Buat Apa Repot Banget Belajar Sekarang? Kayak Mau Nikah Besok Aja~
Hallo, generasi millenials! Apa kabar quarter life crisis? Semoga tidak menggalaukanmu sedemikian rupa, ya! Eh hmm, memangnya apa sih yang sering jadi sumber kegalauan anak muda zaman now? Apa lagi kalau bukan tentang masa depan? Tentu saja! Salah satunya adalah tentang pasangan hidup: siapa orangnya, bagaimana pertemuannya, kapan menikahnya, dan seterusnya. Tanpa disadari, kegalauan tentang masalah yang (di)besar(-besarkan) ini seringkali mengambil energi yang sangaaaaat besar. Padahal,
jauh dari pada kegalauan-kegalauan receh itu, ada lebih banyak hal yang lebih penting untuk digalaukan, seperti misalnya, āApakah benar sudah siap menikah? Sudah siap menjadi pasangan? Sudah siap diamanahi Allah keturunan? Sudah siap menjadi orangtua?ā
Sayang sekali, kebanyakan yang terjadi seolah seperti orang yang belajar berenang setelah langsung tenggelam ke air dan belajar setelah ujiannya memang ada, padahal semuanya akan lebih baik jika persiapan dan belajar dilakukan sebelum ujian. Begitupun dengan pernikahan dan pengasuhan, dimana kelak perempuan akan menjadi madrasah pertama sedangkan para lelaki akan menjadi kepala sekolahnya. Maka, laki-laki dan perempuan sama-sama perlu memahami persiapan pernikahan dan pengasuhan.
Mampu Menikah Bukan Sekadar Tentang Materi dan Finansial
Kepada para pemuda, Rasulullah berpesan untuk menikah jika memang telah mampu menikah. Tahukah kamu? Yang dimaksud dengan mampu dalam konteks ini bukanlah tentang kemampuan untuk bisa membayar kontrakan, cicilan kendaraan, atau biaya walimah besar-besaran. Bukan itu. Tapi, mampu disini juga berarti kesiapan mengasuh karena pernikahan berarti sebuah gerbang dimana nanti akan ada keturunan-keturunan yang dihasilkan.
Sebuah ayat pengingat dari Allah dalam Al-Qurāan pun telah membahas mengenai pentingnya kesiapan mengasuh ini untuk dipersiapkan, yaitu
āDan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.ā - Q.S An-Nisa : 9
Nah tuh, hendaklah takut kepada Allah kalau meninggalkan keturunan yang lemah. Memangnya, lemah disini konteksnya apa, sih?Ā Apakah tentang harta yang kurang cukup? Apakah tentang fisiknya yang sering sakit? Bukan, lemah disini adalah lemah dalam menghadapi tantangan zamannya.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Di ayat tersebut kita juga diperintahkan untuk berkata benar, yang ternyata tidak hanya mencakup perkataan, tapi juga perbuatan dan keputusan yang dibuat untuk anak, yang ketiganya haruslah benar. Ini berperan dalam praktik-praktik sederhana. Bagaimana kita bisa mengatakan apa yang benar kepada anak-anak kita sementara kita tidak mengetahui yang benar itu apa?
Mempelajari Ilmu Pra-Nikah Ternyata Belum Tentu Mempelajari Kesiapan Mengasuh
Pernikahan adalah tentang ibadah seumur hidup yang menghabiskan lebih dari setengah usia kita. Pasca menikah, tugas yang paling identik untuk diemban oleh sepasang suami isteri adalah mengasuh anak. Tapi, hal ini seringkali menjadi luput untuk menjadi perhatian anak-anak muda, seolah menikah selesai dengan urusan antarpasangan saja. Ini bukan sekedar asumsi atau cerita, karena data dari statistik pendaftar Parents Prouductive menggambarkan
62% anak muda mempelajari pra nikah, tapi ternyata, jumlah yang belajar dan mempersiapkan pengasuhan jauh lebih sedikit daripada itu, yaitu 21,6% saja.
Kesiapan mengasuh anak-anak muda zaman now ternyata rendah, hal ini didukung juga oleh fakta bahwa pengasuhan ini tidak ada sekolahnya. Tidak ada sekolah menjadi ibu atau ayah, padahal untuk profesi-profesi lain ada sekolahnya, bahkan untuk menjahit pun ada kursusnya. Nah, dengan akses belajar dan akses informasi yang saat ini meluas, sebenarnya tidak ada alasan yang bisa membenarkan kita untuk menunda-nunda belajar dan mempersiapkan diri.Ā
Belajar bisa dari mana saja, tapi masalahnya, apakah kita mau melakukannya dengan menginvestasikan waktu, tenaga, dan mungkin juga uang kita?
Silahkan ditanyakan kepada masing-masing hati :ā)
Memangnya, Apa yang Membuat Kita Perlu Memiliki Kesiapan Mengasuh Sejak Dini? Engga Nanti Aja Kalau Sudah Dekat ke Akad atau Kalau (Istri) Sedang Hamil?
