tikungan.

Frederik

Fiska melangkah dengan riang. Ia sudah bersiap-siap menyusun adegan mana yang akan ia ceritakan lebih awal kepada ayahnya mengenai Ancol.

“Buka pintunya buka! Huhuhuhuhu, udah!” raungan Ibu Tono di depan pintu.

Fiska menghentikan langkah kakinya. Tiba-tiba perutnya mual. Ia berdiri kaku. Jika ibu Tono sudah meraung, itu artinya ayah Tono yang berkerja  sebagai petugas parkir  sedang menghantam-hantamkan kepala Tono ke arah tembok.

Dug Dug Dug.

Bunyi hantaman kepala Tono yang pertama kali didengar Fiska terjadi saat ia bermain boneka sendirian di rumah. Ia menjatuhkan boneka lalu tertunduk diam membayangkan Tono memilih menutup mulut karena jika ia menangis keras ayahya akan melakukan siksaan yang lebih hebat. Dua hari setelah peristiwa itu, Fiska mengajak Tono bermain seperti biasa tanpa menanyakan lebam di kening Tono. Usianya lima tahun kala itu. Kini suara itu  mengisi kembali seluruh kepalanya.

“Buka pintu! Ya Allah! Bunuh aja anaknya sekalian. Bunuh aje gak usah disiksaaaaa hu hu hu,” suara ibu Tono terdengar makin parau dari kejauhan. Perempuan itu meratap di depan sambil memukul-mukul pintu. Raungannya  menusuk-nusuk telinga Fiska. Ayah Tono masih saja melampiaskan segala bentuk ketidakadilan hidup yang ia rasakan kepada bocah itu.

“Mati lu! Anak gak tau diri!”

Dug dug dug.

”Buka pintunyaa huhuhu, udah bunuh aje anaknya. Bunuh! Jangan disiksaa...”

Suara itu masih terus terdengar di telinga Fiska.

Avatar

Camouflage (Percik 5)

Dari Redaksi
Selain majalah Katajiwa, mulai beberapa minggu lalu Langit Sastra telah menerbitkan produk terbaru yaitu serial berjudul “Camouflage”. Camouflage ditulis oleh salah seorang anggota komunitas yang memiliki nama pena Anusapati CannabisCamouflauge akan terbit setiap Jumat pukul 19.30 WIB setiap pekan. Selamat menikmati bagian kelima dari serial ini.
Selamat membaca.
Salam.

Fiska membolak-balik buku yang baru saja dibawa oleh Nyonya Miranda. Sudah seminggu Fiska bersekolah di kelas-kelas yang terletak di bawah jalan tol. Kelas yang satu dengan yang lain hanya dibatasi oleh sekat tripleks setinggi satu meter. Sekolah darurat ini berdiri di bawah tanggung jawab Nyonya Miranda.

Di atas kepala anak-anak itu berlintasan ribuan kendaraan yang berpacu. Mengeja jalan tol untuk menjemput kehidupan. Nyonya Miranda dan asisten pribadinya sibuk menjelaskan perpustakaan baru yang dibangun di sebelah rumah. Tak lupa ia membeberkan beragam hal yang dapat dilakukan di sana mulai dari membaca, menyaksikan film pendidikan, juga mendengarkan pembacaan buku-buku melalu rekaman yang terdapat di buku audio.

Seorang anak laki-laki duduk di pojok bangku depan. Frederik yang bosan. Ia menatap beberapa wajah. Seorang ibu tengah berdiri di dekat kelas. Matanya mengarah ke Mami dan juga seorang anak.  Frederik mengikuti tatapan mata si ibu yang berdiri di depan kelas. Sorot mata tajam Frederik berhenti di satu anak perempuan.

Betapa menyenangkan memiliki Ibu yang selalu menantimu.

Fiska menyadari bahwa sepasang mata anak Nyonya Miranda beberapa kali mengawasinya. Ia pura-pura sibuk mendengar. Kamera wartawan susul-menyusul bekerjap-kerjap untuk mengabadikan peristiwa itu. Nyonya Miranda tersenyum.

Klik. Klik. Klik.

Suara kamera bermain dalam irama. Frederik melihat sosok wanita yang tersenyum ke arah kamera itu kini berwujud hantu. Mungkin hanya Frederik yang mengetahui siapa Nyonya Miranda sebenarnya. Di dunia ini, kebenaran tidak mendapat tempat jika tidak didukung banyak orang. Frederik mulai jengah.

“Kami akan resmi membuka kunjungan minggu depan. Setiap anak yang sekolah di sini akan diberi kartu khusus. Kalian semua boleh datang. Gratis,” Beatrice tersenyum ramah.

“Mereka dapat mengakses perpustakaan itu sejak pagi hingga pukul tujuh malam,” tambah Beatrice kepada wartawan.

Keringat tampak mulai mengaburkan jejak-jejak make up yang biasanya bertahan lebih dari enam jam. Beatrice mengelap kesal. Andai ia dapat membeli foundation yang ia lihat di katalog bulan lalu, hal serupa ini tidak akan terjadi. Sayang pacarnya terburu-buru meminjam uang untuk bisnis lalu mengait-ngaitkan dengan masa depan ketika kelak mereka menikah. Jika sudah berkaitan dengan masa depan, Beatrice adalah perempuan yang akan mempersiapkan segalanya.

Fiska duduk di sebelah Tono, anak  petugas parkir. Tono tinggal di sebelah rumah Fiska. Dulu, Tono sama sekali tidak ingin kembali bersekolah di tempat ini karena ia sempat trauma terhadap penggusuran. Untunglah relawan Nyonya Miranda datang dan mendekati penduduk dengan meyakinkan. Awalnya mereka hanya membawa satu papan tulis dan spidol. Beberapa tim relawan juga terjun langsung membantu para ibu yang tidak memiliki pekerjaan dengan mengajarkan beberapa keterampilan seperti memberi hiasan di bando atau membuat sarung bantal. Semua hal itu dibiayai oleh Nyonya Miranda. Sayang keterampilan itu tidak memberi masukan yang berarti.

Fiska pernah mengambil seratus buah bando yang telah dililit pita. Ia memperhatikan ibunya memanggang lem berbentuk bundar panjang seperti pensil. Setelah leleh, lem tersebut direkatkan ke satu titik di bando. Kemudian, di atas lem, ditempelkan hiasan berupa bunga atau hiasan berbentuk stroberi. Satu buah bando yang telah ditempeli hiasan dihargai seratus rupiah. Biasanya, Ibu Fiska dan ibu-ibu lain mengerjakan hal tersebut di sela-sela obrolan siang.

Seorang perempuan separuh baya yang sejak tadi berdiri di pinggir kelas berbalas senyum dengan anak perempuan dengan rambut kepang. Raut wajahnya sudah kelihatan tua namun rasa bahagia juga terpancar tulus di mata perempuan itu. Di tangan kanan, ia menjinjing sekantung sayuran.

Hari ini, ibu berjanji akan pulang bersama setelah selesai dengan pasar. Sebentar lagi kelas Fiska usai.Beberapa kali Fiska melihat kebelakang lalu tersenyum kepada ibunya. Mereka melakukan hal itu berulang-ulang. Frederik menatap adegan itu dengan iri.

Nyonya Miranda beserta rombongan bersiap meninggalkan tempat. Sepatu tinggi mereka tampak kesulitan mendarat di antara jejalan benda dan manusia. Kedua perempuan itu akan lebih rela jika kaki mereka terluka ketimbang dianggap murah tanpa stiletto. Fiska tertawa geli melihat sepatu tinggi-tinggi yang aneh itu. Ia bersiap pulang.

“Ayo!” Fiska menarik tangan ibunya.

Langkah mereka terhenti, anak Nyonya Miranda telah berdiri di depan. Mata Fiska awas. Ibu Fiska tersenyum ramah.

“Ada apa Nak?” Ujarnya dengan suara lembut.

Nak. Ia memanggilku anak.

Kata-kata itu mengguyur kehausan Frederik.

“Eh, hmm maaf, boleh aku minta foto kalian berdua,” ia tampak ragu. Ia menatap rombongan maminya sudah agak jauh.

“Oh, iya, tentu saja.”

