lumayan buat nemenin pagi hari, macet dijalan, sama yang pengen sambat aja dengerin kita ngobrol :D
I am (not) relevant
as soon as i ages, things around me would become not relevant. I just realized by things that I can no longer followed
memang saat ini saya masih berumur 26 tahun, namun saya seakan merasakan hal-hal disekitar saya mulai tidak relevan. Relevansi yang saya maksudkan adalah ada hal-hal yang seharusnya saya mengerti namun kenyataannya tidak. saya seringkali berusaha mengikuti perkembangan, baik dari teknologi ataupun sosial dan seni. Namun tetap saja ada sesuatu yang tidak mungkin dapat saya ikuti. Hal-hal sederhana seperti obrolan bersama teman di sebuah warung kopi tidak lebih membuat saya terdiam dan cengengesan tertawa seadanya yang menunjukkan dalam skup sekecil diskusi santai dengan kerabat hal-hal yang dibicarakan mulai tidak relevan dengan kehidupan saya.
did I just lose myself into nothingness? I surely have some knowledge but why it doesn't apply in any conversation I have? Secara umum saya mengetahui hal-hal seperti sejarah, ekonomu, kultur etnis tertentu hingga cara berbicara dalam bahasa ibu namun jarang sekali pembicaraan-pembicaraan disekitar saya mengandung unsur tersebut sehingga saya jarang terlibat dalam diskusi yang dalam. Realitasnya obrolan di warung kopi selalu seputar pekerjaan di kantor, makanan dan tempat wisata baru di Pontianak, hingga baper-baperan soal harga desain yang cocok untuk pemula. See the circle has been enclosing and creates the loop that never ending, putaran-putaran pembicaraan itu hanya melingkari hal-hal yang sebenarnya tidak selalu saya ingin bicarakan setiap saya bertemu dengan orang.
termasuk dengan lingkaran yang lebih internal lagi seperti ke pacar atau keluarga, saya cukup merasa bosan ketika pembicaraan tidak lepas dari jalan-jalan, makanan, tanggal pernikahan dan persiapan tetek bengek untuk acara. Saya tidak bermaksud merendahkan keluarga ataupun tunangan saya, namun kenapa diskusi dan pembicaraan ini tidak berkembang? Lantas kepada orang yang sebenarnya saya tidak ingin ngobrol lagi diskusinya bisa satu hingga dua jam karena we talk about things we like, and surely we have some fun with it. Diskusinya bisa dalam, bantah-bantahan yang mengalirkan topik demi topik pembicaraan dan tidak membuat bosan. Saya ingin itu, namun di lingkaran terkecil saya mungkin hal itu sudah terjadi berulang kali hingga rasa excited menjadi biasa saja dan saya lebih mencari kawan yang bisa diajak ngobrol ngelantur kemana saja, as long as I can make myself relevant.
ternyata keyboard baru dikantor itu enak beut buat ngetik ngetik
dewasa dan waktu yang semakin sedikit
sebuah kata dari kunto aji dalam tweet-nya baru baru ini adalah “semakin dewasa teman kita semakin itu-itu aja”.
gila-nya secara sadar tweet itu adalah nyata buatku. semakin kesini, aku semakin merasa lingkaran pertemananku mengecil dan menyempit. Oke, variabel real-nya: janjian hari senin ketemuan-nya justru minggu depan, atau bahkan di-cancel, gajadi ketemu. Janji mau tapping rekaman untuk podcast bareng, udah ketemu hari-nya terus ditungguin malah gadateng.
sebenarnya aku ngga ambil pusing dengan janji-janji yang akhirnya tidak jadi itu. Masalahnya, semakin kesini aku merasa waktu untuk berbagi itu semakin mahal dan sulit. Padahal kupikir semakin dewasa semakin bebas kami dari belenggu waktu atau demand lainnya sehingga kita mudah ketemu sebagai teman ngobrol dan menghabiskan senja dengan secangkir kopi atau menulis dan menggambar bareng.
Where did all go wrong, atau mungkin where did the good times go?
brush calligraphy
oke, kali ini saya tidak akan berfilosofi ala-ala tentang artwork handlettering.i simply want to tell why i love brush calligraphy sebagai salah satu cabang seni handlettering dan kaligrafi.
because of it’s simplicity. yep,brush calligraphy is very simple. dan sebenarnya, mendefinisikan paradoks di dalam handlettering: simpel, sederhana. dua kata ini sangat ringan dan mudah menipu mereka yang ingin berkecimpung di seni tipografi.
mengapa? karena handlettering tidak se-simple visualnya!
mata kita akan sangat mudah menerima informasi bahwa huruf-huruf dalam handlettering karena keterlihatannya yang menarik, komposisinya yang santai, dan pesannya yang mudah ditangkap. Legible, dan readable. kita akan sangat mudah mengira karya tersebut pasti juga mudah membuatnya. percayalah hal tersebut tidak mudah
brush calligraphy adalah salah satu bagian dari tipografi yang sangat technical karena style ini ditumbuhkembangkan sesuai dengan cara menulis dari masing-masing individu. normally, kita (kaligrafer, atau handletterer) hanya patuh pada empat hal; turun tebal, naik tipis, kemiringan huruf dan jarak antar huruf. keempat poin ini adalah ilmu dasar kaligrafi dan selebihnya adalah improvisasi yang luar biasa datang dari rasa penasaran kami akan sejauh mana kami bisa menulis huruf yang terlihat indah, asyik, kompak dan harmonis.
improvisasi barangkali adalah letak dimana brush calligraphy adalah satu dari sekian banyak style menulis indah yang sangat demanding. ambil contoh tip brush pen yang mekar dapat mempengaruhi hasil goresan karyamu, tangan yang tidak boleh gemetar atau berkeringat ketika menarik pena karena akan memengaruhi hasil karyamu, tinta pulpen yang kita anggap hampir habis tapi justru menghasilkan tone yang apik. hal-hal tersebut sangat dinamis and it’s very tricky.
jika diperhatikan, dinamika dalam berlatih brush calligraphy selalu muncul dari alasan yang sangat personal. mood ketika berlatih, kekurangan atau kesulitan mendapatkan alat sehingga berhenti menulis, dan lain sebagainya. itu mengapa kaligrafi tidak pernah semudah yang kita lihat, mungkin sepertinya mudah, tetapi ada banyak cerita dari proses menciptakannya yang mungkin membuat kita berfikir bahwa tidak ada karya yang mudah diciptakan even if it looks simple. sementara, juding the art by it’s appearance akan membuat pelaku atau senimannya berfikir dua kali, atau bahkan berhenti berkarya jika mereka rasa apresiasi yang mereka harapkan ternyata justru tidak baik atau malah menyerang karya-karyanya.
so, i love brush calligraphy not only it’s beautiful but also it’s very technical, demanding and challenging. side note; i love challenges
Bagaimana rasanya menjadi orang yang kalah?