Pertama, karena kita tentu ingin nurut kepada Allah dan menhindarkan diri dari meninggalkan keturunan yang lemah seperti yang telah dibahas dalam Q.S An-Nisa ayat 9 tadi. Berkaitan dengan hal ini, dalam sebuah kesempatan, Ibu Elly Risman pernah menyampaikan,
āKalau sama Allah aja kamu engga takut, terus kamu mau takut sama siapa?ā
Kedua, karena kita kelak akan menga/suh generasi dengan tantangan zaman yang berbeda. Sebagai generasi Y (lahir di rentang tahun antara 1980 ā 1994), disadari atau tidak, kita seolah dipaksakan orangtuanya untuk sekolah setinggi-tingginya dan mendapatkan pekerjaan yang bagus, akibatnya generasi Y dapat unggul secara akademik tapi tidak siap menjadi suami/isteri dan orangtua. Padahal,Ā generasi Y ini mengemban amanah yang sangat besar di transisi generasi karena berada di masa peralihan antara 2 generasi yang sangat berbeda. Amanah apakah itu? Amanah mengasuh digital native, yaitu anak-anak yang sudah terpapar teknologi sejak lahir, bahkan sejak di dalam kandungan.
Persepsi masyarakat dalam mengasuh adalah learning by doing. Bahayanya, hal ini justru dekatnya dengan trial and error. Padahal, pengasuhan tidak bisa diulangi lagi dan akan ada banyak penyesalan yang terjadi setelahnya jika gagal. Kalau begitu, apa yang akan terjadi jika kita sebagai generasi Y ini mengasuh anak tanpa persiapan?
Kemungkinan paling mungkin adalah kita akan mengobservasi cara pengasuhan orangtua kita dulu dan dia menggunakannya lagi untuk mengasuh anak-anak kita, padahal zaman sudah berbeda.
Tidak hanya itu, parenting is all about wiring, bahaya kan kalau ada rantai pengasuhan yang salah yang kemudian kita tularkan lagi pada anak-anak kita?
Ketiga, kesalahan pengasuhan akan berakibat pada kondisi BLAST pada anak-anak, yaitu bored-lonely-afraid/angry-stress-tired, sehingga mereka akan rentan terhadap bullying, peer pressure, konten dan value yang tidak baik, sasaran empuk pebisnis pornografi, dan budaya hidup tidak sehat.
Ada sebanyak 87 juta anak Indonesia (yang saat ini berusia 0-19 tahun) yang akan mengisi posisi pemimpin negeri ini di tahun 2045 (di usia emas sebuah negara). Siapakah mereka? Mereka adalah anak-anak kita, yang dilahirkan dari generasi kita. Bayangkan bagaimana jika mereka BLAST? Padahal, generasi yang kelak memimpin negeri ini di 2045 haruslah menjadi generasi yang BEST (Behave-Empathy-Smart-Tough), yaitu yang berbudi pekerti baik, memiliki rasa kasih sayang, punya kecerdasan emosional, cerdas, dan tangguh sejak dari rumah karena di luar banyak sekali tantangan yang dihadapi.
Kalau Begitu, Apa yang Bisa Kita Lakukan Sekarang?
Pertama, kenali diri sendiri, pahami bahwa setiap orang terlahir unik, berdamailah dengan masa lalu dan terimalah bahwa seluruh kejadian di masa lalu itu adalah bagian dari diri kita, terima kekurangan dan kelebihan, jadilah diri sendiri.
Seseorang yang tidak kenal dirinya sendiri cenderung akan mencari-cari pasangan yang sempurna untuk menutupi kekurangan dirinya. Padahal, seperti yang dikatakan ustadz Salim A Fillah, jangan menikah dengan ekspektasi, tapi menikahlah dengan obsesi, yaitu tidak mencari pasangan yang sempurna tapi kita bertekad kuat untuk menjadikan dan mendidik pasangan kita sempurna di mata Allah. Maka, carilah yang di kepalanya ada ilmu, di hatinya ada takwa, dan di tangan ada kebaikan yang kelak akan kalian lakukan berdua.
Kedua, sadari bahwa kita kelak akan menjadi orangtua. Ketiga, pilihlah calon yang terbaik, karena hak pertama anak adalah dipilihkan ayah/ibu yang terbaik untuk kita (ikhtiar untuk menjadi suami/istri terbaik). Keempat, rumuskan tujuan pengasuhan, yaitu tentang mau jadi apa anak kita, bagaimana akan mengasuhnya, keluarga kita mau jadi apa, pasangan kita mau jadi apa, dan seterusnya.
Ikat Dulu Untamu, Lalu Bertawakkallah
Semua orang terinstall untuk bisa jadi orangtua, memang begitulah fitrahnya. Tapi, jangan kemudian berleha-leha. Ikat untamu dulu, usaha dulu, belajar dulu, bersiap dulu, baru setelahnya tawakkal kepada Allah.Ā
āDidiklah anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup di zamannya, bukan di zamanmu.ā ā Ali bin Abi Thalib
Tulisan ini adalah resume materi Parents Prouductive sesi pertama yang diolah kembali agar lebih mudah untuk dicerna. Judul asli materi ini adalah āMenjemput Amanah Baru: Mengasah Asa, Menyemai Generasiā yang disampaikan oleh Ahmad Saāad Ibrahim, seorang inisiator NuParents dan edukator Parenting Era Digital.
Sampai bertemu di review-review selanjutnya. Untuk membaca tulisan parenting atau pra-nikah lainnya, klik disini.