Avatar

Tentang Menonton Bersama

Beberapa tahun lalu sebelum pandemi, saya dan partner sering sekali menghabiskan waktu untuk menonton bersama di bioskop. Ketika ada film yang bagus keluar kami memaksakan diri menonton bahkan pada malam hari. Meski sebenarnya badan sudah lelah karena aktivitas seharian, saya tetap mengusahakan. Terkadang partner sampai ketiduran di dalam bioskop atau saya juga pernah ya begitu mengantuk? Rutinitas tersebut terasa begitu menyenangkan untuk dijalankan meski agak-agak menderita kalau mengantuk di dalam bioskop. Sudah bayar tiket dengan tujuan menonton film tapi jadinya tidak optimal. Tidak apa-apa lah. 

Kami bukan tipe orang yang jajan ketika masuk ke bioskop. Sepertinya meski senang menonton kami tetap saja adalah orang-orang yang ingin berhemat HAHA. Meski begitu terkadang tetap saja kami membeli sesuatu sebagai teman ketika menonton. 

Pandemi datang dan kebiasaan menjadi berubah. Hingga tulisan ini dibuat saya belum menonton lagi ke bioskop. Ada begitu banyak film bagus yang saya lewatkan karena saat ini prioritas memang sudah berbeda. Selain karena masih khawatir pandemi COVID-19 yang belum benar-benar berlalu, sebenarnya saya belum menemukan lagi film yang benar-benar membuat saya menonton lagi di bioskop. Awalnya saya kira saya akan menonton film ini ini ini di bioskop. Namun nyatanya tidak. Benar-benar prioritas sudah berubah. Lagipula begitu mudah untuk menonton, kebiasaan saya dan partner tidak benar-benar hilang. Kami bisa menonton bersama di rumah. 

Selama pandemi saya jadi lumayan banyak menonton drama Korea. Ada saja yang saya tonton. Sangat jarang sekali menemukan diri saya tidak menonton apapun. Tidak hanya drama yang baru tayang, saya yang terlambat menonton beberapa drama pun bisa saja baru memutuskan menontonnya sekarang. Saya senang sekali. SENANG SEKALI kalau ada drama yang bisa ditonton berdua. Apalagi kalau ada drama yang partner katakan ide ceritanya menarik, sehingga dia pun rajin untuk menontonnya. Rasa-rasanya menonton bersama kembali menjadi rutinitas berdua. 

Sepertinya perjalanan bersama kami dimulai dari drama It is Okay to not be Okay. Drama di Sabtu dan Minggu malam menjadi kesukaan kami. Berlanjut ke Start-Up, Hometown Cha-cha. 2521. Setelah parade My Liberation Notes dan Our Blues, akhirnya kami menemukan drama untuk ditonton bersama: Extraordinary Attorney Woo. Saya senang sekali hingga rasanya Rabu dan Kamis malam beberapa minggu ke depan menjadi hari yang saya tunggu-tunggu. 

Love, 

Zahra. 

Avatar

Bersikap Frontal

Tulisan ini dibuat dalam keadaan hati yang sedang panas. Sepertinya selalu panas ketika membahas ini. Tulisan dibuat agar merasa lega mengeluarkan emosi di dalam dada, silakan lewatkan jika khawatir terpengaruh emosi yang kurang menyenangkan. 

Jadi begini, beberapa orang di sekitar saya tahu, meski usia saya relatif lebih muda dibandingkan orang lain, saya adalah orang yang dominan dan vokal menyampaikan pemikiran saya. Terkadang ketika bagi saya perlu, saya akan menyampaikannya dengan bahasa yang menurut saya sudah cukup baik, meski bagi orang yang mendengarnya belum tentu seperti itu. Sampai-sampai, saya diingatkan oleh beberapa orang untuk tidak terlalu vokal menyampaikan kritik dan saran karena ia khawatir akan ada orang yang tidak suka dengan saya atau saya mendapatkan halangan di lingkungan kerja. Saya kaget mendengarnya, namun berterima kasih. Saya anggap masukan tersebut sebagai upaya saya memperbaiki cara saya menyampaikan kritik dan saran? 

Ketika saya kesal karena banyak hal, saya relatif jarang menuangkannya di media sosial. Saya hampir selalu bicara pada ranah privat, baik kepada partner atau kepada orang-orang yang saat itu sedang berbincang. Saya cukup terbuka, namun memang menjaga tidak menampilkannya di media sosial. Benar karena perlu menjaga diri, namun karena saya tahu saya punya partner yang menyediakan diri mendengarkan saya berkeluh kesah. Kalau orang yang tidak begitu kenal, apa akan senang mendengarkan keluh kesah? 

Sebagai orang yang dominan dan vokal, saya begitu benci (nah tuh emosinya terasa kan?) kalau saya disuruh-suruh orang lain untuk mengkomunikasikan sesuatu yang memang meski jadi perhatian saya, saya masih belum dalam tahap ingin mengkomunikasikannya. Maksudnya begini, mengapa Anda perlu menggunakan suara saya? Mengapa karena saya dominan, vokal, dan mungkin bisa mendapatkan perhatian, mengapa saya yang harus menyuarakan suara Anda ketika saya tidak menginginkannya? Mengapa jika saya menolak saya dianggap tidak memperjuangkan diri sendiri dan menerima saja diinjak-injak oleh orang lain? Ketika saya sampaikan bahwa silakan suarakan sendiri apa yang menjadi perhatian, ybs tidak mau, karena berpendapat tidak punya hubungan yang baik dengan “pemangku kepentingan”. 

Saya marah luar biasa. Seringkali saya merasa karena orang lain lebih tua usianya dari saya sehingga saya merasa seperti diminta melakukan sesuatu layanya personel. Apa saya berlebihan? Namanya juga marah ya HAHA. Sepertinya tidak habis-habis partner mendengarkan keluh kesah saya, hingga rasanya saya juga ingin menulis disini. 

