Avatar

iniaku

@ceritatumpaah

Terjebak dalam ramainya dunia tanpa suara
Avatar

Hi kids, ini udah 2024. Bolehkah kamu hadir diantara kami?

Avatar

Siang ini, saya dipenuhi emosi. Biasanya, saya cukup menangis, entah menangis seperti apa dan butuh berapa kali menangis, tapi saya cukup mampu mengelola itu. Siang tadi, tidak begitu.

Saya mengamuk. Membanting semua yang ada di sekitar saya. Termasuk HP saya. HP saya sudah harus ganti memang, tapi niat saya mau dipertahankan sampai habis pemilu baru ganti HP.

Emosi saya bukan main memang. Padahal saya belum punya budget buat HP. Tapi yasudah. Apa saya menyesal? Saya sudah memperhitungkan kalau HP saya bakal rusak saat saya banting.

Avatar

aku sibuk iri kesana kemari. menginginkan ini itu seperti kehidupan orang lain.

padahal aku tau, Allah yang paling mengetahui segala sesuatunya, sedangkan hambanya tidak mengetahui apapun.

Avatar

kau pikir, berperang dengan perasaan iri mudah? OH TENTU TIDAK!

aku berkali-kali berdalih dalam diri "sudahlah, yang kayak begini ndak bakal ada habisnya" berjuang setengah mati agar tidak tenggelam dalam perasaan iri.

selalu bilang bahwa, kehidupan orang lain memang menggiurkan dalam hidupmu, dan harusnya kau sadar begitulah kehidupanmu di mata org lain.

Avatar

kau tau? mataku ini mudah menatap dengan perasaan iri dan kau juga harus tau, hatiku ini gampang sekali terserang penyakit iri.

itu kenapa, seluruh status whatsapp dikontak hapeku aku bisukan, walaupun aku masih sering upload apapun. untuk pertama kalinya dalam hidupku, snapgram orang-orang mulai aku bisukan. sudah jarang sekali scrool instagram, hanya sesekali melihat notifikasi atau mengintip dunia maya teman-temanku.

aku punya satu akun sosial media, yang disana aku tidak berteman dengan siapapun. dan yaah, seperti dugaanmu, aku lebih nyaman lama-lama di sana.

terserahmu, menganggap tingkahku keanak-anakan atau belum dewasa. setidaknya aku tengah bertanggungjawab dengan perasaanku sendiri.

Avatar
Ada beberapa hal yang telah kupilih untuk dijalani, ingin aku sudahi dengan segera. Beberapanya ingin berhenti karena perasaan lelah.

Mengendarai motor sendirian tadi, sedikit membuatku merenung

Kamu bukan mau berhenti karena lelah kan? Kamu tau sendiri, kekuatanmu masih ada. Usahamu belum sepenuhnya kamu kerahkan. Kemampuanmu masih banyak yang kamu pendam. Sungguh, ini bukan lelah.

Kau bilang lelah berkedok malas.

Iya, kau malas. Malas mengeluarkan seluruh yg kau punya dan yang kau bisa.
Avatar

Bercengkrama bersama Bapak dan Ibu. Bercerita banyak hal tentang hari yang sudah dilalui. Mengutarakan kegelisahan dan kejanggalan hati. Berdiskusi beberapa hal yang aku butuh penguatan.

Terus, ibu bilang.

"Jangan ngeluh ya, hidupmu nanti gak berkah."

Kemudian, ibu bilang.

"Kemarin, asatidz di pondok adekmu bilang, yang orang tuanya sering ngeluh, sering protes, pasti anaknya nakal di pondok. Ngeluh itu bikin semuanya gak berkah"

Kusanggah dengan kalimat

"Iih, aku cuman cerita"

Avatar
reblogged
Avatar
ajinurafifah

Kapan hari aku ngobrol sama suami. Gimana ya kalau kita iri sama capaian orang lain? Pernah nggak dia demikian?

Dijawab gini, kamu irinya kenapa? Coba analisis konteksnya. Misalnya kamu lagi iri sama si A, apa yg di-irikan? Terus analisis di diri kamu, kira-kira apa itu salah satu hal yang pengen kamu raih? Kalau iya, apa yang bisa kamu usahakan?

