Avatar

hanihusam.

@hanihusam / hanihusam.tumblr.com

Menulis itu mengumpulkan dan mengabadikan. Menulis itu belajar dan mengajarkan.
Avatar

Orang bilang, kalau kita sudah menikmati sesuatu atau sibuk melakukan sesuatu, waktu pasti terasa cepat berlalu. Itu lah yang saya rasakan selama satu tahun terakhir ini. Sibuk berumah tangga... eh bukan. Menikmati berumah tangga, membangun keluarga bareng dia @shafna_aulia selama satu tahun ini terasa sangat begitu singkat. Tak terasa sebentar lagi muncul anggota baru dalam keluarga kami. Masya Allah.

Kesan saya setelah menikah satu tahun ini,

“Berkeluarga itu melelahkan”

Ya. Benar-benar melelahkan. Lelah fisik, lelah hati, lelah pikiran. Eit tunggu dulu. Bukannya jalan-jalan juga melelahkan? Tapi menyenangkan bukan?

Nah itu yang saya rasakan. Berkeluarga itu seperti jalan-jalan yang sangat panjang. Di samping lelah, tapi juga menyenangkan.

Berkeluarga itu sejatinya besar maknanya. Bagi saya kenapa berkeluarga menyenangkan sekaligus menantang adalah karena berkeluarga itu meniti karir, membangun perusahaan, membangun kerajaan, dan, yang paling utama, membangun peradaban.

Dan yang paling utama ketika menjalani berkeluarga ini enggak cukup hanya menikmati dan jalan begitu saja, ada ilmu yang harus dipelajari. Karena ke depannya jalan-jalan ini enggak lurus begitu saja. Apalagi nanjak menuju surga itu berat.

Semoga niat ibadah selalu menjadi titik awal dan pondasi yang mengukuhkan bangunan keluarga kita. Bahwa semua lelah, indah, yang terjadi dalam perjalanan ini jika diniatkan lillah diharapkan membuahkan berkah. Amin.

Wallahu ‘a’lam.

Avatar

Investasi

“Eh, uda ada rencana mau punya anak berapa?” “Enam.” “Wah gila lu! Yang bener aja.”

Kira-kira ungkapan zaman orang tua kita dulu yang menyatakan, “banyak anak banyak rezeki” masih relevan enggak ya?

Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, yang disahihkan oleh Albany dalam Jami’ As-shohih, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,

“Nikahilah oleh kalian wanita yang pencinta dan subur, karena aku akan berbangga dengan banyaknya kalian kepada umat-umat yang lain.”

Bahwasannya Rasulullah ﷺ secara tersirat memerintahkan kepada umatnya, kita, untuk memperbanyak anak yang dengan itu beliau ﷺ akan berbangga dengan jumlah pengikutnya kelak di hari akhir yang lebih banyak daripada nabi-nabi lainnya beserta umatnya.

Ternyata kata “banyak anak” sendiri itu sudah ada sejak zaman dulu, bahkan Rasul ﷺ yang memerintahkan.

Lalu apa hubungannya dengan rezeki? Kita semua hafal kan dengan sabda beliau ﷺ yang menyatakan bahwa ada 3 amalan yang tak akan terputus meski kita telah mati? Ya, salah satunya adalah anak yang berbakti.

Sering sekali kita lupa bahwa hidup di dunia itu enggak selamanya. Namun dalam menjalaninya seakan kita akan hidup begitu lama di dalamnya. Dalam memaknai rezeki kita juga sering tidak visioner. Tertutup hanya sebatas materi uang. Padahal rezeki luas maknanya. Bahkan kehidupan yang Allah ﷻ berikan merupakan rezeki yang selalu kita lalaikan. Pun juga anak, mereka termasuk rezeki.

Coba kita sambungkan dengan hadist nabi ﷺ tentang amal tak terputus di atas. Bayangkan jika kita berhasil mendidik anak kita dan menjadikannya soleh nan berbakti bukankah itu termasuk ladang harta yang melimpah, membahagiakan, dan membanggakan? Enggak hanya di dunia, rezeki ini terasa hingga kelak di akhirat. Bayangkan kelak kita yang penuh dosa ketika sampai di hari penghakiman tiba-tiba Allah meringankan timbangan dosa dan memberatkan timbangan pahala lantaran kita memiliki anak sholeh yang selalu meminta pengampunan untuk kita. Masya Allah. Itu baru 1 anak. Bagaimana jika banyak? Dan masih banyak rezeki lain yang kita dapat dari anak soleh yang berhasil kita didik. Jadi, ungkapan “banyak anak banyak rezeki” insya Allah benar adanya.