Bagaimana rasanya menjadi orang yang kalah?
Bagaimana rasanya hal-hal kecil yang pelan-pelan kamu kumpulkan dengan sepenuh hati, pada akhirnya hanya untuk didorong jatuh, hancur, rusak bagaikan runtuhan bangunan yang perlahan rata oleh tanah oleh hal-hal yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya?
Aku tidak pernah merasakan keduanya, tapi aku pernah dikhianati oleh perasaan yang hampir sama dengannya.
Hal itu pertama terjadi ketika aku tidak berhasil menginput skripsi pada smester ke-11 dimasa perkuliahan. Secara perhitungan, aku sudah mengumpulkan semua kartu mahasiswa ku sejak pertama kali di bulan agustus, lima tahun silam. Siang dan malam ku data satu per satu mata kuliah mana yang belum ku ambil, setidaknya, untuk mencapai persyaratan bisa memasukkan mata kuliah skripsi pada portal akademik kampus.
Pada akhirnya, perhitunganku salah. Aku terpaksa akan bisa mengambilnya pada smester depan, yang berarti tahun ke-6. Dan kesalahan itu lucunya muncul pada saat paling akhir perjuanganku, seakan ingin mengatakan bahwa usahaku telah sia-sia. Aku gagal.
Pagi hari pertama kegagalanku adalah sarapan pagi bersama kedua senior yang satu kos denganku ; mas bayu dan tendra. Tendra mungkin satu tahun dibawah angkatanku tapi di kosku dia termasuk yang lebih dulu tinggal disana. Tendra dan mas bayu mencoba menghiburku dengan sarapan bersama ditempat biasa kami menyantap makan siang ataupun sore. Namun hasilnya buruk, aku hanya menyantap satu atau dua suap dari makananku, isyaratkan bahwa pikiranku keruh, terlalu banyak beban yang tengah menghantui alam fikirku.
Meskipun pada sorenya, aku sedikit bisa tersenyum ketika melihat postingan mas bayu yang memberikan dukungan moral dengan memberiku wejangan bahwa dunia tidak berakhir dengan kelulusan yang tertunda.
Namun kali ini, ujian hati itu kembali. Dan lebih menyedihkan lagi itu datang dari keluargaku sendiri ; ibu.
Sudah hampir 5 bulan sejak aku pulang kerumah, aku membuka kelas untuk teman-teman di kampung halamanku belajar menulis indah dan menggambar. Layaknya seorang anak yang baru lahir ke dunia, bulan-bulan pertama kelasku sangat menyenangkan, penuh energi, dan dengan beberapa bagian diriku yang telah hilang, kembali menemukan arti untuk terus berjuang dijalan yang kuyakini itu baik.
Hingga malam itu, ketika aku pergi kerumah nenek, disanalah luka lama itu kembali. Aku baru saja selesai dari ngobrol dengan teman-temanku sore harinya. Lalu ayah menelpon untuk segera menyusul ke rumah nenek malam nanti, nenek kebetulan masak dan biasanya meminta cucu-cucunya untuk datang dan makan.
Kuambil makananku dan duduk di kamar sepupuku sambil menonton. Setelah selesai dengan makananku aku kembali dengan tasku yang kutaruh sebelumnya di kamar sepupuku tadi, hendak melanjutkan beberapa pekerjaan.
Lalu sayup kudengan ibu sedang ngobrol dengan tante yang itu kakaknya tentang kelasku. Seolah aku tidak ada di rumah, ibu menumpahkan segala unek-uneknya ke tante, bahwa kelas selalu terlalu lama secara waktu, kadang bikin dirinya resah karena teman-temanku pulang larut, kadang menyesalkan harus terus memakai jilbab karena mereka belum pulang, dan sebagainya. Sebenarnya itu masih dalam batas wajar dan aku masih sanggup menahannya. Hingga saat aku mengintip sebentar kedepan dan ternyata seluruh keluarga nenek ada disana mendengarkan curhatan ibu, aku pun hancur.
Jika ibuku sendiri saja mengeluh dengan usahaku membuat kelas dan mengajar di rumah, lalu ngapain aku selama ini berjuang? Kenapa dia tidak pernah bilang kepadaku kalau kelas hanya memberatkannya saja? Bagaimana bisa dia bicara seperti itu?
Kepalaku langsung berat. Niatku membuka pekerjaan yang ada di tasku langsung hilang. Seketika ide dan tenagaku untuk menggambar buyar. Aku tenggelam dalam sayup sayup pembicaraan ibu dan tanteku yang semakin lama semakin mengiris, sakit.
Aku memang bukan tipe orang yang kuat secara fisik, dan aku bukan tipe orang yang lugas dalam setiap tindakan. Aku mungkin juga bukan orang yang dapat begitu saja menahan perih, tersenyum sebagaimana dunia yang bohong ini, seakan semua baik-baik saja. Aku adalah jiwa yang terabaikan, rusak, dan ditinggalkan. Ditinggal pergi oleh aku yang dahulu pernah lahir dalam kebahagiaan, keceriaan, selalu tertawa, melamun tentang masa depan, merangkak, berlari dengan bangga. Aku telah ditinggalkan oleh hal-hal menyenangkan itu.
Aku yang kini adalah pecahan hati yang berusaha memungut alasan-alasan receh untuk terus melanjutkan hidup. Aku hampir tidak ingin membicarakan tentang masa depan dengan siapapun. Aku bekerja karena kepalaku ingin aku melakukannya. Aku tidur dengan pikiran yang selalu tidak bisa diam hingga malam larut. Aku menolak menyukai apa-apa dari diriku, mengumpat kadang menghinakan diri sendiri dengan mencaci dan memaki disetiap aku melihat pantulan wajahku di cermin. Aku tidak lagi tahu kapan harus bahagia dan kapan harus sedih, aku tidak lagi merasakan indahnya dicintai atau nikmatnya mencintai.
Dan ketika dengan segala kehancuran dan apa-apa yang telah hilang itu ada pada diriku, seseorang yang sangat dekat dengan kehidupanku, melahirkan dan membesarkanku, dengan mudahnya, membuka luka pada diriku dan aku rusak.
Ya, aku rusak. Mungkin untuk beberapa waktu.