Ibu Fiska berdiri dengan tangan kiri memegang sayuran dan tangan kanan menggenggam tangan Fiska. Fiska dan ibunya tersenyum sumringah. Frederik mengintip dari balik lensa. Kehangatan seorang ibu mengalir jelas dari wajah perempuan paruh baya itu. Tangan Frederik menekan tombol. 

“Terima kasih, eh. Sebenarnya, aku suka fotografi, kapan-kapan berkunjunglah ke perpustakaan, nanti aku beri cetakkan fotonya,” Frederik berusaha mencairkan suasana dengan sedikit cerita bohong. Ekspresi anak dan Ibu itu sungguh mengoyak sesuatu di dalam diri.

“Aku pergi dulu,” ujarnya menjauh.

Ibu Fiska mengangguk sambil mengusap kepala Frederik. Perasaan yang selama ini dirindukan Frederik muncul. Ia berusaha mengendalikan diri.

“Tolong sampaikan salam dan rasa terima kasih kami kepada ibumu,” suara Ibu Fiska bijak.

Dia tak pantas dipanggil ibu. Dia hanya mami.

Frederik tidak menjawab. Ia hanya tersenyum dan mengangguk.

“Wah, dia pasti punya banyak uang. Bisa membeli banyak mainan ya Bu?” Fiska berjalan zig-zag seperti kebiasaannya.

“Iya, tentu saja.”

“Apa dia juga pernah menangis?”

Ibu Fiska menarik napas.

“Semua manusia kaya atau miskin pasti pernah sedih dan bahagia.”

“Dia pasti selalu makan tiga hari sekali, ayahnya tidak harus bilang, ah, hanya perasaanmu saja ketika ada yang mengatakan lapar.”

Ibu Fiska tertawa geli. Suaminya itu terlalu sering mengatakan, ”Ah, hanya perasaanmu saja. Minumlah air putih beberapa gelas. Lalu coba tidur lagi!” begitu ucapan ayah jika Fiska terbangun tengah malam lalu mengeluh tidak bisa tidur karena lapar.

“Aku benar-benar lapar ayah,” pernah suatu kali Fiska sangat terganggu dengan perasaan aneh di perut.

“Tidak, itu bukan perasan lapar. Pikiranmu sedang kacau mungkin karena baru bangun tidur.  Coba minum air beberapa gelas lalu kembalilah tidur.”

Anak dan Ibu itu terus berjalan menjauh.

***

Fiska dan Tono tengah berada di ruangan perpustakaan. Fiska terkagum-kagum ketika melihat besarnya gerbang rumah Nyonya Miranda.

“Masuklah, nikmati perpustakaan sesuka kalian. Oh, ya, di ruang sebelah adalah ruang piano Frederik. Semoga kalian tidak terganggu dengan kebisingan yang ia ciptakan,” salah satu pengurus rumah mempersilakan.

“Sssst, ayo masuk!”

“Wah bukunya banyak sekali.”

Tono mengambil sebuah buku besar.

“Ensiklopedia Serangga,” ejanya.

Nada-nada dentingan piano berbunyi. Fiska mendengar dengan khidmat. Ia merasa sedang berada di alam lain. Di sisi kanan dan kiri pepohonan tersenyum menjemput kepedihan Fiska. Ia seperti melihat aliran sungai yang teduh di antara rerimbun pohon yang hijau. Wajah Frederik beberapa hari lalu melintas. Masih tergambar mata Frederik yang menatap tajam ke arahnya. Fiska mellirik Frederik secara rahasia saat itu. Fiska meraih sebuah buku.

“Si Tudung Merah,” ia mencoba membaca buku itu, tetapi telinganya lebih awas ke nada-nada yang tengah mempermainkan partitur dalam oktaf yang berbeda. Ingin rasanya Fiska mengetuk pintu dan bertemu Frederik. Tapi, perasaan sungkan dan tahu diri menghalanginya. Pesan ayah mengenai pentingnya menjaga diri berkeliaran di benak Fiska. Malam itu, nada suara ayah membuat Fiska agak sedikit takut. Ayah bercerita mengenai Tono, Susi, Keluarga Ria, juga masa depan. Fiska agak kesulitan mengerti. Satu hal yang ia paham, ayah sangat ingin agar Fiska tahu siapa dirinya dan pandai menjaga sikap.

Suatu saat aku akan bertemu.

Ia meyakinkan diri. Fiska melanjutkan bacaan sembari mempertajam pendengaran.

***

Di saat tersulit seperti apapun, manusia selalu memiliki naluri untuk menyelamatkan diri mereka. Semakin sulit keadaan, semakin besar keinginan untuk memberi tempat aman untuk diri sendiri. Kesemrawutan yang dilagukan setiap hari akan menutup pintu pikiran kemudian membuat orang-orang tidak mampu lagi memandang. Pelan-pelan, kesepakatan diubah, segalanya diterima sebagai hal lumrah karena telah lama mengendap dalam rutinitas yang disebut kebiasaan.

Jack berjalan gontai. Ia telahir di kandang sampah bersama tikus-tikus sejak kecil hingga dewasa. Kekusutan adalah teman. Panas telah menjadi lapisan kulit terluar. Ia tidak pernah mengeluh tentang keadaan Jakarta dan sekitarnya karena itulah tanah air baginya. Jack bertekad ia hanya ingin mati di Jakarta.

Ketika kecil, pemerintah pernah membuangnya ke Pulau Seribu karena mereka tidak sanggup lagi merehabilitasi Jack. Tapi, kaki Jack yang mampu mengendus anyir air mata dan nyawa kota metropolitan kembali membawanya pulang. Jack menumpang bersama perahu-perahu nelayan. Di sinilah tanah airnya. Bukankah hal yang paling kita rindukan adalah tempat kita bermula yang menjanjikan kenangan indah semasa kanak-kanak. Pelan-pelan, di saat menderita, imaji keceriaan mulai mencuri rasa rindu yang tidak tertahan. Semua orang selalu berusaha mengenang masa lalu yang terlihat menyenangkan, meskipun setelah sampai ke tempat kenangan, terkadang mereka heran ketika tiba-tiba naluri menjadi cepat bosan.

Tapi begitulah rasa rindu, ia akan terus memangil bagai ular mencuri nyawa tikus di saat-saat tak terduga. Beribu-ribu orang kembali ke rumah orang tua di saat Lebaran meski tanpa tujuan. Begitu pula dengan Jack. Ia hanya tidak mengerti mengapa saat itu pemerintah ingin memisahkan dirinya dengan Jakarta. Toh, nyatanya, Jack akan selalu kembali. 

“Tempelannya,” pria bertato itu berjalan keliling pasar di kawasan Galur.

“Lagi gak ada gopean,” ibu muda berjilbab mengeluarkan suara rendah.

Pemuda itu berlalu. Kali ini ia tidak tertarik untuk mengeluarkan aksi marah-marah seperti yang biasa ia lakukan. Anting besar di telinganya terus mengancam kerapuhan kota. Ia melakukan hal yang sama ke pedagang sebelah. Kali ini ia mendapatkan uang receh. Tanpa pernah mengucapkan terima kasih, ia menyeret langkah sepanjang pasar.

Matahari naik tinggi. Pengeras suara dari pedagang compact disk bajakan semakin memperpanas suasana. Lagu dangdut meraung-raung silih berganti berdentum-dentum ke dalam jantung. Pedagang kaus kaki tampak terkantuk-kantuk karena sepi pedagang. Dalam setahun, ia hanya tersenyum dua kali, yaitu saat anak sekolah di ujung penghabisan libur semester. Kaus kaki baru adalah sebuah kewajiban setelah seragam baru.

“Uang keamanan dong!” Seorang pemuda lain muncul lima menit kemudian.

Baru tadi datang sekarang datang lagi temannya

“Gak punya gopean, ntar aje ye,” perempuan berjilbab yang berdagang sendal itu kembali menjawab dengan pernyataan yang sama. Di dalam hatinya, bertumpuk rasa bosan terhadap pemeras-pemeras tengik. Pemuda itu beranjak. Wajahnya semakin ketus.

“Gopek gak bakal bikin Uni miskin Ni!” Ia memaki sambil berlalu.

Sebuah angkot jurusan Senen-Kampung Melayu berjejal di tengah pasar. Bajaj dan motor di belakang. Pengunjung dengan celana pendek dengan paha penuh selulit berlalu-lalang. Seorang nenek tua tampil dengan gaun mini menggunakan riasan mata dan bibir yang seperti menolak untuk menyatu dengan wajahnya yang mulai keriput.

