Avatar

KOLABORASI RASA

@kolaborasirasa / kolaborasirasa.tumblr.com

Karena ketika mulut sudah tak sanggup untuk berkata, biarkan saja aksara berkarya.#KolaborasiRasa - @kolaborasirasa
Avatar
Anonymous asked:

Ga ada novel nya kak? Bagus bagus :'

Belum ada, anonymous. :)

Terima kasih sudah mampir dan membaca.

Avatar

Jangan Mencariku

Bahagia itu selalu ada dan banyak macamnya, kita hanya perlu bersyukur dan menyadari bahwa kita selalu memilikinya--meski hanya dalam bentuk paling sederhana. Begitu kata orang-orang bijak. Tapi bukankah itu juga berarti penyangkalan, bahwa sebetulnya kita hanya diizinkan punya porsi terbatas untuk bahagia?

Kamu tahu? 

Terkadang, cukup dengan melihatmu bahagia dari jauh, kutemukan bahagiaku. Bahagia yang kucari, bukan sebab datang dengan maunya sendiri. Semu, memang. Tapi setidaknya lebih baik daripada membencimu, bukan?

Bahagia ini seperti dipaksakan, aku tak lagi punya pilihan. dan menganggap kamu kisah lama yang aku mesti lupa, aku belum pintar melakukannya.

Meski entah ini memang bahagia yang sesungguhnya, atau imajinasiku terlalu terlatih untuk mengada-ada? Entah dengan melihatmu tersenyum aku juga merasakan yang sama, atau semuanya hanya karena aku tak lagi miliki pilihan? Terkadang lucu, jika memang benar ada wujud bahagia seperti itu. Padahal kalau boleh jujur, aku ingin bahagiamu yang dibagi denganku.

Kupandang sebuah pohon dengan tatapan penuh kagum. Sebab, bagaimana bisa ia tetap berdiri tegak, sementara melihat dedaunan yang selama ini dipertahankannya, justru jatuh dan kemudian meninggalkan?  Atau, ini hanya salah satu cara semesta untuk mengajarkanku menjadi lebih kuat?

Kuat itu aku, yang telah lama jauh terjatuh padamu, tahu sakitnya luka, namun terus mengulanginya saja. Lemah itu kamu, datang sebab terluka, lalu pergi sebab bosan dijaga. Barangkali jika ada kekacauan di poros bumi dan semua hal jadi terbalik, aku baru paham caramu yang mudah pergi. Pun, kamu kelak mengerti caraku yang keras kepala selalu menanti.

Lalu, aku harus ke mana? Tepatnya, aku harus bagaimana?

Menerimamu yang muncul tiba-tiba, dan merelakan begitu saja padahal ingin tak ada? Kamu ingin (si)apa? Seseorang dengan perasaan sekeras batu dan sikap sediam patung? Sebab, bagaimana mungkin aku mampu untuk terus bertahan melihatmu semudah itu berpaling, namun harus menjadi yang sangat siap ketika kamu tak menemukan sesiapa lagi untuk berbagi?

Barangkali sejak awal kita tidak seharusnya bertemu. Agar tak ada rasa yang bertamu, agar inginku tak melulu hanya kamu. Barangkali sejak dulu mestinya kamu yang mencintai aku. Biar aku jadi yang pintar berlalu, biar aku jadi yang pura-pura lupa pernah sengaja menyakitimu. Ah, tapi apa gunanya? Jika kamu ada di posisiku, apa benar kamu tetap memilihku meski aku tak menoleh padamu? 

Bahkan mengkhayalkannya saja aku tak berani.

Tak perlu kamu tahu sesakit apa aku, yang kuperlu hanya kamu bilang iya untuk cintaku. Paling tidak, aku sudah pernah mencoba untuk terjatuh, meski bukan kedua tanganmu yang menangkap hatiku secara utuh. Memang ada yang hancur dan tidak secara baik tertata, namun paling tidak aku pernah tahu bagaimana rasanya jatuh cinta. Meski yang kurasakan ialah tangis untuk keduanya, namun paling tidak aku selangkah lagi menuju masa yang belum ada dan penuh bahagia.

Yang perlu kamu tahu, tetap memilihmu bukanlah pilihan, itu keputusan.

Menyesal bukanlah bagianku, itu bagianmu jika kelak kehilangan aku. Sebab aku berani bertaruh, belum pernah kamu menemu hati lain yang cukup gila terus menerus berkata bahwa menanti yang tak ada ialah bentuk lain setia.

Ingatlah, jika ia menyakitimu, jangan cari aku. Sebab nanti, aku yang lebih dulu menemukanmu.  Jika tak kamu temukan aku, tetaplah jangan mencari. Sebab barangkali yang ingin kamu temukan bukanlah aku, melainkan dirimu yang lain, yang sejak lama ada padaku.

Maka teruslah jangan aku yang kamu cari, hanya sebab kamu tak mau merasa sendiri.  Kuharap saat itu aku telah cukup jadi egois, dengan menutup rasa dari apapun yang kutahu bisa membuatmu menangis.

Avatar

firasat

Sebelum peristiwa manis itu dimulai sepekan lalu, aku tahu hari itu akan cepat berlalu. Maka aku merekam segalanya dalam ingatan. Sebut saja ini firasat, sebelum perpisahan bergerak lebih cepat.

Senyummu itu sumber kekagumanku, ratusan hari aku duduk di sebelahmu dan menikmati hal yang satu itu. Lagi-lagi tanpa kamu tahu. Bahumu adalah pelabuhan tempat kepalaku selalu ingin terjatuh tak sengaja. Dan hari itu aku melakukannya. Semesta mengirimkan lagi bahasa-bahasa yang tak kumengerti, seperti kau ingin terculik pergi.

Semula, semua berjalan lebih dari baik-baik saja. Senyummu dari hati, senyumku lebih gembira lagi. Namun, bahagia yang berlebihan selalu punya harganya sendiri. Barangkali dengan kepergianmu, baru bisa kulunasi.

Kamu dekat tapi terasa lebih jauh dari yang terlihat. Kamu ada tapi terasa lebih tiada dari kenyataannya. Ah, bahkan perasaanku saja sudah bisa mengira, bahagia di dekatmu seperti ini bukan untuk selamanya. Semesta semestinya tahu, menoleh pada yang selain kamu bukan keahlianku. Semesta sudah pasti tahu, memang langkahku tak seharusnya mengarah padamu.

