Avatar

rangkaian aksara

@arfitri / arfitri.tumblr.com

dari hati yang merasa tanpa sempat berkata
Avatar

Mungkin tiga atau empat puluh tahun lagi foto ini bisa jadi cerita ke cucu kami bahwa kakek neneknya bisa survive dari pandemi.

Dear corona, udahan yuk?

Avatar
BALADA LEM TIKUS

Aku dan mas bojo pasang lem tikus.

👧🏻 : Nanti kalo ada yang kena, kamu yang buang ya. Aku nggak tega.

👨🏻 : Kasian tau tikusnya baru aja lahiran

👧🏻 : Iya mana anak-anaknya masih kecil

👨🏻 : Ntar kalo anaknya yang kena lem ini gimana?

👧🏻+👨🏻 : ☹️

Akhirnya kami pun batal memasang lem tikus tersebut. Sekian.

Avatar

Sekarang aku baru mengerti,

bahwa satu ataupun seribu nyawa, itu sama pentingnya.

Ini bukan perkara angka,

tapi tentang keluarga yang ditinggalkan.

Selamat jalan, bapak.

Istirahatlah dengan tenang di surgaNya.

Kami sayang bapak,

tapi ternyata Tuhan jauh lebih sayang.

Avatar

Bekerja keraslah sampai kamu bisa order grabfood tanpa kode promo.

Avatar

Semalam aku bermimpi aku dan suamiku tiba-tiba punya anak. Masih bayi. Bukan, yang muncul di mimpi kali ini bukan Alif, tapi bayi lain. Benar-benar seperti ibu newbie, aku belajar cara menggendong anakku, mandiin dia, main sama dia, ngobrol juga walaupun dia belum bisa bicara. Lucunya, si anak di mimpiku itu punya nama yang entah berasal dari bahasa mana aku juga baru pertama kali dengar. Asing. Aku tidak yakin nama itu ada artinya.

Sore ini aku berhasil mengingat nama anakku di mimpi. Aku browsing di google nama itu, ternyata nama itu benar-benar ada. Berasal dari bahasa sebuah negara yang masih di Asia juga. Artinya victory. Wah, bisa begitu ya. Ajaib. Padahal aku baru dengar kata itu sekarang.

Halo, Alif. Yang datang semalam itu apakah adikmu?

Avatar
Abang Ojek (part 1)

Tahun 2018 silam, bulan Februari, aku berangkat ke Jakarta untuk mengantarkan mama berobat. Mamaku adalah survivor meningioma. Saat itu kami berangkat bertiga. Aku, mama, dan budhe yang biasa bantu-bantu di rumah. Kami bertiga naik pesawat pada jam penerbangan siang hari. Sampai di Jakarta, kami naik taksi ke arah hotel yang sudah dipesankan oleh kakakku di Jakarta. Hotelnya dekat dengan rumah sakit yang akan kami kunjungi besok. Setelah bersih-bersih dan makan malam, kami segera beristirahat malam itu.

Keesokan harinya, pukul sembilan pagi kami berangkat ke rumah sakit. Lengkap dengan koper berisi keperluan mama dan ransel yang tergantung di bahuku. Sesuai instruksi dari dokter residen yang menelponku beberapa hari sebelumnya, aku segera ke admisi untuk mengurus pendaftaran rawat inap mama. Tanpa kuduga sebelumnya, ternyata nama mama tidak tercantum di daftar antrean rawat inap dan parahnya lagi adalah semua kamar VIP hari itu sudah penuh. Aku sedikit kesal mengingat untuk membawa mama kesini butuh perjuangan, baik dari dana maupun kesehatan mama sendiri. Tanpa pikir panjang aku langsung menghubungi residen yang menelponku. Tak lama, dia pun tergopoh-gopoh datang menghampiri kami. Setelah kujelaskan duduk perkaranya, dia menghampiri meja admisi. Entah apa yang mereka diskusikan. Pada akhirnya mama bisa dapat tempat hari itu tapi menunggu pasien lain yang akan dipulangkan siang ini. Estimasinya adalah pukul 12 siang. Baiklah, kami menunggu di lobi rumah sakit selama 3 jam.