“Ini berape?” Baybance, banci yang biasa mengamen menawar harga sebuah tank top. Tubuhnya sudah lama tidak mengalami perubahan. Kurus dan sedikit tidak terawat.

“Dua puluh rebu,” ujar penjual yang menunggui kios bersama adiknya.

“Idiih, mahal amat, udah sering juga,” tangan Baybance memukul pundak  penjual kios.

“Emang segitu, udeh dimurahin,” balas Ibu itu sambil menyeruput es teh yang tidak jadi diminum  anaknya. Seluruh anak kecil nyaris sama, merengek berjam-jam hanya untuk mendapatkan sesuatu lalu meninggalkan begitu saja setelah mendapatkannya.

“Ambil satu deh, duitnye receh gak apa-apa ya,” Baybance merajuk sembari memberikan uang receh yang ia satukan menggunakan selotip.

“Iye.”

Baybance menerima bungkusan lalu pergi. Perempuan itu menatap sosok ceking sembari membawa alat musik dari tutup bekas bir yang dipaku ke bilah kayu sekenanya.

“Itu banci yang biasanyo suko ngamen di pasa senen,” ujar penjual ke adiknya yang sedang merapikan stok barang.

Adiknya mengangguk-angguk. Baru dua hari yang lalu ia tiba di Jakarta dari Padang, sekarang kepalanya sudah hampir pecah terperangah oleh keadaan.

“Ngehek semua. Pedagang pada pelit! Minta gopean aja susah,” semprot Jack ke Yudha.  Ia menancapkan jarum suntik ke nadinya di lapak tukang sayur yang hanya ramai sampai jam sebelas siang. Markas paling aman. Terletak di dalam pasar. Jarang dilalui setelah siang hari.

Polisi sudah terlalu enggan untuk menangkap mereka. Jack dan polisi di pos ujung pasar lebih cocok menjadi teman jika saja nasib mereka sama. Persahabatan antara preman dan polisi itu telah menembus hari-hari bahkan tahun. Jack sendiri hapal silsilah keluarga petinggi mereka. Kepala kantor polisi itu memiliki seorang anak yang saat ini sedang kuliah. Anak kedua konon katanya juga bercita-cita masuk akademi polisi.

Jika tidak ada perintah untuk operasi khusus, para polisi tidak akan menangkap komplotan Jack. Lagipula tingkat kejahatan Jack dan teman-temannya masih berada dalam batas toleransi versi kepala kantor polisi. Kadang-kadang, Jack dan teman-teman justru memberikan keuntungan karena di saat laporan kinerja polisi buruk, para aparat negara itu bisa dengan mudah menemukan dan menangkap rombongan Jack. Setelah itu, mereka dapat mengisi laporan mengenai penangkapan pelaku kriminal sebelum jadwal libur akhir pekan datang. Semua berjalan begitu saja dan sudah dianggap biasa. Lagipula, Jack tidak pernah ambil pusing harus tinggal di mana saja. Selama masih di Jakarta, ia akan menikmati. Jack bahkan mampu mencintai debu-debu hingga bangkai tikus asalkan semuanya masih terletak di  kota yang sangat ia cintai itu.

Jempol Jack menekan jarum suntik untuk mengantarkan cairan penenang yang ia dambakan. Pikirannya mendadak ringan. Jack menutup kelopak mata untuk merasakan pergerakan aliran menuju rongga jantung. Kelelahannya pelan-pelan menguap. Kelegaan berhembus menuju sanubari Jack. Ia mulai terkekeh. Seorang Ibu tua yang terlambat keluar dari pasar buru-buru menjauh ketika menyaksikan sekelebat darah yang muncul di tabung suntikan di tangan Jack.

“Taik memang. Anjing! Ha ha,” Yudha meracau. Kios tukang sayur yang terbuat dari papan itu berderak-derak.

Ria tertawa terkekeh-kekeh setengah limbung. Bau anyir sisa lapak pedagang ikan ikut merasuk. Lalat hijau mengeluarkan bunyi dengung semakin deras dan riuh.

“Ngehek! Prapto,” mata Jack menangkap sosok dari kejauhan. Prapto si pedagang kemiskinan sedang membawa kulit putih berambut pirang.

“Kok die bisa sampai ke sini?”

“Bukannya biasenye cuma di luar?”

Mata Yudha, Jack, dan Ria berpandangan. Mereka berjalan menuju Prapto.

“Kasih gak dompet elu pade anjing!”

Prapto dan seorang turis yang dibawanya tersentak. Kepala Prapto semrawut membayangkan reputasi bisnis yang akan hancur jika tamu yang ia bawa sempat terluka.

“What the fuck is this?” Muka orang asing itu memerah sembari memperlihatkan berjuta kesangsian ke arah Prapto.

“Tenang-tenang,” Prapto maju ke depan menurunkan suasana. Ia hendak menyentuh pundak Jack.

“Berenti jangan ada yang maju! Gue tusuk elu?”

Ria menaikkan belatinya sedikit lebih tinggi. Suasana menjadi sunyi dan lebih tegang. Dengungan lalat memuja mantra penuh ancam terdengar nyaring.  Lalat-lalat itu seperti sedang melakukan upacara sebelum perang.

“BURUAN TAIK. DUIT ELU. DOKAI!!” Ria kini maju ke arah orang asing sambil mengacungkan belati. Prapto terbelalak refleks menggunakan tubuhnya untuk mendorong Ria. Ria yang kaget justru telah mendapati pisau kecil miliknya menusuk lengan orang asing sebelum akhirnya ia terguling di tanah.

“Argggh! Oh my god! ” Orang asing itu berteriak kesakitan.  Jack  mengarahkan pisaunya ke arah Prapto yang sedang tersungkur. Jantung mereka berdegup tidak menduga situasi seperti ini akan terjadi. SementaraYudha memutar arah belatinya ke orang asing yang kesakitan. Ria bangkit, pipinya sedikit lebam.

“Anjing!” Ria meludah. Tubuhnya sempoyongan di bawah pengaruh narkotika.  Darah bercampur dengan air liur mengenai tanah berkerikil.

“Cepetan!” Yudha dan Jack berteriak dengan napas memburu. Ria mengambil paksa dompet Prapto dan tamunya.

“Rasain ngehek. Tukang jual kemiskinan elu anjing, hahahaha, bawa terus orang asing buat lihat kalau kita miskin keparat. Elu yang melarat. Otak elu Prap melarat kayak taik, ” Jack berteriak-teriak sambil berlari menjauh bersama kedua temannya.

Kesumat yang selama ini tidak tersampaikan kepada Prapto pecah sudah. Meski keparat, Jack tidak akan sudi menjadi pengemis semacam Prapto. Jack menyeka keringat dengan tangganya. Darah di ubun-ubun menekan bagai tumpukan batu yang bertambah-tambah.

Prapto pucat. Terbengkalai di tengah pasar bersama pikiran-pikiran yang bersiap membunuh. Ia masih terperangah menyaksikan kejadian yang serba cepat. Piala Cannes untuk film kedua, para artis, wine, VIP Lounge, dan Eropa muncul di antara jeda bayangan yang suram.

***

Avatar

Camouflage (Percik 4)

Dari Redaksi
Selain majalah Katajiwa, mulai beberapa minggu lalu Langit Sastra telah menerbitkan produk terbaru yaitu serial berjudul “Camouflage”. Camouflage ditulis oleh salah seorang anggota komunitas yang memiliki nama pena Anusapati CannabisCamouflauge akan terbit setiap Jumat pukul 19.30 WIB setiap pekan. Selamat menikmati bagian keempat dari serial ini.
Selamat Tahun Baru.
Salam.

Frederik

Yang mati. Yang hidup. Yang jengah. Yang panjang. Yang pendek. Yang luka. Yang gila. Yang nanar. Yang mati. Yang hidup. Yang jengah. Yang kebas. Yang mati. Yang hidup. Yang jengah. Yang kebas. Yang layu. Yang liar. Yang merana. Yang mati. Yang jengah.

Jika hidup adalah mati, mati adalah hidup. Tak semua tuan membutuhkan bawahan. Tak semua bawahan membutuhkan tuan.