Eits, tapi ada syarat dan ketentuan berlaku, yaitu kita harus benar berhasil mendidik anak kita dengan cara sebagaimana rasulullah ﷺ ajarkan. Bagiamana caranya? Yuk mari belajar dari Al-Qur’an dan Hadits nabi ﷺ.

Berat? Coba tanyakan sama diri kita masing-masing. Untuk mendapatkan rezeki dunia yang sementara kita rela untuk begadang semalaman, merantau nan jauh di sana, rela berkorban segalanya, sedangkan untuk rezeki yang jelas-jelas bersifat “selamanya” kita dengan mudah mengatakan tidak mungkin dan berat untuk dijalankan?

Anak bukan hanya sebatas rezeki saat ini, melainkan juga merupakan investasi yang menjadikan amalan kita melampaui batas umur kehidupan kita.

Semoga Allah memberikan pertolongan kepada kita dalam mendidik anak-anak kita.

“Ya Rabbi, karuniailah kami anak-anak yang sholeh”

Wallahu ‘a’lam.

Avatar

Ada yang bilang perjalanan adalah tentang pemaknaan. Perjalanan mengajarkan kita arti dari sebuah pengertian dan toleransi. Lewat perjalanan kita memiliki kesempatan untuk mengenal manusia dengan lebih manusiawi.

Pun aku rasa pernikahan merupakan perjalanan, bahkan perjalanan yang paling panjang dari fase kehidupan. Jika perjalanan menjadikan kita memiliki kesempatan untuk mengenal manusia lebih manusiawi, pun dengan pernikahan. Aku mengenal bagaimana bersikap dan beradab (secara personal) dengan manusia melalui pernikahan. Yang aku rasa dulu aku sudah benar ternyata salah besar. Jika perjalanan mengajarkan arti dari toleransi dan pengertian, pun dengan pernikahan. Aku menjadi lebih paham bahwa mengerti bukan berarti mengalah, kamu senang aku meredam amarah, melainkan tahu waktu dan porsi saat berkomunikasi.

Perjalanan itu berat. Pernikahan juga berat. Mungkin kenapa kita disarankan untuk berjalan beriringan karena terdapat kata “ringan” dalam “beri-ringan”. Sendiri kita bisa. Bersama kita luar biasa.

Avatar

“Semakin banyak kau berucap maka semakin kentara kau terlihat bodoh (fakir ilmu)”

Sebuah kutipan yang selalu terngiang di setiap mendapat kesempatan berbicara di depan khalayak. Selalu merasa bahwa adakah manfaat dari setiap kata yang terucap untuk mereka yang menyimak, atau jangan-jangan hanya kesia-siaan, membuang-buang waktu hanya untuk mendengar ucapan yang tak tentu benar ini?

Maka saya pun mengutip kaidah fiqih yang mengatakan, “Apabila sudah ditemukan air batal lah (tidak menjadi manfaat) tayyamum (debu)”. Apalah daya saya yang masih fakir ilmu ini berbicara banyak di depan mereka yang lebih pantas dan berilmu daripada saya? Baru nampak manfaat di saat yang memiliki manfaat utama tidak ada.

Ceritanya kemarin diundang sama temen-temen ITC UPNYK untuk menjadi pembicara, share ilmyu, tentang penelitian yang sedang saya kerjakan. Apalah saya ini yang bukan programmer tulen berbicara panjang lebar di depan para programmer handal. Apalagi disandingkan dengan suhu Rizal Ardhi CEO Eternal-Loops.

Back to basic.

Akhirnya saya alihkan dengan berbicara ngalor ngidul tentang dunia kreatif dan perserabutan yang merupakan latar belakang saya. Nggak banyak sih, tapi semoga bermanfaat.

“When Informatic Meets Artistic”

Avatar

Ada Satu

Dari banyak obrolan yang sering aku ulang-ulang, yang mungkin kamu mulai bosan mendengarkan, aku ingin kamu percaya satu hal;

Di saat kamu mencoba membuat lelucon dan ternyata tak ada satu pun yang tertawa sebab gurauanmu, percayalah ada satu orang yang menampakkan wajah antusias dengan tersenyum di depanmu, walaupun kamu sudah terlanjur malu.

Kala kamu harus menampakkan raut ceria walau sejatinya kamu sedang menahan nestapa, percayalah ada satu orang yang membaca mimik itu dan ingin menawarkan tempat berbagi untuk kamu, tapi kamu masih saja menutupi dan memilih menghadapinya sendiri.

Ketika orang lain tidak antusias mendengarkan pemaparanmu yang kurang piawai di depan, percayalah ada satu orang yang tidak mengedipkan mata ke arahmu dan antusias mendengarkan.

