Avatar

anamrufisa

@anarufisaa-blog / anarufisaa-blog.tumblr.com

menjadi kismis sebelum anggur
Avatar

Dengan ini aku ingin menemuimu

Kita akan bersalaman lewat mata yang malu-malu mengintip

Kita akan berbincang lewat tiang-tiang penyangga atap masjid

Di hari itu, Mata bosan menampung gerimis Hati enggan bersemayam mendung

Kita akan saling berteduh pada bayangan tubuh kita yang tanpa sengaja bergabung

Kita Hari itu saling malu Hati ini saling mau

Allah Yang mempersatu.

11 05 16

Avatar

Sandal yang Sebelah... #23

Adisti

Tidak ada yang lebih mati dari hati yang patah hati. Tidak ada yang lebih marah dari janji yang dipegang sendiri.

“Hei! Apakah kapal telah kehilangan pedomannya kali ini?”

Nusa melenyapkan pandanganku dari bintang yang malu-malu membagi kerlipnya. Entah itu ejekan atau apa. Yang pasti dia mencoba untuk membuatku geram dengan syair anginnya itu.

“Kurasa… kapal yang dipermainkan ombak punya nasib lebih baik daripada seorang pemarah,” jawabku acuh.

“Tapi aku rasa, engkau pantas marah. Karena yang sedang mempermainkan kapalmu bukan lagi ombak, namun badai…”

“Kenapa aku harus marah?” tanyaku mencoba tenang.

“Bujang itu sudah ceritakan masa lalu kalian berdua padaku selepas shalat tadi,” ia mengedipkan sebelah matanya ke arah mataku. Ia sudah tahu semuanya.

“Kurasa kau harus segera antarkan ombak itu ke lautan,” sergahku dengan nada tinggi.

Tak lama, kudengar ada suara sandal yang mendekat. Aku kembali menatap langit. Pura-pura tak sedang habis berbalas ocehan dengan Nusa.

“Mas?”

Ada suara membuatku tak ingin lagi lama-lama berada di antara dua orang ini. Aku ingin melesat secepat kilat tiba di kamarku tanpa harus berjalan dan menampakkan wajahku yang entah bagaimana rautnya.

“Eh, ya, ya… Sudah siap? Jadi kita nak beli bensin?”

“Ayo, Mas.”

“Jangan panggil ‘mas’ kalau di sini. Panggil saja ‘abang’. Ini bukan Jakarta lagi, kan?”

“Mm-maaf, Bang.”

Aku tak mau menoleh. Aku tak mau. Sedikitpun!

“Dis. Kamu nak ikut kami?”

Aku menggeleng.

Pergi. Pergilah!

“Meskipun kapal itu telah rusak, orang yang melihatnya masih sayang dan iba. Tetapi apabila telah marah, bertambah ditolong, bertambhlah karam, sehingga jemu orang melihatnya.”

Nusa kembali dengan bualan syairnya itu. Aku mendengus pelan. Berniat untuk memamerkan wajah kesalku kepada Nusa yang terus-terusan mengikis kesabaranku, tapi tanpa sengaja mataku ini jatuh ke wajahnya. Wajah yang begitu teduh. Fahrobi. Cepat-cepat aku memalingkan muka, bangkit menuju pintu, mencoba hilang dari jarak pandangnya.

Astaghfirullah!

                                                   ҼҼҼ

Fahrobi

“Biarkan dia marah, Bang.”

“Marah itu perbuatan tercela, Bujang!”

“Tidak juga, Bang.”

“Kau mau main tinggi-tinggian ilmu denganku?”

“Hahaha. Bukan maksud begitu, Bang. Marah ada yang terpuji, tercela, ada pula yang terlarang.”

“Mana ada marah terpuji?”

“Dalam tasawuf, marah itu terpuji jika ada dalam dua situasi. Pertama marah mempertahankan kehormatan. Kedua, mempertahankan agama.”

“Tingginya agama kau, Bujang. Menurutmu perempuan yang marah tadi itu karena perkara apa?”

“Entahlah, Bang.”

“Cemburu?”