Aku berhenti menatap ke depan. Ruangan luas dengan peralatan lengkap. Inilah kerajaanku. Rak buku besar berada di satu dinding menyimpan biografi tokoh ternama komposer dari abad Pertengahan, Renaissance, Baroque, Klasik, hingga modern. Setumpuk DVD tersusun rapi. Pada bagian atas terdapat wajah Antonio Vivaldi dan Kaori Muraji.

Aroma mawar segar menjalarkan wangi ke seluruh ruangan. Setiap hari, bunga itu diganti tepat pada waktunya. Di satu sisi dinding, Jatayu, lukisan hasil seniman kenamaan Afandi, menggantung. Aku menatap lukisan itu sejenak kemudian melanjutkan kembali nada-nada piano.

Simphony 9 Beethoven yang membosankan. Jari-jariku terhenti pada rasa hambar yang menjalar. Kalau saja perempuan yang hanya bisa kusebut Mami (dia bukan Ibu tentu saja) itu tidak mengirimku ke kelas musik, aku tidak akan menghabiskan masa kecilku dengan lagu menyebalkan ini. Sayang aku baru mulai menalar kebebasan yang diberikan Mami (dia bukan Ibu tentu saja) di usia sebelas tahun. Simphony 9. Karya yang dibanggakan oleh hampir seluruh kelas musik. Tidak untuk diriku.

Aku mati dengan lidah menjulur di lorong sempit dan pengap sejak awal kehidupan. Di dalam kelas-kelas yang selalu membagi kategori dalam beberapa bagian, masa Pertengahan, sebelum Renaissance, sesudahnya, modern dan abad setelah modern. Mulai dari Machaut, Schutz, hingga komposisi Mozart dan Haydn. Aku menyukai musik tentu saja. Akan tetapi, mempelajari sejarah dan dipaksa memainkan beberapa lagu klasik yang tidak kusukai amatlah menjemukan.

Apa kalian tahu apa rasanya hidup tanpa nama ayah?

Atau dengan nama Ibu yang tidak pernah benar-benar muncul?

Aku tahu.

Rasa itu adalah kesengsaraan yang menghujam. Yang menjauhkanku dari siapapun. Setiap langkah kaki yang kutapakkan di dunia adalah tatapan pertanyaan. Semua orang seakan ingin membunuhku dengan pertannyaan hingga aku merasa lebih baik menyendiri. Dia bukan ibuku, dia hanya Mami. Ibu tidak dilahirkan untuk meninggalkan anak-anak mereka di tangan pengasuh dan uang.

Sejak aku kecil, Mami selalu menitipkan cerita kepada pengasuh yang silih berganti mengenai Maryam yang memiliki anak tanpa suami. Maryam si Perempuan Suci. Begitulah caraku lahir menurut Mami, tanpa ayah.  Kisah kelahiranku tercatat di manuskrip kuno kitab suci beberapa agama.

Apapun yang kulakukan tidak jadi masalah, asalkan aku tidak mencoreng nama Mami. Doktrin murahan itu telah ia jejalkan bahkan sebelum aku mampu berbicara. Betapa hinanya ia menganggapku sebagai budak yang akan mengancam tuannya dengan cara mengumbar keburukan. Aku masih bisa berpikir dengan otakku sendiri mengenai apa yang kulakukan.

Lahirlah si Anak Suci. Tanpa ayah. Mungkin ketika muda, Mami pernah menjadi hewan hermafrodit yang memiliki indung telur sekaligus sel jantan. Pada suatu malam di saat terang bulan ia mengawini dirinya sendiri. Tak lama setelah itu, ia merasa dikunjungi Jibril yang menyampaikan dongeng usang mengenai Perempuan Suci di suatu masa. Mami menukar dirinya dengan perempuan dalam cerita Tuhan yang diucapkan oleh malaikat bersayap putih.  Lalu ia mulai mengigau dan memintaku mempercayai dongeng itu.

Aku menatap ruang sekitar. Sudah seminggu ini aku diganggu mimpi buruk. Seorang perempuan yang memiliki wajah ibu datang. Lidahku tercekat. Bibirku kering. Gelombang yang mempermainkan kegelisahan menerpa sanubariku. Kutukan mimpi buruk memburu seorang anak sunyi di dalam relung-relung yang liar. Aku ingin berlari. Bedebah! Harusnya ada ibu yang memeluk dan menenangkan kegelisahanku di saat-saat seperti ini. Aku bergidik mengatasi rasa takut sendirian.

Di dalam mimpi, aku menemui sosok penuh keibuan. Bibirku refleks menyapanya dengan kata ibu begitu keteduhan wajahnya menyeruak. Aku tertidur di dalam dekapannya seperti anak ayam kedinginan yang kembali mendekam di bawah bulu-bulu induknya. Di tengah malam, perempuan itu bangun. Aku masih pura-pura tertidur. Ia mencium keningku kemudian leherku. Aku bisa merasakan hangat napasnya yang menenangkan meskipun saat itu jantungku gemuruh tidak karuan. Aku begitu khawatir. Tepat di telinga ia berbisik,”kau lelakiku.”

Hangat tubuhnya menjalar ke tubuhku. Napasku sesak. Ada hal yang tak bisa kujelaskan. Ada cemas, ketakutan, juga harapan. Kemudian aku terbangun di tengah malam seperti ini.

Haram Jadah!

Aku menertawai nasibku sendiri. Malang sudah. Sejak kecil aku tidak butuh tempat bertanya. Pun tidak memilikinya. Aku harus menemukan jawaban dari semua ini.

Di luar sana, jendela menatap sunyi dengan tenang. Mataku mengikuti sebuah cahaya. Seekor kunang-kunang datang dari luar jendela dengan kelip-kelip. Ia hinggap di atas lukisan Jatayu, burung yang terkenal dengan kesetiaan terhadap Rama saat memperjuangkan Sinta dari tangan Rahwana. Kunang-kunang itu berputar. Tubuhku seperti digulung dingin. Perasaan putus asa menyergap. Entah apa yang sebenarnya terjadi padaku.

Aku belum siap menghadapi bahaya sekarang. Usiaku baru dua belas tahun. Tiga bulan lagi mendekati angka ganjil, tiga belas. Angka yang dipercaya membawa kutukan. Lukisan karya Afandi itu dimainkan cahaya kunang-kunang. Merahnya menyala. Sayap Jatayu menggeliat. Saat itu, jantungku bergemuruh. Mulutku terkunci. Tubuh terpaku seakan ada yang menahanku.  Tidak. Ia tidak sebesar Jatayu di dalam epos Ramayana. Ia kecil seukuran telunjuk. Bulu ekornya merah panjang seperti burung langka asal Papua yang kulihat di museum Kebun Raya Bogor. Sayapnya kuning bercampur merah mirip goresan kuas pelukisnya yang tidak suka membaca itu. Seperti bayi terlahir. Ia menggeliat dan mengarah kepadaku. Aku tercekat. Mungkinkah ia datang untuk menjelaskan kenapa Afandi lebih suka membuang warna untuk melukis burung dalam kisah klasik seperti dirinya ketimbang membaca aksara.

Mataku mempelajari detil burung itu pelan-pelan. Pertahanan diri kupersiapkan untuk menghindar dari hal-hal buruk. Ia tersenyum kepadaku. Aku memperhatikan dengan saksama. Di kepalanya tidak ada paruh, tetapi wajah. Ia tidak telalu muda, tidak terlalu tua. Seumuran dengan Mami. Wajahnya teduh. Di balik sayap punggungnya menyembul dua buah tangan. Ia benar-benar persis seperti ibu peri di dongeng-dongeng. Satu yang membuatku takut, wajahnya mirip dengan perempuan di dalam mimpi itu. Apakah ini kutukan. Aku semakin cemas.

“Frederik,” sapanya lembut.

Mantra sihir bergema di tubuhku. Kesejukan mengalir. Aku menatap burung itu sedikit takut. Tapi, tingkahnya yang jinak sedikit mengusir ketakutanku. Rasa ingin tahu menelan lumat perasaan gamang.

“Apa ini mimpi?”

“Mimpi tidak terjadi di saat kau terjaga.”