Berhenti berfilosofis seakan kau adalah guru semesta raya, puih
Merayakan rindu part sekian
Hidup tidak pernah ramah dengan orang orang seperti kita, yang berjalan sedikit lebih jauh, tenggelam sedikit lebih dalam, mencari sedikit lebih lama, berteriak sedikit lebih keras, gelisah sedikit lebih risau, demi memberikan sesuatu yang bermanfaat untuk kehidupan di masa selanjutnya Ada saatnya ketika sembilan kali kebenaran luluh hanya karena satu kali berbuat salah, ego yang selalu lebih besar dari pada dari isi kepalanya, mimpi yang selalu menjadi nyata daripada melakukannya, ratusan jiwa yang dipaksa lenyap hanya karena satu kepentingan dan cita-cita, melawan langit yang tidak pernah memberikan bumi kesempatan untuk melompat, dan akan selalu seperti itu Dan jawaban yang selalu tidak didapatkan dalam hidup ini sebenarnya disimpan untuk dikemudian hari menjadi energi untuk kembali dari kepingan kepingan hidup yang telah hancur, luluh, berdarah Hanya untuk hanya menemukan manusia dengan alam semesta yang sebenarnya tidak peduli dengan ketidakramahan dunia, ataupun hidup, karena dia selalu ada, menunggumu untuk kemudian ditemukan
Pertempuran terbesar di dalam hidup saya akan selalu tentang berdamai dengan orang tua saya. Kami bagaikan hitam dan putih, yin dan yang, ngga pernah bisa menerima satu dan yang lain, selalu ada intuisi untuk terus berbeda, dan begitu seterusnya. Saya sebenarnya berada di titik kekhawatiran yang sangat, apakah kematian adalah jawaban untuk meredakan peperangan ideologi ini, apakah harus ada salah satu diantara aku atau orang tuaku yang dihilangkan Tuhan nyawanya hanya untuk mendamaikan segala sumpah serapah dan pertikaian yang tak kunjung reda? Karena posisi anak terakhir di dalam hierarki keluarga bisa berarti sangat beruntung, ataupun juga sial. Celakanya saya ada di bagian terburuk bukan beruntung ataupun sial. So it's true. Family is always matters, but what matter most, is we cannot fight the war among ourselves, alone
Life Expectancy dan Jodoh
Orang Indonesia ngerasa kalau 25 tahun itu udah cukup berumur (baca : tua) karena mostly orang Indonesia yakin kalau kita hidup hanya sampai 60 tahun.
Padahal, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Angka Harapan Hidup atau Life Expectancy (singkatan : LE) di Indonesia cenderung meningkat. LE perempuan di Indonesia sudah mencapai 72.59 tahun sedangkan laki-laki 68.87 tahun. Statistically, hal ini menunjukkan bahwa kualitas hidup di Indonesia meningkat dan kita bisa hidup sampai usia tersebut. Berita bagus kan? Jadi kalau misalnya ditanya kok belum ketemu jodohnya jawablah dengan tersenyum tenang sambil berkata “Hidupku dan hidupnya masih panjang. Kita pasti akan bertemu pada saatnya” kemudian sodorin data BPS diatas. Saya yakin yang nanya pun akan terdiam :P
Kalau bicara LE, semestinya tingkat kegalauan perempuan dan laki-laki seusia saya harusnya bisa berkurang. Kenapa? (insyaallah) usia kita dan (calon) pasangan masih panjang. Jadi sebenarnya nggak usah takut dengan istilah ‘keburu mati’ ataupun ‘keburu tua’ walaupun kita tahu bahwa kematian dan jodoh itu milik Allah swt. Let say, 25 tahun adalah usia dimana perempuan menikah. Jadi sebenarnya perempuan yang menikah di usia 25 tahun itu baru menjalani 0.33 usia LE. Kesimpulannya, usia kita masih panjang sekali. Lalu apa hubungannya LE dengan kegalauan yang harusnya bisa berkurang?
Kegalauan adalah topik yang selalu berada di sekitar kita. Terutama untuk perempuan pada usia saya yang belum ketemu dengan jodohnya (baca : saya). Stereotype masyarakat soal ‘telat nikah’ dll selalu melekat pada siapapun yang belum menikah terutama untuk perempuan. Stereotype tersebut yang sebenarnya menjadi sumber kegalauan. Padahal sebenarnya nggak perlu galau dengan stereotype. Stereotype memang dekat dengan artian yang negative tapi stereotype tersebut juga memiliki standar yang berbeda di setiap orang. Jadi sebenarnya, kita nggak perlu galau dengan segala macam cap yang mereka berikan karena pada dasarnya mereka berasumsi dan asumsi itu nggak ada evidence based nya jadi ya nggak usah dipikirin. Sesuatu yang nggak memiliki standar yang sama itu nggak bisa dijadikan acuan.
Balik ke LE, karena usia menikah orang juga berbeda-beda, kita nggak bisa memukul rata kalau orang tersebut ‘telat nikah’ atau ‘terlalu tua’ untuk menikah. Kalau kita sudah berusaha maksimal kenapa kita mesti pusing berpikir pendapat orang? Toh Allah Maha Melihat dan Maha Tahu kalau umatNya sudah berjuang. Banyak perempuan yang khawatir dengan pertambahan usianya risiko terhadap kehamilan semakin besar atau kemungkinan punya anak yang semakin kecil. Namun, seringkali kita lupa bahwa hamil adalah peristiwa yang diizinkan oleh Allah swt. Pada dasarnya, anak adalah titipan Allah swt. Saya cukup banyak membaca soal cerita berjuang memilki anak dan kesimpulan akhir yang saya dapatkan : anak adalah hak prerogative Allah. Allah bisa memberikan ke siapapun yang Dia kehendaki.
LE merupakan salah satu acuan kesejahteraan suatu Negara. Kalau LE kita bagus, bersyukurlah guys karena kita hidup di Negara yang (menurut LE) cukup baik untuk hidup. Indikator LE itu buat saya merupakan anugerah Allah buat bangsa ini karena ya….. bangsa ini punya change yang cukup besar untuk menambah hidupnya secara kuantitas dan kualitas. Percaya deh, walaupun LE itu nggak menjawab kegalauan kita soal jodoh paling nggak kita cukup tahu kalau usia kita cukup panjang untuk menikah dan membina rumah tangga. Nggak ada kata ‘telat nikah’ atau ‘ketuaan’ menurut orang. Jadikan aja LE sebagai pengukur buat diri kita sendiri. So, no more galau.
Kesimpulannya, asumsi, stereotype atau apapun itu yang nggak ada evidence based nya nggak bisa kita jadikan standar. Biarkan mereka memiliki standar apapun terhadap kita karena basically, standar mereka pun nggak relevan terhadap kehidupan kita. Pendapat orang lain ambil baik-baiknya aja selebihnya anggap angin lalu kalau sifatnya sudah poisonous.
Salam semangat memperbaiki diri.