Aku tak selalu mengerti semesta, dengan segala permainannya. Aku lebih tak mengerti kamu, dengan perhatian sementaranya. Hingga akhirnya aku semakin tak mengerti tentang kebersamaan yang belum tergapai, namun sudah harus selesai. Kamu hadir tiba-tiba, tanpa aba-aba. Kemudian pergi tanpa mengucap apa-apa. Paling tidak, beri aku pemberitahuan, supaya aku tahu hatimu telah pindah haluan. Paling tidak, beri aku tamparan, supaya aku tahu bahwa kita sudah tak lagi miliki harapan.

Hari ini adalah saksi dari ratusan hari perjalanan hati menginginimu jadi penghuni. Ingin rasanya meleraikan pikirku tentang ketidakmungkinan yang mengada-ada dalam kepala. Tapi korneaku bekerja terlalu baik, mata menangkap kamu dan dia bercengkrama dengan mesra. Tangan yang terbiasa mengayun bermain melingkar di bahuku, malam ini kau gunakan memainkan tangannya. Sakitku lebih perih dari serangkai aksara ini. Aku tidak apa-apa dengan retaknya hati yang terlalu tiba-tiba. Tapi mengapa harus lahir peristiwa sepekan lalu yang begitu manis? Itukah tujuanmu menyakitiku dengan manis?

Ingin rasanya lari sejauh mungkin, menghindar dari pemandangan di depanku. Dan terjun dalam lautan airmata sebebas-bebasnya. Selepas-lepasnya.

Apa ini yang seharusnya terjadi padaku? Yang seperti ini? Mencintai tak tahu berhenti, tapi selalu ditinggal ketika rasanya hampir memiliki.

Menjadi yang pintar mengobati pun percuma, jika aku kelak gagal di cinta yang lain lagi. Tapi aku tak mau yang lain. Sebab yang lain tentu bukan kamu.

Apa ini maksud daripada semesta?

Memberikan semacam firasat, supaya aku mampu melepasmu yang bukan lagi untuk sesaat? Apa ini alasan di balik segala kedekatan? Supaya aku menyadari bahwa yang sudah lama akrab, belum tentu bagian dari sebuah jawab?

Bahagiakah kamu bersamanya? Sebab, sepertinya sudah tak perlu lagi kuminta, agar kamu mendapat apa yang sudah kamu punya. Benar atau pun tidak, mulailah jalani hari-hari barumu dengannya. Biar hati kecil mulai terbiasa untuk melepas dengan rela.

Biar tak perlu kucari-cari apa yang telah tiada.

Avatar

ingin diinginkan

Hari-hari ini, beberapa daripadaku telah tampak tak kasat mata di kepunyaanmu. Di saat aku ingin menjadi satu-satunya titik yang kaupandang lekat-lekat, kenyataan menjawabnya dengan pahit yang teramat pekat. Sebab, yang ada padaku memang tidak untuk menjadi sesuatu yang menarik perhatianmu. Teriakan yang tak terdengar, atau kamu memang enggan menoleh lalu sadar. Keberadaan yang tak terlihat, atau kamu memang enggan untuk kita menjadi terlalu dekat.

Rasanya aku tak begitu berbeda dengan yang lainnya, namun mengapa tak kamu berikan aku tatapan yang sama? Harus sejauh mana aku menyentuh hatimu, agar setidaknya kamu tak buru-buru berlalu dari sisiku? Kukira mencintai lewat mimpi tak akan pernah senyata ini, kecuali padamu.

Lalu, ketika kini aku terlanjur cinta, rasa ini harus dibawa ke mana? Sementara ke hatimu saja tak kutemukan jalannya.

Kamu terlalu jauh untuk kurengkuh atau kedekatan memang tak pernah kauinginkan? Sebab berulang kali aku menunjukkan diri, namun tak sekali pun kamu menyadari bahwa aku selalu ada. Bagaimana bila rasa ini bukanlah untuk sementara? Bagaimana bila aku tak sanggup lagi untuk menunggu lebih lama? Barangkali terlalu sulit bagimu untuk menaruh peduli, sedangkan terlalu mudahnya aku untuk memberi hati.

Meski kamu memilih jalan yang tak pernah melewati pintu hatiku, ingatlah bahwa itu tak berarti aku tak menunggumu di balik pintu. Bisa jadi, di suatu waktu yang entah, kamu tersesat kemudian berteduh di berandaku. Bisa jadi, di suatu saat yang kelak, kamu menemui nyaman di hangat pelukku. Tetapi, bisa juga tidak.

Meski yang mereka lihat ialah bahwa aku selalu menerima, ingatlah, tak berarti aku tidak berusaha. Barangkali di suatu waktu yang entah, kamu akan mendengar. Barangkali di suatu titik yang entah, aku akan terlihat. Atau barangkali sebelum semuanya itu terjadi, rasa yang ada justru telanjur pergi.

Semoga di suatu hari yang entah, kamu akan tahu bahwa aku pernah sebegitunya ingin untuk diinginkan. Semoga di suatu hari yang entah, kamu akan tahu bahwa aku pernah sebegitunya ingin untuk terlihat. Semoga pada saat itu, segala sesuatunya belumlah terlambat.

Avatar

maaf, aku masih cinta

Tak perlu jadi yang paling pintar untuk tahu bahwa kenyataan tak selamanya sesuai harapan. Kita yang semula sulit terpisahkan, kini bertolak belakang. Dulu, kamu hanya ingin denganku, aku juga hanya ingin denganmu. Tapi ternyata hanya keinginanku yang terus bertahan seperti itu.

Dari hati yang terdalam, izinkan aku mengucap maaf. Maaf, aku terlanjur mencintamubegitu dalam. Maaf, aku merasa memilikimu, dan masih ingin begitu hingga sekarang. Maaf, tak seperti kamu, aku gagal menerima keadaan bahwa kita sudah tak sejalan.

Entah siapa yang semestinya kusalahkan; ekspektasi yang ketinggian, atau semesta yang terlalu terlambat untuk menyadarkan. Aku butuh lebih dari sekadar waktu, untuk memahami bahwa kita sudah tidak seperti dulu lagi. Untuk memaklumi, bahwa hubungan kita sudah tidak seakrab dulu lagi. Untuk mengerti, bahwa aku sudah tidak seberarti dulu lagi. Khayal masih menerbangkanku begitu tinggi, tanpa kusadari bahwa sepasang tanganmu tak ada untuk menangkapku nanti.

Sungguh, aku turut bahagia jika kamu baik-baik saja. Namun apakah kamu tahu bahwa ‘telah terganti’ ialah tamparan keras bagi hati?

Kuharap kamu pernah mengajariku agar mengerti bahwa kelak posisiku akan terisi. Agar bisa kuterima bahwa bukan lagi aku yang kamu butuhkan saat ini.