Saya sedih karena sikap frontal, saya merasa dimanfaatkan oleh orang lain. Mengapa saya jadi harus memperjuangkan kenyamanan diri saya untuk menyampaikan sesuatu yang saya belum ingin menyampaikannya? Mengapa tidak ybs saja mulai memperbaiki diri dengan orang lain, sehingga ia mudah mengkomunikasikan apa-apa yang menjadi perhatiannya? Kecuali, kecuali Anda adalah seseorang yang memang butuh dibantu karena tidak berdaya, saya siap saja memberikan suara saya untuk hal-hal yang memang saya juga yakini. 

Itu bukan sikap saya membiarkan kezaliman. Itu adalah sikap gerah saya agar setiap kita yang berdaya mengusahakan kepentingan diri kita masing-masing. Bersama tak apa asal yakin bahwa memang benar-benar kepentingan bersama. Bukan meminta orang melakukan sesuatu yang tidak nyaman demi kepentingan pribadi. 

Sedang sedih+kesal intinya hatinya sedang panas, 

Zahra. 

Avatar

Selamat Datang Usia 30

Hari ini ternyata datang juga. Saya tidak sangka waktu berjalan begitu cepat. Dulu rasanya saya begitu sombong menyatakan bahwa saya masih 17 tahun di tingkat pertama kuliah. Kemudian berlalu, saya menginjak usia kepala dua, dan mulai sekarang kepala tiga. Hal yang lucu bagi saya hari ulang tahun dijalankan dengan biasa-biasa saja. Saya tidak menunggu hari ini datang. Pagi hari saya melanjutkan aktivitas seperti biasa, sampai-sampai ketika ibu saya menyampaikan undangan makan siang bersama karena hari ulang tahun saya. Wah, saya berulang tahun. Wah, saya sekarang berusia 30 tahun. Kalau dipikir-pikir, apa yang berbeda di usia saya saat ini? 

Sekarang saya sedang bersemangat belajar mengelola keuangan untuk hidup lebih sederhana di masa kini dan tetap bisa sederhana dengan nyaman di masa yang akan datang. Saya belajar menahan diri dan sabar ketika berlari maraton (bukan dalam arti yang sebenarnya). Saya membangun kebiasaan-kebiasan yang saya yakin akan memudahkan hidup. Meski ada sedikit penyesalan di usia 30 tahun dan belum punya apa-apa, saya bersyukur punya dorongan menjadi lebih baik perlahan. 

Saat ini saya masih punya tenaga untuk melakukan banyak hal. Meski pengelolaan waktu dan energi saya masih perlu terus-menerus ditingkatkan. Semoga saya menjadi pribadi yang bijak dan mudah merasa cukup, namun juga punya semangat untuk lebih baik pada hal-hal yang saya anggap penting. Saya ingin menyeimbangkan hidup, apakah memungkinkan?

Love, Zahra. 

Avatar

Rezeki Tidak Akan Kemana

Pekerjaan saya menuntut saya memberikan respon yang cepat. Jika saya membalas pesan terlambat, maka kemungkinan besar saya kehilangan kesempatan. Itu terjadi di sore ini. Saya memilih untuk menjalankan rutinitas jalan-jalan sore dan mampir ke rumah orang tua. Telepon genggam saya tinggal karena saya memang sudah mengalokasikan waktu tersebut untuk istirahat. Pulang ke rumah, kemudian saya menemukan pesan yang terlambat saya balas. Kurang dari 90 menit saja, tetapi kesempatan saya untuk bulan depan sudah tidak ada. Itu benar-benar memengaruhi suasana hati saya, sampai-sampai nasihat bang A bahwa rezeki tidak akan kemana itu perlu saya ulang berkali-kali, berkali-kali. 

Saya sering bingung dengan diri saya sendiri. Ketika ada begitu banyak pekerjaan, saya mengeluh kelelahan. Ketika ada kesempatan untuk beristirahat, saya khawatir rezeki untuk bulan depan. Padahal saya menikmati waktu istirahat dengan membaca buku. Bisa saja saya produktif untuk hal lainnya, seperti menyelesaikan hutang pekerjaan atau justru melakukan hal saya idam-idamkan. Saya ingin merekam siniar lagi atau melakukan decluttering barang-barang di rumah. Minggu depan juga merupakan waktu yang penting bagi pendidikan doktoral bang A. Saya merasa keimanan saya benar-benar kurang, sehingga bisa-bisanya saya mengkhawatirkan rezeki yang Allah berikan. 

Padahal kalau dipikir-pikir, mungkin saja saya tidak bisa banyak beristirahat juga bulan depan. Saya masih punya peluang yang lain. Mengapa saya merasa begitu sedih? Setelah saya menikmati es krim karamel kesukaan dan mengulang-ulang dalam hati afirmasi positif, saya memutuskan untuk menulis di laman ini sebagai sarana ekspresi. Biasanya saya hanya bercerita pada bang A saja, namun karena sepertinya laman Tumblr juga tidak begitu banyak pembacanya, sepertinya ini tempat yang aman? HEHE. 

Bagi siapapun yang sempat membaca, mohon doanya untuk bang A yang minggu depan akan ujian ya teman-teman. Sampai ketemu lagi di waktu berikutnya. Semoga sehat selalu. 

Love, Zahra. 

