Satu-Satu, :)
Menjadi “double agent” di almamater dalam waktu satu tahun, dua bulan, lima belas hari memberikan perubahan pada banyak hal, terutama dalam mengelola waktu, menghargai diri sendiri, memahami diri sendiri, dan menghargai setiap proses yang sudah dilewati serta hasilnya. Menyadari bahwa tetap menjadi manusia sebagai makhluk sosial, juga seringkali terjadi. Terus bersyukur dan mengurangi mengeluh adalah hal yang ampuh, menuliskan hal-hal negatif yang hinggap di buku, sedikit khilaf di media sosial, atau menyerukannya ke tembok kamar, juga pernah terjadi. Menangis sembari tetap menjawab pertanyaan tugas atau nyicil mengerjakan tesis juga pernah terjadi. Hingga sesaat membenci media sosial karena kemampuan berpikir positif itu hilang begitu saja.
Hari-hari begitu cepat berubahnya. Waktu 1x24 jam masih kurang, rasanya. Hidup adalah belajar, benar-benar terjadi namun bukan kiasan. Isinya belajar lagi belajar terus dan lagi belajar. Ketika mau mengeluh, rasanya malu karena ini sudah jadi pilihan, kalau tidak kuat ya sudah mengeluh ke orang yang terdekat atau buku, dan tembok. Overthinking terus menuntun untuk menjadikan setiap tugas adalah tugas terbaik, tapi seringkali mendapat reminder bahwa tidak akan pernah selesai apabila tugas dikerjakan dengan sempurna. Ya memang. Namun ini menjadi kekurangan, bagi diri yang sangat berani mengambil jurusan yang sejak dulu dihindari, e tapi malah dipilih lagi dikemudian hari. Ya menangis, ya ketawa, ya merutuki diri sendiri. Tapi ya wes lah. Iso ra iso kudu iso. Setiap kali ada pikiran menyerah, selalu ingat denda dan waktu yang sudah berjalan sekian lamanya, ingat “drama” perjuangan dulu seperti apa, dan ingat niat. Setiap waktu bibir ini tak lepas dari “nyebut” nama Allah. Karena selalu merasa insecure, overthinking, merasa salah niat. Perasaan itu sangat mengganggu hingga akhirnya memutuskan untuk konsultasi ke dua psikolog di waktu yg berbeda, untuk mencari solusi juga dari dua sisi yang berbeda. Ilmu Allah luas sekali. Hasilnya, cukup membantu dan memberikan perubahan ke arah yang lebih baik.
Memang tidak sendiri. Proses ini dilalui bersama dengan 18 orang anak lain yang memiliki latar beda-beda. Beberapa dari kami satu frekeunsi, dan mampu memberikan inspirasi. Manusia dengan pikiran secepat prosessor baru yang suka nyambung kalau diajak ngobrol kesana kemari. Sedangkan hamba butuh waktu beberapa kali, untuk memahami kode program dan maksudnya. Menghadapi kenyataan yang demikian, mau tidak mau harus mencari kelebihan di titik lain. Alhamdulillah, tidak semua mata kuliah menggunakan kode program sehingga sangat membantu untuk terus maju. Selama pandemi, tatap muka secara langsung tidak pernah terjadi dengan para dosen. Hanya komunikasi virtual entah dengan zoom, email, gmeet atau WA. Lebih praktis memang, namun tetap saja ada yang kurang karena tidak bisa menatap langsung Bapak/Ibu pengajar.
Kemudian, satu persatu dari kami sidang tesis, tepat satu tahun kemarin. Dua bulan lima belas hari kemudian, menyusul sidang. Terjadi drama, dengan sederet “semangat” yang beragam dari berbagai kalangan. Keluarga, terutama Ibuk adalah orang pertama yang selalu mendapatkan kabar apapun yang ku lakukan, secara lebih intens. Hasilnya, apa yang menjadi ketakutan itu tidak terjadi. Pikiran-pikiran rumit itu terlalu jauh lingkupnya. Mahabaik Allah yang memudahkan hingga amanah ini selesai, meskipun belum sepenuhnya usai. Meskipun masih menunggu konfirmasi layak wisuda, setidaknya bisa lebih lega. Waktunya belajar hal lain yang jauh dari tesis, hal yang selama ini hanya terlihat dari luarnya saja. Allah yang memudahkan, ilmu-Nya sangat luas.
Alhamdulillahilladzibini’matihitatimusholihat.
La Haula Wala Quwwata Illa Billahil ‘Aliyil ‘Adzim.