More you might like
Hi, apa kabar?
Lepas Jilbab
Sebenarnya ini tulisan tentang unek-unek, kegelisahan, dan mungkin ketidak-pahaman seorang aku- ‘yang anak baru’. Sudah cukup lama hanya berputar-putar di kepala. Ragu. Pantas atau tak pantas menulis hal semacam ini. Hal yang bagiku sensitif, dan pastinya akan memunculkan respon atau tanggapan yang berbeda-beda dari orang yang membaca, bahkan mungkin bisa jadi menertawai.
Beberapa waktu yang lalu, aku mendapatkan panggilan tes di salah satu rumah sakit swasta yang cukup besar di tengah kota. Seperti biasa, dengan semangat aku mempersiapkan semua keperluan untuk berangkat. Berharap besar kali ini memang rezekiku untuk mendapat tempat yang lebih baik.
Aku mengabaikan keraguanku, berusaha terus berpikir positif, meyakinkan diri, dan menjalani proses seleksi sebaik-baiknya. Pulang pergi ke kota yang cukup jauh (karena pada saat itu berangkat dari rumah), dan transportasi yang cukup sulit dan mahal dikarenakan menjelang dan pasca lebaran. Meski cukup berat, alhamdulillah semua berjalan lancar, sampai di tahapan terakhir sebelum MCU..
Dan, ternyata, lagi.
Firasat ‘kurang enak’ yang sempat mengusikku dan membuatku ragu, benar terjadi. Sebelum mengakhiri sesi interview, dua wanita di hadapanku menjelaskan beberapa hal mengenai rumah sakit, dan menanyakan, bahkan bisa dibilang ‘membujuk’, yang intinya
“Mau tidak melepas jilbab?”
Jelas hatiku menjawab tidak. Tapi aku hanya diam. Kedua wanita itu bahkan memberiku kesempatan untuk mempertimbangkan dan berpikir ulang hingga keesokan harinya.
Di kepalaku aku bertanya berulang-ulang, bukan tentang jawaban mau atau tidak untuk melepas jilbab, tapi kenapa kenapa dan kenapa. Kenapa harus begitu (lagi)?
Bukan kali pertama seperti ini. Berulang-ulang kali. Mungkin kalian yang membaca akan beranggapan “yaiyalah RS Swasta agama tertentu”. Mungkin, bukan, atau mungkin aku yang salah baca, tapi..
Rumah Sakit Umum XXXX
Bahkan pewawancaranya sendiri bilang bahwa di RS tersebut banyak pegawainya juga beragama Islam. Hanya saja selama jam kerja, bagi yang memakai jilbab disimpan di loker yang telah disediakan.
Di RS Swasta Umum lain-yang sebelumnya, bahkan atribut-atribut agama lain seperti kalung berbentuk tertentu, anting, dll, juga tidak diperkenankan.
Ketika dipertanyakan mengapa, “karena kami rumah sakit umum, kami tidak ingin menunjukkan atau mempertonjolkan atribut agama tertentu.”
Tidak cukup menjawab.
Orang-orang yang mendengar ceritaku, tanggapannya adalah sama; “mungkin bukan yang itu rezekimu, percaya, cari yang berkah, sudah ada yang mengatur”
Pada akhirnya aku memang mengundurkan diri karena tidak dapat mengikuti aturan yang berlaku di RS, aku memang kecewa. Tapi bukan itu yang kumaksud, bukan itu yang membuatku kesal bertanya-tanya.
Terlepas dari aturan yang berlaku ‘dari dulu’ di RS-RS tersebut dan alasan dibaliknya. Kita orang-orang kesehatan, bergerak di bidang sosial, kemanusiaan, hari ini, masihkah perlu menanyakan “apa agamamu?” atau masih berlakukah “aku tidak mau membantumu/dibantu olehmu, karena kita tidak seiman”
Jika label RS-RS tersebut memang dilengkapi dengan agama tertentu, mungkin aku akan lebih maklum. Tapi Rumah Sakit Umum (yang tidak umum).
Jadilah pertanyaan yang sampai saat ini berputar di kepalaku; kenapa?