Ada satu orang: itu aku

Avatar

Bertahanlah

Bagaimana cara kita mengukur bahwa diri kita telah mencapai tahap ikhlas dalam mengerjakan suatu amalan atau kegiatan? Pernah tidak kita kembali merenungkan dari semua episode kehidupan yang telah kita jalani hingga saat ini, ada berapa banyak hal yang kita sudah benar-benar ikhlas? Atau ternyata di masa lalu, kita masih meninggalkan banyak episode yang kita belum benar-benar selesai? Atau malah jangan-jangan kita belum bisa ikhlas dengan apa yang ada pada diri kita sendiri?

Apakah ikhlas adalah perasaan ringan yang dirasakan kala kita mendapatkan ujian atau cobaan?

Perkara ikhlas itu memang lah sesuatu yang berat untuk dijalankan. Itu kenapa ikhlas merupakan kunci utama diterimanya suatu amalan dan terbukanya lapis-lapis keberkahan. Ikhlas itu bukan berarti ketika ditimpakannya suatu musibah, kita dengan mudah merasa ringan tenpa beban, biasa saja tak merasa sesak di dalam dada atau terbeban dalam jiwa. Mungkin perasaan itu merupakan titik yang harus dicapai kala kita ditimpa ujian, tapi dalam banyak hal ternyata bukan seperti itu jalan aturannya.

Saya teringat ayat di dalam Al-Qur’an yang menceritakan kisah perjalanan Ibrahim ‘alaihissalam saat beliau diberikan cobaan harus meninggalkan istri dan anaknya, Ismail ‘alaihissalam, yang baru lahir di padang tandus tanpa pemukiman dan penghidupan. Ibrahim Allah perintahkan untuk meletakkan keluarganya di tengah-tengah padang dan bergegas melakukan perjalanan ke Palestina tanpa ada satu katapun yang Ibrahim ucapkan untuk istri dan anaknya yang ditindalkan. Karena memang perintah Allah demikian. Betapa pilu dan berat hati Ibrahim menjalankannya. Namun apakah Ibrahim tidak melaksanakannya? Beliau tetap tunduk pada perintah-Nya. Di kesempatan lain setelahnya Ibrahim tiba-tiba diberikan mimpi yang mana Allah memerintahkannya untuk menyembelih anaknya, Ismail, padahal belum lama Ibrahim bertemu setelah perpisahan yang begitu lama semenjak beliau meninggalkannya di tengah padang tandus kala itu. Betapa berat Ibrahim melaksanakannya. Anak semata wayang yang beliau sayang, yang kerinduan pertemuan dalam hati pun belum hilang, beliau diperintahkan untuk menyembelihnya. Apakah Ibrahim merasa ringan tanpa beban? Dalam perasaannya yang tak karuan, Ibrahim tetap melaksanakan apa yang Allah perintahkan. Dan kita tahu bagaimana kelanjutan dari kisah-kisah tadi dan hikmah-hikmah yang bisa kita pelajari. Poinnya adalah perasaan berat itu tidak menjadi ukuran bagi keikhlasan Ibrahim dalam menjalankannya. Dan yang perlu kita pahami bahwa keikhlasan itu tidak selalu tumbuh dari rasa ringan dalam melaksanakan suatu pekerjaan. Ikhlas bisa tumbuh dari upaya-upaya berat mengalahkan nafsu yang menghantui hati dan tetap bertahan walaupun berat dalam menjalankan. Ikhlas adalah pengorbanan.

“Berangkatlah baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (At-Taubah[9]:41)

Jadi, walaupun kita masih merasa berat dirasa, bukan berarti kita tidak ikhlas. Justru itulah yang Allah lihat. Bagaimana pengorbanan kita untuk melawan rasa itu.

Bertahanlah. Walaupun berat. Jangan pernah ragu melakukan sesuatu. Walupun berat. Bertahanlah. Bila dengan melakukannya, Allah terasa semakin dekat dengan kita.

Dan salah satu cara terbaik untuk bertahan dalam keikhlasan adalah dengan bersyukur. Tentang bagaimana kita bisa melihat lebih banyak kebaikan-Nya dibanding dengan apa yang sedang kita hadapi untuk mendapatkannya.

Semoga Allah kokohkan dan lapangkan hati kita dalam menjalankan dari setiap ketentuan yang telah Dia tetapkan.

Avatar

Salah Jalan (?)

“Sudah sampai sejauh ini. Apakah selama ini aku salah jalan?”

Semakin dewasa ini rasa-rasanya kita mulai bersikap realistis. Gampang sensitif dengan hal-hal yang terjadi pada sekitar, orang lain. Secara tidak sadar kita mulai membangun tembok-tembok pembatas dari angan dan cita sewaktu usia belasan. Sering mempertanyakan keputusan lampau yang telah diambil. Padahal jika diingat-ingat jalan yang sekarang kita ambil pun hasil dari pertimbangan dan semangat kaki melangkah. Dulu sih bilangnya, “Aku yakin kok ini jalanku. Aku yakin ini udah sesuai dan yang terbaik”.

