3 hari untuk selamanya (Desa Waiwejak, kab Lembata)
Pagi itu, saya melanjutkan perjalanan menjadi relawan ke daerah kab Lembata. Berangkat dari Larantuka pukul 8 pagi, kami memakai kapal lambat dan sampai di pelabuhan ibu kota kab Lembata Lewoleba jam 12 siang, udara di Lewoleba sangat terik dan cukup membuat kulit semakin hitam. Kami di jemput salah satu staff kopernik di Lembata,kak Ansel. Saya akan tinggal di rumah mama Elis yang tinggal di desa Waiwejak. Saya bersama Dimas (staff kopernik) akan berangkat menggunakan angkatan umum ke rumah mama Elis, kalian bisa tebak bagaimana bentuk angkutan umumnya ? Truck yang bagian belakang sudah di rubah dan dimodifikasi menjadi angkutan umum. Perjalanan menuju Waiwejak sangat lama dan ekstrim, menggunakan angkutan umum daerah asli yang sering disebut oto diperlukan waktu selama 3-4 jam. Ini disebabkan medan jalan yang sulit, selain jalan yang rusak, juga berkelok serta mendaki. Desa Waiwejak adalah post pemberhentian 2 terakhir dari angkutan umum ini.
Angkutan umum (oto)
keadaan di dalam oto
Salah satu jalan di desa,
Sebentar, ada yang lupa saya ceritakan, desa mama Elis termasuk salah satu desa terpencil di kab Lembata. Apa yang ada dalam pikiran kalian tentang daerah terpencil ? rasakan lah sensasi kehidupan tanpa listrik dan sinyal. Kalian akan puasa gadget dan alat elektronik lainnya. Bagi saya yang terbiasa dengan gadget, sangat addict bahkan tidak bisa saya lepaskan, tinggal di daerah ini menjadi tantangan tersendiri dalam hidup saya. Sebenarnya ini bukan masalah menantang diri sendiri, tapi acara kerelawanan ini lebih dari seperti membuka pikiran dan panggilan diri kita untuk lebih peduli pada sesama dan orang-orang di remote area, membuka cara pandang kita. Dampaknya setelah acara ini saya jadi ketagihan untuk pergi travelling dan tinggal di rumah-rumah penduduk asli. Sejujurnya dulu saya punya mimpi untuk pergi travelling ke daerah Indonesia lalu di sponsori tapi bawa misi sosial dan kopernik connected me to this. Thanks kopernik
Sunking,di salah satu kamar rumah mama Elis
Saya dan dimas tiba di rumah mama Elis sekitar pukul 4 sore, mama Elis benar-benar bahagia menyambut kedatangan kami. Semuanya sudah siap, makanan seperti pisang goreng dan titis jagung sudah tersedia
kakak mama Elis,seorang biarawati
Sore itu dimas mengajak untuk mandi di air terjun di desa Waiwejak. Mama Elis menawarkan untuk memakai motor karna sekalian juga kita akan mengangkat air untuk persedian air. Selain akses listrik yang tidak ada, desa Waiwejak juga sangat susah air. Saya, mama Elis, dan Dimas harus berjalan sekitar 3 kilometer untuk menemukan sumber air yang bersih, setelah itu, untuk mandi di pagi hari, warga akan mengangkut air dengan dirigen 5 liter. Dulu, untuk warga yang memiliki kuda, warga tersebut akan mengangkut dengan kuda, jika tidak maka warga akan berjalan sejauh 6 kilometer bolak-balik. Saya dan Dimas memutuskan untuk mencoba bagaimana berjalan mengambil air dari sumber air. Alhasil, karena kami tidak terlalu biasa, kami benar-benar bermandi keringat setelah sampai di rumah mama Elis saat malam hari
Mama Elis dan Dimas menuju sumber air