Avatar

Beberes Sebelum Ramadan

Sejak ‘berkenalan’ dengan Marie Kondo di Juli 2017, saya belajar prinsip-prinsip membereskan barang kepemilikan. Memang sejak kecil, beberes adalah kegiatan yang saya sukai. Ini menurun dari Ibu saya, yang juga senang melakukan hal yang sama. Tidak hanya tentang memilah mana barang yang “spark joy” sehingga bisa dipertahankan dan mana yang tidak, saya juga belajar menata. Di awal mendalami prinsip dan metode Konmari, saya sangat bersemangat dan mengajak bang A melakukan hal yang sama. Hingga saat ini, April 2021, kami masih menerapkan prinsip-prinsip yang memungkinkan untuk dilakukan. Lupa akan momentum yang membuat saya tergerak untuk praktik, saya menyadari tidak pernah benar-benar 100% menjalankan Konmari Method. Saya pernah mencoba mengumpulkan semua pakaian pada satu ruangan dalam tumpukan besar untuk menyadari betapa banyak pakaian yang saya miliki. Saya juga melakukannya dengan hal-hal lain seperti pada kertas, namun untuk buku, sejujurnya saya belum pernah benar-benar tegas memilah (padahal ada banyak sekali buku yang belum saya baca dan terus saja saya membeli buku yang baru). Seingat saya, saya berusaha kombinasikan beberapa prinsip untuk menemukan yang paling pas untuk saya lakukan. Beruntung beberapa tahun lalu saya tepat sebelum Hari Raya, saya sudah membongkar gudang di rumah yang ditempati dan mengeluarkan banyak berkas orang tua saya bahkan sejak tahun 1995. Saya sudah menghancurkan semua berkas tes psikologi yang sifatnya rahasia dan mendaur ulang banyak sekali kertas. Setelahnya, saya tetap rutin melakukan daur ulang atas berbagai sampah anorganik yang memungkinkan. Memang benar-benar lega rasanya, tidak lagi ada beban. Saya menyadari sebagai seorang psikolog yang berpraktik, ada banyak sekali berkas yang perlu saya simpan selama maksimal 2 tahun. Saya bahkan mendedikasikan satu lemari khusus untuk semua berkas itu. Namun saat ini, meski saya sudah beberes? Saya menganggap tetap saja memiliki banyak barang.

Saya suka sekalu beberes, maka ketika saya beraktivitas di rumah dan ketika saya tidak sedang terserang rasa malas, itulah yang saya lakukan. Sore kemarin dalam rangka menyambut Ramadan saya kembali beberes. Kali ini saya perhatikan kebiasaan saya untuk membeli barang cadangan. Hal yang saya perhatikan, saya memiliki cukup banyak sikat gigi bambu dan cotton bud bambu. Padahal dengan kemasan yang juga kertas kardus tipis dan situasi kamar mandi yang cukup lembab, membuat saya seharusnya tahu bahwa barang-barang itu bisa saja dengan mudah terkontaminasi jamur. Benar saja, ketika saya beberes, saya mau tidak mau harus membuang 200 batang cotton bud yang sudah berjamur. Ada 2 pasang sikat gigi bambu yang gagangnya juga terkena jamur, namun rasanya masih bisa diselamatkan dengan dibersihkan menggunakan air panas. Kebetulan sudah lebih dari 3 bulan sejak terakhir mengganti sikat gigi. Ada momen yang mengurangi perasaan bersalah saya.

Pengalaman itu benar-benar membuat saya menyadari bahwa kita tidak perlu menyimpan banyak stok barang di rumah. Biarkan saja toko yang menyimpannya di gudang mereka. Selain cotton bud, tentu saja saya juga pada akhirnya membuang beberapa skincare yang ternyata sudah masuk ke tanggal kadaluwarsa. Pandemi yang berjalan lebih dari satu tahun, membuat saya juga minim menggunakan make-up, sehingga sudah saatnya me-review keberadaanya di meja rias. Akhirnya saya belajar dan merasa sesuai dengan konsep minimalis, yang menggunakan semakin sedikit barang sesuai dengan fungsi-fungsi yang paling substantif.

Avatar

5 Hal dari Hospital Playlist (2020)

Ada hal yang membuat saya keranjingan menonton drama Korea, selain karena memang membuat ketagihan karena alur ceritanya yang membuat saya tidak berhenti menonton hingga tamat adalah karena drama Korea tahun-tahun belakangan semakin menawarkan sesuatu yang berbeda, unik, sesuai perkembangan zaman, dan yang paling penting (bagi saya) adalah membuat saya bisa memetik banyak sekali pelajaran. 

Pada dasarnya saya selalu suka memetik pelajaran-pelajaran dari setiap adegan. Memang saya begitu, setiap kali menonton adegan tertentu dan itu berkesan karena saya pikir penulis benar-benar ingin menyampaikan pesan, saya langsung merasa terinpsirasi. Tidak jarang, saya langsung membuka notes/google keep untuk menuliskan apa yang saya dapatkan. 

Kali ini drama yang menemani situasi pandemi untuk beraktivitas di rumah. Sayang saya menontonnya setelah tamat season pertama (lebih tepatnya saya baru menonton mulai dari Senin kemarin dan selesai pagi ini). Waktu itu saya belum paham ternyata cukup menyenangkan juga menonton on going drama, saya kira dulu itu sangat menyiksa. Saya juga sempat mundur menonton drama ini karena adegan pembuka yang kurang sreg bagi saya, sehingga tidak langsung membuat saya bertahan untuk menonton. Salah satu alasan yang membuat saya bersabar dan terus melanjutkan (di waktu yang tepat, yaitu ternyata berjodoh minggu ini) adalah karena terlalu banyak orang di sekitar saya yang memuji drama ini. Orang-orang yang saya kagumi penilaiannya, misalnya saja kak Avina Anin yang senang sekali drama ini bahkan mengulang-ulang OSTnya di Spotify, membuat saya bersemangat menonton (dan juga kecanduan memutar berulang OSTnya). Ada beberapa pelajaran yang berkesan sekali bagi saya, sehingga saya setuju menonton episode demi episode membuat hati saya merasa hangat. 

1. Bagi saya fim ini benar-benar mengajarkan hidup yang seimbang. Ide cerita mengawinkan profesi dokter dan hobi bermain band benar-benar menarik. Tidak hanya itu, saya membaca bahwa drama ini tayang hanya 1x seminggu dengan alasan jam kerja yang sehat bagi seluruh pihak yang terlibat. Ah, bagi saya itu sikap yang berintegritas. Tidak hanya menggambarkan bagaimana usaha menyeimbangkan hidup, namun juga mengimplementasikannya di balik layar. Bagi saya hidup yang seimbang (work-life balanced) adalah hidup yang tidak hanya fokus pada satu hal saja. Bukan, bukan karena bekerja adalah hal negatif (karena saya sangat suka bekerja), namun saya pikir, terlalu fokus hanya pada satu hal saja dan melupakan hal-hal lain bukanlah sesuatu yang sehat. Jadi, bukan aktivitas kerjanya, karena kalau main terus dan tidak fokus bekerja juga sama-sama tidak sehat bagi saya. 