Namun semuanya berubah ketika negara “kesuksesan orang lain” menyerang. Seakan-akan kita selalu membandingkan apa yang ada pada kita dengan apa yang ada pada mereka. Pertama sih muncul ungkapan, “Wah beruntung ya dia. Keren banget bisa kayak gitu”. Lama kelamaan, “Eh dia udah gitu aja ya. Emm kok aku masih gini-gini aja”. Parahnya lagi sampai, “Ah ngepasin aja itu momennya. Kalau aku di posisi itu aku pasti juga bisa dapetin”. Iya nggak? Padahal belum tentu ketika kita ada di posisi mereka bisa lebih membawa kebaikan dibanding mereka.

Kita jadi linglung di perjalanan. Manjadi melambat. Sebentar-bentar ngelirik ke belakang. Ngeliat “kok udah jauh ya”. Mau puter balik trus mulai lagi di jalan yang lain kok ya udah kejauhan.

Hey. Jalan bahagia masing-masing orang teh beda. Itu yang kudu kita tanamkan dalam pola pikir kita. Fokus sama apa yang kita inginkan. Bukan malah fokus sama yang orang lain dapatkan. Mau sampai kapan kita hidup dalam bayang-bayang? Sudah saatnya kita merubah pola pikir. Masih ingat tulisan saya,

“Kebahagiaan tidak harus didapat dari yang terbaik, termahal, tertampan, tersukses dari apa-apa yang kita miliki ataupun halhal indah yang kita impikan. Tetapi kebahagiaan datang dari cara kita menyikapi apa yang kita miliki.”

Nah itu yang harus kita ubah. Selamat menyelami diri ke dalam dan melangkah lagi maju ke depan.

Avatar

Cerpen: Cukupkanlah

Siang itu aku membiarkan kepalaku merebah sejenak di atas meja kerjaku. Pusing sekali rasanya. Disamping tugas-tugas yang masih jauh dari kata selesai, muncul juga pikiran-pikiran lain yang berputar di dalam kepalaku.

Dalam aku berpikir. Bertanya pada diriku sendiri, apa yang aku kerjakan selama ini, sesemua yang aku miliki, sudahkah berarti? Sudahkah bermanfaat bagi orang lain? Sudahah Allah ridhoi? Kembali aku mencoba mengangkat kepala dan melihat layar laptopku. Rasanya masih berat untuk mulai mengerjakan lagi.

Tiba-tiba terlintas ingatan tentang nasehat ibu dulu,

“Le, mungkin kamu kelak akan lebih berada dari ibu dan bapakmu sekarang. Jika pun tidak, ibu dan bapak juga tidak mengapa. Ibu sama bapak tetap bangga. Pesen ibu, syukuri apapun kamu adanya. Mau kaya, berkecupan, maupun kekurangan. Karena sejatinya kita ini papa di hadapan Yang Maha Kaya. Semua yang kita miliki hanyalah titipan yang kelak akan dipertanggung jawabkan. Entah itu dititipin banyak ataupun sedikit sesemuanya akan dipertanyakan. Jadi pesen ibu, niatkan semua lillahi ta’alaa ya, Le. Karena sesemua yang lillah akan bernilai berkah.”

Aku memandanginya lekat waktu itu.

“Untuk sesemua yang kamu miliki cukupkan lah, jangan berlebihan. Hiduplah sederhana. Sederhanalah dalam hidup, tetapi tidak dalam berbuat baik.”

Aku tersenyum dan langsung memeluknya kala itu.

“Maaf ya Le, ibu cuman bisa ninggali kamu nasehat, yang semoga saat ibu bapak sudah tidak ada nanti, ini bisa lebih berharga dari tinggalan harta yang ibu bapak punya.”

Dan sekarang mereka telah tiada. Aku rindu nasehat-nasehat itu.

Avatar

Mas”, kamu duduk di sampingku sambil membawakan kopi.

Kenapa sih, Mas dulu memutuskan untuk menikahi aku?”, tanya mu.

Aku meletakkan buku yang sedari tadi aku baca, kemudian beralih menatapmu.

Dek”, aku meraih tanganmu, “Tahu nggak salah satu hak yang harus dipenuhi orang tua dari anak-anak mereka?

Kamu mengerutkan dahi bingung, “Apa emang, Mas?

