Sosok Reza Rahardian sebenernya sangat complicated bagi gue. Terkadang gue sebel, terkadang gue benci, terkadang gue sayang, terkadang gue cinta, terkadang gue muntah, terkadang gue tegang, terkadang gue gak tau musti ngapain.

Sosok Reza sangat begitu pasaran di dunia perfilman Indonesia. Film apa yang gak ada dianya. Selalu ada di mana-mana. Perlu diingat, kemaren saja masih nongol di My Stupid BigBoss, giliran turun, langsung deh, Rudy Habibie nampil. Belum turun juga tuh Rudy, eh 3 Srikandi nongol dengan begitu mencuri perhatiannya. Tanpa memperbandingkan dengan film-film sebelumnya, kali ini untuk yang kesekian kali, Reza Rahardian mendapuk dirinya menjadi sosok Atlit yang jago di cabang panahan.

Nama figur nyata yang diperankannya Donald Pandiangan. Seorang atlit yang gagal nampil di Olimpiade Moskow 1980 gegara arus politik yang tidak kondusif. Dunia olahraga terkena imbas kala itu. Donald hengkang lalu menghilang.

Sewindu berselang, ketua pengurus organisasi panahan memerintahkan untuk mencari sosok Pandi. Bukan untuk menjadi sebagai seorang atlit, melainkan seorang pelatih. Pelatih tim perempuan, bukan tim laki-laki. Untuk persiapan Olimpiade Seoul 1988. Pandi sempat hilang kepercayaan, namun jiwa sportivitas nya lah yang akhirnya memupuskan rasa dendam yang ada. Donald Pandiangan bersedia. Dengan beberapa persyaratan tentu saja.

Di sisi lain, satu persatu calon pelatnas panahan diperkenalkan. Hingga akhirnya didapatkanlah 3 nama. Yana, Lilies dan Kusuma. Ketiga gadis remaja ini digembleng oleh tangan dingin bang Pandi. Yang tidak peduli dengan urusan pribadi masing-masing anak didiknya. Yana yang sedang bermasalah prinsip dengan ayahnya, Lilies, si anak mantan atlit yang sibuk berpacaran dengan Denny namun ibu nya sibuk mengenalkan Wijanarko, calon mantu kesayangan, sementara Kusuma yang lebih mencintai Panahan ketimbang menjadi PNS seperti yang diidam-idamkan Bapaknya.

Masing-masing punya beban saat latihan. Namun bang Pandi sekali lagi tidak peduli. Mereka bertiga harus jadi, menjadi 3 srikandi! Untuk membayar kekecewaan bang Pandi 8 tahun silam.

——————————————————————----------

Menonton film ini, gue menemukan sensasi lain. Ada banyak keseruan-keseruan yang gue dapatkan saat menyaksikan film ini di bioskop (plaza Kalibata) kesayangan gue.

Pertama, film ini gue tonton karena atas dasar ujaran Mumu Aloha, praktisi filmatika untuk kritik. Dan entah kenapa gue gak nunggu ulasan dari si Chandra nggacor. Biasanya dari dua tulisan orang ini lah gue mengambil referensi, harus ditonton (untuk dihujat) atau nggak.

Kedua, 3 Srikandi adalah film kesekian yang menampilkan Reza dan Bunga Citra Lestari. Bosen? Iya lah. Eneg? Gak terlalu sih. Tapi pada akhirnya gue nyadar juga sih, lipatan di leher BCL, pun sama dengan di punya gue… Gak jauh beda. Ternyata pun BCL juga manusia. Kali ini, gue berusaha tulus dan rela melihat akting mereka. Toh ternyata mereka pun optimal dalam peran nya masing-masing. Apalagi BeCeEL dengan perannya sebagai Yana, lain dari peran-peran sebelumnya. Mengena untuk peran yang mengambil setting di tahun 80an. Berbeda dengan BeCeEL, Reza Rahardian masih agak menyebalkan di mata gue. Ketika kita melihat seorang aktor bagus yang keseringan bermain film di hampir semua film yang diproduksi, kadang nalar tak sejalan dengan bagaimana kita menghargai dedikasi orang. Akting Reza gak jelek, tapi menjadi gak bagus karena apa yang pernah dia lakoni, setidaknya memiliki kemiripan dengan slot akting yang pernah dia gunakan di film sebelumnya. Tapi bersyukur sih, Wardrobe Reza Rahardian okeh-okeh, setidaknya ada yang lebih menonjol dari apa apa yang ditonjolkan Reza di film ini…