Lalu aku bisa apa? Sementara luka kujahit sendiri, kamu di sana sudah tak lagi ambil peduli. Andai sedikit saja kamu mau menoleh lagi, lihat aku. Masih di sini, masih membuka hati, masih menganggap kamu lebih dari berarti.

Aku belum terbiasa untuk mengakui bahwa dia yang lebih bisa. Aku belum mampu untuk mengakui bahwa kini dialah tujuanmu. Kukira aku selamanya jadi yang kamu butuhkan, ternyata itu sebatas harapan. Kupikir tak ada yang bisa sepertiku dalam hidupmu, ternyata kamu menemu ia yang dengan mudah menggeser seorang aku.

Perubahan ini terjadi tanpa persiapan, kesadaran ini datang tanpa keberadaanmu. Maaf, bila yang kubutuhkan masihlah kamu di saat kamu sama sekali tidak. Kini, izinkan aku untuk membenahi lagi serpihan-serpihan yang masih berbentuk retakan. Sementara kamu, pergilah dengan sepasang tangan yang kausebut kebahagiaan.

Aku di sini, akan belajar merelakan posisi yang sudah terganti.

Avatar

mengapa kamu?

Ada jatuh yang tak pernah kuduga-duga, hingga sebuah tanya muncul dalam benak; mengapa kamu? Mengapa pada seseorang yang dapat kuketahui dengan pasti, bahwa akhirnya adalah tidak mungkin? Ada rasa yang datang tanpa diundang, hingga tanpa sadar kuletakkan namamu pada urutan paling pertama dalam segala hal. Ada cinta yang sampai kini masih kusangkal. Sebab, memberi hati kepadamu tak pernah sebelumnya terpikirkan.

Barangkali, begitulah risiko jatuh cinta. Betapapun sudah berhati-hati, selalu saja ada jalannya jika memang harus terjadi. Sementara hati sebetulnya sudah lelah terjatuh sendirian, tapi Tuhan mendatangkan kamu di hadapan. Kali ini entah sebagai jawaban, entah sebagai penambah pertanyaan, entah sebagai pemberi pelajaran.

Jadi, mau dibawa ke mana hatiku yang ada dalam genggammu itu?

Haruskah aku menujumu, perjuangkan kamu lebih jauh? Atau kembali saja pada titik mula—cukup jadi pendamba?

Andai kamu mengerti, ini bukan tanpa alasan. Sebab yang kulihat hanya dia, pada tatap matamu yang paling dalam. Sebab yang kudengar hanya namanya, pada tiap nada kebahagiaan. Sementara aku, tinggal di antara ribuan pertanyaan; tentang mengapa kita kemudian dipertemukan. Sementara aku, berdiam di tengah ratusan perkiraan; tentang mengapa kepadamu, jatuhku tampak diizinkan. Jauh, sebelum cinta tampak nyata, sudah kusadari bahwa semuanya akan berakhir dengan sia-sia.

Dalam hujan perasaan yang jarang sekali melegakan, aku tersadar bahwa cinta tak ma(mp)u dipaksakan. Percuma aku berusaha dekat dengan yang lainnya, jika hatiku cuma kamu yang punya. Inginnya kamu ada dua; satu untukku, satu untuknya. Tapi kutahu, cerita ini tak mungkin tertulis begitu. Cerita ini menawarkan bahagia yang sama untuk kita semua—tapi sayangnya, bukan dari masing-masing kita.

Kamu seperti ada untuk kucintai saja, bukan untuk kumiliki. Seperti dekat yang tak terjangkau, terasa tapi tak tergenggam, ada yang seperti tiada.

Avatar

bersabarlah, hati

Tak pernah terpikirkan sebelumnya, saat-saat seperti ini akhirnya datang juga. Ketika diri sendiri merasa terlalu sepi untuk lari dari sunyi, namun terlalu enggan mencari yang mampu mendampingi. Seakan cinta di dalam dada terlampau berharga untuk diberikan begitu saja. Seakan kosong di dalam hati terlalu kecil untuk bisa kututupi sendiri—padahal tidak. Semua bagai berpura-pura, namun bukan begitu sebenarnya. Aku hanya takut terluka, sebab segala cinta yang kukenal, belum ada yang berakhir bahagia.

Semiris itukah cinta yang menghampiri hati? Atau aku yang telah tak berhati-hati menaruh hati?

Jika mencintai berarti memberi hati seutuhnya, aku tidak ingin mempertaruhkannya pada yang mahir meretakkan. Karena tidak pernah ada yang tahu telah sejauh apa aku memunguti serpihan itu satu-satu, mengumpulkannya, lalu menyatukannya lagi hingga sempurna, hingga tak ada luka. Setelah sembuh, lalu semudah itu seorang baru merobohkan hatiku hingga lagi-lagi runtuh?

Aku tahu, tak baik terus begini. Bagaimana bahagia bisa mendatangi, jika membuka hati saja aku tak berani? Dengan alasan apapun, yang punya awal pasti kelak berakhir. Meski sudah melangkah paling hati-hati, kuyakin ada saatnya hati akan sakit kemudian sembuh sendiri. Namun aku lelah terus menerus terjebak pada repitisi yang sama. Seseorang datang, mendekat, bersama, sakit, lalu berujung aku, atau dia yang luka.

Jika boleh memilih, aku ingin menggunting peta takdir. Agar tak perlu melalui banyak hati, dan langsung sampai di pelabuhan terakhir. Tapi inilah perjalanan. Kaki bertugas melintasi dan hati mempelajari apapun yang semesta beri. Sejuta tempat singgah, berkelana hingga berdiam di titik lelah, masing-masing dari kita pasti akan menemukan seseorang yang bisa disebut rumah.

Bukan soal akhir, bukan soal awal, bukan bagaimana memulainya dan bukan bagaimana caramu mengakhiri. Tapi ini tentang menjalani, bertahan dan mendewasa dalam setiap pilihan.

Di dasar hatiku pernah terletak beberapa nama. Di sela-sela tiap mula ada ketakutan yang sama, tentang hubungan yang berujung tanpa bersama. Tapi ini mungkin hanya soal bertoleransi dengan waktu. Jika cinta sudah mendatangi, sekeras apapun kamu menolak, ia pasti akan menang telak.

Jika ini hanya perihal waktu, aku tahu aku pintar menunggu. Namun barangkali, ini lebih dari itu. Sebab katanya, Tuhan hanya memberi sesuatu jika kita telah betul-betul siap memilikinya. Mungkin saja ada yang memang belum betul-betul siap—mungkin saja aku, mungkin saja kamu, mungkin saja entah. Meyakini hal-hal semu memang tak mudah, tapi lebih baik daripada menjatuhkan diri pada kesedihan yang salah.