2. Tentang persahabatan dan keluarga. Saya merasa iri dengan kelompok pertemanan ini. Dalam kehidupan saya, entah mengapa saya tidak mempunyai kelompok pertemanan laki-laki dan perempuan. Sepertinya kita akan ‘salahkan’ saja nilai-nilai yang saya percaya ya (HAHA). Saya kira menarik sekali memiliki kelompok pertemanan berisi perempuan dan laki-laki, kemudian pernah ada perasaan tertarik sebagai lawan jenis kemudian akhirnya tetap bisa bertahan sebagai teman. Dinamika hubungan seperti itu menyenangkan sekali untuk dimiliki. Tentang keluarga, tentu drama ini bercerita banyak tentang isu keluarga. Baik keluarga dari para tokoh utama, maupun keluarga pasien. Drama medis menceritakan pasien dan keluarganya membuat saya teringat bahwa kita perlu bersyukur ketika kita memiliki keluarga yang harmonis yang mampu memberikan dukungan dalam sehat maupun sakit. Bagaimana perjuangan mendonorkan organ, memperjuangkan agar anggota keluarga mendapatkan pelayanan terbaik dari tenaga kesehatan agar bisa sehat dan selamat, belajar melepaskan ketika memang sudah takdirnya demikian. Beberapa cerita kematian mengajarkan saya tentang melepaskan dan memaafkan. 

3. Kerja Kemanusiaan. Bagi saya profesi dokter sangat mulia (profesi lainnya pun begitu), sama-sama mulia seperti profesi seorang Pastor. Saya benar-benar berusaha berempati ketika Ahn Jung Won ingin menjadi Pastor, mungkin karena kedekatan secara langsung kepada Tuhan dibandingkan profesi dokter ya. Awalnya saya kira kedua profesi tersebut sama-sama menjunjung tinggi kerja kemanusiaan. Saya benar-benar terinspirasi dengan apa yang Ahn Jung Won lakukan dengan program Daddy Long Legs-nya. Sepertinya menurun dari ayahnya ya, sama-sama senang berbagi. Saya kira sudah seharusnya kita berbagi. Pasti sangat menyenangkan, kita bekerja mendapatkan uang, dan uang tersebut dapat kita putar untuk membantu banyak orang. Profesi sehari-harinya saja sudah menolong orang. Seperti menolong orang lain adalah passion-nya. Saya ingin sekali demikian, hidup sederhana saja, sehingga sisanya bisa dimanfaatkan untuk yang benar-benar membutuhkan. 

“A beautiful woman is a beautiful woman, but a beautiful woman with a brain is an absolutely lethal combination.” ― Prabal Gurung

4. Kelima tokoh utama digambarkan memiliki wajah rupawan (ya bagi saya Yang Seok Hyung imut lah walaupun mungkin ga begitu ganteng hehe), otak yang cerdas (dan rajin belajar), serta hati yang luar biasa peka. Penggambaran dokter yang ada di drama ini bagi saya IDEAL. Saya juga rasanya tenang kalau saya sakit kemudian ditangani oleh salah satu dari mereka berlima. Saya bertanya-tanya apa benar dokter di kehidupan nyata seperti mereka? Dokter-dokter yang selalu berjuang dengan maksimal. Saya benar-benar mendapatkan gambaran bagaimana mereka berusaha sampai akhir. Saya benar-benar jatuh cinta kepada dokter Ahn Jung Won (urutan pertama), kemudian Lee Ik Joon, dan Chae Song Hwa, Yang Seok Hyung, dan Kim Joon Wan (saya tidak sanggup lagi membuat urutan). Menonton mereka membuat saya merasa terinspirasi untuk belajar sebaik-baiknya agar menjadi ahli mengenai apapun yang kita lakukan. Saya juga belajar dari dokter residen Chu Min Ha yang tidak kabur meski menghadapi kesulitan. Dalam drama ini juga digambarkan penghormatan yang seharusnya kepada profesi perawat.  

Jujur saja, menonton drama ini mengingatkan saya dengan Grey’s Anatomy (yang sampai sekarang masih saya ikuti ceritanya). Saya juga senang Alex Karev sebagai dokter bedah anak dan Meredith Grey yang akhirnya fokus di bedan umum. Saya juga selalu kagum dengan bedah saraf dan torakoplastik (saya baru tahu istilah tersebut, saya kira terjemahannya adalah kardiotoraks). Drama ini membuat saya kagum juga dengan dokter OB-GYN. Satu pelajaran yang sama-sama saya dapatkan adalah dalam kedua drama tersebut, digambarkan bahwa dokter tidak melupakan pasien-pasiennya, yang sembuh tapi kasusnya berkesan, atau yang meninggal. Saya baru tahu apakah benar seharusnya demikian? Luar biasa mulia, menganggap nyawa manusia benar-benar berharga, sehingga ketika pergi, ada bagian diri kita yang juga hilang. 

Pada drama ini, ada hal yang saya kira lebih bagus digambarkan dibandingkan Grey’s Anatomy, yaitu bahwa dokter juga manusia. Digambarkan dokter juga merokok, dokter juga bisa saja kena tipu kontrak sewa tempat tinggal, dan dokter juga bisa sakit. Penggambaran yang manusiawi, yang meski mereka hebat sekali, mereka bukan Tuhan, mereka manusia yang sama seperti kita. Dokter juga selalu digambarkan berterima kasih kepada pasien karena mau bertahan, mereka hanya membantu melalui proses operasi. 