Aku menarik napas. Suara itu langsung menuju perasaanku seperti air yang merembes dari akar pohon di hutan ke tanah-tanah di tebing lembab. Kerongkonganku semakin kering. Wajah perempuan dalam mimpi itu melintas. Mataku semakin putus asa. Aku tersesat. Sangat menginginkannya, tetapi ada bagian lain yang menghalangiku. Aku kembali mengatur konsentrasi menatap peri Jatayu. Keringat dingin mengalir.

Ia hanya makhluk kecil. Tidak akan bertindak macam-macam.

“Apa kau juga tahu Ananda Sukarlan?” aku berusaha mengatasi rasa kaget. Nama pianis favoritku muncul begitu saja.

“Hei, kau gila ya. Dia termasuk dalam daftar dua ribu musisi paling berbakat di dunia. Lagipula, dia banyak terinspirasi dari para sastrawan. Sapardi Djoko Damono, si Pemenang Nobel Gabriel Garcia Marquest, Jorge Luis Borges. Seperti juga dirimu, aku sangat-sangat menghargai bakatnya.”

“Dalam diriku mengalir, sungai panjang darah namanya,” peri kecil itu  menunjukkan kebolehan suara dengan menyanyikan puisi Sapardi itu. Suaranya hampir-hampir merusak gendang telinga. Peri secantik ini ternyata dibangun oleh pita suara yang salah.

“Dalam diriku meriak gelombang sukma, hidup namanya. Dan karena hidup itu indah. Aku menangis sepuas-puasnya,” Jatayu menarik napas bermaksud mengulangi puisi itu sekali lagi.

“Cukup-cukup,” aku tertawa geli.

Beberapa otot bibirku masih terkunci oleh kaku. Aku terhenyak.  Peri Jatayu begitu jinak membuat sebagian diriku merasa tak rela berada jauh. Aku menenangkan diri berupaya mencapai akal sehat.

“Mau apa kau kemari?”

“Menunjukkan sesuatu!”

Ia terbang lalu meniup dadaku. Sebuah lubang terbuka. Sontak tubuhku mundur ke belakang.

“Tenang, kau tidak akan mati,” ia menatapku.

Perasaan takut menjalar. Sejenak kemudian kembali hilang. Jatayu berkata benar, tak ada perih di lubang itu.

Lubang di dadaku semakin melebar. Setelah lubang itu mencapai ukuran seukuran tutup botol air mineral, ia menyorot satu buah benda dengan cahaya dari kalung permata. Aku menyaksikan sebuah benda kisut di dalam dada.

“Apa itu?”

“Jiwa yang murni. Semakin kecil benda itu semakin hilang kemampuanmu merasakan emosi,” peri itu menutup lagi lubang yang ia buat.

“Apa itu berbahaya?”

“Bisa iya bisa tidak. Umumnya iya.”

“Untuk itukah  kau tiba-tiba muncul sekarang?”

“Aku menghampiri semua orang yang hampir-hampir hilang perasaannya.”

“Hanya untuk menunjukkan jika mereka sudah dalam keadaan menyedihkan?”

“Tidak, itu tugasku. Aku hidup dan melakukan tugasku.” Ia mendarat di pahaku.

Aku hidup dan melakukan tugasku.

Peri Jatayu seakan membaca pikiranku.

“Banyak hal yang menghalangi kita untuk bertanya. Pertanyaan yang terlalu banyak mengenai hidup membuat manusia lupa untuk menikmati hidup mereka. Aku Jatayu. Hidup untuk melakukan tugasku. Hanya sesederhana itu,” ia terbang turun naik di depan hidungku. Aku tersenyum sinis.

“Orang dewasa selalu tidak menyenangkan, bila kita berbicara tentang teman, mereka tidak akan menanyakan hal yang benar-benar penting. Termasuk dalam hal memberi jawaban,” aku mulai ketus.

“The Little Prince,” peri Jatayu menyebutkan judul novel dari kalimat yang kukutip.

“Hei kau tahu novel itu? Apa kau juga tahu Alice in Wonderland versi Gregory, Gill, dan Embury?” Pengetahuannya menarik rasa penasaranku.

“Ha ha ha, kau sudah mulai dewasa ya. Sampul buku itu pasti menarik perhatianmu. Kau suka bagian yang mana dari tubuh perempuan?” Ia menggodaku.

“Maksudmu Alice dengan pakaian yang seksi di komik itu? Aku tidak tahu. Hanya senang menatapnya.”

Ia terbang tepat di depan wajahku. Jantungku kembali bergemuruh. Tatapan perempuan dalam mimpi muncul memainkan gambaran perlindungan seorang ibu. Namun, ia segera terbang menjauh. Aku menarik napas lega. Meski terlihat kepolosan Jatayu menyimpan sihir yang lain.

“Bukumu banyak sekali,” Jatayu terbang dari sebuah tuts piano menuju rak buku.

Aku memperhatikan ekornya yang meliuk dimainkan oleh gerakan tubuh.

“Jatayu tidak datang pada kesetiaan. Takdir adalah air dalam gelas yang digulung sang kucing kuning beringas. Jatayu hadir dalam rimba hitam di dalam gemercik air yang dimainkan sihir. “ Kicauan yang tidak dapat kumaknai keluar dari bibirnya. Tiba-tiba ia berputar di loteng. Lalu menukik tepat di depan mataku.

“Kau lelakiku!” Wajah dan suara yang kukenal. Perempuan dalam mimpi itu. Kemudian ia hilang. Jantungku berdegup kencang. Aku cemas. Seperi marah, luka, sedih, dan gelisah. Harusnya ada ibu di sini yang menenangkanku. Mataku terasa sedikit panas. Badanku menggigil.

Mataku menangkap foto aku dan Mami di gerbang Dunia Fantasi Ancol. Saat itu Mami memaksaku untuk hadir ke sana dengan iming-iming bahwa aku akan bertemu ayah.

Tak ada ayah di sana. Hanya serombongan pencuri berita yang mengagumi betapa Mami selalu memperhatikan anak dengan memberi sedikit waktu kepadaku tepat di hari anak.

“Arggggggh!” Dadaku sesak. Bingkai foto itu pecah di lantai.

***

“Wisata kawasan kumuh telah mengalami peningkatan sejak beberapa tahun belakangan nyonya. Di Brasilia hingga kota Soweto di Johannesburg, Afrika Selatan, juga di India. Baru-baru ini seorang sutradara yang memenangkan lomba film dokumenter di Cannes Film Festival baru saja memulai bisnis yang sama di Jakarta.”

Beatrice menayangkan sekumpulan slide. Tidak lupa ia menunjukkan sebuah situs berbahasa Inggris berisi sutradara film yang merangkap sebagai perintis bisnis. Pengakuannya bahwa uang hasil usaha diberikan ke salah satu yayasan sosial yang bergerak untuk memajukan daerah kumuh tersebut diikuti oleh foto-foto para peserta tur yang ditutup dengan penyataan, ”Your Safety is Our Priority”.

Moto singkat serupa sihir kata-kata yang akan menenggelamkan orang asing di dalam imaji keamanan yang terjaga selama perjalanan.

Tampilkan produk segagah mungkin untuk menghapus keraguan konsumen.  Miranda tersenyum. Sebagai penggerak bisnis, ini bukan mainan baru untuk dirinya.

“Ia mengambil tarif mulai tiga hingga lima ribu dolar untuk sebuah tur.”

“Para turis akan diajak ke daerah pelabuhan, kawasan kumuh di Senen, kemudian mengunjungi beberapa museum di Kota Tua.”

Insting yang bagus. Miranda memuji pria berambut gondrong yang merupakan penggerak wisata gaya baru tersebut. Telunjuk tangan mengetuk-ngetuk meja kaca. Tepat di bawah kaca itu tersimpan karya seni berupa lukisan pasir.

“Ada sekitar dua belas juta orang terperangkap di sela-sela apartemen dan kemegahan pusat perbelanjaan Jakarta. Sebagian berprofesi sebagai buruh usaha tahu, pengemis, pemulung, pekerja seks, dan preman pasar.”

“Sejak ada tur ke lokasi mereka, mereka mulai terbiasa dengan penghasilan yang didapat cuma-cuma berupa sembako yang diberi para pengunjung.”

“Sembako?”

“Awalnya pemberian uang, namun banyak menuai kritik dari masyarakat. Sang sutradara itu kemudian menyarankan tamu untuk memberi sembako,” Beatrice menjelaskan. Ia merapikan blazernya.

