Aku pernah menunggumu, yang rasanya memakan waktu amat panjang sebelum kita saling bertemu.
Diantara rentang waktu itu, awal mulanya aku sangat antusias. Aku menebak-nebak siapa dirimu, namamu? Kapan, dimana dan dengan cara bagaimana kita akan bertemu? Bagaimanakah perangaimu, apakah aku pantas mendapatkan yang terbaik? Namun, bertahun-tahun pertanyaan yang aku ajukan kepada-Nya, tidak memberikanku kunci jawaban apapun.
Bosan menunggu, aku pun memutuskan untuk mencarimu. Diantara pilihan dan kemungkinan yang berserakan.
Namun, ambisi tanpa persiapan diri yang serius dan niat hati yang mungkin kala itu belum sepenuhnya kokoh, hanya membuatku tersesat karena keliru memaknai ujian perasaan dalam berbagai bentuk pertemuan dengan orang-orang di persimpangan takdir, hingga hanya kekecewaan demi kekecewaan yang ku telan.
Di tengah reruntuhan harapan yang menimpa. Butuh waktu panjang bagiku, untuk sadar diri bahwa untuk "menemukan dan ditemukan" aku harus sungguh-sungguh meluruskan niat, berbenah diri dan belajar mensyukuri segala keadaan yang dijalani salah satunya dengan menikmati masa kesendirian. Mengisinya dengan melakukan hal-hal baik yang menyenangkan hati dan menghabiskan lebih banyak waktu dengan keluarga.
Perlahan-lahan, aku berjuang menerima diriku apa adanya, seluruh bekas luka, penyesalan dan kecerobohan yang pernah ku lakukan. Aku tidak lagi membenci separuh diriku yang penuh coretan hitam. Sebab tanpa coretan-coretan kesalahan itu, mungkin aku tidak akan mengenal kata "dewasa dan bertumbuh."
Perlahan-lahan, aku membangun kembali kepercayaan diriku yang sempat hancur berkeping-keping. Kuberikan banyak terima kasih untuk diriku yang mau berupaya bangkit dari keterpurukan. Aku tidak lagi mengutuki diriku karena selalu gagal. Aku tidak lagi mengatakan bahwa kisah cintaku selalu sial. Aku banyak meminta maaf kepada Allah dan diriku sendiri karena selalu mengkerdilkan diriku dengan prasangka buruk.
Aku belajar untuk bersabar dan berbaik sangka. Aku tidak lagi mencarimu dalam banyak kemungkinan dan prasangka, aku memintamu dalam tengadah doa-doa dan kepasrahan.
Aku tidak lagi menunggumu sambil meratapi waktu yang berlalu, aku belajar menikmati indahnya masa kesendirian apa adanya.
Aku menunggumu, sembari belajar banyak hal tentang kehidupan dan menghargai diriku seutuhnya dengan cinta.
Hingga tibalah hari itu, ketika takdir bekerja diluar dugaan, mempertemukan kita dengan cara sederhana sebagai dua teman yang lama sekali tidak berjumpa. Allah kirimkan isyarat pada ketukkan yang sama di hati kita berupa keyakinan untuk saling menikah. Kemudahan demi kemudahan mengikuti prosesnya. Restu demi restu selalu tercurah dari keluarga dan sahabat-sahabat terdekat kita.
Ternyata kunci jawaban tentangmu selalu ada, hanya saja untuk menemukannya aku harus selesai dengan porak-poranda diriku terlebih dahulu, melalui berbagai ujian kehidupan yang sukar dan penuh makna, agar ketika telah menjalani pernikahan ini, tidak ada lagi penyesalan yang mengikuti. Allah Maha baik, telah mengatur segalanya pada waktu terbaik dan melalui dirimu kita saling mengisi segala ketidaksempurnaan agar menjadi rasa dan kata cukup.
Kini kita telah berjalan setahun bersama, ada banyak ragam cerita dan pelajaran yang mengiringi tiap langkah yang ditapaki. Ternyata waktu yang amat panjang sebelum kita satu, adalah sebuah kesempatan untuk mempersiapkan diri dan rentang waktu yang harus amat kita syukuri. Sebab, masa lajang sama berharganya dengan masa setelah pernikahan. Dan setiap masa tak akan terulang dua kali. Nanti, jika peran kita Allah ridhai untuk bertambah lagi semoga kita selalu pandai mensyukuri segala keadaansebagai hamba-Nya.
Dalam bentang jarak, 6 Maret 2024 22.50 wita