“Wajar, Bang. Abang kalau jadi dia, cemburu tak?”

“Hm… Entah. Mungkin iya, mungkin juga tidak.”

“Justru kalau tidak cemburu, jadi dayus nanti, Bang. Katanya laki-laki dayus tak bisa mencium wangi surga, Bang. Naudzubillah!”

“Dayus? Dayus Tambunan?”

“Ah, si abang. Bukan, Bang. Mungkin saya salah, tapi seingat saya istilah ‘dayus’ itu biasa dipakai untuk suami yang sama sekali tidak cemburu, tebal telinga, tidak ada hati kepada istri.”

“Kau meledek Abang, Bujang? Engkau tak tahu abang ini belum beristri, hah?”

Abang Nusa mengacak-ngacak rambutku yang memang sudah tak lagi rapi karena terus-terusan disapu angin. Kapal kecil bermesin kami berguncang. Aku menahan tangan abang untuk tidak bergerak terlalu banyak menghabisi kepalaku. Ia pun mengalah. Kami berdua diam memandang laut yang terhampar hitam di hadapan. Aku menghela nafas. Mengisi paru-paruku dengan angin malam. Apakah aku sudah tega?

Engkau sudah tega Fahrobi! Telah hina namamu dalam kepalanya. Pikirkan, pikirkan bagaimana caramu menebus hinamu ini, Fahrobi!

Avatar
Avatar
academicus

Tumblr Yang Sebenarnya

Sejak siang tadi, banyak teman yang menanyakan saya ke mana.

Ada yang message via whatsapp, tag saya di facebook, bahkan kirim pesan melalui email.

Saya tidak kemana-mana.

Tapi jika ditanya mengapa saya belum juga berbicara tentang apa yang terjadi hari ini, jawaban yang paling jujur, adalah karena saya marah.

Saya marah karena siang ini, tiba-tiba saya mendapat kabar dari @satriamaulana tentang Tumblr yang akan diblokir kemenkominfo karena banyak memuat konten pornografi.

Saya marah tapi saya tahu saya tidak bisa bicara asal-asalan.

Saya tahu kemarahan bisa membuat kita berbicara tanpa sadar atau mengatakan sesuatu yang justru memperkeruh suasana.

Dan saya tahu di era dimana semua orang dengan mudah share sini dan sana, bisa jadi berita ini belum bisa dipastikan kebenarannya. Atau mungkin berubah cepat keadaannya.

Jadi saya menunggu waktu yang tepat untuk berbicara, dan ini bukan hanya tentang kasus blokir atau apapun yang hanya sesaat.

Kini, hati saya sudah lumayan reda. Dan kini, saya ingin berbicara. 

Tentang Tumblr yang sebenarnya.

Tumblr adalah kanvas terbaik untuk berkarya.

Sebagai orang yang punya ketertarikan besar terhadap dunia startup, saya menghabiskan banyak waktu untuk mempelajari Tumblr sebagai platform dan sejarah pendirinya. Sejak awal, David Karp hanya punya satu definisi untuk Tumblr, dan entah bagaimana, definisi itu tumbuh di jiwa penggunanya. Termasuk para pengguna Tumblr di Indonesia.

David mendefinisikan Tumblr sebagai perfect tool for self expression. Sejak awal, David mendesain Tumblr sebagai tempat terbaik untuk berekspresi, dan menciptakan rumah yang nyaman agar siapapun bisa berkarya dengan sangat mudah.

Itulah juga mengapa salah satu tagline Tumblr adalah Follow The World’s Creator. Karena di sini, kita bisa menemukan jutaan blog berisi karya kreatif dari seluruh dunia.

Di Tumblr, orang tidak melihat siapa kita, melainkan melihat apa karya kita. Itulah mengapa, di Tumblr bertebaran blog yang menggunakan pseudonym: bukan menggunakan nama asli. Beberapa contohnya di Indonesia seperti @jagungrebus, @eleftheriawords, @quraners, dan termasuk saya sendiri yang menggunakan nama @academicus.

Merupakan hal yang sangat biasa ketika kita hanya mengenal seseorang hanya dari akun Tumblrnya, dan baru mengenal nama aslinya ketika bertemu di dunia nyata.