Bersabarlah, hati. Yakinilah, di lain hari, kita akan lebih bahagia daripada ini.

Avatar

titik henti

Kupikir, semesta akan mengetuk perlahan kedua kelopak mataku, lalu menyadarkan dari mimpi yang ketinggian. Nyatanya, ia mengejutkan dengan sebuah kenyataan, bahwa kebahagiaanku selama ini sedang menikmati bahagianya yang tanpa aku.

Kini, seringkali aku bertanya-tanya, adakah hujan di tempatnya berpijak? Atau di sekeliling terasa seperti musim semi selamanya?

Semisal ada yang menyebut ini cinta, barangkali hatiku langsung menyetujuinya. Namun akalku, bilang tidak. Sebab akupun tahu, jika cinta tak baik kurelakan begitu saja.

Ini sudah bukan tentang musim yang terus berganti. Ini tentang hati, yang bersikeras masih menanti—meski tak ada yang pasti.

Tanda tanya besar mengganggu dalam benak, sibuk mempertanyakan nyata atau tidak.Di satu sisi aku merelakan bahagiamu, namun di sisi lain bertanya-tanya mengapa bukan denganku. Di satu sisi aku enggan untuk lebih lama menunggu, di sisi lain barangkali masih ada harapan untuk kita bersatu. Ternyata tak semudah itu menjadi rela, meski untuk melihatmu bahagia.

Semakin aku merasa ini tak adil, semakin pedih terasa di hati. Percuma terus begini. Toh aku di sini, kamu dengannya, kita tak mungkin bersama. Baiknya kupadami saja segala bara yang masih menyebut namamu tanpa jeda, agar luka ini tak kubiarkan terus menganga. Baiknya memang kita tak lagi saling menyapa, sebab sepatah kata darimu mampu memanggil jutaan debar di dadaku.

Seperti tahu betul kelemahanku, semesta selalu menghadirkan kamu. Atau mungkin aku yang diam-diam mengantarkan kenangan tentangmu, hingga pada titik yang terdekat. Berbagai macam hal yang semesta suguhkan, mengapa kamulah garis akhir dari segala ingatan?

Rasanya aneh, ketika ingin pergi dari hati yang tak pernah dihuni. Barangkali sama seperti melepas yang tak ada dalam genggaman. Rasanya aneh, ketika harus merelakan hati yang tak pernah dimiliki. Barangkali serupa meninggalkan tempat yang belum sempat kujejaki. Rasanya aneh, ketika harus terluka sebab sesuatu yang kuanggap cinta, padahal kamu tak pernah menganggap itu ada. Barangkali serupa menangis tersedu, namun tanpa air mata.

Barangkali serupa aku yang kepadamu, dan titik takdirku yang hanya ingin henti di situ.

Avatar

kepulanganmu yang sementara

Aku bosan terus-terusan terjerumus dalam rasa kehilangan. Apalagi jika kamulah penggerak di balik setiap alasan. Aku pun bosan harus memakan kata-kata manismu, hasil pelarian dari pahit yang mampir dalam hidupmu.

Jika ada dia, aku harus sukarela menyingkir. Jika tidak ada dia, aku diharuskan hadir. Pelampiasan atau sebuah permainan? Atau aku yang terlalu bodoh tak bisa melihat batas harapan dan kenyataan?

Kakiku berlari menjauhi titik-titik pencipta luka. Tapi saat aku nyaris mantap untuk pergi dari arenamu, ada saja tarikan-tarikan penggoda untuk tetap disana.

Pada langkah yang hampir terhenti, kamu ada. Pada harap yang perlahan memudar, kamu hadir. Tersisalah aku dengan sebuah keadaan, di mana arah yang semestinya kutuju masih samar. Entah harus terus berjuang atau memang tak perlu keluar sebagai pemenang. Kebahagiaanku masih terombang-ambing, aku terpaksa mengikuti ke manapun ia ditempatkan.

Pada kepulanganmu yang berulang, ada kata selamat tinggal yang siap-siap kembali kujelang. Kata selamat tinggal yang kuharap tak pernah lagi kudengar. Aku ingin kamu tetap di sini, mencipta bahagia dari dua sisi—bukan mencari bahagia kita sendiri-sendiri.

Akankah semua inginku hanya sanggup menjadi angan? Tak bisakah segalanya jadi kenyataan? Sebab rasa ini nyata, namun kedekatan kita hanya sebatas ini saja.

Setelah berperang dengan dirimu yang dirasuki perubahan, akhirnya kamupun pulang. Satu sapa pun bisa merapikan keretakan yang sempat tercipta. Satu senyum yang tulus darimu pun meluluhkan kaki yang nyaris melangkah dengan tekad serius. Angan terus berlanjut, tanpa ada kepastian yang bergelayut.

Seandainya tidak ada dia, apakah kamu akan memperjuangkan kita?Ketidakpastian semakin terlihat jelas, terutama saat percakapanmu dengannya belum berhenti. Aku takut jika nanti tumbuh cinta yang lebih besar lagi. Lalu kapan waktuku untuk menyediakan cinta? Lalu kapan seutuhnya kamu ada buatku?

Mengapa kamu pulang hanya untuk singgah, kemudian justru pergi lagi?

Mengapa kamu ke sini, namun sangat terlihat jelas bahwa dengannya kamu masih jatuh hati?

Sepasang mata ini mengharap temu, kedua tangan ini mendambamu. Sebab kebahagiaan terasa utuh dan sederhana kala kita bersama. Sebab senyuman tak sanggup terkata di saat kita berjumpa. Tidak bisa kamu di sisi untuk selamanya? Lalu tetapkan pilihanmu sehingga tak perlu ada angan yang merasa dimainkan.

Titik akhirnya, memang aku yang harus selalu rela. Datang dan pergimu hanya repitisi percuma yang entah mengapa tetap saja mampu membuat bahagia. Sederhananya, bahagiaku tertitip di kamu. Jika kamu menuju arah yang bukan aku, begitupun bahagiaku menjauh. Entah hingga kapan harus terikat padamu. Sebab jatuh hati ini telah terlanjur, tak mungkin aku bisa mundur.

Izinkan aku membuktikan bahwa hati ini pun berhak disuguhi kesempatan.Dengan ramuan rasa sederhana, aku akan membangunkanmu dari hibernasi lelahnya kepercayaan hati. Aku akan melahapmu separuh, biar kamu tahu ke mana ruang itu kau berikan dengan utuh. Aku menunggu sampai kamu mengandalkanku bukan hanya saat butuh, tapi karena akulah prioritas bahagiamu terisi penuh. Itu bukan keinginan yang muluk-muluk, kan?