Perempuan bernama Miranda yang sedari tadi mendengarkan penjelasan asistennya tersenyum di antara lipstik racikan dokter pribadi yang tentu saja lulus uji coba bahan kimia berbahaya. Pertama kali Miranda menemukan produk itu adalah saat ia berkunjung ke Belgia. Gaya hidup organik yang menggila telah mengantarkan Miranda ke daftar seluruh zat berbahaya yang masih berkembang bebas di Indonesia. Nyaris delapan puluh persen benda-benda yang ia gunakan untuk tubuh memiliki kandungan yang mengancam. Saat itu juga Miranda memutuskan untuk langsung berlangganan produk kecantikan dari dokter kenamaan Belgia itu. Dokter itu kebetulan telah mulai mengembangkan beberapa hasil penelitian berupa alat-alat kecantikan untuk diekspor ke berbagai kota besar di beberapa negara, termasuk Jakarta. Bukan merupakan hal aneh jika gerai produk dokter yang akan ia percayai seterusnya hanya diketahui oleh kalangan tertentu.

“Anda tahu kabar baiknya, lokasi tempat kita mengadakan sekolah gratis di sana juga menjadi salah satu daerah kunjung. Maksud saya, jika Nyonya mau, kita bisa mengembangkan program lain semacam membuatkan rumah baca,” suara Beatrice berhenti. Ia menyedot air mineral dari wadah gelas.

Miranda menggoyang-goyang ponsel yang ada di tangganya.

“Oke, kamu atur saja. Lokasi di rumahku juga tidak masalah dijadikan perpustakaan. Kesan kita di masyarakat akan menjadi baik. Baru-baru ini banyak muncul tokoh-tokoh yang disanjung hanya karena dianggap dekat dengan kalangan bawah. Orang kaya yang tidak enggan berdekatan dengan orang miskin. Masyarakat sedang haus terhadap pemikiran itu. Kaum borjuis dan proletar. Kita bisa memakai dasar berpikir yang sama.”

Beatrice tersenyum lega. Ia bukanlah tipikal karyawan dengan rasa percaya diri tinggi untuk melakukan presentasi penuh ide. Namun, kini ia berhasil. Tidak percuma Beatrice meminta dirinya dihipnotis oleh ahli hipnoterapi sehari sebelum ia muncul di hadapan Nyonya Miranda.

“Jangan lupa bawa Frederik. Orang-orang akan terkesan bahwa selain memperhatikan anak jalanan, anda juga menyayangi anak,” senyum Beatrice mengembang.

Miranda meneruskan langkahnya menuju pertemuan selanjutnya. Stiletto 20 cm itu mengeluarkan nada khas di lantai-lantai kemewahan kawasan elite Jakarta. Jadwalnya hari ini baru akan ditutup dengan pesta alkohol di Silencio Club bersama kelompok arisannya malam nanti. Konon, Club itu menawarkan cocktail jenis baru yang diracik menggunakan brandy Cognac dan sirup teh. Lidah Miranda tidak sabar mencium kembali kenangan mengenai kota kecil Cognac yang menyembul mungil di Eropa. Kota kecil tempat lahirnya berbagai variasi brandy itu telah menawarkan wangi alkohol hasil dua kali destilasi anggur pilihan yang kemudian didiamkan dalam periuk tembaga klasik selama dua tahun. Bartender klub itu mengirim racikan terbarunya tersebut seminggu yang lalu ke dalam ponsel Miranda. Hal yang paling menarik bagi Miranda adalah acara rutin Silencio Club berupa pesta kecil-kecilan yang akan mengajaknya menari sampai pagi. Alkohol dan tarian liar tidak sabar memangil-manggil gairah Miranda untuk segera menurunkan tegangan sarafnya. 

Avatar

Camouflage (Percik 3)

Dari Redaksi
Selain majalah Katajiwa, mulai beberapa minggu lalu Langit Sastra telah menerbitkan produk terbaru yaitu serial berjudul “Camouflage”. Camouflage ditulis oleh salah seorang anggota komunitas yang memiliki nama pena Anusapati CannabisCamouflauge akan terbit setiap Jumat pukul 19.30 WIB setiap pekan. Selamat menikmati bagian ketiga dari serial ini.
Salam.

Jakarta, 18 Juni 2000

  “Fiska! Bangun!” Guncang ayahnya.

  Azan Subuh menggema. Fiska berlari ke luar menuju kamar mandi. Seekor tikus besar melintas. Bau kencing kucing dan sisa limbah di selokan menyengat dari sisi kanan juga kiri. Tangan kecil itu memutar kran. Matanya masih mengantuk. Tapi, ia ingat kata-kata ayah, Tuhan menyukai orang-orang yang bangun pagi dan salat lebih awal.

  “Oaaaaahm,” kantuk Fiska. Ia mengangkat kelopak mata sekuat tenaga. Kran terbuka. Air sedikit berminyak keluar membangunkan lantai yang licin. Aliran air segera memenuhi bagian lantai yang terkelupas. Fiska memandang toilet yang ditutup triplek karena mampet. Kemarin, ia masih bisa melihat kotoran manusia di sana. Ia segera mempercepat aktivitasnya.

  “Ayah tunggu!”

  Sandal jepit ia kenakan serampangan. Fiska berputar melewati gang sempit. Sekelompok orang tertidur di pinggir gang. Mereka adalah kelompok preman yang suka bermain gaplek setiap malam. Satu wajah yang paling Fiska takuti bernama Jack. Hidung Jack nyaris rengkah di antara anting yang ia jejalkan. Daun telinga Jack lebar, seperti menempel di bagian yang tak seharusnya. Fiska melambatkan langkahnya  takut jika nafas teratur Jack dan teman-temannya akan terganggu. Ia melihat Ria yang tergelepar. Masih terngiang-ngiang makian ibu Ria saat memarahi anak perempuan itu.

  “Dasar anak iblis. Bisa-bisanya elu ngilangin uang orang tua. Elu gak tau apa gue harus jual semuanya buat ngumpulin tuh duit,” Bu Susi yang telah lama menjanda berang. Tapi, berbicara dengan Ria sama saja berbicara dengan batu. Wak Mijon bahkan pernah mengatai Ria dengan kalimat,” masuk kanan keluar kanan,” untuk menggambarkan pendengaran Ria yang resmi dianggap tidak berfungsi.

  Sejujur-jujurnya, Fiska tidak terlalu paham apa yang mereka perdebatkan, tetapi saat itu hatinya tiba-tiba kecut. Fiska masih mempertahankan telapak kaki untuk berjalan sepelan mungkin. Setelah agak berjarak, kaki kecil itu kembali mengejar langkah ayah.

  “Wah, semalam mereka tidak tidur ya Ayah?”

  “Kemarin mereka disiram Bu Haji gara-gara jam tujuh belum bangun-bangun. Kata Bu Haji mereka mabok.”

  Ayahnya membiarkan Fiska bicara.

  “Kenapa orang-orang mabok ya Ayah?”

  “Mereka tidak takut Tuhan, tidak mau menghargai Tuhan,” ayah Fiska menjawab pelan.

  “Tuhan itu siapa sih Ayah? Kalau orang agama lain masuk neraka begitu?”

  Ayahnya mengangguk.

  “Idih, kok gitu ya. Mereka kan baik. Tante Christine juga baek.”

  “Makanya, Fiska harus jadi muslim yang baik, biar nanti mereka tertarik sama Islam.”

  Fiska hanya mengangguk-angguk.

  “Sebentar lagi Fiska selesai lho, Yah, menghafal juz tiga puluh. Ayah jadi kan memberi Fiska buku kalau Fiska bisa hapal,” mata anak itu merajuk.

  Ayahnya mengangguk sambil tersenyum. Mereka melewati satu kelokan terakhir. Poster boneka yang menjadi lambang Dunia Fantasi Ancol dan acara terbaru melekat di dinding bata yang tak diplester halus. Itu adalah rumah Wak Mijon. Setiap hari, Wak Mijon bekerja melukis poster khusus Dufan secara manual. Gambar hasil coretan Wak Mijon selalu dikeringkan di dinding rumah.

  Fiska pernah bertanya kepada Wak Mijon mengenai Ancol. Keterangan panjang lebar itu akhirnya ditutup dengan satu pernyataan Wak Mijon,” MAHAL.” Fiska paham bahwa arti kata MAHAL adalah haram.