Tumblr tidak hanya menjadi wadah, tapi menjadi ekosistem sempurna yang mengajak kita untuk mengapresiasi orang lain karena karyanya. Salah satu bukti nyatanya adalah, Tumblr adalah satu-satunya sosial media besar yang tidak menampilkan jumlah followers secara default.  Tidak adanya jumlah followers menghilangkan status artis/seleb sosmed, sehingga orang “dipaksa” benar-benar melihat isi Tumblr kita, bukan follow karena alasan ribuan orang lain juga follow dia.

Saya tidak tahu jumlah pastinya, tapi setidaknya ada ratusan ribu anak muda Indonesia yang menggunakan Tumblr untuk berkarya, berjejaring, dan bercerita.

Saya aktif di Tumblr sejak 2011, dan saya sudah melihat berbagai karya indie dan inisiatif anak muda lahir dari platform ini.

Diantaranya buku Taste Buds yang lahir dari Tumblr Yunus @kuntawiaji dan @namasayakinsi.

Lalu Tumblr @jurusankuliah, inisiatif @beningtirta yang membuat Tumblr open submission berisi cerita tentang jurusan-jurusan kuliah di Indonesia.

Ada @kurniawangunadi yang melahirkan buku Hujan Matahari dan Lautan Langit.

@prawitamutia dengan karyanya Teman Imaji.

@erstudio dengan karyanya Twin Path.

@urfa-qurrota-ainy dengan bukunya Happiness Lab.

@dokterfina dan masgun dengan kolaborasinya di @suaracerita.

@faldomaldini yang memanfaatkan Tumblr untuk publikasi inisiatifnya membangun daerah asalnya.

Begitu juga dengan tulisan, pemikiran, dan Podcast Subjective saya juga lahir dan tumbuh besar di Tumblr, hingga detik ini.

Dan masih sangat banyak karya anak muda Indonesia yang lahir dari Tumblr di luar sana. Kreativitas mereka terus bertumbuh, dan aliran inspirasi untuk mereka tidak bisa dibendung.

Tumblr juga menjadi rumah besar yang mempertemukan kita dengan pertemanan baru di dunia nyata, melalui komunitas seperti @tumbloggerkita dan @tumblr-indonesia.

Karenanya, tentu aneh jika ada yang ingin menutup rumah tempat kita berkarya, untuk sesuatu yang tidak kita lakukan. Dan jangan heran jika kemudian kita melawan, karena toh kita tidak mengerti apa yang Anda bicarakan.

Saya tidak menyangkal bahwa pornografi memang ada. Tapi saya hanya ingin menunjukkan ke lebih banyak orang, bukan itu yang kita lakukan.

Ada ratusan ribu anak muda, atau mungkin jauh lebih banyak lagi, yang menggunakan Tumblr untuk berkarya, berekspresi, dan berbagi cerita. 

Dan saya hanya ingin mengatakan dengan lantang: inilah Tumblr yang sebenarnya.

Akhirnya ada yang mau ngetikin ini dan ternyata banyak yang berpikiran sama, yeay! *highfive*

Ini yang tidak didapatkan dari sosial media lain, juga alasan yang sama kenapa betah sama hal yang sama meskipun banyak yang terlihat lebih asik, lebih menyenangkan, lebih sempurna dari Tumblr; kenyamanan. 

Kita (tumblogger Indonesia) sudah terlanjur nyaman dengan Tumblr, bahkan tidak heran kalau kita menyematkan predikat ‘rumah’ pada Tumblr, tempat dimana kita bebas berekpresi tanpa harus peduli siapa yang akan menikmati hasil ekspresi kita. 

“Tumblr tidak menampilkan jumlah follower, sehingga kita tidak bisa sekedar ikut-ikutan memfollow hanya karena jumlah followernya, kita dipaksa memfollow karena karya empunya tumblr itu sendiri”, jadi merasa adil. 

“Kebaikan itu menular, pikiran baik itu menular”, maka terimakasih kepada siapapun yang sudah mengisi tumblr dengan hal-hal baik sehingga menginspirasi yang lainnya untuk berbuat kebaikan pula. 