Orang beda-beda rezekinya, starting point, supporting system, bahkan ya gabisa dinalar kadang itu udah rezekinya dia aja. Mungkin kalau kita mengusahakan hal yang sama, bisa jadi lebih lama mencapainya. Bisa jadi juga ga bakal tercapai karena bukan rezekinya.

Iri jangan sama orangnya, iri sama konteksnya lalu refleksi : udah sesuai sama tujuanmu belum? Kalau nggak sesuai ya terus buat apa gitu di-iri-in? Ya kita kadang cuma "ih enak ya dia blablabla, ih dia kok bisa sih begini. Blablabla" Tanpa tahu usahanya.

Ketika kita iri, coba lihat apa yang kita punya? Ada banyak hal yg bisa kita syukuri, hal yang sudah Allah anugerahkan. Apa yang jadi potensi kita?

Dan terakhir, apa yang bisa kita maksimalkan? Kita nggak bisa kontrol orang lain (kadang dia nyebelin juga, merendah utk meroket, pengen bgt ditanyain soal pencapaiannya) tapi kita bisa kontrol diri kita. Kita bisa kontrol respon kita.

Akuin aja kalau lagi iri, pahami konteks apa yang kita harapkan dari kejadian tsb. Kendalikan diri.. rezeki nggak akan tertukar, ranah kita adalah tawakkal dan ikhtiar 😊

Sedang terus menerus melatih diri melihat orang lain senang dan melihat diri ini juga menyenangkan dengan segala pemberianNya.

Rencana Allah pasti indaaah banget buat masing-masing hambaNya yang berupaya, berserah, dan bersabar🥰 #refleksidiri hehehe

Hingga hari ini, kubaca tulisan ini. Walau mungkin, aku belum bisa menjawab tiga hal diatas secara baik. Tapi ini cukup menampar diri.

Tidakkah kehidupanmu saat ini sungguh lebih dari cukup?
Bukankah yang tengah kamu jalani saat ini tetaplah menyenangkan?

Harusnya, yang perlu kamu sadari adalah sepertinya segalanya belum maksimal kamu tekuni.

Kenapa kamu harus iri? Bukankah kehidupanmu juga beruntung? Bukankah kehidupanmu juga punya kesempatan untuk membuat iri orang lain?
Layakkah kamu untuk iri? Atau kamu saja yang tak pandai mensyukuri semua ini?
Avatar
Selalu sedih dalam hati, ketika mendapati ada iri dalam diri. Setiap malam, selalu berharap perasaan ini redam, tenggelam, terus surut, tidak usah lagi pasang naik ke permukaan.
Iri ini terus ada, setelah bermain sosial media, setelah bercengkrama. Sayangnya, dan sudah memang seharusnya dia hanya bersemayam di dalam sini.
Entah nanti atau kapan, yang tengah dipendam akan berbuah seperti apa. Setidaknya, saat ini segalanya bisa dikendalikan.

Yang terlihat tenang, bukan berarti tak bergemuruh bukan? Yang terdengar berisik, bukan berarti tengah dalam kalut bukan?

Avatar
Kehidupan selanjutnya mungkin akan terasa lebih mengejutkan, karena tidak sesuai dengan ekspektasi.

Tapi, bagaimana pun, kehidupan pada akhirnya hanya bisa diterima dan dihadapi.

-cuplikan kalimat dari sebuah surat.
Avatar
: eh, dia sudah loh, kok kamu belum?
: jadi, kamu kapan?

Hidup emang pilihan, pun kita bisa memilih. Tapi, bukankah ada beberapa bagian hidup yg hanya bisa kita terima tanpa memilih. Begitu bukan?

Avatar
Dulu, waktu kecil bertemu lebaran adalah sebuah kegembiraan. Sebuah ujung penantian. Senang sekali rasanya kalau sudah dapat baju baru. Tidak sabar akan mencicipi kue kue kering di toples. Atau yg lebih membahagiakan adalah bertemu dengan THR dari sanak saudara.
Sekarang, setelah menjadi dewasa, setelah menjalani kehidupan, lebaran seakan jadi sesuatu yang menyeramkan. Bukan hanya sekedar memikirkan keuangan yg membengkak. Membayangkan bertemu banyak manusia, mengira-ngira pertanyaan menyakitkan apalagi yang akan didapatkan, omongan apalagi yang akan membekas.
Semoga saat silaturahmi nanti, kita mampu untuk saling menjaga perkataan. Kalau pun pada akhirnya kita temui kata yg begitu menyayat hati, semoga kita mampu mengolah perasaan dalam diri.
Tapi, tidak dapat dipungkiri, lebaran memang menyenangkan*

(*syarat dan ketentuan berlaku wkwkwk.