  Koh Soleh yang juga guru mengaji Fiska pernah berkata bahwa haram berarti dosa. Ayah Fiska juga setuju dengan pemikiran itu.

  “Mahal adalah haram. Haram adalah dosa,” Fiska bergumam lalu kembali mempercepat langkah.

  “Koh Soleh tidak pernah berdusta,” kata ayahnya waktu itu.

Wak Mijon bahkan tidak pernah berwisata ke Dufan. Setiap hari ia hanya mengecat dan mengecat di atas kain. Menggambar tokoh Dufan dan mengganti tanggal serta tema. Bosnya hanya pernah mengantarkan Wak Mijon hingga depan wahana terbaru untuk membantu imajinasi Wak Mijon dalam melukis. Belum sekali pun Wak Mijon mencicipi wahana-wahana itu.

  Fiska menatap lukisan Wak Mijon sekali lagi. Boneka ikon Dufan itu terlihat lucu di matanya. Fiska membalas senyum di lukisan Wak Mijon. Tangannya menyentuh hidung besar di gambar boneka itu. Ia lalu mempercepat langkahnya.

  Fiska mengenakan mukenanya. Seperti biasa hanya ada dirinya dan Nenek Birah, jamaah perempuan di masjid itu. Mata Fiska masih terkantuk-kantuk. Ia sempat terlalu lama sujud.

  “Ayah!” Fiska kembali memanggil ayahnya dalam perjalanan pulang.

  Ayahnya diam seperti biasa menghadapi anak yang terlalu banyak ingin tahu ini. Tentu saja lelaki ini tak pernah marah menanggapi putrinya itu. Hanya hal seperti ini yang diyakini mampu ia berikan lebih banyak untuk memberi kebahagiaan gadis kecilnya. Lingkungan mereka telah lebih banyak mencuri kesenangan dalam umur anak-anak yang seharusnya manis.

  “Ayah!” Fiska mengguncang tangan ayahnya.

  “Iya.”

  “Di Al Quran ada ayat tentang hukum mahal yang haram ya?”

  Ayah Fiska tertawa, “tidak, itu ada di kitab lain. Tapi, kamu harus mematuhinya.”

  Fiska mengangguk-angguk.

  “Mahal adalah haram. Haram adalah dosa,” gumamnya menyambut pagi.

***

“Anjing lu, taik, ambil bolanya!” Sekelompok anak berlarian di lapangan.

  “Woiii bego! Tendang!” Anak yang cukup tinggi menghardik seorang yang sedang membungkuk di ujung.

  “Mampus! Lu panas-panas gini maen bola, bego!”

  Tiba-tiba.

  “Minggir semua! Tutup jalan-tutup! Gang Senggol sama Gang Asem tawuran!”

  Beberapa orang tua mengangkat pot-pot bunga di pintu gang untuk menghalangi pemuda-pemuda yang rusuh. Anak-anak yang tengah bermain bola segera menyingkir ke dalam rumah. Mereka bersembunyi di balik dinding lalu menyembulkan kepala melalui jendela atau celah-celah apa saja. Pot-pot berukuran besar itu kini beralih fungsi menjadi tameng warga Gang Sawo. Belum cukup, mereka menambahi perisai dengan meja panjang dan kursi dari warung bakso.

  Dengan hambatan sebanyak itu, pelaku tawuran tidak akan masuk ke gang mereka. Kegiatan yang sangat cepat menandakan bahwa hal seperti ini bukanlah yang pertama terjadi.

Nenek Birah terbungkuk-bungkuk menaiki tangga rumah paling ujung. Ia ingin naik ke satu-satunya balkon di  lantai dua yang selalu dipenuhi jemuran. Untuk sampai ke balkon itu, Nek Birah harus meminta izin kepada Bu Latifah si pemilik kamar kontrakan. Kaki-kaki tua itu memaksa naik, punggung Nek Birah berdenyut. Ia menghela napas. Penawar kebosanan akan menanti setelah dua anak tangga lagi. Tangan keriputnya memegang dinding di sebelah tangga.

  Gruduk. Gruduk.

   Tono, Dodi, dan Yuli melintas cepat di sebelah Nek Birah. Membuat ia hampir terjerambab. Nek Birah memegangi punggungnya. Ia memacu usaha lebih keras lagi. Kebaya hijau tampak kusam mengikuti langkahnya yang lelah.

  Buk.

Ketiga anak itu mendobrak pintu Bu Latifah tanpa permisi. Langkah kaki mereka bergemuruh di lantai. Bu Latifah sudah sejak tadi memunculkan kepalanya di bawah jemuran pakaian untuk menyaksikan tawuran. Ia hanya mengenakan kain sarung yang dililit di dada. Satu plester koyo menempel di pipi sebagai penangkal sakit gigi. Obat paling sakti yang ia percaya sejak kecil setelah dipaksa tidak percaya kepada dokter. Nek Birah tertatih-tatih muncul dari belakang.

  Ibu-ibu yang sedari tadi ada di depan televisi meletakkan kepala di jendela dan balik terpal yang digunakan sebagai dinding untuk menyaksikan sekelompok orang berlarian membawa berbagai benda. Semua mata merapal mantera sebelum genderang perang terdengar.

Serombongan pemuda datang berlarian. Desas-desus mengenai tawuran sudah muncul beberapa hari yang lalu. Satu orang muncul dengan langkah tergesa membawa samurai panjang. Gas air mata terlempar di belakangnya. Entah dari mana mereka membeli alat itu. Tono pernah melihat barang-barang seperti itu dijual bebas di pasar Senen. Sekelompok pemuda mengejar pemegang samurai diikuti kelompok lain.

  Buk

  “Yum! Lihat yang itu, gila! Kepalenye berdarah cuma ditutup pake kain.”

  Mira bersorak kegirangan melihat seorang remaja tanggung tanpa baju berjalan dengan rantai di tangan kanan. Tangan kirinya memegang gulungan baju yang ditempelkan di kepala. Darah mengalir dari pipi anak itu. Tepat di belakang ada seorang anak yang dipukuli menggunakan rantai dan kayu sebesar lengan pria dewasa.

  Kepala anak-anak tidak beralih dari jendela. Mata mereka menatap tanpa berkedip seolah sedang menyaksikan film laga. Pemuda-pemuda itu terus berkejaran diikuti sorak beberapa penghuni pemukiman dengan penuh keriuhan merayakan sebuah hiburan pengisi bosan.

“Sialan. Tawuran terus. Gue kagak jadi buka, gak bisa dagang! Ha ha ha” Mira tetangga Yumi yang telah berdagang legging sejak kakinya menginjakkan Jakarta mengutuk-ngutuk sambil tertawa lirih.

  “Lumayan Mir, timbang elu dagang mulu. Ade tontonan seru hahaha,” sambung Yumi.

Mira hanya mencibir. Suara sirine polisi mengambil posisi.

“POLISI NGEHEEK!!” Teriak salah satu dari mereka.

“BUBAR BEGO! MAMPUS LU! BUBAR!”

Kerumunan itu menyepi. Hilang. Sejumlah mata yang sejak tadi menatap lewat jendela menyiratkan kesan agak kecewa. Yumi, Mira, juga Nek Birah tampak berkumpul untuk membahas tontonan yang baru mereka saksikan. Nek Birah lebih banyak diam sembari mendudukkan diri di lantai. Linu pinggangya belum reda. Akan tetapi, degup jantung nenek tua itu meningkat serupa saat ia menyaksikan perang kemerdekaan waktu mudanya dulu. Ia tak dapat membohongi bahwa ia mendapatkan kepuasan tersendiri. Kenangan ketegangan di masa-masa awal kemerdekaan itu bangkit kembali. Nenek Birah tersenyum puas di hari tuanya.

 Suasana kembali sepi. Pot-pot bunga yang terbuat dari potongan drum sisa bensin diambil kembali. Jika dilihat dari dekat, tak ada bunga yang tumbuh di pot itu. Pot itu hanya berisi tanah kering dan batang merana. Entah mengapa mereka terus menyebutnya pot bunga.