5. Terakhir, saya kira masih banyak, tapi baiklah kita selesaikan saja di poin ini (kecuali ada hal vital yang saya ingat lagi). Saya belajar dari dokter Yang Seok Hyung tentang kehamilan. Bahwa seringkali orang tua, khususnya lagi calon ibu sering menyalahkan diri sendiri ketika terjadi sesuatu dengan kandungannya, sehingga hal tersebut membuat beban mental. Akan tetapi, setiap perkataan yang disampaikan dokter membuat saya sangat terharu. Terima kasih sudah berjuang, mari berjuang bersama-sama, mari mengusahakan yang terbaik. Ibu sudah berusaha sampai akhir. Ibu hebat, Bapak terima kasih sudah mendampingi. 

Empati sesama Ibu juga luar biasa. Biasanya dalam kehidupan sehari-hari saya melihat fenomena perempuan bisa lebih jahat kepada sesama perempuan, dalam drama ini tidak. Saya merasa perempuan calon ibu merasa terhubung satu sama lain berempati karena menjalani pengalaman yang serupa. 

Dokter OB-GYN yang saya maklumi antrian janji temunya panjang. Saya pun lagi-lagi ingin bertemu dokter seperti itu di kehidupan nyata (jarang bertemu dokter Alhamdulillah, jadi mungkin belum banyak bertemu yang seperti di drama hehe). 

Begitulah mengenai #apaapayangsayapelajari dari drama ini. Saya bersyukur di akhir episode terakhir sudah langsung disampaikan bahwa akan ada season selanjutnya di tahun depan. 

Saya memutuskan menulis panjang lebar apa yang saya pelajari dari drama ini, karena ketika saya tidak menuliskannya, sejujurnya saya lupa. Saya tidak ingin lupa kesan yang saya dapatkan ketika menonton drama ini, maka saya mengabadikannya disini. Saya titip ya halaman Tumblr.. 

Love, 

Zahra.

Avatar

Mengelola Sampah Daur Ulang

Setiap dari kita akan melihat, memperhatikan, dan belajar sesuatu yang berbeda dari apa yang kita baca atau tonton. Seringkali apa yang kita pelajari adalah sesuatu yang ada kaitannya dengan diri kita sebelumnya, dengan pemikiran atau pengalaman yang sudah kita miliki. Bagi saya, ada salah satu pelajaran yang meski bukan pelajaran utama yang saya pelajari dari dua drama Korea yang saya tonton sebelumnya: Fight for My Way dan Because This is My First Life. Adalah tentang mengelola sampah daur ulang.

Pada dua drama tersebut digambarkan para tokoh utama yang mengelola sampah daur ulang dengan rajin. Di drama Fighr for My Way ada penggambaran saat Aera minta tolong Dongman untuk membawakan sampah daur ulang yang sudah dikumpulkan mungkin ke penampungan sementara untuk diangkut oleh petugas. Saya lihat sampah-sampah yang dikumpulkan adalah botol plastik bekas dan kardus. Dari segmen tersebut saya pikir (ditambah pengetahuan saya juga) ada jadwal tertentu dimana petugas akan mengangkut sampah daur ulang tersebut. Sedikit terlihat sepertinya sampah botol plastik sudah dalam keadaan bersih dan kering. Begitu pula kardus yang sudah rapi ditumpuk diikat menggunakan tali. Di drama Because This is My First Life, tokoh utama perempuan yang membayar sewa untuk tinggal satu apartemen dengan tokoh utama laki-laki adalah yang bertanggung jawab untuk mengelola sampah daur ulang. Mulai dari mengelompokkan sesuai jenis dan juga mengantarkan ke penampungan sementara di depan apartemen mereka sebelum diangkut oleh petugas. Ada juga segmen cerita yang menggambarkan bahwa tokoh utama perempuan mencuci plastik tempat makan mie/ramen dan meletakkan di atas wastafel tempat cuci piring. Wah, ketika melihat itu saya berujar dalam hati: SAMA! saya juga melakukan hal yang sama.

Di Korea sama seperti di Jepang sepertinya kesadaran untuk mengelola sampah daur ulang adalah hal yang biasa yang dilakukan di masing-masing rumah. Sudah ada petugas entah pemerintah atau swasta yang akan menjemputnya sesuai jadwal. Sudah biasa untuk memisahkan sampah berdasarkan kelompok, bahkan mungkin mencuci bersih dan keringkan sampah yang dapat didaur ulang. Kebiasaan mereka untuk minum Soju dalam botol kaca sebenarnya juga adalah aktivitas yang cukup bertanggung jawab karena kita tahu bahwa kaca adalah material yang dapat 100% didaur ulang dan tidak turun kualitasnya. Ah betapa menyenangkannya ketika mengelola daur ulang sudah dianggap seharusnya.

Di Indonesia sendiri kesadaran untuk mengelola sampah daur ulang sepertinya mulai meningkat sekarang-sekarang ini. Terima kasih kepada teman-teman influencer yang juga memberikan saya kesadaran mengenai hal ini. Kebiasaan mengelola sampah daur ulang juga bukan sudah sejak lama saya lakukan, bukan di awal pernikahan saya dan bang @muhammadakhyar. Mungkin baru sekitar 2-3 tahun ini kami melakukannya, karena kami sudah lebih tercerdaskan mengenai caranya dan menyalurkannya kemana. Sebenarnya sudah sejak lama di lingkungan sekitar kita ada bank sampah, namun saya akui saya kurang memberikan perhatian, sehingga justru mendonasikan sampah daur ulang kepada perusahaan dan organisasi lain.

