Susu Sapi dan Cerita-Cerita tentang Alergi pada Bayi
Dalam 2 tahun masa menyusui Faruq, istri saya, alhamdulillah sukses memberikan ASI secara penuh tanpa bantuan susu formula (sufor) maupun susu UHT. Bukan perihal ikutan gerakan-anti-susu-sapi apalagi anggota SJW minum-susu-sapi-sama-dengan-anak-sapi. Bukan soal itu. Memang karena anak kami alergi susu sapi sejak berusia kurang lebih 2 bulan.
Memiliki anak dengan alergi susu sapi punya tantangannya sendiri. Karena banyak hal harus disesuaikan, terutama perihal pola diet yang tidak hanya berdampak pada anak tetapi juga pada ibunya.
Kecurigaan pertama kami dimulai saat Faruq menampakkan kondisi merah-merah bintik di kulitnya. Banyak penyebab sebenarnya, jika menilai hanya dari merah-merah di kulit. Gigitan serangga bisa jadi salah satunya atau biang keringat. Tapi beberapa kondisi mengarahkan pada gejala alergi, misalnya kemerahan pada kulit cukup luas, terjadi pada momen yang tidak spesifik mengarahkan pada akibat gigitan serangga atau biang keringat. Dan tentu saja, setelah pemeriksaan dengan DSA (dokter spesialis anak), kecurigaan kami memang terbukti.
Hal paling pertama yang wajib dilakukan setelah diyakinkan kondisi alergi ialah mencari penyebabnya. Lebih murah (meski tidak selalu mudah) menghindari pencetus alergi (alergen) daripada meredakan gejalanya. Mengetahui jenis alergen itu sangat krusial karena, jangan salah, kondisi alergi yang sangat parah akibat paparan alergen bisa berefek kematian yang dimulai dengan syok anafilaksis.
Ada tes alergi yang secara klinis memang bertujuan untuk membantu menentukan jenis alergen. Tapi kami tidak yakin apakah itu perlu dan DSA-nya pun nampak tidak terlalu merekomendasikan. Rekomendasi IDAI (dapat dilihat di sini) tidak mengharuskan tes alergi untuk semua jenis alergi, apalagi bila kesimpulan bisa dibuat cukup berdasarkan hasil anamnesis dokter dan penelusuran riwayat alergi.
Nah menyelidiki penyebab alergi cukup gampang-gampang susah. Prinsipnya sederhana, seperti tes alergi pada umumnya, subjek uji dipaparkan dengan bahan yang dicurigai sebagai alergen kemudian diobservasi reaksi tubuh atas alergen tersebut. And we have to do this trial to human as safe and as valid as possible. Kami berdua merancang 'human trial' ini sebagai berikut:
- Telusuri riwayat diet ibu. berhubung anak kami berumur 2 bulan dan masih menyusui, tentu alergen masuk melalui ASI yang berarti asupan makanan ibu perlu ditelusuri sekitar 3 hari ke belakang sejak pertama kali gejala alergi muncul.
- Bahan makanan yang berpotensi besar menyebabkan alergi itu biasanya seafood, susu sapi (termasuk turunannya seperti keju dan pangan berbahan susu/ diary food), dan kacang-kacangan. Jadi kami tentukan 3 jenis makanan yang akan diujicobakan.
- Tes tiap jenis makanan satu persatu. Dan beri jeda 1 minggu per tes untuk periode washout. Observasi gejala yang timbul pada bayi hingga 3-4 hari ibu mengonsumsi makanan tersebut.
- Selama periode washout, diet ibu perlu dikontrol dengan tidak mengonsumsi makanan yang berpotensi alergi. Selama melakukan trial, diet ibu perlu dikontrol ketat untuk mendapatkan kesimpulan sevalid mungkin.
Dan hasil 'eksperimen' kami memberikan kesimpulan bahwa Faruq alergi susu sapi.
Memiliki anak dengan alergi susu sapi (Cow Milk Allergy/CMA) harus lebih ekstra memperhatikan tren pertumbuhan (biasanya dengan indikator tinggi dan berat badan). Anak dengan CMA cenderung mengalami pertumbuhan yang lebih lambat (termasuk postur tubuh yang mungkin lebih kecil/kurus) dibanding anak tanpa alergi, bahkan dengan anak yang alergi selain susu sapi. Studi oleh Robbins, et.al. terhadap 6.000 anak di US menunjukkan adanya hubungan antara CMA dengan kurangnya pertumbuhan anak (full report bisa dilihat di sini). Alasan gampangnya mungkin karena asupan kalsium dan lemak untuk anak paling mudah didapat dari susu sapi. Meskipun ada sumber kalsium lain, tulang ikan misalnya, susu sapi tetap paling gampang diberikan dengan kandungan kalsium yang kaya.
Karena mempengaruhi pertumbuhan fisik anak, mungkin yang paling sering harus berlapang dada adalah ibunya. Omongan "kok Faruq kurusan" sering juga nyelekit di hati. Ada juga kadang-kadang rasa kepingin melihat anak lain gemuk-cubby maupun bebas memilih mpasi dengan berbagai varian. Sedangkan untuk anak dengan CMA wajib menghindari susu dan dairy food dengan pilihan menu makanan yang terbatas. Lebih bingung mencari variasi menu mpasi yang aman untuk anak, tambah lagi momen GTM (gerakan-tutup-mulut alias tidak mau makan meski dirayu-dibujuk-dipaksa). Ibunya juga harus ikut puasa diary food, segala macam cokelat atau es krim atau cheese cake dan kawan-kawannya yang justru sering menjadi moodbooster bagi para busui.
Saya selalu berdoa untuk istri saya (dan para ibu yang memiliki bayi dengan CMA) diberi kekuatan dan keberkahan seluas-luasnya atas semua payah dan lelah dalam merawat anak.
Apakah alergi susu sapi dapat hilang saat anak tumbuh dewasa? Bisa. Tidak semua anak mengalami persistent CMA yang berlanjut terus hingga dewasa. Menuju umur 2 tahun, Faruq menunjukkan tanda toleransi terhadap pangan mengandung susu. Memang kami perkenalkan pelan-pelan dengan yogurt terlebih dahulu. Susu yang difermentasi cenderung kurang mencetuskan alergi dibanding susu aslinya. Perlu diingat, observasi secara seksama harus dilakukan untuk melihat apakah anak sudah toleran terhadap makanan yang berpotensi mencetuskan alergi.
Selewat umur 2 tahun, Faruq sudah bisa kami berikan susu UHT tanpa timbul kemerahan pada kulit. Tapi perlu diperhatikan bahwa gejala alergi tidak hanya bermanifestasi di kulit melalui kemerahan (dermatitis atopik) tetapi juga dapat muncul di saluran pernapasan (ditandai dengan bunyi 'ngii' saat anak bernapas maupun batuk-batuk, hingga asma), serta saluran pencernaan (biasanya berupa diare). Ada beberapa waktu memang Faruq tidak menampilkan gejala dermatitis atopik tapi berupa diare atau batuk yang kami curigai akibat dari alerginya.
Saat ini, pasca 2 minggu-an dimulainya asupan susu UHT dan dikonsumsi dalam frekuensi yang cukup sering, tidak ada tanda dermatitis atopik, namun ada gejala batuk berdahak. Bisa jadi merupakan reaksi alergi. Oleh karena itu kami stop dulu pemberian susu sapi hingga batuk-batuknya reda.
Semoga Faruq semakin bisa mengonsumsi susu dan semua produk turunannya. Aamiin.