Cinta itu sederhana, hanya anak anak muda indonesianya aja yang sok rumit
Mencari makna kemanusiaan
while we’re living, the dreams we have as children fade away
while we’re living, the dreams we have as children fade away
they’re gonna fade away, away, away
fade away, away, away
oasis - fade away (warchild version)
mari memulainya dengan bertanya pada diri sendiri, ketika kecil apa kalian ingin menjadi apa?
saat kecil, entah apa yang membuat saya ingin menjadi seorang professor. saya begitu tidak hirau dengan definisi fisik professor kebanyakan orang yang berpakaian serba putih, berkacamata dan membawa peralatan untuk penelitian, saya simpel berfikir bahwa setiap orang yang membawa kaca pembesar (LUV) adalah professor, pokoknya yang pake kacamata terus bawa luv dia pasti professor.
sangat konyol dan kadang saya geli sendiri
saya belum berhenti disitu. dijaman saya kecil, saya sangat antusias dengan buku RPUL (Rangkuman Pengetahuan Umum Lengkap). sebuah buku yang cukup tebal dan tidak sangat keren untuk ditenteng ke sekolah, yang berisi soal dan intisari pelajaran SD, dibagi berdasarkan caturwulan (sistem pembagian smester per empat bulan zaman Orde Baru-Reformasi), lucunya buku ini saya bawa kemanapun saya pergi, hanya untuk kemudian membaca dan melihat gambar-gambar dari halaman pertama hingga lembar terakhir sebelum sampul.
percayalah masa kecil saya seaneh itu.
tapi setelah hampir seperempat abad hidup, ngga ada tuh bau-baunya saya pengin jadi professor. dan ternyata gambaran professor zaman kecil pun berubah drastis, dulu saya begitu yakin bahwa setiap orang berpakaian putih dan membawa luv berarti professor. dikemudian hari saya menertawakan diri sendiri karena kenyataannya professor tidak bergestur seperti itu, tidak dengan kaca pembesar dan berbaju putih. setelah lulus kuliah, saya praktis memilih jalan menjadi pekerja desain grafis, dan perlahan menjauh dari lingkungan dan ekosistem kehidupan akademis tinggi. meskipun ayah saya adalah seorang dosen, toh saya tetap kekeuh memilih untuk tidak bersinggungan dengan kehidupan kampus dalam arti menjadi tenaga pengajar dan berkutat dengan riset yang penuh sarat ilmu pengetahuan, setidaknya belum.
so much true for the children’s dream fading away, life did happened
saya lantas seringkali bertanya apakah sebenarnya saya masih memiliki angan seluas mimpi saya sewaktu kecil, masih adakah waktu bagi saya untuk menjadi apa yang saya inginkan dari diri sendiri, apa sebenarnya mimpi dan apa sebenarnya yang dicita-citakan saat ini?
karena kadang-kadang hidup datang mendahului mimpi, realitas. dan itu mengubah manusia sebagaimana bunglon merubah warna kulitnya dimana dia berada, sederhananya ; beradaptasi. kemampuan manusia beradaptasi dengan lingkungannya menciptakan proses pendewasaan diri sehingga ada hal-hal yang dikorbankan untuk tetap melanjutkan hidup
saya dengan sangat sadar sudah merelakan mimpi kecil saya menjadi seorang yang mengenakan jas lab putih panjang, memakai kacamata nerdy, menenteng beberapa dokumen penuh riset dan menuju laboratorium. saya menukar mimpi untuk melanjutkan hidup, menemukan manusia.
12 tahun hidup saya dihabiskan untuk bersekolah di Jawa, mulai dari SMP hingga bangku kuliah. praktis saya menemukan kultur baru dan ekosistem manusia yang baru berbeda dari kampung halaman saya.
awalnya saya mempelajari hal-hal sederhana yang ditawarkan dari menjadi manusia, dalam pertemanan, pergaulan, kuliner, event budaya dan hal-hal lainnya. dengan pengalaman dan hidup seperti itu, saya mulai membangun cita-cita akan hidup untuk menemukan manusia dimana dapat bertukar pikiran, berdiskusi rasa, berbagi keresahan, menciptakan resolusi, apapun itu demi kelanjutan masa depan. awalnya, saya memproyeksikan cita-cita ini dengan berkeinginan menetap di Jawa, tapi menyadari bahwa resikonya cukup besar, saya praktis membatalkannya, karena seiring kedewasaan bertambah tampaknya kebutuhan hidup tersebut bergeser kepada hal lain
seiring waktu dan hidup terjadi, tampaknya akan selalu ada hal-hal berasaskan cita-cita yang terus diambil dari manusia oleh Tuhan
ada keyakinan yang selalu mempercayai bahwa manusia memiliki hati dan jiwa, memiliki akal dan naluri, memiliki persepsi dan determinasi, hanya kemudian muncul satu hal dari manusia yang sampai saat ini saya belum memahami ; kemanusiaan. saya tidak tahu pasti apa itu kemanusiaan, yang jelas, humanitas adalah cita-cita manusia mewujudkan haknya sebagai manusia.
dan sebagaimana cita-cita terkadang tidak sejalan dengan hidup, atau lebih tepatnya, diambil dari hidup.
Juli 1998, 16 tahun yang lalu seorang sastrawan dan aktivis asal Solo menghilang dan keberadaannya tidak diketahui hingga detik ini.
September 2007, sepuluh tahun yang lalu aktivis HAM diracun diudara dan meninggal, menyisakan tanda tanya besar terhadap alam justitia di tanah air
dua kasus, berbeda zaman, satu hasil yang sama : mati, padahal mereka hanya punya kebenaran yang sederhana.
saya boleh membawa pulang, kembali kepada masa dimana negeri ini pernah takut dengan kata-kata. pernah ada tiga dekade dalam hidup manusia di Indonesia dimana mulut dan kata dibungkam, pernah ada masa dimana cita-cita seluruh rakyat di tanah air, adalah kebebasan mengungkapkan kata-kata, menyuarakan suara dari mulut yang 32 tahun lamanya dilarang bicara, apalagi berteriak.
dan tanah air cukup butuh satu orang untuk menggetarkan tirani yang berdiri sepanjang tiga dekade, lewat kata-katanya.
muncul banyak manusia Indonesia yang mencoba mewujudkan cita-cita ini, dan banyak pula ‘hidup’ yang merenggut mimpi-mimpi mereka. gugur tanpa jasad, hilang tanpa rupa, lenyap tak bersisa. mereka diburu, mati, ditembak, dihilangkan, dienyahkan, karena memang hidup pada masa itu tidak menghendaki cita-cita mereka abadi. tapi selayaknya sunatullah perlawanan dan kita sangat familiar dengan peribahasanya, bahwa mati satu tumbuh seribu. satu orang dari mereka yang maju mewujudkan cita-cita mati ditelan hidup, tumbuh seribu sumbu dengan nyala api yang siap membakar kejamnya hidup, mewujudkan mimpi. takkan pernah padam
hingga cita-cita itu terwujud ketika saya baru lima tahun menjalani hidup di dunia. panggung dunia pun tertuju kepada tanah air yang menyambut era baru setelah orde baru.