Pukul 12 siang, aku tanya ke pihak admisi. Ternyata pasien yang direncanakan pulang itu masih bersiap-siap. Setelah itu kamarnya juga harus disterilkan terlebih dahulu. Mereka meminta waktu kurang lebih dua jam. Baiklah, akhirnya kami memutuskan untuk makan siang dan sholat terlebih dahulu.

Pukul 2 siang, aku kembali bertanya ke pihak admisi. Mereka mengatakan proses sterilisasi kamar belum juga usai. Kami diminta menunggu sebentar. Darahku sudah hampir naik ke ubun-ubun waktu itu. Aku tidak tega melihat mama menunggu lama di lobi rumah sakit sambil menahan nyeri kepalanya.

Pukul 3 sore, akhirnya pihak admisi memanggilku untuk menyelesaikan proses administrasi. Setelah menjelaskan mengenai hak dan kewajiban pasien, pihak admisi memintaku untuk membayar DP sebesar 70% dari total perkiraan habisnya biaya mama dirawat di sana sampai diperbolehkan pulang. Tujuh puluh persen dari seratus empat puluh juta rupiah. Iya kalian nggak salah baca. Hampir seratus juta rupiah harus kubayarkan saat itu juga.

Aku melongo, terdiam. Bukan, bukan aku tidak punya uang. Aku sudah mempersiapkan dana pengobatan mama. Tapi orang mana yang bawa uang cash sebesar itu? Ih jangan norak deh, kan bisa lewat debit atau kredit. Iya memang bisa, tapi tidak dengan kartu debitku karena rekeningku hanya membatasi pengeluaran maksimal 20 juta dalam 24 jam. Aku punya dua rekening yang berarti aku hanya sanggup membayar 40 juta.

Aku membujuk pihak rumah sakit agar mama boleh masuk kamar dahulu sambil aku mencari dana sisanya tapi pihak rumah sakit tidak memperbolehkan. Kami baru boleh masuk ke kamar apabila aku sudah membayar DP yang diminta. Seketika itu juga aku marah, mengumpat. Seandainya mereka memberitahu kami sejak pagi, aku bisa pergi ke bank dari tadi. Kulihat jam tanganku, sudah pukul setengah 4 sore. Kulirik mamaku yang mulai lelah. Pikiranku kacau. Aku mencoba menelpon bank terdekat dari situ, bank di dalam kampus UI. Bank sudah tutup pukul 3 sore tadi. Marah, kesal, panik, semua menjadi satu. Aku berjalan keluar rumah sakit. Aku tetap berusaha browsing mencari bank yang masih buka. Ah, ternyata ada satu bank yang masih buka dan lokasinya tidak terlalu jauh. Aku segera memesan ojek online untuk kesana. 5 menit, 10 menit, si ojek online tak kunjung bergerak. Aku semakin gelisah. Sampai akhirnya aku melihat ada tukang ojek di samping pintu keluar rumah sakit. Kudatangi ia. Setelah kujelaskan maksudku, dia segera mengantarku ke bank. Tentu saja setelah pesanan ojek onlineku kucancel.

Di tengah perjalanan, si abang ojek tiba-tiba mengatakan bahwa bank yang kami tuju ini adalah bank kecil di mana batas transaksi penarikan tunai hanya sampai pukul 3 sore. Dia mengusulkan untuk mengantarku ke bank pusat yang lebih besar meskipun lokasinya agak sedikit lebih jauh. Aku setuju. Si abang ojek melajukan motor tuanya secepat yang ia bisa. Lucunya, sampai di bank yang dia maksud, dia menerobos satpam di parkiran bank dan menurunkanku tepat di depan pintu kaca bank sampai-sampai kami diteriaki oleh pak satpam. Dia menyuruhku segera masuk ke bank dan berjanji akan menungguku di parkiran motor. Aku mengangguk. Kulihat sekilas dia menghampiri pak satpam yang meneriaki kami. Sepertinya dia minta maaf hahaha.

