Sejak kecil, aku bukan seseorang yang dididik untuk memiliki cita-cita besar. Keluargaku tipe yang mengikuti paradigma masyarakat, kecenderungannya realistis dibanding idealis. Pijakan juga tidak seluruhnya secara murni menjunjung Al-Quran dan Al-hadist. Sehingga saat menuntut ilmu, jujur yang kucari adalah nilai, rangking satu, dan perhatian guru. Dunia-oriented sekali.
Semakin ke sini, semakin kupahami bahwa… Allah memberikan skenario terbaik-Nya untuk membuatku belajar dan sadar. Sadar karena telah membuang begitu banyak waktu karena sistem dan trend yang kuanggap paling benar.
Pendidikan dibuat sedemikian rupa supaya kita dibuat cerdas dengan menguasai sesuatu yang sejatinya tidak akan kita pakai dan praktikkan. Pendidikan digagas dengan harapan keluaran yang sami’na wa’thona. Kami dengar dan kami patuh. Bukan sebagai manusia yang berdaya, yang bisa menggetarkan dunia dengan terobosan dan daya kritis. Pendidikan dirancang supaya orang-orang yang berani mengambil resiko menjadi pemimpin perusahaan dipandang tak terjangkau dan hanya untuk orang-orang terpilih dan beruntung.
Berada di kampus kedinasan yang mengajarkan keberartian data sejatinya tidak pernah masuk dalam daftar keinginan hidupku. Memilih jalan ini adalah konsekuensi dari pilihan orangtua dan jawaban istikharah.
Mungkin dulu, aku begitu merutuki jalan ini. Duduk menghadap laptop. Yang dilihat hanya angka demi angka. Kerjanya rutin dan tidak ada variasi. Untuk nantinya dikirim ke pedalaman demi sebuah estimasi. Ya, Allah. Siapa yang akan menyangka akan menyandang aktivitas seperti ini.
Tapi sekarang, aku dengan percaya diri mengatakan, ”I’m doing the sexiest job in the world.” Dan aku sangat amat bersyukur Allah telah menuntunku berjalan sejauh sekarang.
Barangkali, yang kulihat hanya angka-angka rigid. Tapi mereka bisa berbicara. Mereka mampu mengungkapkan kemiskinan, inklusivitas, bahkan kecenderungan orang dalam memilih sesuatu.
Barangkali, tugasku akan seberat Ibnu Batutah yang harus membelah hutan dan lautan. Tapi itu akan jadi saat-saat menyenangkan! Kapan lagi menikmati keindahan alam tanpa harus mengeluarkan biaya pribadi dengan kerabat baru yang akan mengenalkanmu pada dunia berbeda?
Barangkali, aku akan menekuri layar laptop berpuluh-puluh jam lamanya demi mencari teori sesuai dan modelisasi serangkaian variabel. Tapi mereka adalah senjata. MasyaaAllah… Bayangkan bagaimana efek dari analisismu jika kamu sanggup mengubah kebijakan hanya dari amatanmu selama beberapa tahun terakhir?
Berapa juta orang yang akan terkena dampaknya? Berapa banyak orang yang bisa kembali mendapat pekerjaan? Berapa puluh ribu keluarga akan bersyukur bahagia kendati Negara kembali bisa mengendalikan sumber daya?
Maukah sabar mengumpulkan data?
Maukah semangat memelajari metode yang tidak kita pahami sama sekali?
Maukah membaca berpuluh-puluh jurnal yang mendukung penelitian?
Maukah bertahan merevisi berpuluh kali?
Maukah berproses lebih lama?
Iya. Sejauh aku melangkah kini, aku menyadari bahwa ilmu diraih bukan untuk dipandang manusia. Tapi supaya kita mampu menghamba semaksimal mungkin dengan keahlian yang kita miliki. Menghamba dan menambah taqwa. Hingga tak ada yang sia-sia. Hingga Allah berkenan menghitung kelelahan kita sebagai ibadah dan kita punya jawaban andalan ketika ditanya, “Apa yang telah kamu perbuat dengan ilmumu? Apa yang kamu tinggalkan di dunia? Manfaat atau mudharat?”
… kemudian air mataku menetes tanpa bisa dicegah. Kemana saja catatan kuliahku selama empat tahun ini? Kemana saja jiwaku melayang pergi ketika dosen susah-payah menerangkan? Kemana semangatku menggenggam dunia untuk kubawa bekal di kampung akhirat?
Semangat! Semangat berproses dan menyelesaikan sebaik yang kita mampu usahakan! Allah menunggu hasil terbaikmu, kawan! Allah menunggumu menggemparkan dunia dengan temuan-temuanmu!
——————————————
Jakarta, 16 Maret 2019 | 1:37 AM
Tribute to Kak Nina yang sudah kasih insight tiap sesi makan bareng. Jazakillah khair :)