Kebahagiaanku kini masih bertumpu pada ketidakpastian. Entah kapan, tapi pasti kita akan bahagia dengan pelengkap pilihan Tuhan. Tapi untuk sekarang, doaku masih menyelipkan namamu sebagai penghantar kebahagiaan.

Avatar

relakanmu bersamanya

Wadah angan-angan semakin terisi penuh, kini ketinggian mereka seperti tak terengkuh. Di dalamnya, ada kita dengan indah cerita yang tak mungkin dijadikan nyata. Di dalamnya, ada aku yang begitu bahagia. Di dalamnya, ada kamu yang sedang jatuh cinta. Namun, mimpi memang tidak bisa bertahan terlalu lama. Karena aku perlahan menyadari bahwa cerita kita memang tak akan pernah ada. Semesta sedikit demi sedikit mengirimkan hujan kenyataan, agar aku bisa berhenti menciptakan khayalan di luar jangkauan. Siapa sebenarnya yang berperan sebagai tokoh antagonis hingga tak jarang aku menangis? Aku sendirikah yang terlalu jahat memberi seutuhnya hati untuk rela disakiti? Atau dia yang tak mampu menjaga hatiku dengan hati-hati sampai retak berkeping seperti ini? Menjaga? Ah aku salah lagi.

Dia memang tak pernah benar-benar mau memiliki. Ekspektasiku saja yang terlalu malas menginjak bumi, ia terlalu tinggi. Cerita-cerita kita yang kukira akan sempurna, ternyata tak berakhir bahagia. Yang kutahu tentang masa depan itu kamu, tapi malah kamu yang menyuruhku untuk tetap berpijak saja pada masa lalu dan berhenti di situ.

Yang kutahu tentang perjuangan itu kita, tapi ternyata hanya aku yang berusaha. Bagaimana bisa? Bagaimana caranya membuatmu melihat apa yang kulihat sementara kita sama-sama telah buta akan tujuan yang berbeda? Hingga akhirnya hati kecil membujuk untuk aku segera merelakan. Bukan suatu hal yang sulit, hanya mungkin butuh waktu. Butuh waktu yang tak sebentar bagi hati untuk merapikan serpihan demi serpihan. Butuh waktu yang tak sebentar bagi diri untuk menerbangkan segenggam kemungkinan-kemungkinan. Butuh waktu yang tak sebentar untuk menyadari, bahwa satu-satunya jalan adalah dengan membiarkanmu pergi. Ialah aku, dengan tanpa keberanian untuk mengaku. Ialah aku, yang menyerah sebelum benar-benar memperjuangkan. Kau tahu, aku seperti mengejar kereta yang tak pernah kutahu akan tiba. Aku seperti memperjuangkan yang belum mau diperjuangkan karena buatnya aku pun belum pantas diistimewakan. Mungkin lain kali bukan objeknya yang harus kuperjuangkan, tapi kesetaraan perasaan.

Awal yang menggebu, ternyata meninggalkan sisa-sisa rasa yang dinilai tak bermakna seperti abu. Tapi aku ingin menerbangkannya, mungkin agar bisa sedikit saja kau merasakannya. Meski aku tahu, untuk merasa saja takkan bisa mengubah apa-apa. Pun kepemilikan hatimu yang telah dipegang oleh dia. Aku berserah pada Tuhan Sang penentu arah. Aku melambaikan tangan pada kamu yang bersiap masuk dalam kolom masa lalu. Nyatanya tidak perlu ada perjuangan. Sebab hatimu telah ada yang memenangkan. Sebagai pihak yang mengalah dan sudah mengaku kalah, kemudian aku mengubah arah. Meski hati sepenuhnya masih ingin menujumu, namun kenyataan menyadarkan bahwa rasa kita tak bisa saling temu.

Kukantongi bahagiamu dengannya, supaya aku akan tetap ingat bahwa aku boleh berada pada kondisi yang sama. Karena seharusnya tidak hanya hari-harimu yang indahnya tanpa jeda, tapi milikku juga.

Avatar

tertunda

Ada yang seharusnya punah sebelum hati menjadi patah. Mungkin namanya asa. Ada yang seharusnya diberikan, tapi masih disimpan Tuhan. Mungkin namanya kesempatan. Ada yang seharusnya dihentikan, sebelum luka jadi lintasan perjalanan. Mungkin namanya perasaan. Barangkali hati terlalu cepat jatuh pada waktu yang tak tepat. Bukan objeknya yang salah, tapi mungkin kali ini aku harus mengalah. Kesempatan yang tadinya terlihat begitu jelas, kini hilang semudah melayangnya kertas. Bukan salahmu yang mungkin seperti tak menghargai perasaan. Salahku, yang berharap hanya pada kebetulan. Bukan salahmu yang tak juga sadari keberadaan. Salahku, terlalu lama di dalam tempat persembunyian. Hingga pada akhirnya semua kata kunci membawaku pada sebuah kenyataan yang harus dijalani. Bahwa meski belum dimiliki, namun ada yang telah kauberikan kepadanya dengan sepenuh hati.

Entah kesempatan yang memang belum ada, atau aku mungkin sudah pernah melewatkannya. Maaf atas keterlambatanku untuk menyadari sepenting itu adamu. Jeda sinyal yang terlambat keluar, mungkin telah berbekal sesal. Hingga akhirnya aku tahu, kesempatan belum ada karena seseorang lain telah masuk dan membuat hatimu mulai kesempitan. Penuh, mungkin sepenuhnya menurutmu utuh. Sedangkan aku, hilang separuh dan sisanya lumpuh.

Jika benar putaran kesempatan pernah kulewatkan, mungkin itulah definisi dari sebuah kesalahan yang mendewasakan. Aku berhenti mengetuk. Bukan karena sudah hati remuk, tapi tak ingin kulihat penghunimu mengamuk. Barangkali akan ada kesempatan, namun tak tahu harus menunggu sampai berapa lama. Barangkali akan ada sepenggal cerita yang sedikit diubah, namun kepastiannya masih entah. Barangkali aku memang akan hidup di antara rangkaian barangkali, hanya karena belum siap untuk menghadapi. Bila nanti kesempatan memang ada, kamu tahu, akan kugunakan itu tanpa sia-sia. Sekarang, mungkin sudah cukup dengan melihatmu teramat bahagia, meski harus dengannya. Aneh. Meski namamu masih seratus persen mengisi hati, tapi mengapa kekosongan ini tak berhenti kucicipi? Bukankah kita lahir pada kebetulan? Tapi kebetulan pulalah yang akhirnya mematikan. Bukankah kita sama-sama tahu karena sebuah pengetahuan yang disediakan? Tapi mengapa ujungnya aku merasa asing karena terlempar oleh serombongan ketidaktahuanku akanmu?