Alhamdulillah, bank itu masih menerima transaksi sampai pukul 4 sore. Saat itu sudah pukul 15.50. Sepuluh menit sebelum bank tutup. Aku bernapas lega. Segera kuambil sisa uang yang kubutuhkan untuk membayar DP kamar mama.

Pukul 4 sore, aku keluar dari bank. Benar saja, si abang ojek masih menungguku. Aku segera menghampirinya. Dia mau mengantarkanku kembali ke rumah sakit. Dia kembali melajukan motor tuanya secepat kilat. Tak sampai sepuluh menit, kami sudah tiba di rumah sakit kembali. Aku bertanya kepadanya berapa ongkosnya. Dia bilang seikhlasnya saja. Aku memaksanya untuk menyebutkan nominal tapi dia tetap bilang seikhlasnya. Baiklah.

Ternyata masalah belum selesai sampai di situ saja. Kulihat dompetku, tidak ada uang cash sama sekali selain sepuluh ribu rupiah. Astaga aku baru ingat kalau aku jarang sekali membawa uang cash. Dengan ragu aku memberikan selembar sepuluh ribuan itu kepada si abang ojek. Dia tetap tersenyum lebar dan mengucapkan terimakasih. Bahkan dia menyuruhku untuk segera masuk ke rumah sakit lagi untuk menyelesaikan proses administrasi. Aku mengangguk dan segera berlari masuk ke lobi rumah sakit. Tampak budhe yang menungguku di pintu rumah sakit. Aku bertanya mengapa dia ada di situ, bukannya menemani mama di bangku lobi. Ternyata mama yang menyuruhnya karena mereka mengkhawatirkanku. Aku, anak desa, tidak punya kenalan di Jakarta, pergi sendirian ke bank mengambil uang puluhan juta rupiah, naik ojek. Aku terpaku. Otakku baru mulai bekerja. Astaga yang benar saja. Aku baru menyadari bahwa yang kulakukan barusan sangat berbahaya. Alhamdulillah Allah masih melindungiku.

Setelah proses administrasi selesai, kami akan segera diantar ke kamar rawat inap mama. Sebelum ke kamar, aku baru sadar lagi. Lah kan aku tadi ke bank ambil uang puluhan juta ya. Bisa-bisanya aku hanya memberi sepuluh ribu rupiah ke si abang ojek. Aku pun menyempatkan untuk ke samping rumah sakit di mana aku bertemu dengan si abang ojek tadi. Tapi sayangnya, si abang ojek udah nggak kelihatan. Bahkan sampai mama diperbolehkan pulang dari rumah sakit, aku nggak pernah melihat abang ojek itu lagi. Aku sedih dan menyesal. Dia seharusnya pantas mendapatkan lebih dari yang kuberikan.

Ah, maafkan aku abang ojek. Semoga rezekimu disimpankan sama Allah.

*cerita tentang proses pengobatan mamaku di rumah sakit itu akan kuceritakan lain kali ya.

Avatar
reblogged
Avatar
miring

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, hidup bersamamu dengan kaya raya, menjadikan anak kita bergelimang harta, lalu kita hidup foya-foya, jalan-jalan keliling dunia, serta mati sekeluarga masuk surga.

Avatar
HSG

Hari ini ceritanya aku ke salah satu laboratorium klinik swasta di kota Solo. Aku berencana buat tes HSG atas saran dari dokter kandungan yang kudatangi sebulan yang lalu.

Sebelum tes, aku udah banyak baca review soal HSG. Tentang prosesnya, biayanya, komplikasinya, efek yang terjadi setelahnya. Kalau dari review yang kubaca sih saat HSG kita akan merasa perut kram, mual, bahkan sampai ada yang pingsan. Setelah prosesnya selesai pun akan ada kemungkinan keluar flek selama 2-3 hari. Ngeri ya? Aku sempat takut juga. Tapi berbekal keinginan yang kuat untuk segera menghadirkan adiknya Alif, aku pun tetap menjalani tes HSG itu.