mereka mati dan hilang demi menyemen keabadian cita-cita manusia Indonesia, mengentaskan kata-kata, saya takjub karena meskipun mereka ditelan hidup yang tidak sempat mewujudkan kata-kata itu, suara mereka justru tetap hidup dalam nyala api perlawanan. selalu ada peringatan kamis sore di istana presiden, berpakaian serba hitam dan membawa payung hitam, sebuah gestur akan simbol perjuangan menolak lupa, selalu ada kampanye kampanye yang meminta keadilan atas nyawa-nyawa mereka yang hilang. selalu ada rekonsiliasi sastrawan dan penggiat sosial, dibawah payung solidaritas, memperjuangkan hak-hak manusia lainnya yang tertindas, tergerus hidup yang tak ramah, diambil yang merasa lebih kuat, orang-orang baru inilah wujud abadi kata-kata mereka yang tidak sempat merasakannya di dunia, karena suaraku lebih keras daripada dari atas bumi!
dan epilog perjuangan mereka telah selesai, lalu bagaimanakah dengan perjuangan kita?
salah satu yang menguntungkan dari zaman bebas berkata-kata ini adalah kita tidak lagi memiliki keterbatasan informasi, aspirasi, dan inspirasi. era modern sangat borderless, tanpa batas. kita bisa mengetahui apapun yang terjadi di belahan dunia lainnya diluar Indonesia.
disinilah sebenarnya perlawanan kita mulai. variabel cita-cita manusia lainnya yang mendekati cita-cita kemanusiaan adalah agama. semua orang bebas memilih beragama atau tidak memeluk agama, saya sangat paham itu. banyak sekali agama yang diyakini, dianut dimuka bumi ini. entah itu memiliki sistem ketuhanan yang pasti ataupun diciptakan berdasarkan pada pemikiran-pemikiran. tapi, sebagaimana sebuah cita-cita yang bebas, saya merasa ada satu garis cita-cita diantara mereka yang beragama ataupun tidak beragama yang saling berhubungan.
yaitu damai.
mencita-citakan perdamaian adalah mimpi semua manusia beragama. saya ingin meyakini bahwa setiap agama pada dasarnya diciptakan untuk memberikan kedamaian kepada manusia, bahwa damai ada diciptakan untuk menenangkan manusia dari kekejaman dunia yang mampu merengut jiwa-jiwa mereka kapanpun dunia mau, bahwa damai menjernihkan kekusutan, kekhawatiran, kecurigaan diantara manusia dan memilih untuk tetap menghormati yang berbeda pendapat, menghormati yang mengambil jalan yang berliku, mencintai dan memelihara yang satu arah
lalu perang datang merusak segalanya
Tuhan selalu menciptakan hitam dan putih untuk manusia dan dunia ini. ada baik dan buruk, ada jernih dan keruh, dan jika ada damai maka sangat pasti ada perang. kedua sisi yang berbeda dan selalu hadir dekat dengan kehidupan kita, dengan atau tanpa kita sadari
dan perang adalah sisi berbeda yang sangat kelam, saya tidak tahu apa yang dipikirkan Tuhan menciptakan perang, tetapi saya melihat nyata dampaknya, nyawa manusia adalah mainannya, darah dan air mata adalah nyanyiannya, desing peluru dan dentuman keras adalah instrumennya, politik dan tirani adalah kuratornya,
dan bagian terjahatnya adalah perang membuat semua agama menjadi bermusuhan. ini sangat buruk, agama yang seharusnya menjadi dogma yang diyakini memberikan kedamaian bagi umat manusia berubah menjadi alasan utama setiap dari mereka mengangkat senjata dan membunuh. meskipun saya percaya bahwa ada agama-agama yang berbicara tentang perang, tapi rasanya itu adalah cara paling terakhir untuk mempertahankan diri jika keyakinan terancam dan agama itu terancam punah
bicara soal cara terakhir, mengingatkan kita kepada suriah.
memang perang atas nama agama takkan pernah berakhir, akan selalu ada intrik, politik, dogma, alasan hal konyol untuk menyatakan perlawanan, tapi mengingat kalau perang ini harus merengut nyawa manusia yang tidak terlibat sama sekali dalam pertikaian agama, hidup selayaknya manusia biasa dan memiliki anak dan istri, saya rasa sudah keterlaluan. hari ini, pagi ini, detik ini bisa jadi saat terakhir bagi anak-anak dan masyarakat disana yang sudah tidak mampu lagi berlari menyelamatkan diri, atau mungkin tertimpa runtuhan bangunan yang hancur oleh bom, atau juga peluru yang melesat menembus tubuh-tubuh kecil mereka. saat saya menulis ini bisa jadi saat terakhir bagi anak kecil suriah merasakan nafas-nafas kehidupan dan cita-cita mereka untuk melanjutkan hidup.
kita sedang diambang kelunturan kepercayaan akan kemanusiaan dan peran agama. sangat sulit menemukan kebenaran diatas ketidakadilan yang menggurita dan bersembunyi dalam gelap, yang benar dan yang salah semakin tersamarkan, who sided who, who betrays who. banyak dari kita yang tidak mengetahui lagi mana yang benar atau salah, sadarilah bahwa kita sedang hidup pada zaman penuh tanda tanya dan abu-abu. diantara manusia dan agama, diantara kemanusiaan dan perdamaian. diantara cita-cita dan hidup yang tidak pernah ramah.
dan jika mengingat bahwa anak-anak itu menangis, teriak untuk lari, parau rintih mereka seakan suara bahwa menyelamatkan hidup dan melanjutkan hidup menjadi cita-cita mereka, rasa-rasanya sangat wajib kita untuk iba dan kasihan.
ketika saya kecil saya belum mengerti bagaimana caranya untuk memulai perlawanan, bagaimana cara untuk memukul balik. saat ini, ketika cara memukul balik sangat berlimpah tekniknya, saya tidak ingin hanya diam. okelah katakan saya pekerja desain grafis, hidup dari menciptakan karya dan seni desain, tapi bukan berarti saya apatis dengan apa yang terjadi di sekitar saya, dan sangat dekat dengan saya. tidak sekali-kali tidak
siapapun kita, selalu ada cara untuk melawan balik, dan sudah saatnya kita memukul balik.