Meja dan kursi Tarno, suami Yumi, yang lebih dikenal sebagai Tarno Bakso Tikus, kadang-kadang dipanggil dengan sebutan Tarno Bakso Sapu-Sapu, dikembalikan ke tempat semula. Julukan Tarno Bakso Tikus disematkan karena banyak yang menduga kalau bakso yang ia jual menggunakan daging tikus. Sementara, Tarno Sapu-Sapu muncul akibat desas-desus yang menyatakan selain tikus, Tarno juga kadang-kadang menggunakan ikan sapu-sapu sebagai bahan dasar jualannya.

Fiska yang sedari tadi diam di pangkuan ayahnya mulai merasa tidak nyaman. Mata lelaki itu menatap runyam. Salah satu cara yang ia lakukan untuk melindungi anak perempuan adalah melarang Fiska untuk melihat atau berdekatan dengan kekerasan. Ia menghela napas berat sembari menatap gadisnya. Matanya murung menyiratkan keraguan. Kadang ia menyesal harus menjadi ayah di keadaan seperti sekarang. Kadang ia merasa tak pantas dipanggil ayah. Ia benar-benar takut anak itu akan tumbuh besar menjadi salah satu dari mereka. Atau berpikiran pendek seperti mereka. Tumbuh dengan anggapan bahwa kengerian adalah hiburan. Ia mendekap anak gadisnya lebih erat. Di dalam hati, raungan rasa bersalah dan permintaan maaf melengking. Matanya makin sayu.

“Ayah kenapa?” Anak itu menatap wajah ayahnya. Beberapa meter dari mereka, ibu Fiska sejak tadi duduk terdiam menatap lukisan tua yang diambil suaminya dari tempat sampah.

“Fiska tidak akan melihat tawuran, Fiska janji. Fiska tidak akan ikut teman keluar malam. Fiska tidak akan berteman dengan Jack. Fiska janji untuk rajin belajar,” ucapan itu keluar memburu dari mulutnya seolah-olah ia mampu membaca apa yang dipikirkan oleh ayahnya.

Ayah Fiska melangkah ke luar. Ia menyembunyikan mata yang memanas dari pandangan Fiska. Suasana sudah kembali seperti semula. Lelaki itu mengeluarkan gerobak sampah yang biasa ia bawa.

“Buleee!” Anak-anak menyerbu.

Mereka merubungi orang asing yang datang bersama Prapto. Sehari sebelumnya, Prapto sudah memberi tahu bahwa akan ada orang asing asal Swiss dan Australia yang datang. Tugas anak-anak adalah mengelilingi kedua orang itu serta tersenyum jika difoto. Prapto telah menjanjikan bahwa bule tersebut akan memberi mereka sembako.

Bu Yumi, Tanti, dan sekelompok perempuan paruh baya juga turun. Mereka bertanya-tanya kepada dua orang yang baru datang itu melalui Prapto.

“Di Swiss dingin apa panas?”

Prapto segera menerjemahkan. Bule dari Swiss yang lumayan tampan itu menjawab dengan ucapan singkat,

” Cool.”

Prapto menerjemahkan kembali.

“Ooo pantes keringatnya keluar.”

“Hahaha, bisa aje lu Tanti.”

“Bisalah, gue ngomong ama bule tiap hari keles.”

“Eh, lu mau kawin ama gue kagak?” Tanti berkata dengan semangat.

“Huuuuuuuu,” semua bersorak.

“Eh, rejeki jangan dijengkal ye. Siapa tau kalo nasib gue emang udeh ditakdirkan berubah. Baru elu semua iri.”

“Yang ini Stevan, yang ini Edward,” ujar Prapto sumringah.

Nenek Birah menatap dari balik bilik rumahnya. Edward berjalan ke rumah Yumi yang hanya berupa petakan kecil, namun berisi seluruh barang-barang mulai lemari, tempat tidur, piring, sabun cuci, dispenser, kipas angin bekas, pemutar DVD yang sudah rusak, juga televisi. Tangan  Edward sibuk menjepret dengan SLR.

“Bengawan Soloooo, riwayatmu dulu, sedari dulu jadi...” Petruk si Lumpuh bertugas menyanyi seperti biasa di atas kursi roda tua.

Edward menyelipkan uang dua puluh ribu di tangannya. Petruk tersenyum membayangkan bahwa malam hari ia akan dapat ikut dalam taruhan skor Moto GP bersama Jack dan teman-temannya.

Anto dan Dahlan mengikuti orang asing tersebut lalu membiarkan mereka menjauh. Setelah dua orang asing membagi sembako kepada warga, mereka pamit. Andai Prapto tidak mengancam Anto, Dahlan, juga teman-temannya, bahwa ia tidak akan memberi jatah sembako kepada siapapun yang mengambil dompet atau hal lain dari orang asing yang dibawa ke kawasan kumuh itu, mereka pasti bisa melakukan apa yang diinginkan. Sayang Prapto menyatakan dengan keras bahwa masa hukuman itu berlaku selamanya. Andai tak ada larangan,  kedua anak yang sedari tadi menelan ludah melihat tas-tas hitam legam pasti telah memindahkan seluruh benda-benda berharga ke tangan mereka.

Seorang anak usia tujuh tahun duduk di dalam gerobak. Mata Fiska mengawasi dari balik gerobak sampah ayahnya. Mereka bersiap menggali ribuan sumber sampah di Jakarta.

“Jangan pernah mau membantu orang-orang seperti Om Prapto. Kamu harus sekolah. Keluar dari kawasan ini,” ucap ayahnya.

“Ayah!”

“Ya.”

“Kapan aku masuk sekolah?”

“Besok ayah daftarkan.”

“Aku akan belajar dengan rajin! Aku sudah bisa membaca kan! Semuanya, cerita Petruk, Naga Raksasa Baruklinting, juga Malin Kundang,” mulut itu merapal sejumlah buku yang dibawa ayahnya sepulang memulung.

“Ayah!”

“Ya!”

“Kemarin Tono bermain ke Rumah Korek. Mengapa aku dilarang mendekati tempat itu.”

Lelaki itu menghentikan langkahnya. Menghela napas. Gambaran Rumah Korek yang telah berusia lebih dari usia anaknya itu membayang di kepalanya. Susi, teman Yumi, seorang janda tua ada di dalam bilik tersebut. Bilik itu memiliki celah kecil seukuran bulatan tabung air mineral untuk mengintip tubuhnya di dalam gelap. Anak-anak boleh melihat dengan cara menyalakan korek api melalui lubang kecil. Ketika api menjalari batang korek dan pelan-pelan, anak-anak terpelongo ingin menyaksikan setiap inci tubuh Susi. Sayang, sinar korek itu hanya mampu menjangkau area pinggang hingga kaki.  Mata mereka mengikuti bersama jalaran api di batang korek yang pelan-pelan padam, bayang-bayang tubuh Susi pun hilang. Sebagai ganti, mereka harus meninggalkan uang lima ratus rupiah setiap selesai melihat Susi. Jika rasa penasaran para bocah itu belum terpuaskan, mereka harus merogoh lagi kocek, berebut dengan teman untuk mendekatkan biji mata pada jarak terdekat terhadap lubang intip. Tidak jarang, bocah-bocah itu menyalakan enam sampai tujuh korek api.

Saatnya sudah tiba. Mungkin sudah seharusnya aku menceritakan segalanya. Ia harus memiliki kekuatan sendiri untuk bertahan.

Segurat tekanan mengalir di kepala lelaki itu memandang wajah yang terlalu kecil. Perasaan seorang ayah yang nyaris gagal membayangi pikiran kembali. Sebuah batu besar tumbuh mengembang memberati kepala. Mengapa ia terlempar di tepi bantaran kali ini. Mengapa para supir truk ekspedisi antar pulau memilih parkir di sekitar tempat tinggal mereka hanya untuk memberikan uang ribuan rupiah kepada perempuan yang sudi ditiduri. Mengapa anaknya harus lahir di tempat seperti ini.

“Nanti, ayah ceritakan di rumah.”

Ayahnya mendorong gerobak. Fiska terlonjak-lonjak di dalam gerobak pertanda bahwa ia mulai memasuki jalan yang banyak gundukan. Ayahnya tiba-tiba mempercepat dorongan.

“Woaaaaaa,” Fiska berteriak kegirangan. Gerobak terus menembus waktu dan realitas kehidupan.

You are using an unsupported browser and things might not work as intended. Please make sure you're using the latest version of Chrome, Firefox, Safari, or Edge.