Avatar

Kadang kita penasaran: dengan siapa kita akan berpapasan di tikungan.

– anamrufisa

Avatar
Avatar
herricahyadi

Jepang: Demi Seorang Penumpang Pelajar 

Di Jepang, ada satu stasiun yang berada di daerah terpencil bagian utara Pulau Hokkaido, stasiun Kami-Shirataki, yang sudah dihentikan operasinya tiga tahun lalu. Dihentikan karena terlalu jauh dan kereta angkut barangnya juga sudah tidak beroperasi lagi. Namun, Japan Railways memutuskan untuk tetap melanjutkan mengoperasikan kereta penumpang setelah menemukan ada satu pelajar putri yang pergi ke sekolah setiap hari menggunakan stasiun tersebut. Semenjak itu, stasiun Kami-Shirataki tetap dibuka dan kereta tersebut hanya menaikkan satu penumpang, yaitu untuk pelajar putri tadi.

Setiap hari hanya ada dua kereta dengan jadwal yang unik yang menyesuaikan dengan jadwal berangkat serta pulang sekolahnya. Dia diperkirakan akan lulus pada 26 Maret 2016, yang  setelah itu stasiun Kami-Shirataki akan total ditutup.

Dedikasi masyarakat Jepang secara umum tidak bisa diragukan lagi. Untuk hal “kecil” seperti ini pun mereka menunjukkan jati diri yang tidak ada duanya. Dalam konteks ini, ada yang bilang, masyarakat Jepang “lebih Islami” ketimbang masyarakat muslim sekalipun. Dedikasi, teguh, setia, bersih, tertib, memegang janji, berorientasi manfaat, dsb. Bisa jadi benar. Semoga ini menjadi refleksi bagi diri kita masing-masing; sudah sejauh mana kita menjadi rahmat bagi semesta.

Avatar
reblogged

Aku Mencintaimu

TAK ada lagi kisah cinta seorang kembang desa dan seorang bujang kampung di atas komedi putar itu untuk sementara waktu. Puting beliung telah menghentikannya dua hari lalu. Bagi mereka, komedi putar tak sekedar hiburan murah, tetapi sekaligus tempat cinta pernah bersemi di hati orang-orang sederhana itu…

Kemudian, dari rahim seorang ibu yang sederhana, muncullah aku ke dunia. Aku sudah hafal nama-nama hama sejak umurku masih dua tahun. Ayahku yang selalu mengenalkan hama-hama itu kepadaku. 

“Ini namanya wereng, Nak. Ini yang menyebabkan daun dan batang tumbuhan kita berlubang! Ini juga yang menyebabkan kaleng susumu tak terisi lagi bulan ini…” katanya lesu.

Aku hanya bengong saja pada saat itu. Umurku dua tahun, dan aku masih belum bisa mengeja. Padahal ibuku selalu mengajakku bicara.

“Ini naa… sii… Ini gaa… raaam…”

Dan inilah makanan kami sehari-hari, nasi dan garam. Apakah aku kekurangan gizi sehingga menjadikan lidahku kaku? Ibu, aku ingin bisa menggerakan lidahku, tapi begitu sulit. Sungguh, aku tidak ingin menjadi bisu. Karena suatu hari nanti aku ingin sekali mengatakan aku mencintaimu.

…..

Lagi iseng baca-baca postingan lama. Yang ini tertanggal 10 Oktober 2012. 😊

Avatar

Saya seneng seneng seneng! Ngadain lomba pidato tiga bahasa (bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa Arab) tingkat SMA, alhamdulillah berjalan lancar sentosaaaa! Bahkan ada si bule yang ikutan pidato bahasa Inggris, Philipp dan Andreas dari SMA Adria Pratama Mulya, yang biasa dikenal sekolah pacuan kuda. 🏇🏇 Awalnya banyak yang protes karena gak adil katanya. Tapi heloooo ternyata mereka asli Jerman dan mereka mengenal bahasa Inggris baru di Indonesia (atas pengakuan mereka) dan itu pun mereka belajar dari streaming! Tapi tetep, akan lebih awesome lagi kalo dia ikutan lomba bahasa Indonesia. 😳😳 Dua laki-laki yang mendadak jadi primadona di sekolah kami ini ternyata humoris. “Kulit saya putih, jiwa saya batik sunda, makanan favorit pecel lele!” Tapi saya ini sudah tua Philipp, maapin ya, kita beda dunia… *hahaha pede banget! Makasih sudah datang ke sekolah kami yang sederhana ini. Mampir lagi yah… 😜 – View on Path.