Desa Waiwejak saat malam hari terlihat hanya samar-samar di terangi cahaya. Dulu sebelum ada lampu tenaga surya kopernik, masyarakat mengandalkan tenaga diesel untuk menikmati listrik, dan warga akan iuran setiap bulan untuk menikmati listrik dari tenaga diesel. Warga yang tidak sanggup membayar akan memakai pelita untuk menerangi rumah mereka. Desa mama Elis benar-benar memiliki permasalahan yang kompleks. Selain menjadi ibu inspirasi, mama Elis adalah kader posyandu. Mama Elis sangat dekat dengan bidan maria, satu-satunya bidan di desa Waiwejak dengan cakupan wilayah memiliki 200 an kepala keluarga. Masalah kesehatan masih menjadi masalah yang mesti banyak diperbaiki, sarana prasarana tidak mencukupi, kasus gawat darurat perlu penanganan cepat, tidak dapat ditanggulangi karna alat yang tidak lengkap, obat yang tidak lengkap, belum lagi akses menuju puskesmas terdekat juga jauh sekitar 1,5 jam dengan kendaraan bermotor. Kasus gizi buruk masih ada, KB yang tidak berjalan lancar, kasus hipertensi dan penyakit degenaratif juga banyak, malaria juga sangat mengancam. Kebiasaan dan kepercayaan tentang adat dan masih banyaknya anggapan bahwa suatu penyakit adalah kutukan menjadi pekerjaan rumah yang banyak untuk bidan maria. Masalah pendidikan juga masih tidak tuntas, kesadaran akan pentingnya untuk sekolah dan masih banyak permasalahan pendidikan lainnya. Masalah krisis energi juga mengancam, masalah kemiskinan dan kesejahteraan tidak henti-hentinya untuk minta segera diselesaikan.
Mama Elis berkerja di malam hari dengan s300
Namun, di balik segala realita dan permasalahan yang kompleks ini, ada yang menyentuh hati saya tentang rasa nasionalisme dan semangat gotong royong di desa Waiwejak. Sejak hari pertama saya sampai di desa Waiwejak, masih ada sekitar 5 hari lagi menuju acara peringatan kemerdekaan Indonesia, namun sang saka merah putih sudah gagah mengudara dalam balutan tiang bambu warga desa, acara menuju peringatan sudah mulai di ramaikan, warga dan anak-anak bergotong royong untuk merias desa dengan serba merah dan putih. Antusiasme yang mulai luntur dikota besar. Memang selalu banyak cara untuk memaknai kemerdekaan, namun semangat gotong royong dan kebersamaan mereka mulai luntur di kota besar yang penuh dengan kehidupan individualiasme dan tanpa rasa peduli. Hal ini yang selalu membuat saya lebih suka tinggal di daerah desa dibanding di kota.
Sang saka merah putih di tanah Flores
Hari kedua relatif saya tidak terlalu banyak kegiatan dengan mama Elis, karna saya hanya menemani mama untuk mengikuti seminar yang di adakan PNPM dalam evaluasi bagaimana pencapain kader di desa masing-masing. Hal yang menarik adalah selama perjalanan dari rumah menuju tempat seminar yang memakan waktu satu jam. Mama Elis bercerita bagaimana sangat inferior peran perempuan di desanya. Perempuan banyak yang di drop out dari sekolah karena ketahuan hamil di luar nikah. Entah apa yang menjadi akar permasalahan sehingga hal ini terjadi di desa. Mama Elis sendiri bercerita bahwa dulu setelah mama Elis tamat SMA, mama mau melanjutkan kuliah di lewoleba karna melihat orang-orang yang pulang dari kota benar-benar memiliki pikiran yang berbeda dengan orang desa. Mereka memberikan perubahan dan ilmu pengetahuan baru untuk desa. Namun, karena terkendala biaya, mama tidak melanjutkan sekolahnya. Menikah dengan suaminya, mama Elis memiliki 4 orang anak, dua anak perempuan dan dua laki-laki.