Dipilihkan ibu yang baik. Dan kamu lah orangnya

Avatar

Cerpen: Ke(tidak)sengajaan

Hanya tinggal beberapa jam, aku masih belum bisa menenangkan laju pikirku. Begitu cepat sehingga hatiku pun ikut berdegup tak beraturan. Beberapa kali aku meminta seseorang untuk mengambilkanku segelas air putih, berharap dengan meminumnya ketenangan pikiran dan hati segera menguasai. Tiba-tiba ingatanku terlempar jauh bertahun-tahun dari hari ini.

Kala itu hujan sore hari mengguyur tiba-tiba, tanpa permisi, tanpa ada tanda-tanda, tanpa ada persiapan. Dengan sedikit kesal aku terpaksa harus menepi mencari tempat singgah untuk berteduh. Padahal belum jauh aku memacu kendaraan dari tempat aku berangkat. Tidak lama kamu datang tiba-tiba, tanpa permisi, tanpa ada tanda-tanda, tanpa ada persiapan. Kamu memilih tempat berteduh yang sama denganku. Entah disengaja atau tidak, yang jelas sore itu kita berada di emperan toko yang sama. Hanya berdua. Dengan obrolan sederhana.
Ternyata ke(tidak)sengajaan pertemuan dan kebersamaan itu ternyata tidak berhenti seketika hujan berhenti sore itu.
Beberapa kesempatan setalah itu kita ternyata lebih sering dipertemukan. Aku baru tahu ternyata kamu juga tergabung ke dalam komunitas kepedulian sosial sama sepertiku.
Bermula dari obrolan sederhana kala itu, ternyata kini kita lebih sering bertemu dan mengobrol. Mengobrolkan tentang banyak hal. Pernah di suatu kesempatan kamu membicarakan tentang ke(tidak)sengajaan(mu)-Nya yang menjadikanmu tiba-tiba izin ke toilet di tengah kelas perkuliahan. Ternyata salah satu keran wastafel belum dimatikan dan menyebabkan air tumpahruah membasahi lantai. Dan kamu menarik kesimpulan, “Oohhh, ternyata aku ke kamar mandi karena disuruh matiin keran juga. Hahaha, aneh ya, apa orang lain pernah berpikiran hal serupa ya?”.

It happens reasonable.

Takdir berjalan misterius. Sama seperti ketidaksengajaan pertemuan kita yang nyatanya adalah kesengajaan dari Nya. Bahwa apa yang kita lakukan merupakan ketetapan-Nya. Dan kita adalah wujud ke(tidak)sengajaan itu.

Ketika kita dipertemukan dengan orang-orang yang kita temui sekarang ataupun pernah kita temui, dengan permasalahan yang sedang ataupun telah kita hadapi, semua itu ada hikmahnya. Semua ada pelajaran di dalamnya. seberapa banyak pelajarannya itu tergantung dari seberapa dalam kita bisa memahaminya dari setiap celah yang ada. Dan setiap pertemuan memiliki hikmahnya masing-masing. Tahu kan kalau orang-orang yang memiliki tujuan yang sama akan dipertemukan di perjalanan ? Dan yang tahu itu kenapa diri kita sendiri, atau bisa jadi masih menjadi misteri. Itu kenapa Allah selalu bilang segala sesuatu pasti ada hikmahnya untuk kita petik, bagi kita orang-orang yang mau berpikir. Hikmah dan pelajaran itu bentuknya macem-macem. Tinggal kita ingin menyikapinya dengan sabar dan syukur atau dengan kufur.

Dan aku jadi mengerti maksud ke(tidak)sengajaan pertemuan kita waktu itu. Berada di emperan yang sama dan tidak saling kenal. Tapi menghindari hal yang sama dan menunggu hal yang juga sama, hujan reda. Kita tidak saling mengenal. Aku datang dari mana dan kamu entah dari mana. Tapi kemudian pulang kehujanan. Tiba-tiba, tanpa permisi, tanpa ada tanda-tanda, tanpa ada persiapan. Aku menjadi tahu sejak saat itu bahwa entah apa jadinya kalau hujan tidak jatuh sore itu, dan kita tidak dipertemukan kemudian di satu komunitas yang sama.

Jawaban atas takdir dan segala sesuatu yang terjadi dalam hidup kita memang seringnya hadir belakangan. Butuh beberapa waktu bahkan beberapa tahun. Dan kuncinya adalah sabar.

Dan jawaban dari kesabaranku adalah hari ini. Hikmah dari ke(tidak)sengajaan sore itu adalah hari ini. Sekarang aku lebih tenang. Aku siap untuk menjabat tangan ayahmu dan mengucap kata “qobiltu”.

