Sukses itu, bersih hati. Selebihnya, bonus.
“Ketidakbahagiaan kita saat ini mungkin disebabkan oleh ketidakmampuan kita untuk bersyukur atas hal-hal yang bisa dengan mudah kita dapatkan”
— Kurniawan Gunadi
UI/UX Designer based in Malang, Indonesia. Minimalist Lover and Roadbike Enthusiast. Creative Director at Illiyin.
“Ketidakbahagiaan kita saat ini mungkin disebabkan oleh ketidakmampuan kita untuk bersyukur atas hal-hal yang bisa dengan mudah kita dapatkan”
— Kurniawan Gunadi
Karena orang yang bersedekah, bagaikan orang yang membuang cacing untuk mendapatkan ikan.
Sekecil apapun rezeki yang kita terima itu sebenarnya besar, karena semua berasal dari Allah yang Maha Besar
Rezeki yang terbaik bukan rezeki yang banyak, melainkan yang cukup.
Ujian leadership sesungguhnya terjadi ketika memimpin diri sendiri sholat subuh di awal waktu
Hidup dalam era sekarang ini seolah-olah menuntut setiap orang untuk tampil sebaik mungkin-secantik/setampan mungkin-seWAH mungkin-dan segala sesuatu yang sifatnya artifisial. Semakin sulit menemukan orang yang sederhana kecuali kita benar-benar meletakkan gadget kita kemudian membuka pintu rumah dan jalan kaki menyusuri jalan yang selama ini kamu lewati begitu saja.
Ketika banyak orang terpacu ingin segera kaya, mapan, berkecukupan, dan menampilkan semua itu dengan simbol-simbol barang dengan merk tertentu. Kadang saya sulit memahami bagaimana jalan pikir orang lain dalam mengekspresikan dirinya.
Kita pun mungkin mengalami euforia yang sama. Sama seperti kita dulu lepas SMA dan masuk dunia kuliah. Euforia ketika sudah lulus kemudian memperoleh pekerjaan dengan gaji yang cukup layak untuk meningkatkan kualitas hidup kita yang mungkin lebih tepatnya -meningkatkan gaya hidup kita-.
Untuk bisa bertingkah kaya, orang tidak perlu belajar. Tapi untuk menjadi sederhana, orang harus belajar keras. Di tengah proses dan fase pembuktian kita terhadap dunia disekitar kita, kita kadang salah memilih bentuk pembuktian itu. Bahwa kita sudah mencapai kesuksesan dibuktikan dengan apa-apa yang kita mampu beli dan miliki saat ini. Dengan setelah licin yang rapi dan foto di media sosial yang menampilkan kehidupan kita sehari-hari ditempat-tempat yang keren. Kadang kita keliru melihat dunia ini.
Kita keliru dalam memahami bahwa fase pembuktian diri itu bukan dengan itu. Tapi dengan apa yang kita bisa berikan untuk kebaikan di sekitar kita, untuk orang lain, dan untuk sesuatu yang lebih besar.
Kita perlu memahami dalam 24 jam yang sama, ada orang yang bisa mengatur waktu untuk memikirkan dirinya sendiri, ada yang bahkan bisa selesai memikirkan dirinya sendiri dan orang lain, ada yang juga bahkan 24 jam tidak selesai mengurus dirinya sendiri. Semakin kita dewasa, semakin kita tumbuh, seharusnya semakin kita bisa memberikan waktu kita semakin banyak untuk orang lain, untuk sesuatu yang lebih luas.
Kita tidak perlu tampil mengagumkan untuk membuat orang lain terkagum. Lakukan segala sesuatu dengan tulus dan sederhana, makanlah dengan sederhana, berpakaianlah dengan sederhana, dan tidak perlu pusing tentang harus tampil seperti apa hari ini dan esok.
Karena hidup ini sesederana yang Allah katakan, bahwa kita hanya seperti sekedar singgah untuk minum, tidak lama-hanya sebentar. Sesederhana itu Allah menjelaskan, tapi kita lupa memahaminya.
Rumah, 9 Desember 2015 | ©kurniawangunadi
Kalau diumpamakan, impian kita bagaikan ember, rezeki bagaikan air, dosa bagaikan lubang.
Kita bebas memilih ember, baik ember kecil, sedang maupun besar. Kerja keras, kerja cerdas dan ibadah lah yang mengisi ember dengan air. Dan dosa, bagaikan lubang diember.
Jadi jangan kaget kalau kita pernah dapet rezeki, kemudian habis tanpa tahu larinya kemana. Karena kadar keberkahan rezeki akan berkurang kalau kita banyak melakukan dosa.
Setelah jadi ibu aku baru paham, dalam pejam pun, kita penuh dengan doa-doa ibu.
Aji nur afifah