Trivia :
“suaraku lebih keras daripada dari atas bumi!” adalah perkataan Tan Malaka sebelum dirinya dihukum mati
“oasis - fade away (warchild version)” pada versi ini, Johnny Deep (Pirates of Carribean) memainkan slide gitar, Liam Gallagher menjadi backing vocal dan Noel Gallagher gitar dan lead vocal. Warchild adalah organisasi Britannia Raya, berdiri di tahun 1993 yang bergerak untuk menanggulangi anak-anak korban perang seperti di Yugoslavia, Afganistan dan wilayah-wilayah rawan konflik lainnya di dunia. lagu ini dirilis dalam album kemanusiaan, The Help Album bersama artis lainnya (1998).
“negeri ini pernah takut dengan kata-kata” diambil dari Istirahatlah Kata-Kata, rekapitulasi film semi-autobiografi Wiji Thukul yang premiere pada 19 Januari 2017.
“who sided who, who betrays who” pledoi Donquixote Doflamingo dalam perjalanan menuju Impel Down, One Piece, Eichiro Oda.
PS : tulisan ini sekiranya donasi karya untuk acara Happink Project ; Humanity for Aleppo, dan lettering artwork diatas akan disumbangkan sebagai sampul merchandise notebook dalam acara amal tersebut. terimakasih telah membaca keresahan ini semoga kita bukan bagian dari hidup yang dengan kejamnya memilih untuk mendiamkan diri anak-anak suriah yang berjuang hidup mati mempertahankan cita-cita melanjutkan hidup.
(refleksi) seberapa berisik-kah ide di kepalamu?
dalam kasus psikologi terkadang muncul kondisi fisik manusia dimana kepala merasakan dengung di telinga, diikuti dengan reaksi tubuh yang seperti turun mesin, visualisasi indera berbayang atau muncul bintik bintik, tentatif, dan lain sebagainya.
denging
saya bukan dokter dan ahli dalam bidang tersebut. penjelasan diatas murni hasil interpretasi bodoh saya menguraikan nuansa yang terjadi ketika gejala denging terjadi, dan percayalah tulisan ini tidak akan membahas tentang itu (silahkan kunjungi tumblr @dokterfina untuk bertanya masalah kesehatan dan hati #eh)
lalu yang ingin saya highlight ada pada ‘noise’ tadi, pada ‘berisik’ yang timbul akibat berbagai faktor gejala serta penyebabnya yang secara medis akan menimbulkan pengang telinga.
saya ingin menganalogikan denging tersebut dengan ide, kreativitas.
oke, anggaplah banyak faktor kesehatan tubuh yang apabila terganggu akan menimbulkan masalah yang kemudian kita kenal dengan istilah penyakit. tapi, ‘berisik’ yang saya tulis disini bukanlah penyakit melainkan letupan-letupan ide yang kadang mondar-mandir, berlalu-lalang melintasi benak.
seperti saat ini saya menulis tentang berisik, karena sedang mengalami kebuntuan yang menjemukan. akhir-akhir ini cukup miskin ide, lamban dalam mengeksekusi dan cenderung mengerjakan sesuatu yang justru kurang bermanfaat. saya jadi rajin nongkrong di warung hingga berjam-jam, menonton youtube disaat tubuh sedang segar-segarnya, tidur pagi, hal-hal seperti itu yang kemudian secara piskis menurunkan kinerja saya. saya jadi mudah sekali lelah, padahal baru bangun tidur yang secara ilmiah meremajakan sel sel tubuh agar fresh kembali.
dan hal yang paling menyedihkan adalah kepala ini tidak lagi berisik dengan ide
sebagai gambaran, seniman adalah orang-orang yang mencintai ide, imajinasi, atau bahkan impian. mereka bekerja dengan cara mereka sendiri-sendiri, yang salah satunya mungkin adalah dengan mempekerjakan ide. variabel-nya seperti dalam satu hari adanya keharusan untuk menciptakan sebuah karya utuh, dalam satu hari harus menulis dan mem-posting-nya di tumblr, dalam satu hari harus menyicil mock-up desain, dan sebagainya. bagi saya pribadi itu adalah contoh secara gamblang seniman yang mempekerjakan ide.
termasuk dalam hal ini adalah saya
tapi saya kemudian lupa, selayaknya bekerja tentu ada resiko yang sebenarnya harus dipahami dan dimengeri sejak awal. semacam Memorandum of Understanding (MoU) yang harus disepakati dalam dunia professional. ada perjanjian-perjanjian sebab akibat yang terjadi antara ide (perwakilan Rahmat Tuhan), dan otak sebagai perwakilan pihak manusia, dan persetujuan itu yang saya tidak paham apa isinya.
saya akhirnya mencari tahu dengan melakukan pekerjaan saya sebagai seniman, dan terjadilah banyak pengalaman hidup yang menjadi jawaban pertanyaan saya akan isi perjanjian ide dan otak. hal-hal seperti ide akan selalu datang setiap hari, tapi tidak memberikan jaminan waktu kapan datangnya, otak yang menggaransi ide untuk memerintahkan tubuh agar terus bekerja menciptakan karya meskipun raganya telah hancur dalam lelah, berlepas tangannya otak jika ide macet dan tidak datang setiap saat. poin-poin analogis ini muncul begitu saja dengan perwujudan yang saya tanggung dengan bermalas-malasan, tidak mengerjakan proyek desain pada waktunya, menunda dan menggampangkan kerjaan, dan lain-lain.
saya tanpa sadar sedang dalam resiko menjadi pekerja seni, dan saya dalam proses mengetahui hitam dan putihnya bekerja di dunia ide dan seni.
inilah yang kemudian menjadi alasan mengapa saya menciptakan tulisan ini, tentang seberapa berisiknya isi kepala dengan ide sebagai lalu lintas utamanya. berisik ini sebenarnya tidak ada dalam perjanjian diantara pihak otak dan ide, ia lantas berdiri in-between, di tengah-tengah.
maksudnya?
noise atau berisik dalam sudut pandang saya adalah cara manusia bertanya kepada dirinya sendiri akan masalah-masalah yang terjadi dan berdampak, entah berimpak langsung ke diri sendiri, atau lingkungan sekitarnya. menariknya, bertanya disini adalah perogratif, dan sebenarnya wujud hak dari keduabelah pihak.
ide sebenarnya mungkin saja bertanya kepada otak manusia apakah dia sanggup menerima tamu diluar jam istirahat kantor, otak mungkin saja bertanya apakah mungkin untuk melanjutkan pengerjaan ide dihari esok atau berikutnya, dengan beberapa syarat atau alasan, dan sebagainya. permisalan-permisalan inilah yang sebenarnya adalah bentuk uraian kompleks dari sekedar menyebutkan merenung tentang diri sendiri, tentang jiwa, tentang hati. ia adalah definisi konkrit tentang tafakur, muhasabah, dan ngaca.