Avatar

Cerpen: Tanggung Jawab Diri

Aku menyempatkan mampir sejenak di kedai kopi kawanku selepas hari yang panjang di kampus sebelum aku pulang ke rumah. Aku sering sekali ke sini. Tempatnya tidak begitu luas. Tingkat. Sangat sederhana. Hanya bangunan kecil bertingkat kayu dan hiasan bebatuan kali di bagian pagar.

Tibatiba handphone-ku bunyi. Pesan masuk dari kamu.

“Mas, gimana sih caranya kita tahu kalau kita itu klik sama seseorang, dan kita bisa yakin kalau dia bisa membahagiakan kita?”

Kamu selalu saja datang tibatiba dengan pertanyaan yang tak terduga. Aku berpikir sejanak. Menimangnimang handphone-ku sambil sesekali menyeruput kopi pesananku.

Aku tidak tahu jawabannya”, jawabku singkat. Lalu aku melanjutkan, “Tapi orang bijak pernah bilang bahwa bahagia itu di dalam diri kita, bukan di luar. Jadi, kita tidak akan pernah tahu kalau seseorang, siapapun, dapat membahagiakan kita atau tidak, karena diri kita lah yang seharusnya bertanggung jawab untuk membahagiakan diri kita sendiri. Bukan orang lain.

Aku membenarkan posisi dudukku agar lebih santai dan menyeruput kopi lagi.

Kalau kebahagiaanmu itu juga menjadi tanggung jawabku. Tanyakan sama orang tuamu boleh kah aku berkunjung untuk meminta restu.

Ah, hampir saja aku mengirimkan pesan terakhir itu. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana nanti reaksimu. Pernyataan mengambang? Ah, aku butuh kepastian. Apakah aku langsung saja berkunjung tanpa memberi tahu mu?

Tuhan tahu jalan yang terbaik.

Avatar

Menuju Seperempat Abad

Umur duapuluhan atau orang-orang sering menyebut quarter life crisis. Titik dimana kita dihadapkan oleh begitu banyak pilihan. Dan pilihan-pilihan tersebut tidak serta merta mudah kita memilih A atau B mana yang paling menarik. Melainkan pilihan yang sangat berpengaruh timeline mana yang akan kita jalani kedepannya. Bukan lagi, “Besok mau ngapa?”, melainkan sudah menjadi, “Sekarang ini aku mau ngapa?”.

Dua hari yang lalu, umur saya menginjak angka duapuluh empat. Dan saya merasa makin ke sini waktu berjalan begiti cepatnya. Berbeda ketika kita masih di usia remaja. Menungu weekend saja seperti seabad, kalau sekarang baru saja kemarin weekend besok udah weekend aja. Waktu bergulir begitu cepatnya. Duapuluh empat jam seakam sekejap. Minggu ke minggu. Bulan ke bulan. Tahun berganti tahun. Semuanya terasa begitu tidak lain karena satu persatu tanggung jawab semakin melekat pada diri kita; kuliah kita, pekerjaan kita, rumah tangga kita, dan daftar-daftar impian yang ingin kita wujudkan.

Kebanyakan dari kita, tanpa kita sadari mulai menjadi realistis. Banting setir. Berbelok arah dari apa yang telah lama dijalani, entah karena paksaan atau kahanan, menuju arah jalan yang berbeda, bahkan tidak sedikit yang kontradiktif. Pada titik semacam itu lah kita mulai merasa lelah. Kebingungan. Mulai menanyakan “apakah selama ini aku salah jalan”. Kemudian saya teringat apa yang dikatakan mbak Mutia Prawitasari bahwa dari kebingungan dan kesedihan akan kerelaan untuk melepas apa-apa yang sudah lama kita pegang ada satu yang perlu kita sadari dari peluh dan air mata yang jatuh, selain kita sedang bertumbuh, hidup kita bergeser dari “mencari makna” menuju “menjadi makna”.

Jika pada saat “mencari makna” kita disibukkan dalam pencarian jati diri. Memupuk nilai diri. Menjadikan diri berguna untuk diri sendiri. Mencari tempat terbaik, pendidikan terbaik, karir terbaik. Yang mana itu semua kita tidak tahu apakah akan berguna bagi lingkungan dan orang lain.

Sedangkan pada saat “menjadi makna” kita disadarkan betapa masih jauhnya kita dari berilmu. Kemudian disibukkan dengan belajar bagaimana hidup bermasyarakat. Membangun saling ketergantungan dengan lingkungan. Belajar menerima, memaafkan, melupakan, dan memperjuangkan. Bagaiamana diri kita bisa berdaya guna.