Avatar

Sandal yang Sebelah... #22

Adisti

Entah masih pagi, atau sudah petang, aku tak peduli. Bagiku menunggu adalah jendela cakrawala. Aku bisa melihat apapun yang terlintas, bahkan dedaunan yang jatuh ke atas kepala kujadikan teman bicara untuk kemudian kusimpan ke dalam kantung celanaku sebagai oleh-oleh. Telah jatuh daun yang ke sembilan, kantung celanaku hampir penuh.

Aku melihat hamparan laut di depanku seolah melihat belantara cahaya, karena yang kunanti telah tiba.

Nusa membawa temannya? Siapa?

Nusa melabuhkan kapal apungnya ke bibir pantai dan mengalungkan tali yang menjuntai dari dermaga ke ujung kapal. Lelaki asing di belakangnya terbatuk ketika asap dari pembakaran batok kelapa memasuki rongga dadanya. Ia mengucek mata dan menemukan sorot mataku yang menatapnya tak percaya. Seolah-olah baru pernah melihat manusia. Ia pun menginjakkan kakinya ke pasir yang ombaknya dengan segera menghapus jejak-jejak.

“Fahrobi?” Ia masih menyipitkan matanya yang menahan perih asap dan berusaha membukanya lebar-lebar tapi tak bisa. “Siapa?” tanyanya sambil mengucek mata. “Aku.” Ia melepas kucekan tangannya dan mulai bisa membuka matanya pelan. “Adis?” Matanya menemukan mataku. “Kalian saling kenal?” Nusa terheran-heran. Ia mengusap wajahnya yang penuh keringat.

Aku dapat merasakan aroma angin laut. Bahkan aku seketika tahu angin yang berhembus ini bukan berasal dari Barat Daya. Semilir ini berasal dari angin yang telah bersusah payah menggiringnya ke sini. Ke hadapanku.

Bara batok kelapa itu akan terus mengepul. Membiarkan asap itu memerihkan mata, mengaburkan pandangan hingga tak seorang pun melihat ada air mata yang memeram rindu yang telah menjadi abu.

                                                     ҼҼҼ

Fahrobi

Aku melihat ada bayangan bunga anggrek tumbuh di wajahnya. Mengapa kau ada di sini? Mengapa kau baru hadir? Berapa belas purnama yang telah kau lalui dengan kesepian yang sempurna? Rinduku sudah seperti lahan gambut di musim kemarau. Tapi itu sudah lama terbakar. Lahan gambut yang kering itu sudah subur menjadi persawahan. Dan kau, mengapa sejauh ini engkau berjalan?

Gadis yang ada di depanku ini mengusap air matanya yang malu-malu bersembunyi.

“Wartawan macam apa kamu, Fahrobi?” Katanya pelan sambil menahan getar suaranya. Aku tercegat. “Kamu sanggup memburu berita secepat yang kau bisa. Tapi mencari wanita yang menantimu, kenapa bisa selama ini?” Dia tahu pekerjaanku? Dari mana? Bukankah aku tak pernah menamai tulisan-tulisanku di media massa? “Bagaimana kabar istrimu? Anakmu?” Katanya lirih menatap daun yang jatuh tepat di telapak tangannya, kemudian ia memasukkan daun kering itu ke saku celananya. “Kamu sampai ke pulau ini karena panggilan hati ataukah karena pekerjaan?” Mulutku tak bisa melahirkan kata-kata. “Kau sudah berubah sekarang. Bukan lagi Fahrobi yang kukenal.” Petir seketika mengganas di langit-langit jiwanya. Aku merasakannya. “Adiiiiis… Cepat pulang!” teriak seorang wanita tua yang suaranya jauh entah dimana. “Mas, sudah masuk waktu Maghrib. Lebih baik kita ke rumah. Ayo!” ajak Nusa, laki-laki yang telah berbaik hati menolongku. “Kamu apa kabar?” tanyaku, dan hanya tiga patah kata itu yang berhasil lepas dari mulutku. Dan gumpalan awan membuat senja enggan merona. Redup. Tak ada warna jingga.