Ingat beberapa tahun lalu, saya mengumpulkan sampah daur ulang memanfaatkan satu ruangan di rumah yang belum kami pakai. Saya dan bang A baru bisa menyerahkan sampah daur ulang pada kegiatan-kegiatan ketika @waste4change ikut berpartisipasi. Sering juga bang A naik kereta membawa sampah-sampah daur ulang untuk mengantarkannya ke gedung atau tempat tertentu. Saat itu masih cukup tidak mudah. Alhamdulillah berkat Instagram saya menemukan organisasi yang lebih dekat lokasinya dengan rumah saya, yaitu @thestreetstoreindonesia di Instagram dengan program @beberesindonesia nya. Setelah mempelajari mekanisme, saya semakin kuat semangatnya untuk membongkar gudang di rumah yang saya tinggali (rumah orang tua saya, rumah masa kecil saya) untuk mendonasikan berbagai hal yang saya kira akan lebih bermanfaat untuk orang lain dibandingkan diam di dalam gudang. Lucu sekali, kurang lebih sebelum Ramadan satu atau dua tahun yang lalu saya melakukan hal tersebut. Itu adalah salah satu hal yang saya niatkan untuk dilakukan. Percaya atau tidak, pada dua tahun awal pernikahan saya, lantai dua di rumah saya tidak pernah kami sentuh sama sekali, karena sibuk bekerja, dan kami belum memberdayakan ART. Keputusan memberdayakan ART pulang pergi membantu saya menyapu mengepel mencuci dan menyetrika baju adalah keputusan waras yang saya lakukan dan membuat saya memiliki kesempatan melatih kemampuan saya untuk percaya dengan orang lain. Alhamdulillah, saat ini, meski hanya berdua di rumah, kami cukup bisa memanfaatkan rumah dua lantai ini meski saya tahu dan sadar rumah ini pada dasarnya lebih dari kebutuhan tinggal dua orang.

Your waste is our treasure (@beberesindonesia)

Saya lihat beberapa organisasi/perusahaan sudah serius menggarap “pasar” waste management. Saya bersyukur kalau demikian, saya berharap mengelola sampah daur ulang memberikan keuntungan agar bisnis ini terus dapat berlangsung. Asal dijalankan secara bertanggung jawab oleh berbagai pihak yang terlibat, saya pastikan diri saya ambil bagian kecil di dalamnya.

Mari memulai kebiasaan mengelola sampah daur ulang. Saya sadar tidak semua tempat memiliki kemudahan seperti saya dalam menyalurkan sampah daur ulang. Semoga ke depan semakin baik, sudah ada pula bank sampah di sekitar lingkungan kita yang mungkin belum berjalan dengan optimal, dan bisa jadi salah satu ruang kontribusi kita untuk mengoptimalkannya bagi masyarakat sekitar (saya belum bergerak ke arah sana). Mudah sekali, mari mulai dengan membawa pulang kembali botol plastik yang kepepet harus kita beli dalam perjalanan, mencuci dan mengeringkannya, menyimpannya untuk kemudian dikirim/diserahkan. Mulai juga dari kardus bekas belanjaan kita di supermarket atau belanja online, kertas dari pekerjaan kita atau yang lainnya. Mulai memprioritaskan untuk memilih dan membeli produk dengan urutan: kaca, kertas, plastik. Tentu akan lebih baik lagi apabila selanjutnya kita bisa mengurangi konsumsi dari kemasan sekali pakai.

Semoga kelak Indonesia juga bisa semaju Korea atau Jepang (atau negara lainnya) dalam membiasakan mengelola sampah daur ulang. Untuk mendukung hal tersebut, teringat pesan Aa Gym, yuk mari mulai dari hal kecil, mulai dari diri sendiri, dan mulai dari sekarang.

Ps. Saya sudah pernah membuat podcast bersama bang A mengenai bagaimana kami mengelola sampah daur ulang. Kamu bisa mendengarkan bunggazzahra’s story mengenai ini.

Love,

Zahra.

Avatar

Refleksi Keluar Rumah di Era Pandemi

Saya berniat menulis ini sejak masih di kantor, sebelum mengecek bahwa hari ini adalah hari dengan penambahan jumlah pasien positif COVID-19 terbanyak sepanjang virus ini terdeteksi di Indonesia. Sudah beberapa hari belakangan, rekor penambahan jumlah pasien terus diperbaharui, hingga hari ini lonjakan yang sangat mengagetkan.

Saya pribadi jarang bicara tentang situasi pandemi di media sosial. Tentang apa yang harus dilakukan, tentang kinerja pemerintah yang menggemaskan, tentang perilaku banyak orang di lingkungan sekitar yang seperti tidak ada apa-apa. Tentang kita yang mulai lengah dan merasa bahwa pasien COVID-19, PDP, dan ODPnya itu jauh dari lingkaran sosial kita semua.

Pertama-tama, saya bersyukur karena saya memiliki kesempatan berdiam di rumah saja. Bekerja dan beribadah dari rumah. Pekerjaan saya bukan pekerjaan tetap yang menuntut saya berangkat setiap hari ke kantor. Meski terdampak pandemi, saya bersyukur masih bisa makan bahkan aktivitas belanja juga masih bisa saya pertahankan (bukan sebuah kebiasaan yang baik, perlu diiringi dengan menyisihkan sejumlah untuk membantu kehidupan orang lain). Saya bersyukur bang @muhammadakhyar bisa mengajar, rapat, dan melakukan rangkaian penelitian dari rumah. Jujur, saya juga merasakan betapa nyamannya bekerja dari rumah yang membuat saya saat ini sudah beradaptasi menjadi lebih produktif. Bekerja dari rumah memberikan saya kesempatan merasakan kehidupan yang seimbang.

Mulai 17 Maret 2020 saya resmi mengurangi aktivitas di luar rumah. Begitu pula orang tua saya, khususnya ayah saya yang mengidap diabetes untuk beraktivitas secara penuh dari rumah. Ibu saya (ada riwayat hipertensi) beberapa kali secara mandiri mampir ke minimarket dekat rumah, tetapi saya bekali mereka masker kain yang saya percaya kualitasnya. Sebisa mungkin saya yang mewakilkan untuk pergi belanja ke supermarket, itu pun segera kembali pulang.