Hidup memang tentang bagaimana kita menghabiskan hidup itu sendiri. Ingin berguna atau biasa-biasa saja. Kita semua sedang menjalankan peran kita masing-masing. Dan saya yakin tidak ada peran yang lebih baik antara satu dengan yang lain. Yang menjadikanya lebih baik adalah seberapa kita ikhlas dan memaknai peran tersebut dan seberapa jauh kita mendaya gunakan peran tersebut. Tidak usah berpikir seberapa luas, mulai lah dari orang-orang terdekat.

Apakah kamu juga sedang menuju seperempat abad? Yuk berkolaborasi menciptakan manfaat.

Di Bawah Langit, 4 Desember 2018

Avatar

#UlasBuku 📕MARKETING HEBAT ALA RASULULLAH ﷺ 👤Faidatur Robiah 📚Tinta Medina

Buku ini adalah buku terakhir yang saya baca di tahun 2018. Sebenernya ada 1 buku yang on going saya baca, tapi ternyata sampai sekarang belum berhasil saya selesaikan. Malahan ceritanya buku “Marketing “ ini menjadi pengalih bacaan saya dari buku yang sampai sekarang belum selesai dibaca tersebut.

Buku ini tidak sengaja saya temukan di tumpukan buku yang ada di rak. Buku ini merupakan buku kepemilikan istri yang terasingkan dari novel-novel yang lebih istri lahap. Haha memang kontrakdiksi antara saya dengan istri. Saya lebih suka buku bacaan daripada novel, sedangkan istri bisa betah berjam-jam membaca novel daripada buku-buku bacaan.

#UlasBuku dimulai. Buku ini berisi tentang bagaimana berbisnis ala Rasulullah secara umum. Dimulai dengan prolog apa itu bisnis, bisnis dalam islam, dan bagaimana seharusnya seorang muslim berbisnis. Kemudian pada bab-bab selanjutnya dijelaskan kesalahan yang sering tidak sadar kita lakukan dalam bisnis padahal itu menghilangkan keberkahan dan bahkan haram untuk dilakukan. Dan di akhir bab dibahas tentang bagaimana Rasulullah ﷺ berbisnis. Dengan modal awal sifat-sifat beliau; shidiq, tabligh, amanah, fathonah, beliau bisa menajdi seorang pembisnis sukses. Di buku ini juga dijelaskan tentang sifat-sifat beliau ketika diterapkan pada bisnis dan dikorelasikan dengan bisnis zaman sekarang.

Dari buku ini saya juga tersadar akan banyak hal dalam berbisnis. Banyak juga yang kemudian saya terapkan dan alhamdulillah sangat terasa perbedaannya dari laku bisnis yang saya jalankan sebelumnya. Dalam berbisnis yang diuntungkan tidak hanya kita selaku penjual, tetapi juga pembeli harus merasa puas atas jasa atau barang yang mereka dapat dari kita. Karena bisa jadi keuntungan yang kita dapat tidak terasa nikmatnya lantaran pembeli tidak ridho dan kecewa atas apa yang mereka dapatkan dari kita.

Buat temen-temen pelaku bisnis, mungkin bisa ditelaah kembali, sudah benarkah cara kita dalam berbisnis, sudah benarkah niat kita dalam berbisnis, jangan sampai bisnis kita hanya memberikan keuntungan harta, karena keberkahan lebih utama daripada hanya sekedar materi dunia.

Avatar

Prioritaskan Amanah (?)

Saya teringat saat saya dulu berada pada posisi tahun-tahun pertama merasakan menjadi seorang aktivis kampus. Berbagai tanggung jawab dan amanah saya emban di berbagai bidang. Hingga pada suatu waktu saya kewalahan dengan berbagai tanggung jawab yang sedang saya jalani. Mengakibatkan satu dan berbagai tanggung jawab tidak optimal saya jalankan. Bukannya menjadi poros pergerakan, malah menjadi beban.

Dari situ saya menyimpulkan bahwa satu sisi “mengemban amanah” itu candu. Kita lupa bahwa amanah itu tak sesederhana kita memimpin dan menjadi simbol eksistensi diri. Amanah itu tanggung jawab. Tanggung jawab yang kelak dipertanyakan hingga setelah kita mati.

Berapa banyak amanah yang sudah kita jalani, tetapi kita melaksanakannya dengan tidak amanah? Berapa banyak orang yang sudah kita dzolimi disebabkan “banyak amanah” yang sedang kita jalani, padahal apa yang kita dzolimi juga amanah yang seharusnya kita kerjakan yang tanpa sadar kita lupakan?