                                                        ҼҼҼ

Avatar

Masakan khas Batam yang selalu pengen saya coba masak dan baru kesampean hari ini adalah Ayam Bawang (dan perjuangan ngulek bumbunya)! Taraaa!!! Sepintas kayak gosong sih, si papa udah hopeless, udah siap-siap saos dan kecap untuk penawar rasa pait, hiks syedih. Tapi setelah dicuil, eeeh doi langsung nyiduk nasi. Haha udah lupa sama botol kecap. 😜 Rasanya pedes, spicy, gak usah ngulek sambel lagi. Bawang putihnya gak dicampur untuk bumbu halus, cuma digeprek terus digoreng sama ayamnya. Minyaknya agak banyak, dan gorengnya agak lama soalnya gak diungkep. Alhamdulillah misi hari ini berhasil. Bumbu halus: jahe, kunyit, bawang merah, ketumbar, lada, bubuk cabe (saya pake boncabe), garam, kecap asin. Setelah diulek, lumuri ke ayam dan tunggu 15 menit. *tangan masih berasa pedes* Selamat mencoba (masaknya)! 🙌 – View on Path.

Avatar

صَلَّى اللهُ عَلَى مُحَمَّد صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى اللهُ عَلَى مُحَمَّد صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

يَا نَبِيْ سَلاَمٌ عَلَيْكَ يَا رَسُوْل سَلاَمٌ عَلَيْكَ يَا حَبِيْبُ سَلاَمٌ عَلَيْكَ صَلَوَاتُ الله عَلَيْكَ

أَشْرَقَ الْبَدْرُ عَلَيْنَا فَاخْتَفَتْ مِنْهُ الْبُدُوْرُ مِثْلَ حُسْنِكَ مَا رَأَيْنَا قَطُّ يَا وَجْهَ السُّرُوْرِ

أَنْتَ شَمْسٌ أَنْتَ بَدْرٌ أَنْتَ نُوْرٌ فَوْقَ نُوْرٍ أَنْتَ إِكْسِيْرٌ وَغَالِي أَنْتَ مِصْبَاحُ الصُّدُوْرِ

يَا حَبِيْبِيْ يَا مُحَمَّد يَا عَرُوْسَ الْخَافِقَيْنِ يَا مُؤَيَّدُ يَا مُمَجَّد يَا إِمَامَ الْقِبْلَتَيْنِ

مَنْ رَأَى وَجْهَكَ يَسْعَد يَا كَرِيْمَ الْوَالِدَيْنِ حَوْضُكَ الصَّافِى الْمُبَرَّد وِرْدُنَا يَوْمَ النُّشُوْرِ

مَا رَأَيْنَا الْعِيْسَ حَنَّتْ بِالسُّرَى إِلاَّ إِلَيْكَ وَالْغَمَامَةْ قَدْ اَظَلَّتْ وَالْمَلاَ صَلُّوْا عَلَيْكَ

عَالِمُ السِّرِّ وَأَخْفَى مُسْتَجِيْبُ الدَّعَوَاتِ رَبِّ إرْحَمْنَا جَمِيْعًا بِجَمِيْعِ الصَّالِحَاتِ

وَصَلاَةُ الله عَلَى أَحْمَد عَدَّ تَحْرِيْرِ السُّطُوْرِ أَحْمَدُ الْهَادِي مُحَمَّد صَاحِبُ الْوَجْهِ الْمُنِيْرِ

صَلَّى اللهُ عَلَى مُحَمَّد صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى اللهُ عَلَى مُحَمَّد صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Salam ya habiballah...