dan ketika kedua belah pihak terus berkomunikasi dengan memunculkan pertanyaan-pertanyaan, terjadilah kumpulan suara-suara yang kemudian menjadi bising di kepala, berisik.
salah satu advertising yang menjawab permasalahan saya akan dunia ide dan otak adalah billboard ini.
perusahaan nyata sebesar Sampoerna Tbk, berani menggaet frontman band indie yang paling dicari tahun 2016 (Bara Suara), mengartikan ‘berisik’ dengan cara mereka sendiri. saya cukup malu merasa diri sendiri kerdil jika membandingkan berisik saya dengan berisik-nya mas iga, pasti akan sangat konyol. tapi sekiranya saya lega, karena ada manusia lain di luar sana yang benar-benar memilih jalan berisiknya dengan bermusik, tapi dengan caranya itu mendobrak pintu kekolotan industri musik yang mengalami degradasi cita-cita musik dan terus mengutamakan isi dalam rok pendek dan paras wajah putih.
dan setiap pekerja seni seharusnya sudah mulai bertanya dan menciptakan berisik di kepala masing-masing, mulai berdamai dengan ide dan otak dalam memilih momentum untuk menciptakan karya, mendisiplinkan diri sendiri, menata keseimbangan hidup, mengurangi keterbisaan yang terkadang meledak-ledak meminta apresiasi. berisik berarti berani bertanggungjawab atas resiko, mampu menjalani rangkaian proses yang tidak selalu sederhana, sanggup bertahan dan menelan sesuatu yang terkadang tidak seperti dengan apa yang diinginkan
berisik membuatmu bertahan untuk tetap kreatif dan idealis.
Ps : terimakasih telah membaca kekusutan isi kepala ini. sebelumnya saya melanggar aturan diri sendiri dengan membuat postingan diluar jadwal yang sebelumnya terbit setiap hari sabtu, menjadi jum’at. tulisan ini sekiranya adalah permohonan maaf atas hal tersebut dan saya akan berusaha untuk mengembalikan keteraturan itu pada minggu ini dan minggu-minggu selanjutnyaterimakasih.
Merayakan Kita
Satu satu daun berguguran Jatuh ke bumi dimakan usia Tak terdengar tangis tak terdengar tawa Redalah reda
Satu satu tunas muda bersemi Mengisi hidup gantikan yang tua Tak terdengar tangis tak terdengar tawa Redalah reda
Iwan fals - tunas tunas muda
Dalam sepenggal lagu bang iwan, ada semacam pledoi aspirasi dari segenap kumpulan pemikirannya tentang anak muda, atau disini generasi muda.
Saya tidak berani menafsirkan apapun tentang lagu ini karena akan ada sudut sudut interpretasi makna yang berbeda dari penggalan lirik tadi, tapi rasa rasanya saya cukup paham tentang penyampaian maksud ‘muda’
muda adalah tentang merayakan kita
saya jadi ingat pertama kalinya bergabung dengan komunitas @kitakalimantan
Mereka muda, dan segenap masa depan dititipkan pada bahu bahu mereka, untuk kemudian melanjutkan hidup
Saya bukanlah orang yang cukup bijak dalam menafsirkan arti anak muda, tapi ada jiwa yang bergolak, mencari arti untuk kemudian memahami makna hidup, ada asa, semangat, canda tawa, marah, bahagia yang datang bergantian mengisi keseharian mereka
Dan anak anak ini mengisi makna dengan menciptakan tulisan, membangun literasi ala mereka sendiri, dengan cara mereka sendiri. Saya cukup banyak stalking, mengunjungi laman laman tumblr mereka dan membaca tulisan tulisan mereka, didalam tulisan mereka, tak terdengar tangis, ataupun tawa
they simply tell us their soul, pain, but to put it simple : keresahan
mereka meresahkan hati, dan jiwa. Kadang terluka sambil menggaruk garuk koreng kesepian, namun dalam keheningan dan gelap mereka bersuara, dalam tulisan, dalam puisi, dalam elegi ataupun monolog, singkatnya mereka berusaha berkomunikasi dengan jiwa
saya pernah berdiskusi tentang anak anak muda ini, saya kadang menemukan kemarahan dan kekecewaan “masa anak muda bisanya gitu doang”, kekesalan yang sepertinya memojokkan, seakan semua tulisan mereka adalah salah
saya paham bahwa dunia ini tidak sekedar tentang cinta, tetapi saya yakin bahwa setiap petualangan hidup dimulai dari cinta. Cinta seorang ibu merawat anaknya hingga dewasa, cinta seorang ayah menjaga keluarganya walaupun sudah lanjut usia, cinta seorang pemimpin berjalan dan mendengarkan suara lirih rakyatnya yang terhimpit kejamnya realitas gaya hidup perkotaan, cinta seorang ulama yang membesarkan santrinya hingga mampu meneruskan estafet dakwah, semua itu dimulai dengan rasa, ada jiwa yang bergerak memompa nafas untuk terus hidup, dan hidup
cinta dan toleransi-lah yang membuat manusia berdamai dengan perspektif, asumsi, dugaan yang berperang di dalam kepala mereka masing-masing, saya rasa, dengan lebih mendengarkan, saya akan lebih memahami mengapa anak anak muda ini mengambil jalan literasi melankolia sebagai wujud jiwa mereka. Dengan mendengarkan, saya mungkin bisa menyentuh tanah yang dijanjikan, dimana saya bisa berdamai dengan suara suara yang menyudutkan, yang menafikan, yang menjelekkan siapapun, atas alasan apapun.
selamat merayakan satu tahun @kitakalimantan bersemilah, dan bernas, karena kalian muda, pesan saya perbanyak membaca buku buku puisi, perbaiki kualitas diksi agar tidak salah jalan, ehehe
oh for your information (fyi) : jangan meremehkan cemburu karena seniman hebat lahir dari patah hati dan rasa cemburu. Virgiawan Listianto, penulis lagu yang saya kutip diatas, memutuskan menjadi penyanyi setelah dirinya ditolak oleh gebetannya (rekapitulasi wawancara bersama iwan fals, majalah Rolling Stone saya lupa tahunnya)
@tumbloggerkita
Mas ajari saya nulis-nulis di tembok dong.
Waalaikumsalam, gimana kalo kita bertukar kemampuan, saya ajarkan masnya kaligrafi, masnya ngajarin saya menggerakkan anak muda? Fair enough?
Fear boy, Fear!
Sudah sepantasnya seniman takut terhadap karya yang diciptakannya
Sekelibat -masih- Bergelora.