19 Juni 2020 adalah hari pertama saya harus bekerja di luar rumah. Kekhawatiran saya mengenai kendaraan umum masih memiliki jawabannya. Saya menyadari adalah sebuah kemewahan untuk bisa berangkat naik mobil pribadi ditemani supir ayah saya. Saya bersyukur pulang kantor mendapatkan fasilitas taksi, sehingga sampai saat ini saya belum naik kendaraan umum lagi. Saya benar-benar tahu bahwa saya memiliki kemewahan akan pilihan. Sesuatu yang sebelumnya dengan sadar tidak saya pilih, kondisi saat ini membuat saya harus memilih demikian.

Ketika ke luar rumah saya menggunakan masker kain yang saya usahakan ganti setelah lebih dari empat jam. Kebutuhan saya untuk berafiliasi yang tidak tinggi membuat saya tidak perlu terlalu banyak berubah dari sebelumnya. Saya tetap menjaga jarak dari orang lain, diam di ruangan. Saya fokus menyelesaikan pekerjaan, membaca, atau menonton video. Saya makan sendiri, kebutuhan saya mengobrol memang ada, namun dengan sadar saya kurangi. Saya sadar teman-teman bekerja saya banyak yang usianya lebih dari 45 tahun, asesi yang saya hadapi pun demikian, saya sadar bisa jadi saya membahayakan mereka. Saya juga tahu harus melindungi diri kalau masih ingin menghabiskan akhir pekan di rumah orang tua saya.

Sejak awal masa pandemi, selain perilaku pribadi dalam menjaga kebersihan dan kesehatan, tidak drastis perubahan yang saya buat. Si mbak yang membantu saya membersihkan rumah tetap masuk, namun saya membelikannya masker kain, dan kami memang tidak banyak berinteraksi selama di rumah. Hampir setiap akhir pekan saya datang ke rumah orang tua saya untuk makan malam bersama, sering juga mengunjungi adik saya yang sedang hamil besar. Saya dekat dengan keluarga saya dan sejak awal tidak terlalu banyak membatasi aktivitas, saya ingin tetap begitu, maka saya berusaha sebaik-baiknya menjaga kesehatan dan kebersihan. Sejujurnya, perubahan tidak drastis yang saya lakukan juga mendukung saya untuk tetap mudah mempertahankannya.

Setiap kali saya ke luar rumah, dalam hati saya juga berkomentar tentang perilaku orang lain yang saya kira tidak sebaik apa yang saya lakukan. Melihat jalanan tidak kosong melompong (meski menurut saya berkurang juga keramaiannya) atau di supermarket dengan adik bayi atau balita, sering juga saya melakukan apa yang banyak netizen lakukan. Akan tetapi, saya pernah juga berpikir dan menyampaikannya pada satu sesi presentasi, bisa jadi mereka seperti itu karena tidak mengerti, tidak memiliki pilihan lain, dan tidak mendapatkan penjelasan dari orang-orang seperti kita yang mengetahui tapi tidak mengingatkan dengan cara yang baik.

Hal yang sedikit memberatkan saya adalah justru perilaku teman-teman di kantor yang: karena kita sama-sama sudah menjalankan protokol kesehatan maka kita sehat dan boleh melonggarkan interaksi. Ada sedikit kekhawatiran dianggap berlebihan, meski saya berusaha untuk tidak peduli, karena sejak awal saya memang bukan pribadi yang sangat hangat.

Sejujurnya, hampir dua minggu yang lalu, sepertinya ibu dan ayah saya sudah tidak tahan dan merasa bosan. Mereka mengajak saya untuk minum di kedai kopi di rest area menuju puncak. Sebuah tempat yang dulu mungkin hampir setiap minggu kami datangi. Saya bilang oke, saya pastikan mereka memenuhi protokol kesehatan, saya beri mereka pengalaman melihat lagi dunia luar dan bisa jadi merasakan ketidaknyamanan. Ibu saya merasa tidak nyaman, ayah saya tidak meminta lagi Alhamdulillah. Oh ya, ayah saya menyatakan bahwa saya adalah ketua satgas COVID-19 di keluarga kami. Saat ini, ibu saya yang memang punya alergi debu dan dingin ada sedikit batuk-batuk, ayah saya pun sedikit, namun Alhamdulillah tidak ada gejala lain. Saya berharap semoga mereka selalu sehat-sehat karena di rumah mereka kalau pagi hari banyak juga orang datang. Mulai dari si mbak yang membantu cuci setrika pakaian dilakukan di luar rumah, pak supir mencuci mobil, tukang kebun membersihkan daun-daun yang berguguran.

Saya sejujurnya cukup berpikir tentang pertumbuhan ekonomi. Saya selama ini sering diam berusaha memahami cara berpikir pemerintah. Saya merasa tidak memahami cukup baik dan saya tahu yang bisa saya lakukan adalah menjaga diri sendiri dan keluarga. Itu kecil dampaknya, tapi itu yang jelas-jelas bisa saya lakukan. Satu hal lagi, saya mengungkapkan kekecewaan saya kepada kantor-kantor tempat saya bekerja yang sebenarnya bisa menyelenggarakan kegiatan asesmen secara online, namun belum siap. Apalagi ketika kegiatan dilakukan sama seperti sebelum pandemi tanpa penyesuaian untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi.

Saya masih berusaha sangat membatasi aktivitas di luar rumah karena tidak ingin mendukung orang lain jadi berpikir bahwa ke luar rumah tidak apa-apa asal menjaga protokol kesehatan. Mungkin benar demikian, namun lebih aman lagi apabila ketika kita terpaksa ke luar rumah, kita segera menyelesaikan urusan, dan bergegas kembali lagi di rumah. Saya tahu mungkin rumah bukan tempat yang paling nyaman untuk sebagian orang, kepada mereka semoga diberikan kesehatan dan kekuatan dalam menghadapi era pandemi ini. Semoga kita semua bisa menjalankan masing-masing peran dalam berkontribusi mengakhiri pandemi ini sembari juga menyeimbangkan dengan kepentingan pribadi.