Dunia barumu yang sama sekali tak menyertakan aku. Dunia baru yang terlihat ramai saat namanya tak usai kau sebut-sebut. Entah kebetulan memang sebenarnya ada, atau hanya aku yang sepertinya mengada-ada. Entah kisah tentang kita memang sedang dituliskan, ataukah semuanya hanya semata-mata harapan. Mungkin memang harus memberi waktu lebih bagi semesta, dengan rencananya yang selalu mengejutkan.Walau entah kejutannya akan membahagiakan, atau justru berupa tamparan pelan-pelan yang menyadarkan.

Mari tutup segala mungkin atau tidaknya. Sebab masih ada beberapa hal sederhana yang perlu disyukuri keberadaannya; kedekatan kita, misalnya. Tidak apa-apa. Aku akan menyiapkan diri, bagi yang nanti berpatenkan nama sebagai penghuni hati. Janjiku yang nomor satu, untuk berhenti cinta mungkin aku belum bisa. Karena tak semudah itu menghilangkan rasa, hanya sembuhkan hati yang sedang kucoba-coba. Selamat istirahat pelukis merah merona pada pipi, selamat bekerja dua kali lipat dari biasanya plester hati.

Avatar

menuju pertemuan

Kedua kaki sudah siap untuk melangkah pergi. Kubungkus ekspektasi dengan sangat rapi, hingga mereka tak akan bisa terbang yang terlalu tinggi. Degup resah yang akhir-akhir ini sempat tak terdengar lagi, perlahan tampak tanpa kendali. Entah apa yang akan semesta suguhkan; sebuah pertemuan atau hanya semburat kekecewaan.

Sabar, hati. Aku berujar pada pantulan cermin sendiri—seolah dengan mengucapnya mampu redakan dentuman debar.

Ada seorang anak kecil di dalam aku yang sudah tak sabar—seolah bertemu denganmu sama manisnya seperti gula-gula ukuran besar. Ada seorang dewasa di dalam aku yang tak henti mengingatkan—hati-hati, terkadang keinginan hanya mampu terwujud dalam khayalan.

Berharap kamu di seberang sana resah akibat rasa yang sama. Berharap kamu di seberang sana bertanya-tanya perihal ketidakpastian yang sama. Apakah kita bertemu memang untuk bersatu? Ataukah kita bertemu hanya agar luka mendapat jalannya yang baru?

Sepenuh hati aku mengumpulkan buruknya kemungkinan agar tak terbiasa dengan khayalan tanpa tanda-tanda kenyataan. Pada sepetak lantai di mana kita pernah menjejak, aku berharap di titik yang sama akan mendengar derap langkahmu semakin mendekat. Di selembar angan-angan kosong aku mengajari hati bagaimana caranya agar tidak perlu berdetak terlalu cepat. Tapi, tampaknya akan percuma. Sebab kamu saat ini sudah berada di depan mata. Tanpa mulut yang terbuka, lambaian tangan di udara, kita bertegur sapa secara maya. Tak apa semesta, aku sudah cukup bahagia.

Memang lebih baik berharap tak terlalu tinggi, agar ketika semesta memberi yang berlebih, yang muncul hanya bahagia di hati. Maka ketika mata menatap mata, ada yang jatuh tak terduga—hati kita. Rasa yang semula kukira saling menolak, kini ternyata saling memihak. Tak sia-sia setiap lafal doa. Sepertinya benar, pada pintu di dadamu, mereka melabuhkan asa.

  Selamat bertemu, cinta..

Avatar

telah berhenti

Selesai.

Satu kata yang kukira adalah akhir dari segala kita. Satu kata yang nyatanya memberi bukti bahwa masih ada yang mustahil usai; namanya kenangan.

Kenangan ialah sisa-sisa ingatan yang mengakar hingga dada, masih menganggap kamu di sana. Kenangan ialah samar-samar harum tubuhmu diembus udara, masih mengira kamu tak ke mana-mana. Kenangan ialah yang menyiksa aku; yang meminta aku terus menengok ke arah yang semula ada kamu. Kenangan begitu nakal. Ia mematenkan kaki-kakinya untuk berdiam di ingatanku kekal.

Mungkin ini sebuah hukuman dari kenangan. Karena dulu, air mata yang terjatuh dari pipimu selalu disebabkan oleh aku. Karena dulu, tawamu yang menyuarakan nada-nada bahagia sempat tertahan oleh keegoisanku. Karena dulu, kesalahan terfatalku adalah membiarkanmu berlalu. Hilang di makan waktu mencintai pria baru. Itu salahku, dan mungkin karma jadi makananku.

Sepayah itulah aku tak bisa menjaga ‘kita’. Sekuat itu pun juga kamu telah berusaha. Sampai hentakkan semesta menyadarkan bahwa kita tak bisa lagi seperti semula.

Terpejam mataku meninabobokan kesedihan, sementara menghindarkan aku dari kesesakkan. Namun nyatanya kedua mata yang terbuka di esok hari, menyadarkan bahwa kamu tidak lagi di sisi. Tinggi hati, kuhalangi air mata yang ingin mengalir melewati pipi. Meski secara sembunyi-sembunyi, baru aku berani mengakui bahwa aku masih mengharapkan kita untuk kembali.

Salahku, mengapa dulu tidak piawai dalam menggenggam. Salahku, mengapa dulu memilih untuk diam. Salahku, mengapa dulu seakan melepasmu pergi.

Sesal memang sesak. Yang tersisa hanya letup-letup kecewa namun tak mungkin membawaku ke pelukanmu yang semula.

Sebelum aku benar-benar selesai menghitung langkah mundur dan mulai berjalan ke hadapan, kuingin lihat senyummu untuk terakhir kali. Senyum yang tercipta karena aku, bukan karena lelaki yang kini di sampingmu. Bolehkah?

Semoga keputusanku untuk memutar arah dan melanjutkan langkah tak akan berubah. Meski di masa depan aku tak tahu akan terjadi apa, kuharap kamu sudah kurelakan sepenuhnya. Kuharap kelak aku hanya akan mengingatmu sebagai yang indah-indah saja.