Ah iya, aku berangkat ke lab sendirian. Si mas kemana? Ya jelas dia masih sekolah, wong aku ke labnya jam 8 pagi. Lumayan nekat sih. Karena dari review yang kubaca seharusnya aku didampingi keluarga kalau-kalau terjadi hal yang tidak diinginkan. Tapi bukan Nisa namanya kalau nggak nekat. Toh juga disana nanti pasti dikasih analgetik kan?

Sampai di lab pukul 8 pagi, aku diambil darah dulu buat tes darah rutin. Hasil dari tes darah rutin ini lah yang menentukan apakah aku boleh dilakukan HSG. Pukul 10 hasil keluar, aman. Aku pun diminta untuk ke ruang HSG pukul 11.

Di dalam ruang HSG ada dua orang, satu dokter radiologi dan satu (sepertinya) asistennya. Alhamdulillah keduanya perempuan. Aku diminta untuk minum analgetik dulu, melepas bawahan, buang air kecil, lalu berbaring di atas meja tempat dilakukan foto XRay. Saat foto awal ini, everything is ok. Ya iya, kan cuma difoto doang, malih!

Setelah foto pertama dengan posisi supinasi ini selesai, si dokter radiologi datang mendekat. Jeng jeng, aku mulai deg-degan. Beliau minta aku untuk posisi litotomi. Aku nggak berani lihat ataupun banyak nanya apa yang akan beliau lakukan. Aku pasrah, udah kepalang tanggung ini. Beberapa menit kemudian beliau memasukkan spekulum ke dalam vagina. Ini bukan pertama kali sih karena aku pernah dikuret sebelumnya. Tapi tetep aja sakitnya bukan main, cyin. Beliau sampai gemes karena badanku nggak bisa diem hahaha. Ya maaf dok, kan sakit ya.

Ternyata penderitaan belum usai saudara-saudara. Setelah spekulum terfiksasi, beliau memasukkan kateter sampai ke dalam rahimku. Kemudian spekulum pun dilepas. Lalu beliau memberi aba-aba sebelum memasukkan cairan kontras. Kata beliau perutku akan terasa mulas. Baik, aku iya iya aja sih karena aku udah nggak bisa berpikir lagi. Ketika cairan kontras mulai masuk, beuh rasanya perutku mulas sekali. Seperti belum buang air besar seminggu. Agak sedikit mual juga. Si dokter radiologi melakukannya dengan cepat, beliau segera memposisikan aku menjadi supinasi kembali lalu mengambil foto lagi. Aku cuma bisa merem, bergerak pun aku tak mampu. Pasrah.

Apakah sudah selesai? Weit, ternyata belum saudara-saudara. Setelah foto dengan posisi supinasi selesai, beliau memposisikan aku dengan posisi LLD (ini bisa digoogling ya). Intinya aku dimiringkan ke kiri. Lalu ternyata beliau memasukkan cairan kontras lagi. Astaga mulas yang tadi aja belum hilang, ini ditambah lagi. Mau nangis aja huhuhu. Tapi untungnya beliau melakukan semuanya dengan kilat. Setelah selesai foto dengan posisi LLD, beliau segera melepaskan kateterku. Alhamdulillah. Aku lega. Rasanya seperti berhasil buang air besar setelah seminggu sembelit.

Si asisten memintaku untuk bersih-bersih dan diusahakan untuk buang air kecil agar cairan kontrasnya ikut keluar. Ia sempat menanyakan apakah masih terasa nyeri. Dengan percaya diri aku bilang tidak. Tapi aku tetap diberi bekal analgetik kalau-kalau sampai di rumah terasa nyeri. Dia juga menjelaskan bahwa akan ada flek selama 2-3 hari. Setelah mengangguk tanda mengerti, aku pun kembali ke rumah.

Sampai di rumah pukul 12 siang, aku berniat untuk rebahan sebentar. Tapi eh nggak tahunya aku ketiduran. Sekitar pukul 2 siang aku terbangun karena perutku tiba-tiba terasa kram. Susah sekali untuk berganti posisi. Apalagi saat aku batuk atau bersin, astaga sakitnya. Ternyata efek analgetik yang kuminum di sana tadi mulai hilang. Untung aku masih punya analgetik cadangan yang tadi dibawakan pulang dari lab. Huhuhu begitulah anak muda, jangan takabur bilang kalau nggak sakit.