Avatar

pulang beli takjil di lorong belakang, cerita ke suami.

🧕 : Tadi ketemu tetangga yang di kompleks bagian sana, terus langsung nanya "udah ada hasil?" sambil liatin perut. Padahal kan baru ketemu lagi setelah sekian lama.

👳‍♀️ : bilang, belum ada hasil, masih ujian.

🧕👳‍♀️ WKWKWKWK

Jadi takut lebaran :)
Ini kenapa, malas bgt ketemu orgorg.

Kalau ngomongin begini sebenarnya banyak sih.

Pernah juga ditelpon seorg ustzh buat ngobrolin materi. Terus langsung ditanya

: gimana? Udah isi?

: belum umm

: duh gmna sih.

Aku dalam hati (oh aku salah yaa blm isi)

Apalagi kalau ngajar. Sebenarnya anak anak gak salah nanya atau bahkan nyuruh hamil wkwk. Mereka kan gak tau apa apa, polos, cuman jatuhnya lebih ke gak sopan.

: ustzh, kapan hamil?

: ustzh kenapa belum hamil?

: makanya ustzh bikin anak...

Yuk bisa yuk nebalin telinga wkwkwk

Avatar
Setiap hari selalu ada yang kita keluhkan, entah mengeluh pada hal yang sama, atau keluhan baru dari apa yang baru kita dapati.
Alibinya, biar perasaan negatif ini tidak menumpuk dalam diri, menjadi energi negatif. Biar semua perasaan terluapkan dianggap selesai dengan mengeluh.

Padahal, emosi itu dikelola bukan diluapkan, begitu kata asisten dosen saya kala itu.

Avatar
Orang-orang di luar sana, sering sekali mengasihani orang lain yang tidak punya apa-apa atau belum punya apa apa. Merasa iba pada orang yang hartanya jauh lebih sedikit. Kasihan pada orang yang belum juga dikaruniai keturunan atau pada orang yang berumur namun belum memiliki pasangan.
Kenapa harus menatap dengan iba, membicarakan dengan penuh rasa kasihan. Padahal, yang menjalani kehidupan selalu merasa baik-baik saja, dijalani dengan baik.

Kalau kata kakak kelas saya via snapig "kenapa harus memilih untuk mengasihani, padahal punya pilihan untuk mendoakan"

Mungkin memang, orang yg kau pandang iba itu tidak memiliki apa yg kamu miliki. Tapi, kau sadar tidak, bahwa kau juga tidak punya apa yg dia miliki. Termasuk kepribadiannya.
Avatar

Setiap kali tidak mendapatkan apa yang aku impikan. Aku terus bertanya pada diri sendiri. Inikah takdir? Atau ini terjadi karena aku yg tak berusaha secara maksimal. Ini memang jalanku? Atau ini ada sebab aku yang tak pandai melobi Sang Maha Segalanya?.

Dihantui pertanyaan yang terus menghujam diri. Jadi, aku harus bagaimana? Apa yang harus aku lakukan? Langkah selanjutnya bagaimana? Mana yang harus kuperbaiki kembali? Sisi mana dalam diriku yang masih koyak?
Pada akhirnya aku mengalah, menerima keadaan, berusaha bersabar.

Setiap kali hendak mengadu nasib. Aku coba kembali menahan diri. Sudahlah, kamu layak dengan apa adamu sekarang. Orang lain layak dengan mereka yang sekarang. Tidak usah dirimu mengadu nasib, sudah banyak org lain diluar sana yang sering membading-bandingkan dirimu dengan org lain. Itu bukan pekerjaanmu!

You are using an unsupported browser and things might not work as intended. Please make sure you're using the latest version of Chrome, Firefox, Safari, or Edge.