Kamu masih tetap cantik. Kenangan tentangmu pun akan kujaga pada lemari memori, tertata antik. Kadang memang masih terasa sakit saat kedua telinga tak sengaja diperijinkan mendengar cerita tentangmu yang kini telah berdua. Tapi kuharap, sesal itu tak seperti rel yang mengiringi kemanapun roda-rodaku pergi. Aku ingin memindahkan perasaan ini pelan-pelan. Ke perempuan yang tepat tentunya.

Melalui kamu, aku tahu cara menjaga hati. Melalu kamu aku pun tahu bagaimana rasanya sebuah ‘penyesalan’. Jika telah datang nanti perempuan istimewaku, takkan kulakukan pengulangan perlakuan.

Kini langkah kaki dan logika sepemikiran ingin melaju ke depan. Sementara kamu, tetap indahlah dalam kenangan. Sebagai sesuatu yang selama ini sudah banyak memberikan pelajaran. Sedangkan aku, mencoba memulai kembali dari sepanjang perjalanan yang sudah terlewati.

Di penghujung jalan nanti, semoga tidak akan ada kesalahan kedua. Semoga tidak akan kuakhiri lagi segala usaha dan air mata dengan begitu sia-sia. Semoga tidak akan ada lagi senyuman manis yang menjadi korban. Sebab satu penyesalan lamban untuk lenyap, sedangkan seribu pengalaman tak akan juga cukup.

Avatar

#30HariMenulisSuratCinta #Hari3: Teruntuk Tiga Perangkai Aksara

Bintaro-Bekasi-Bandung, 15 Januari 2013

Teruntuk,

Tiga Perangkai Aksara, @rahneputri @jemarimenari @Karizunique

Selamat sore,

Pada kesempatan yang pertama, kami meletakkan kata terima kasih dengan jumlah yang tak terhingga. Untuk setiap inspirasi dan motivasi yang kalian hadirkan secara tak kasat mata. Untuk setiap hati yang telah tersentuh oleh manis dan magisnya rangkaian kata demi kata.

Suatu hari nanti, bersedialah mengajarkan kami bagaimana caranya mengubah detik demi detik yang berlalu, menjadi sebuah karya yang indahnya tidak akan habis dimakan waktu.

Kami adalah tiga mata penghisap aksara yang kalian sajikan di linimasa. Jemari-jemari ajaib itu menuangkan cerita, kami menari terkagum-kagum di atasnya. Dari bilik tersembunyi, senyum kami kadang terselip di balik 140 karakter yang kalian hidangi.

Ah, terlalu sempurna. Hati seperti terwakilkan ketika membaca tiap goresan. Lewat surat sederhana ini, ketiga dari kalian segera mendapatkan pelukan. Pelukan yang berbentuk doa, penyatu komunikasi kita dengan Pencipta. Selalulah berbahagia, dikelilingi cinta dan tak berhenti melukis aksara lewat menulis.

Ada doa-doa baik kami selipkan di setiap kalimat-kalimat luka. Semoga bahagia segera mengobatinya. Ada harapan-harapan besar untuk semua karya yang kalian cipta. Semoga tak pernah henti alirannya.

Meski kami hanya mampu menikmati dari jarak yang sejauh ini, tidak sedikit semesta kalian tertinggal di hati. Maka menulislah terus dan jangan berhenti. Sebab kami tak tahu ke mana lagi harus mencari sebuah dunia yang terlanjur kami akrabi.

Semoga Tuhan selalu melindungi. Amiin.. :)

Yang selalu mengagumi,

Tim @kolaborasirasa

Avatar

cinta yang salah

Padamu, entah telah berapa kali cintaku terjatuh. Tak ingin kuhitung dan tak mungkin terhitung. Kamu poros rasa; pusat segala debar di dada. Kamu satu-satunya titik yang terpeta, di hati juga kepala; tujuan langkah-langkah yang sulit mengenal lelah.

Ternyata kita tak pernah sepaham tentang apa arti cinta. Bagiku cinta adalah kamu, namun bagimu cinta bukanlah aku. Sebab itu, saling memiliki adalah salah satu dari sejuta hal mustahil yang pernah kuamini sepenuh hati namun tak jua terjadi.

Perhatianmu selama ini tanpa tujuan, kedekatan kita tampak semakin samar di masa depan. Genggaman tangan barangkali hanya tanpa perasaan, di saat aku sedang sebenar-benarnya mendambakan. Tutur kata cinta yang begitu mudah terucap, setiap waktunya melahirkan sebuah harap.

Sepasang tatap mata teduh, kepada mereka aku telah terjatuh. Sebentuk angan-angan, di sanalah kita sedang kuciptakan. Bahagia sudah siap untuk kugapai, saat kamu justru memilih kata selesai.

Kukira aku cukup mengenalmu untuk menjadi keinginanmu. Kukira rasa kita saling menyambut untuk kemudian saling menyambung. Kukira kamulah jawaban dari segala perkiraan. Memang nyatanya tak baik mengira-ngira, menciptakan semesta semu bernama asa.

Mengapa perilakumu seakan bilang cinta, namun hatimu ternyata tidak? Tanya ini tak pernah habis kutulis dalam benak. Andai sejak dulu, aku tak keliru mengartikan bahasa tingkah lakumu, kuyakin rasa ini tak akan menjadi terlalu. Jika kita tak mungkin, namun aku tak berhenti ingin, aku harus bagaimana? Jika kamu telah menemu bahagia di hatinya, namun bahagiaku hanya di hatimu, aku harus bagaimana?

Bukankah ada bahagia yang tampak nyata saat kamu bersama dia, sementara tatapan mata begitu hampa ketika bersamaku? Kebersamaan kini telah hilang makna, namun rasa yang ada padaku enggan untuk sirna. Entah aku yang belum siap atau perjalanan memang harus kulalui seorang diri lagi. Namun kekosongan hati, entah siapa lagi yang akan mengisi.

Barangkali, Tuhan hendak ajarkanku arti merelakan. Apa yang kudapat dari segala rasa yang kuberi namun tak pernah mendapat balasan. Barangkali, kamu hanya cinta titipan, yang kapanpun bisa direnggut kembali oleh Tuhan. Atau barangkali, aku yang terlambat memahami. Bahwa ucap katamu serta tingkah lakumu yang pernah berarti untukku, nyatanya tak pernah berbekas apa-apa di hatimu.

Pada akhirnya, tak pernah hati ini mampu menyalahkanmu sebagai cinta yang salah. Sebab jika memang kamu suatu kesalahan, mengapa mencintamu terasa begitu benar? Pada akhirnya, doa menjadi ungkapan paling sederhana dalam ukuran cinta yang tak mengenal angka.