Avatar

Kebahagiaan seorang pendidik adalah ketika melihat anak didiknya berhasil, dan ia tidak dilupakan.

Bayu, anak Batam yang mengejar emasnya ke Cibubur mengirimku pesan, “Saya sudah merasakan udara Jakarta, Cher!” Katanya dengan bangga.

Saya jadi ingat suatu kali saya pernah berkata (mengutip dari sebuah buku): “Maka, berkelanalah di atas muka bumi ini untuk menemukan mozaikmu!”

Terbang ke Jakarta dengan uang orangtua itu sangat biasa bagi mereka. Tapi dengan prestasi, tidak mudah untuk bisa tiba ke tahap ini. Dan Bayu sudah membuktikannya hari itu. Semoga akan ada Bayu-bayu selanjutnya yang darinya saya bisa mengucap kata “bangga” lagi suatu hari nanti. Aamiin.

Doa Teacher menyertai kalian. 😊 – View on Path.

Avatar

Penghujan Tiba.

Pagi ini, jarak 32 km tak terasa sungguh. Hujan menjadikan hentakan-hentakan laju bus terasa tawar. Aku dengan jurnal linguistik yang kubeli tahun 2011 meniadakan hingar-bingar yang seliweran di depan mata. Di mataku hanya ada embun yang berebutan mendarat di kaca-kaca. Juga berebutan mendarat di hatiku mungkin. Aku yang sedari tadi asik mencerna aksara dan tidak mempedulikan jam tangan—karena sudah yakin pasti bel sekolah sudah bernyanyi—tetiba merasa menemukan sesuatu yang asing pada diriku. Aku pejamkan mata sekali lagi untuk memastikan. Ya, aku menemukannya. Menemukan diriku yang sudah sejauh ini berjalan. Tiga puluh dua kilometer yang kutempuh saat pergi, dan puluhan kilometer yang sama saat aku pulang. Apa aku sudah terlalu kaya untuk tidak memikirkan berapa ongkosnya? Apa aku sudah terlalu tangguh untuk tidak lagi merasakan lelahnya? Tapi saat ini, saat aku kembali membuka mataku, aku menemukan diriku yang siap menerima segalanya. Suka dukanya. Enam bulan seperti ini, lima hari dalam seminggu.

Dan akhirnya tiba juga. Hari ini anak-anak pecah ruah menghidupkan lapangan. Minggu ini kegiatannya class meeting. Itulah kenapa aku begitu santai hari ini, tidak terburu-buru seperti hari biasanya. Class meeting adalah hiburan selepas ujian bagi siswa, tapi minggu yang pusing bagi gurunya karena harus mengolah nilai dan mengisi raport. Tangan kiriku menjinjing rok yang setengah basah dan tangan kiriku menyangga payung. Sapaan anak-anak yang sedang mengikuti perlombaan meski rintik-rintik menguyupkan seragam mereka membuatku mengatupkan payung dan membalas sapaan dan salam mereka satu per satu. “Kalian tidak takut masuk angin?” tanyaku pada Intan, nama anak yang paling kuingat. “Kita mah setrong, Bu!” jawabnya sambil mengangkat kedua lengannya bak atlet angkat besi. Iya, betul katanya, sekolah ini memiliki anak yang luar biasa kuatnya. Bahkan mereka kuat mencuci karpet musola saat terlambat, mengepel teras kelas saat tak pakai sepatu hitam, menyirami seluruh tanaman di sekolah saat ketahuan mangkir shalat berjamaah.

Tiba-tiba tubuhku ditubruk oleh satu orang anak yang belakangan ini sering mendatangi mejaku dan bertanya apa saja. Anak yang kerap kali dijuluki si tukang tidur oleh guru-guru ini entah kenapa aku yakin dia “menyimpan” sesuatu yang berharga. Betul saja, saat aku tantang ia tampil sebagai seorang nenek veteran dalam pertunjukan teater di Hari Pahlawan, ia menyanggupi dan tampil memukau di atas panggung. Bangganya hati ini.