Saat awal menikah, mama Elis telah menceritakan kepada suaminya bahwa saat nanti dia punya anak, dia akan menyekolahkan anaknya setinggi-tingginya karena dia ingin balas dendam pada masa dahulu karena terkendala biaya, mama Elis tidak melanjutkan sekolah. Suami mama Elis
Suami mama Elis dan Dimas
juga memiliki misi yang sama, akhirnya mereka sama-sama bekerja dengan giat agar anak mereka dapat mengenyam pendidikan yang layak. Selama perjalanan di motor yang penuh dengan medan berat, saya membagi konsentrasi untuk mengendarai motor dan mendengarkan cerita mama Elis. Mama Elis mengatakan bahwa banyak tetangganya mencemooh mereka karena rumah mereka yang hanya memiliki 2 ruangan. Ruangan kamar 1 buah dan satu lagi ruangan serbaguna, dapur dibuat di luar bersama kamar mandi. Setelah menjadi ibu inspirasi kopernik, mama Elis mendapat rejeki untuk melanjutkan pembuatan rumah di depan rumah lama. Saat saya kesana, pengerjaan rumah baru mencapai 70% dan tentu saja mama Elis sedang menabung untuk melanjutkan.
Dapur mama Elis
Mama Elis adalah ibu inspirasi yang berhasil mendistribusikan produk kopernik dengan capaian tertinggi dari ibu inspirasi lainnya. Kegigihan mama Elis untuk membuat desa gelapnya menjadi terang, membuat mama Elis dipilih oleh kopernik untuk berangkat kejakarta dan bertemu dengan media nasional untuk di wawancara. Mama Elis selain menjadi ibu inspirasi dan kader posyandu,mama Elis juga aktif di acara apapun di desa. Mama Elis adalah sosok perempuan inspiratif di desanya. Pribadi yang aktif,ramah dan selalu memberikan solusi untuk segala permasalahan membuat mama Elis di senangi warga. Bidan maria pernah bercerita bahwa dia ingin mama Elis menjadi kepala desa.
Mama Elis tech fair ke rumah warga
Mama elis juga bercerita untuk mengisi waktu luang, mama akan menenun. Menenun sebenarnya harus dikuasai perempuan dewasa di daerah desa mereka, karena tenun ini dibutuhkan untuk acara adat pernikahan di desa Waiwejak. Sedangkan apabila dibeli, tenun ini sangatlah mahal harganya. Namun untuk dapat belajar menenun bukanlah perkara mudah. Banyak ibu-ibu yang enggan untuk menenun karena saat menenun dibutukan kesabaran, ketelitian dan kemauan kuat untuk meretas satu benang menjadi kain. Jangan heran harga tenun ini sangat mahal, karena untuk dapat menyelesaikan sebuah syal saja dibutuhkan waktu 3 hari berturut-turut. Bayangkan jika yang dibuat adalah kain tenun yang besar. So, mari kita hargai karya dari negri kita, jangan suka mengeluh bilang kain tenun mahal karena kreasi dan inovasi itu mahal loh. Rasakan dan lihat langsung bagaimana jerih payah membuatnya.
Ibu-ibu menenun
Ada cerita yang mengharukan kala saya mengendarai motor, mama Elis bercerita bahwa mama sedang menyelesaikan kain tenun untuk dipakai oleh anaknya yang akan diwisuda di bulan oktober di Makassar. Saya menanyakan dengan bodohnya bahwa mama pasti sudah tidak sabar menunggu-nunggu hari itu untuk pergi ke makassar karena anak mama akan di wisuda, kemudian mama Elis menjawab dengan nada yang biasa tapi sangat menyayat hati saya, mama tidak punya uang untuk membeli tiket pergi ke Makassar. Kehadiran orang tua dari anak mama akan digantikan oleh keluarga terdekat mama, anak mama bilang nanti saat hari wisuda, mama dan bapak di suruh memakai pakaian bagus seakan-akan pergi wisuda dan duduk berdampingan kemudian bayangkanlah mama dan bapak sedang berada dalam ruang besar wisuda dan ikut melihat dan merasakan kebahagian yang di rasakan anaknya sembari berdoa kepada tuhan. Sontak pikiran saya menggembara, saya baru saja di wisuda menjadi dokter, orangtua saya dengan mudah dan bangganya datang ke ruangan sidang untuk melihat anaknya bersanding dengan wisudawan lain, sedangkan anak mama Elis, membawa mimpi jauh dari NTT ke tanah Sulawesi agar dapat membanggakan mama Elis dan suaminya namun di penghujung studinya, dalam perayaan wisudanya, orang yang dikasihinya tidak hadir dan hanya bisa dia rasakan dalam doa.