Sampai tulisan ini dibuat, pukul 1 pagi, aku masih rebahan di kasur. Meski sudah tidak separah tadi siang, tapi perutku masih kram. Rasanya masih susah buat gerak. Semoga saja besok pagi kram dan fleknya sudah hilang.

Untuk para pejuang dua garis, mari kita berpegangan tangan.

Avatar

Belum punya anak, tidak sedang hamil. Tapi udah browsing peralatan bayi. Dasar aku.

Avatar

Semalaman nggak tidur nungguin kabar dari orang yang sedang tidur. Cinta boleh, bego jangan.

Avatar
Mesin Cuci

Aku punya kebiasaan mencuci pakaian di malam hari. Kenapa? Karena siang harinya aku bekerja. Jadi sepulang kerja aku baru sempat untuk mencuci. Lagipula dengan mencuci di malam hari, pakaian yang kupakai untuk bekerja hari itu bisa sekalian langsung kucuci, kan?

Lalu semalam seperti biasanya aku mencuci pakaian, dengan mesin cuci tentunya. Kutekan tombol start. Kulihat ada angka 47 di situ. Baik, 47 menit lagi. Aku memutuskan untuk tidur dahulu sambil menunggu mesin cuciku menyelesaikan tugasnya. Tidak lupa kupasang alarm di handphoneku agar ketika aku bangun nanti aku tinggal menjemur pakaian yang kucuci.

Ngomong-ngomong, suamiku masih di rumah sakit semalam.

Entah kenapa semalam badanku rasanya tidak nyaman. Pandanganku berputar. Badanku hangat. Tenggorokanku nyeri. Tulang-tulangku seolah ingin memisahkan diri dari sendi yang mereka tempeli selama ini. Ah, aku demam. Tapi ini bukan covid kan? Entahlah. Aku tidak sanggup untuk berpikir lagi. Tak lama sepertinya aku terpejam. Aku tak ingat.

Pagi ini, aku bangun terburu-buru. Kulihat suamiku masih tidur di sebelahku. Entah jam berapa dia pulang semalam, yang pasti melewati tengah malam. Aku segera menuju ke ruang cuci. Ah, pasti cucianku bau lagi karena kudiamkan semalaman.

Sesampainya di ruang cuci, kulihat mesin cuci sudah kosong. Pakaian yang kucuci semalam sudah terjemur rapi. Aku terpana. Masih tak percaya, kupegang beberapa baju yang tergantung di sana. Masih lembab. Berarti benar ini baju yang kucuci semalam.

Aku kembali ke kamar. Kubangunkan suamiku perlahan karena ia harus ke rumah sakit lagi pagi ini. Antara sadar dan tidak, saat kedua kelopak matanya masih setengah menutup, kukatakan kepadanya.

"Makasih yah udah bantuin jemur baju semalem."

Sederhana sih. Tapi entah kenapa aku senang.

Avatar

Halo, diriku.

Terimakasih telah berjuang sejauh ini. Tetaplah berjuang hingga kamu lupa bagaimana rasanya lelah.

Avatar
Tidak semua keinginanmu harus tercapai, sayang. Jangan kecewa bila ekspektasimu tak sesuai realita.
Avatar
reblogged
Avatar
prawitamutia

tentang luka-luka itu

kamu pikir menangis akan menyembuhkannya. ternyata tidak.

kamu pikir makan banyak akan menyembuhkannya. ternyata tidak.

kamu pikir tidur panjang akan menyembuhkannya. ternyata tidak.

kamu pikir berdiam diri di kamarmu, tidak melakukan apa-apa akan menyembuhkannya. ternyata tidak.

kamu pikir berpergian lalu bertemu dengan banyak orang akan menyembuhkannya. ternyata tidak.

kamu pikir bersama dengan seseorang yang kamu sayangi akan menyembuhkannya. ternyata tidak.

kamu pikir berlari ke jalan terlarang akan menyembuhkannya. ternyata tidak.

kamu pikir beribadah banyak-banyak akan menyembuhkannya. ternyata tidak.

akhirnya kamu pikir waktu akan menyembuhkannya. ternyata tidak juga.

lalu kamu sadar bahwa kamu harus berjuang untuk benar-benar menyembuhkannya. kamu harus menerima keberadaannya, berdamai dengannya, merawatnya dengan kesadaran dan tanggung jawab.

kamu pun lebih kuat dari kamu yang sebelumnya.