Dia menggandeng tanganku, dengan kepala yang sedikit menunduk karena dia lebih tinggi, dia memokuskan matanya ke wajahku. “Bu, saya sudah edit cerpen yang kemarin saya tunjukin ke Ibu.” “Lalu?” “Saya lakuin apa yang ibu saranin.” “Kemudian?” “Saya mengirimnya ke panitia lomba semalam.” “Hasilnya?” “Nah, saya belum tau, saya belum sempet buka email di rumah. Murid kan nggak boleh bawa hape. Hmm… saya boleh numpang WiFi di kantor?” Aku mengangguk dan gantian menggandeng tangannya menuju kantor.

“Nah, silakan, Son,” perintahku setelah berhasil mencuri nafas dan mendudukkan tubuhku di kursi dan membuka laptop dan menghidupkannya. Tak tik. Tak tik. Suara jemarinya lincah sekali. Dan tak lama aku mendengar teriakan histeris. “SAYA LOLOSSSS BUUU!!! CERPEN SAYA TERPILIH! MAKASIH IBUUU!!!”

Aku kaget bak mendengar suara petir tersesat di ruang guru. Dia memelukku. Aku balik memeluknya. Dia telah membuatku bangga dua kali. Ya, anak yang tidak pandai di pelajaran apapun dan sering tidur di kelas telah membuat hatiku melambung lagi. Selamat, Nak! Dengan begitu dia terpilih sebagai 20 peserta yang berhak mendapat pelatihan menulis kreatif gratis di gedung Setiabudi, Jakarta Selatan, hari Sabtu tanggal 19 Desember. Dia menjadi peserta yang ke-11. Pada hari itu dia akan belajar banyak hal.

Dia mencintai sastra meskipun dia tidak tahu apa definisi dari sastra. Sastra adalah sesuatu yang indah, dan baginya sastra mampu mengindahkan hidupnya.

Dan musim penghujan pun tiba, membuka harapannya.

“Ibu, aku masih belum percaya, ternyata aku bisa…” katanya sambil mengusap matanya dan memelukku entah yang keberapa kali.

Beberapa hari sebelum ini, aku sudah mendatangi anak satu-satu dan menyuruh mereka mengikuti lomba itu. Alhasil, “jualan"-ku mendapat respon di sosial media dan pesan. “Bu, harus punya blog dulu ya? Saya bikin blog aja nggak ngerti…” “Bu, saya takut, pasti banyak yang lebih bagus.” Dan bla-bla-bla yang lain. Hanya yang mampu mengalahkan dirinya sendiri yang menang, dan Sonnya membuktikannya.

Siangnya saya dapat kabar lagi. “Bu, Sabila juga terpilih!” Sonnya antusias. “Jadi, dari sekolah kita ada dua orang! Saya ke Jakarta nggak sendirian! Yeay!”

Dua orang anak didikku yang bahkan baru kenal enam bulan, telah membuktikannya, bahwa berjuang itu tidak memerlukan alasan.

Aku, memejamkan mata kembali. Merasakan sejuknya udara saat mendung. Lalu berkata dalam hati: ya, aku sudah sejauh ini. Dan pasti, Allah menempatkanku di sini bukan tanpa alasan.

Balaraja, 17 Desember 2015.

Avatar
Suatu hari anak muridku bertanya tentang salju. "Hari ini Ibu menceritakan salju, apa Ibu sudah menyentuhnya, bagaimana rasanya?" Aku tersenyum, lalu aku menjawab sebisaku, "Setelah pulang sekolah nanti, masukkanlah tanganmu ke lemari es, sentuhlah langit-langit freezer-nya dengan jemarimu, lalu pejamkan matamu. Bayangkanlah dirimu sedang ada di hutan pinus bersalju yang ada di Swiss! Tapi Ibu akan senang jika suatu hari nanti kalian merasakan sendiri dinginnya salju langsung dari langit sungguhan. Setelah itu, jangan lupa ceritakan kepada Ibu bagaimana rasanya." Kemudian kelas pun menjadi tenang, tenang dalam kebingungan.
You are using an unsupported browser and things might not work as intended. Please make sure you're using the latest version of Chrome, Firefox, Safari, or Edge.