[1/9, 18:03] F A Fauzi: Btw td habis aksi aku mampir pasar gede sama huda [1/9, 18:03] F A Fauzi: Mereka menyampaikan rasa terimakasih [1/9, 18:03] F A Fauzi: Mulai dari pedagang sampai tukang parkir [1/9, 18:03] F A Fauzi: Bahkan kita gaboleh bayar parkir motor :“
Sengaja gak saya hidden namanya. Biar ngga dikira hoax. Soalnya ada banyak kalangan, yg setelah saya analisis dari kalangan sana, agar seolah hanya mereka saja yang kalo menyebarkan berita itu ngga hoax. Dan informasi-informasi yg didapatkan dan disebarkan selain dari mereka harap diteliti dan ditelusur terlebih dahulu, mungkin seolah-olah hoax. #TurnBackHoax. Meski secara gerakan saya setuju dan mendukung. Namun untuk semua berita. Semuanya. Bukan berarti merendahkan media. Sebab fakta kebenaran yang diframing dan dimunculkan media pun hari ini jg terkesan kurang adil. Butuh dikompare. Pinter-pinter.
Namanya fauzi, fk uns 14, ketua HMPD FK UNS. Temennya huda, fk uns 15, yang ini hafidz qur'an. Pasca aksi menuntut pemerintah di depan balai kota Solo, Senin(9/1) kemarin. Mereka anak-anak fk yang sebelumnya dan mayoritas diantara mereka mungkin agak risih dengan cara seperti ini.
Dari sini, saya dapat pelajaran. Jika memang menjadi keresahan bersama.
1. Pedagang, tukang parkir, yg mewakili rakyat kecil, itu membutuhkan kita. Aksi kita. Dengan cara kita. Yang kita juga punya cara banyak. Salah satunya demonstrasi mengawal kebijakan pemerintah. Tidak hanya duduk di kursi menuntut ilmu. Sebab itu siswa juga bisa. Bukan mahasiswa.
2. Kita ternyata hanya berasumsi selama ini bahwa kita sebenernya hanya berjuang untuk kepentingan eksistensi. Setelah kita aksi, barulah kita tahu. Mereka memberikan feedback. Mereka membutuhkan kita. Yang kita suarakan.
3. Kita akan tahu juga seberapa besar feedback dari masyarakat setelah kita aksi. Bukan hanya kajian dan kajian tanpa ekskusi. Atau hingga matang. Sebab itu tugas seorang analisis. Tugas kita, kajian seperlunya namun tajam, dan menyampaikan pada pemerintah pusat. Bahwa ada yang harus dibenahi dari kewajiban seorang pemimpin melindungi rakyatnya.
4. Tugas mahasiswa salah satunya dari dulu, dan gak akan pernah berubah sampai sekarang, itu aksi. Aksi banyak macam dan caranya. Untuk yang demo, agar tersampaikan pada legislator-legislator di parlemen dan elemen pemerintah setempat, membantu kita menyampaikan dan menuntut pemerintah pusat. Kamu rela ibu-mbah pedagang, bapak-mbah tukang becak demo? Memikirkan sesuap nasi untuk kebutuhan hari itu pun mereka bingung. Juga agar publik tahu, ini demokrasi, ada hak-hak rakyat. Dan dilindungi kebebasannya.
5. Mahasiswa itu hanya sebuah istilah akhirnya, bagi mereka yang memiliki sensitifitas, salah satunya. Pun juga alumninya. Kalau ada seseorang yang sedang menuntut ilmu di perguruan tinggi, namun berpikir hanya untuk dirinya. Agar dapat ipk 4, kerja mapan, hidup untuk dirinya saja. Baik ilmu, waktu, pikiran, peran, partisipasi, kontribusinya. Pastikan itu bukan dari kita, yang mahasiswa. Bisa saja kamu seorang anak pns, anak saudagar kaya, anak bisnisman hebat, yang menyekolahkan kamu di perguruan tinggi pun bisa. Apalagi hanya membeli cabai 200rb/kg, bayar 25k(125k/5th) pertahun utk pajak motor, atau lain-lain, namun bagi sebagian mereka rakyat kecil itu memberatkan. Maka, tersebab sensitifitasmu, kamu ikut membela dan memperjuangkan.
6. Prinsip idealisme seorang mahasiswa harus tetap dijaga. Banyak orang yang mencibir, pasca lulus pasti juga idealisme hilang. Katakan dalam hatimu, setidaknya saat mahasiswa punya. Sehingga bisa terjaga. Jika mahasiswa saja kita ngga punya, lantas bagaimana keadaanmu setelahnya? Bisa saja kamu seorang mahasiswa hebat saat di kampus, tapi menjadi komprador-komprador mental penjilat setelahnya. Lagian itu hanya beberapa saja. Tidak bisa digeneralisir. Ada beberapa yang masih terjaga. Setidaknya pernah ada ruang yang masih bisa dipantik saat memang dibutuhkan suatu saat.
7. Bukan, bukan karena kamu anti jokowi, haters, yang kata orang-orang segimanapun hater tetep hater, ngga akan menerima walau kebaikan. Bukan karena sekarang presidennya ketepatan sedang jokowi. Hari-hari ini memang banyak putar memutar logika. Seperti saat kita mengkritik, dijudge haters, sedikit-sedikit haters. Apapun itu, tetap pastikan. Ini murni karena panggilan hati menjaga rakyat. Menjaga Indonesia. Mahasiswa itu amanah rakyat. Apalagi yang PTN tuh. Jadi kedepan, sesiapapun presidennya jika ada yang ngga beres. Kita berkobar! Kita menyuarakan keluhan rakyat kecil! Ini demokrasi. Dan sah. SBY mau naik 3 kali pun kalau ada yang beres, kita sampaikan. Dengan cara kita.
Terakhir, kamu tahu gaes? Pedagang dan tukang parkir yang disebut di pesan diatas, mereka bekerja di Pasar Gede Solo. Pasar Gede. Catet. Yang saat ada kampanye mendukung presiden, motor nggleyer-nggeleyer, memekakkan telinga, dan itu di solo, u know them so well lah, ibu-ibu pedagang mencibir mereka. Namun saat ditanya siapa yang akan didukungnya? Ya, tepat, dia yg sedang dikampanyekan sama motor-motor nggleyer-nggeleyer. Mereka kemarin, menyampaikan rasa terima kasihnya kepada rekan saya. Terima kasih sudah membaca curhatan saya.
Keresahan mahasiswa yang seharusnya dan sebenarnya, adalah memusatkan perhatian dan kekuatan mereka untuk berbuat sesuatu kepada lingkungannya, tulisan ini adalah salah satu potret kekhawatiran dan anak muda, yang seharusnya