Maka pada saat jumpa pertama dengan wajah-wajah yang satu periode ke depan akan menemani saya, saya mengatakan, ”Bukannya aku melarang kalian untuk mengikuti banyak ornganisasi. Kalian boleh aktif sana sini. Mengembangkan potensi diri kalian agar tidak mati. Mengemban sebanyak-banyak amanah untuk mencari pengalaman. Tapi ingat, ada satu amanah yang pertama kali menempati pundak kalian saat kalian menginjakkan kaki di kampus ini; amanah orang tua. Amanah besar yang harus kalian jaga baik hingga kelak kalian lulus dari sini, tanggung jawab kalian kepada orang tua”

Ada kah kedzoliman kepada orang lain yang lebih besar daripada dzolim kepada orang tua? Dan sudah berapa banyak kita melakukannya?

PS: Foto bareng satu halaqoh. Halaqohminfo namanya. Bersama wajah-wajah yang dulu pas saya SMA mereka masih SD. Tapi muka nggak jauh beda lah ya. Terima kasih sudah bersedia menemani saya selama satu periode ke depan. Saling mengingatkan dalam kebaikan dan kesabaran ya

Avatar

Jika kita ditanya, “kenapa hanya sedikit waktumu yang kamu habiskan untuk ibadah dan beramal kebaikan?” Apa jawaban kita?

“Ada kok, emm... emang sih masih sedikit. Ini juga lagi bertahap kok buat memulai kebaikan”,

“Iya sih, cuman kayak 24 jam itu menurutku kurang nggak sih? Kayak barusan bangun tidur, eh kok udah malem lagi. Belum sempet banyakin urusan akhirat”,

“Suka lupa, duh tolong ingetin ya. Aku tuh orangnya harus diingetin”,

“Sadar kok, cuman ya tau lah suka tiba-tiba lupa. Kayak tiba-tiba harus ngerjain ini itu, jadi nggak sempet”,

dan lain sebagainya.

Yang mana jawaban kita? Ataukah punya jawaban lain?

Tahu kan kita diciptakan Tuhan untuk beribadah? Bukan untuk banyak beralasan agar Dia memaklumi kelalaian dan pembenaran kita. Lalu mengapa kita masih saja mengutamakan dan mengejar kesenangan dunia, tapi untuk ibadah kita hanya berikan waktu sisa?

Dari sekian waktu dan usia yang telah kita lalui, berapa menit paling lama kita betah untuk membaca Al-Qur’an? Dari sholat 5 waktu yang telah diwajibkan, berapa menit kita habiskan untuk setiap waktu sholatnya? Dari harta yang telah Tuhan berikan, berapa rupiah yang kita investasikan untuk bersedekah? Dari banyak kesempatan yang Tuhan hamparkan di depan, berapa banyak yang kita ambil untuk menebar kebaikan?

Jika dibandingkan dengan yang kita habiskan untuk urusan dunia, lebih banyak mana?

“Masih ada waktu. Santai aja dulu. Serius banget hidup”

Tuhan tidak bercanda saat menciptakan kita, tapi kita dengan begitu mudah menyepelekan kehidupan yang telah diberikan. Mungkin sekarang kita bisa mengelak dengan seribu alasan jika diberi pertanyaan demikian. Namun kelak jika kita sudah mati dan diberi pertanyaaan serupa, ingin beralasan apa lagi kita?

“Dan kejarlah apa yang telah Allah berikan kepadamu untuk (kebahagiaan) kehidupan akhirat, dan jangan lupa (urusan) untuk kebaikan nasibmu di dunia” [Al-Qoshos: 77]

Jadi, tahukan mana yang harus diprioritaskan?

Avatar

Refleksi Diri

Tau nggak, musuh terbesar yang harus kamu lawan itu diri kamu sendiri?

Berapa banyak capaian, impian, kebaikan yang gagal kamu lakukan karena diri kamu sendiri? Kamu sadar harus melakukan ini itu, menghadapi ini itu, sadar kalau salah ini itu, tapi tetap saja enggak sampai kan di “tujuan”?

Kenapa? Ya karena diri kamu sendiri. Kamu masih kalah sama diri kamu sendiri. Kalah sama ego kamu. Kalah sama males kamu.

Lalu kamu masih saja menyalahkan keadaan? Orang lain? Memang variabel lain tidak luput dari kesalahan juga. Namun menyalahkan keadaan bukanlah jalan keluar. Mau sampai kamu bikin Daftar Kesalahan Orang Lain/Keadaan, kehidupan kamu tidak akan membaik satu jengkal pun.

Tahu kan ketetapan Tuhan bahwa Tuhan tidak akan merubah suatu kaum (seseorang) sampai kaum tersebut berusaha untuk mau merubah nasib mereka sendiri?

Jadi tahu kan apa yang harus dirubah? Kalau kedepannya ada yang enggak beres di hidupmu, keseharianmu, tahu kan siapa yang harus disalahkan?

You are using an unsupported browser and things might not work as intended. Please make sure you're using the latest version of Chrome, Firefox, Safari, or Edge.