Ketiga, Tara Basro memang gak bisa diragukan lagi. Sumpah!!! Dari kesemua pemain yang ada, gue yang dibikin nangis sama akting dia. Bagaimana gak nangis, logat yang dikuasai Tara Basro pun mirip sekali dengan seseorang yang nun jauh di sana… #edisicurcol sehingga sepanjang film, setiap Kusuma muncul, dalam hati gue selalu berteriak, “Hentikan Kusuma!!! Hentikan!!! Jangan lukai aku lagiii!!!!” Mungkin kalo diberi kesempatan untuk bertemu dengan bintang idola, Tara Basro masuk di salah satu list gue. Iya… List.. Bukan Lilies, kalo Lilies di film ini bikin pecaah. Chelsea Islan begitu lepas dan jadinya apik memerankan si Lilies, arek Suroboyo yang petakilan. Logat-logat yang medok kental bikin gue bangga, itu kan kalimat-kalimat yang biasa gue omongin… Mateek koen!!! Seketika itu pecah di dalam bioskop! Ditambah lagi dengan figuran Mario Irwinsyah yang berperan sebagai pacar Lilies, sangat mencitrakan dan bahkan semakin memperkuat chemistry antar keduanya. Bahwa mereka memang sama-sama arek Suroboyo. Ada obrolan singkat tapi entah kenapa masuk di gue banget. Mungkin karena bahasa yang mereka pakai adalah bahasa ibuk gue.

Keempat, walaupun ada banyak yang menduga bahwa film ini adalah film olahraga, tapi sepertinya film ini tidak begitu mementingkan film ini mau dimasukkan ke dalam genre apa. Yang pasti ini film tentang bagaimana usaha seorang anak manusia dalam berjuang menentukan langkahnya. Demi mencapai cita-cita yang gak semua orang mampu untuk meraihnya. Menonton film ini, memang seakan-akan kita dibawa ke dalam era 80an. Berbagai properti bahkan dokumentasi yang dimunculkan pun semakin menguatkan bahwa ini film serius yang kita gak sadar bahwa ini film yang cukup serius. Sampai sekarang elemen penting yang bikin gue takjub dan haru adalah bentuk model celana jeans yang dikenakan Tara Basro… Pas gue melihatnya langsung bergumam, “itu kaan celana kakak gue duluu… ” dan gue hanya bisa ngakak dalam hati.

Kelima, dimunculkan adegan lipsync lagu Ratu Sejagad nya Vina Panduwinata, foto Onky Alexander, mesin ketik dan materi pendukung 80an lainnya memang akhirnya menjadi semacam penegur lupa. Mereka pernah ada di kehidupan kita sebelum sekarang. Dan sepertinya Retail AlfaMidi salah film dalam berpartner, karena di tahun 80an mereka belum menjamur. Dan jujur gue sangat bersyukur. Andai saja-andai saja, gue gak mau ngeliat kusuma bukan bekerja di toko sepatu, tetapi malah bekerja di AlfaMidi… Kan dong-dong jatuhnya.

Terakhir, gue gak bisa menemukan celah dimana gue menemukan salah yang ada di film ini. Mungkin karena di era itu, gue masih sibuk main kejar-kejaran di SD, sehingga apa yang terjadi kala itu, tidak masuk ke otak gue. Dan dengan menonton film ini, gue jadi curiga, jangan-jangan masih banyak kisah-kisah kelam di balik sebuah kebahagiaan yang dialami masyarakat kita. Indonesia terlalu banyak drama!!! IN…DO…..NE……SIA!!!!!

Rating : 3,5 mantraaaa

3 Srikandi (2016) | 2 h 2 minutes | Iman Brotoseno

You are using an unsupported browser and things might not work as intended. Please make sure you're using the latest version of Chrome, Firefox, Safari, or Edge.