Bila ujungnya adalah kamu yang tak dapat kumiliki, biarkan setidaknya aku mensyukuri keberadaanmu pada segala ruang dalam hati. Meski kini hanya tinggal sisa-sisa mimpi yang berharap untuk menjadi nyata suatu saat nanti. Sekarang, berjalanlah ke titik di mana kamu sudah menentukan langkah. Pada bahu sebelah kananmu, doa-doaku memilih untuk menetap di sana, seandainya suatu saat nanti kamu butuh tepukan pundak pemberi semangat.

Tentang cinta yang enggan tanggal meski hatiku telah ditinggal, jangan pernah tanya mengapa. Sebab ribuan jawab rasanya akan percuma, jika tetap kita tak mungkin bersama. Semoga bahagia betah merumah di dadamu, semoga bahagia sesegera mungkin menemukan aku.

Avatar

cinta ini membunuhku

Semula, aku tahu kita tak pernah membayangkan akan sampai di titik ini. Ketika cinta terlampau besar untuk kutinggalkan, namun terlampau kecil untuk terlihat di antara tingginya egomu. Entah siapa yang salah, aku ataukah kamu? Atau kita hanya bosan bermain-main di hati yang itu-itu saja?

Jangan paksa aku memutarbalikkan cinta menjadi benci hanya karena sikapmu itu. Kamu tahu, tak selamanya cinta menang melawan luka. Mungkin akan datang saatnya aku meninggalkanmu begitu saja, tanpa mau menengok lagi untuk menjawab semua tanya.

Tak akan bisa bertahan jika kamu terus-menerus memaksakan kehendak dan aku menjadi yang tak mampu berkata tidak. Tak akan bisa sejalan jika melulu kita berbeda pandangan, diakhiri dengan hati yang enggan mengalah. Tak akan bisa sejajar jika yang tinggi tak mau merendah, sedang yang rendah enggan menyocokkan. Entah kita yang tak perlu lebih keras untuk mempertahankan, atau ini hanyalah sebatas ujian.

Sudah puas mengatasnamakan perasaan diantara semua peraturan yang kau paksakan? Kasihan hati, dialah pihak yang paling tersakiti. Setelah temboknya kau buat runtuh, lalu ingin kau buat kekuatannya terbunuh?

Katamu terserah, tapi mencegatku memilih arah. Katamu ini itu bebas, tapi saatku mulai melangkah segala hakku kau rampas. Kamu melenggang tanpa memberiku ruang, hingga tiap bagian dari diriku perlahan hilang. Setiap detik selalu kau tawarkan pilihan, tapi telingamu enggan mendengarku memberikan jawaban. Bolehkah jika kali ini aku yang menyugguhkanmu sebuah pilihan? Pertahankan egomu, atau lepaskan aku?

Bisa kupahami jika kamu ingin merasa sangat dicintai. Namun, apakah kamu lupa aku juga punya hati? Tak bisakah kamu memberi cinta yang sama besarnya? Mengapa hanya kamu yang boleh bilang kecewa, sementara aku yang harus terus berusaha?

Aku lupa rasanya bahagia ketika kamu sulit dibahagiakan. Sebab kunci bahagiaku terlanjur kutitipkan padamu; jika kamu tidak bahagia, bagaimana bisa aku bahagia?

Rupanya mencintamu sebesar ini masihlah belum cukup untuk mempertahankan kita. Lalu aku bisa apa?

Beberapa hal kusimpan dalam diam, hingga kamu bahkan tidak mendengar betapa sakitnya semakin menjalar. Beberapa kesalahan entah memang terampuni atau justru sudah tak mampu kuingat lagi. Beberapa usaha mencapai titik lelahnya, dan membuatku sedikit demi sedikit ingin menyerah. Tanpa kuduga, cinta yang begitu besar pada akhirnya membunuh diriku sendiri.

Aku tak bisa terus-terusan jadi layar tempat jemarimu memencet tombol-tombol pada remot kemauanku. Telah berkali-kali kau kekenyangan oleh sesendok 'iya' yang kucekokan. Kini gantian aku yang kelaparan akan sebuah kejujuran perasaan. Bahwa aku tak lagi merasa nyaman dengan ulahmu yang selalu berteman dengan sejuta pembenaran. Bahwa selalu kamulah rajanya, dan akulah pengikutnya. Inikah namanya cinta jika selalu mendahulukan strata?

Acuh tak acuh kamu menyuruhku untuk patuh. Lalu seakan-akan akulah yang paling butuh, hingga dengan kekerasan hatimu aku mudah luluh. Tidak. Tidak lagi seharusnya aku begini, dipermainkan oleh egomu yang berputar-putar seperti tali yang mencekikku sampai mati.

Yang kuingin kita bisa kembali ke hari lalu, ketika tak ada perselisihan dua ego. Yang kuingin kita saling hentikan keras kepala masing-masing yang membuat kita menjadi asing. Yang kuingin kita yang saling mengisi, bukan saling lupa posisi. Silakan kamu putuskan; perbaiki dan tetap tinggal, atau biarkan saja kita tanggal?

  *ditulis berdasarkan intepretasi lagu Cinta Ini Membunuhku - D'Masiv

Avatar

selamat ulang tahun @PutriCesaria_

1.

Di belantara kata, aku memetik serangkai besar bunga. Tertulis di atasnya harapan-harapan berumur panjang, berhati lapang, serta akal pikiran yang kian dewasa dalam mengenang. Selamat bertambah umur, kamu.

2.

Seiring dengan sepasang mata yang tertutup, rangkaian demi rangkaian doa terpanjat. Agar kelak kamu tumbuh menjadi anak yang taat. Lilin demi lilin yang kautiup adalah gambaran tahun demi tahun di mana kamu hidup. Maka jangan secepat itu semangatmu padam, namun teruslah berjalan meski diserang kelamnya malam.

3.

Kau mengucap harap kepada lilin-lilin yang saling hadap. Mengalamatkan pada Tuhan, sebaris-dua baris keinginan tentang cemerlang masa depan. Demi senyuman dia yang mencinta dan kaucinta, semoga kau dan bahagia selalu bersama.

4.

Bukan lagi balon berbagai bentuk yang kaubutuhkan, melainkan ia yang akan kaucinta, yang akan menghias hari-harimu dengan ragam indah tanpa batasan. Bukan lagi mengharap tentang kado berpitakan warna merah, namun sahabat-sahabat yang akan mendampingi tanpa lelah. Amin-ku untuk segala permintaanmu, biar masalah perwujudannya cukup kaupercayakan pada sang waktu.

You are using an unsupported browser and things might not work as intended. Please make sure you're using the latest version of Chrome, Firefox, Safari, or Edge.