Mama Elis menenun
Lima detik tanpa saya sadari airamata saya jatuh, samar suara mama Elis tetap berdenging di telinga.
Maka bagian mana yang harusnya tidak kita syukuri dalam hidup ini di saat mama Elis masih sangat tegar dan berlapang dada dengan getir hidupnya.
Ini bukan kalimat klise anak kota tapi ini sentuhan hati yang merasa di sayat setelah mendengar cerita ini dengan amat enteng diceritakan mama Elis. Sungguh selama perjalanan itu saya mencoba untuk tidak membahas hal-hal yang akan makin menguras airmata saya. Saya bertanya, apakah mama bahagia dengan kedatangan saya yang hanya merepotkan dan tidak akan banyak membantu, lalu mama Elis sangat bersemangat menjawab bahw aada seorang dokter yang ingin tinggal di gubuk mama itu hal yang sangat membahagiakan sekali. Hadir saya saja dapat membuat mama bahagia apalagi jika, keprofesian saya abdikan di sini. Cita-cita saya lainnya tercipta
saat itu. Saya berikan judul cerita saya ini sesuai dengan judul lagu 3 hari untuk selamanya.
Mama Elis selalu tersenyum
Hari terakhir bersama mama Elis saya di ajak mama untuk tech fair ke rumah warga. Sebenarnya tidak sulit untuk melakukan tech fair di desa sekitar desa mama karena kebutuhan warga akan cahaya benar-benar membayar usaha mama untuk melalui medan jalan yang sangat rusak berat. Jangan bayangkan di sana ada motor matic karena motor tersebut tidak akan berhasil menaklukan medan yang berat. Saya merasakan bagaimana tenaga saya sangat di kuras mengendarai motor di sana.
Mama Elis sedang mengonsumsi sirih pinang
Pantas saja orang-orang disana banyak mengonsumsi sirih pinang, konon katanya, sirih pinang ini dapat menambah tenaga mereka untuk melewati medan jalan yang berat dan aktivitas mereka yang berat. Saya juga diajak mama Elis untuk datang ke kebun beliau, jalan menuju kebun mama Elis, ekstrim, hanya setapak. Saya naik motor dan membonceng mama dibelakang sambil mengatur keseimbangan karena disebelah kanan kami adalah jurang. Itu pengalaman yang tidak terlupakan oleh saya karena betapa jantung terpacu saat itu,kalau saya tidak seimbang maka kami akan jatuh ke jurang. Syukurnya, kami tiba di kebun mama dengan selamat.
Mama Elis di kebun
Malam hari saya mendapat kesempatan untuk merasakan acara adat kebudayaan desa Waiwejak, sambut padi baru. Acara ini bermakna untuk mensyukuri hasil panen dan semua keluarga dari tempat jauh harus ikut datang. Acara ini juga ajang untuk silahturahmi dan menyelesaikan semua permasalahan yang ada di rumah adat dan keluarga besar.
Persiapan acara adat sambut padi baru
Tiga hari bersama mama Elis tidaklah cukup untuk membuka lebih banyak betapa sangat inspiratifnya mama Elis. Elisabeth Nogo Keraf mengajarkan saya tentang kegigihan seorang perempuan untuk selalu melakukan hal baik dan positif untuk orang lain. Ini bukan masalah materi tapi bagaimana kelebihan yang kita punya entah itu dalam hal ilmu pengetahuan, materi, jabatan, tenaga dan apapun yang kita punya dapat kita lipatgandakan saat kita memberinya untuk orang lain. Tidak usah terlalu mendengarkan apa ucapan orang lain, ketika kalian masih bersama jalan tuhan dan melakukan sesuatu untuk kepentingan orang banyak, suara orang lain itu hanya suara-suara iri karena tidak dapat melakukan hal yang sama seperti yang kalian lakukan. Terimakasih mama Elis.