Kenapa harus begitu? Apa yang salah? Apakah jilbab dan atribut-atribut agama yang lain itu dapat mengganggu? Apakah dengan memakai itu menunjukkan kefanatikan yang ekstrim? Apakah dengan memakai itu kita tidak boleh sembarang membantu yang membutuhkan?
Atau mungkin saja pikiranku yang masih terlalu dangkal dan belum cukup dewasa untuk memahami. Mungkin dari kalian yang iseng membaca dapat membantu?
Terima kasih sudah iseng membaca tulisan tentang kegelisahanku.
Mungkin akan segera dihapus :)
Barisan Pejuang (Jarak)
Beberapa meter di sebelah kiriku, seorang wanita berjilbab coklat muda, mungkin seusiaku, berdiri memandangi kaca pintu kayu yang memisahkan antara ruang tunggu calon penumpang dengan pengantar.
Matanya seperti enggan melewatkan barang sedetik pun, memandangi punggung sesosok lelaki yang tengah berdiri diantara banyak orang yang mengantri untuk boarding. Mengawasinya hingga sosok itu beranjak perlahan lalu menghilang diantara banyak calon penumpang lain. Kulihat ia menghela napas perlahan lalu menunduk, sibuk dengan ponselnya mengetik sesuatu.
Kamu masih disana, berbaris menunggu giliranmu untuk id check. Terlalu jauh untuk menyadari bahwa aku masih disini, enggan pula melewatkanmu meski tahu kamu akan segera beranjak pergi.
Hingga tak tampak lagi punggungmu oleh mataku, aku masih menunggui. Pemberitahuan bahwa kereta yang kamu naiki akan segera diberangkatkan menggema di seluruh sudut stasiun. Peluit panjang berbunyi. Aku menghela napas cukup keras. Tiba-tiba saja terasa sesak.
Kulirik wanita itu sekali lagi. Wajahnya sendu, berjalan perlahan ke arah tempat parkir seraya menatap layar handphone.
“Mbak, di barisan yang sama kah kita saat ini?”
Rinduku tak lagi luruh bersama rengkuh
Entah.
Sebab jarak yang enggan kutempuh
Ataukah hati yang sudah terlalu jauh
Aku gemar menatap layar handphone hingga larut malam, melihat wajahmu disana, mendengar suaramu meski kerap terjeda, bercengkrama tentang asa, dan tentang dunia di sekeliling kita. Sambil menahan kantuk, kita masih tertawa, bercerita, seakan semua harus selesai dibagi malam ini juga
Suaraku tak selalu lembut,
perkataanku tak selalu halus,
egoku sering timbul tenggelam,
manjaku tak selalu menggemaskan,
candaku tak selalu menghibur,
senyumku tak selalu tulus,
tingkahku tak selalu menyenangkan,
Dan list minusku masih ada banyak lagi. Masih sediakah kamu menghadapiku?
Jika kamu adalah hujan, haruskah aku rela basah kuyup untuk mencintaimu?
gzp.
“Mungkin kamu memang tidak pernah menyesal telah melukaiku, seperti aku-yang juga tak pernah menyesal telah melepaskanmu”
Random Post (1)
Berbicara tentang masa SMA, rasanya aku ingin lupa. Bukan melupakan cerita manis 3 tahun masa putih abu-abu itu, tapi melupakan-khususnya kamu-yang entah sampai berapa kali aku merutuki diriku sendiri karena pernah membukakan pintu.
Kupikir ketika aku mulai mengingat kembali masa-masa itu, aku merindukannya, tapi begitu ingatan itu mengarah kepadamu, seketika aku merasa masa itu tak indah. Ingin rasanya kuulang sebelum mengenalmu, dan tak akan pernah kubiarkan diriku jatuh.
Tapi terima kasih. Kamu juga yang membuatku jadi orang yang baru, kini. Yang lebih waspada dan berhati-hati.
Aku telah berjalan begitu jauh, bahkan hampir tak ingat kita pernah ada. Tidak, aku bukan tidak ingat, aku tak mau ingat. Aku ingin lupa. Tentangmu, yang sebegitunya membuatku terluka, tanpa aba-aba.
- Random post. Akibat nonton short movie tentang masa SMA.