Avatar

Selamat hari lahir, Alif!

HPL memang hanya perkiraan. Tapi boleh lah ya kita anggap saja hari ini adalah hari kelahiran kamu. Walaupun dengan lahirnya kamu hari ini menjadikan kamu sebagai gemini, tapi tak apa. Ibu yakin kamu bukan gemini yang hobi flirting. Kalau kamu ada di sini, tinggal di Indonesia bersama ibu, kamu pasti akan dicap sebagai playboy. Padahal kamu yang terlalu baik dengan semua wanita sehingga mereka mudah jatuh hati kepadamu. Ibu pun sudah kamu buat jatuh hati sedalam ini, nak. Ah ibu tidak bisa membayangkan. Kalau kamu sudah dewasa, ibu pasti akan sibuk menanyaimu tentang wanita mana yang sebenarnya kamu pilih.

Alif, kamu memang tidak lahir di bumi. Tapi kamu lahir di hati ibu. Sekali lagi, selamat hari lahir anakku :)

Avatar

Hari ini adalah tepat dua tahun sejak suamiku mengucapkan akad di depan papa. Alih-alih dinner romantis seperti di sinetron, kami merayakan ulang tahun pernikahan kami tengah malam tadi dengan nonton iflix sambil makan camilan potato cheese stick yang kubuat sendiri. Sambil ngobrol ngalor ngidul tentunya. Di antara sekian banyak keinginan yang kuucapkan di usia dua tahun pernikahan ini, aku tanya balik ke suamiku, apa yang dia inginkan. Setelah dia diam sejenak, dia hanya menjawab satu kata. Anak, katanya. Lalu kami berdua sama-sama diam.

"Halo nak, adeknya Alif, ibu tahu kamu ada. Jadi, kapan kamu mau ketemu ayah sama ibu?"

Anyway happy anniversary, mas bojo! Semoga anniversary selanjutnya kita udah bertiga ya :)

Avatar
Tentang Trauma

Kalian pernah nggak sih, trauma sama sesuatu (atau mungkin seseorang) sampai jangka waktu yang sangat lama? Kalian masih selalu merasakan hal yang sama di mana ketika sesuatu itu muncul kembali, dada kalian akan berdebar, nafas terasa sesak, tangan gemetaran, nyeri kepala, mual, kedua kaki lemas, bahkan lebih parahnya pandangan kalian tiba-tiba gelap. Mendadak bayangan akan sesuatu itu muncul kembali dan mengisi seluruh bagian otak sampai kalian tidak bisa berpikir lagi. Yang ada di benak kalian hanya ada satu, rasa takut.

Aku yakin semua orang pasti punya traumanya masing-masing. Setiap orang pasti punya ketakutannya sendiri. Yang tidak semua orang punya adalah manajemen healingnya. Termasuk aku. Aku belum menemukan manajemen healing yang tepat. Bahkan lebih parahnya, aku ketagihan untuk mendatangi traumaku. Mengorek2 pencetus trauma yang jelas-jelas akan menimbulkan ketakutanku. Lalu setelahnya, aku tidak tahu harus berbuat apa selain diam, berjibaku dengan segala manifestasi klinis yang kusebutkan di awal tadi sampai akhirnya perlahan mereda sendiri. Meskipun kadang harus disertai dengan tangis.

Memang, terkadang sakit kita buat sendiri.

You are using an unsupported browser and things might not work as intended. Please make sure you're using the latest version of Chrome, Firefox, Safari, or Edge.