Saya minta bang A berkomunikasi dengan kakak kelas saya, yang meski saya tidak kenal secara pribadi, semoga beliau diberi kekuatan dalam berkontribusi dalam gugus tugas percepatan penanganan COVID-19 di Indonesia ini. Semoga beliau tetap mampu menyatakan ketidaksetujuan, semoga beliau dimudahkan menjaga idealisme, semoga ahli-ahli seperti beliau bukan sebatas menjadi alat bagi yang berkuasa untuk membuat masyarakat tenang tanpa tahu keadaan yang sebenarnya. Saya berharap semoga ia tidak trauma dengan pengalaman ini dan ke depan selalu mampu bermanfaat untuk Indonesia.

Saya kira hari ini sangat mengingatkan kita untuk kembali mengencangkan semangat mencuci tangan, menjaga jarak, dan memakai masker. Semoga sehat semuanya.

Love,

Zahra.

Avatar

Batas Berambisi dan Merasa Cukup

Kali ini masih tentang apa yang saya pikirkan setelah membaca halaman demi halaman dari buku Haenim Sunim, Love for Imperfect Things: How to Accept Yourself in a World Striving for Perfection. Masih refleksi dari bab pertama: Self-Care.

Sekarang ini saya sering membaca tentang bagaimana kita merasa cukup. Keberadaan kita saat ini cukup, kelebihan dan kelemahan kita perlu diterima dan itu juga cukup. Sering juga saya bertanya-tanya, mengapa kita belakangan sering disampaikan bahwa mengejar ambisi adalah hal yang kurang baik? Saya sadar, ambisi seringkali tidak habis-habis dan sebenarnya membuat manusia lelah. Tapi bukankah memiliki sedikit ambisi membuat kita memiliki suatu tujuan?

Saya sepertinya adalah tipe psikolog yang tidak sesuai untuk hanya mengatakan bahwa dirimu saat ini cukup. Memang cukup, tapi kalau kamu punya potensi dan kesempatan untuk menjadi lebih baik, mengapa tidak? Akhirnya setelah bingung berhari-hari mengenai apa yang saya pikirkan mengenai batas berambisi dan merasa cukup yang sehat bagi jiwa, saya menemukan titik terang.

Hal yang penting untuk diperhatikan agar kita bisa tetap seimbang antara memiliki cukup ambisi dan merasa cukup dengan kondisi saat ini adalah motif. Mengapa kita berambisi? Semoga jawabannya bukan karena faktor eksternal. Untuk memenuhi harapan orang lain adalah alasan yang sangat buruk bagi kita untuk memperbaiki diri atau berambisi menjadi lebih baik. Ada kondisi yang sehat, yaitu ketika kita memiliki ambisi dan itu bersumber dari internal kita. Ini butuh niat yang lurus kemudian juga kejujuran, karena bisa saja kita tidak menyadari apa sebenarnya motif kita yang paling dalam. Ingat konsep inner child? Saya sedang belajar mengenai konsep ini juga, tapi sedikit banyak saya termasuk yang percaya bahwa banyak hal yang kita lakukan di masa dewasa sangat dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman kita di masa lampau.

Merasa cukup bagi saya erat kaitannya dengan penerimaan diri. Bagaimana kita menerima diri kita, baik dan buruknya, termasuk kesalahan dan kebodohan yang kita lakukan di waktu lalu.

Bagaimana merasa cukup juga bagi saya adalah memaafkan diri sendiri. Lagi-lagi tentang kesalahan dan kebodohan yang kita lakukan saat lalu, kita rasakan begitu sekarang, karena kita belajar dan semoga menjadi lebih baik.

Memaafkan diri sendiri memberikan kesempatan bagi diri sendiri untuk dicintai dan diberikan kesempatan untuk waktu yang akan datang.

Terakhir, bagaimana memberikan perhatian bagi diri sendiri. Baik ambisi maupun perasaan cukup bisa hadir setelah kita melakukan perbandingan dengan orang lain. Itu benar-benar membunuh jiwa. Keduanya bisa dilakukan dengan perbandingan dengan orang lain. “Ah saya ingin seperti itu juga” atau “ah seperti ini saja cukup buat saya” sama-sama tidak begitu sehat. Akan tetapi, sama sekali tidak membandingkan diri dengan orang lain, buat saya juga sama-sama tidak begitu sehat.

Membingungkan bukan? 

Kata kuncinya adalah moderasi; menyeimbangkan antara semua itu. Saya juga masih bingung tentang ini dan masih butuh berpikir lebih dalam.

Untuk saat ini saya hanya ingin bilang: jaga diri baik-baik, semoga selalu sehat dan merasa bahagia.

Love,

Zahra.

Avatar

Tentang Pandemi COVID-19, Mt. Everest, dan Sungai Indus

Tadi malam, sebelum tidur, saya (menyelesaikan) membaca majalah National Geographic Indonesia edisi bulan Juli 2020. Ada tiga tema besar yang dibahas. Pertama, masih tentang pagebluk COVID-19. Kedua, tentang misteri orang pertama yang berhasil mendaki puncak Mt. Everest. Ketiga, tentang air bersih dari sungai Indus yang ‘diperebutkan’ oleh masyarakat di India, Pakistan, dan Tiongkok.

Tentang pagebluk (wabah/epidemi) COVID-19 yang menggunakan istilah pagebluk membuat saya merasakan efek babak belur setiap kali membaca mendengar kata tersebut. Pada sesi ini disampaikan artikel dari para peneliti virus flu tentang bagaimana mereka memprediksi pagebluk yang akan terjadi. Betapa menyedihkannya menjadi orang yang tahu dan benar sebelumnya, ketika apa yang mereka prediksi meski tidak menyenangkan menjadi kenyataan. Pada level tersebut saya kira, mereka tidak lagi berkata “tuh kan benar apa kata saya”. Hal yang mereka rasakan adalah penyesalan karena sebagai seorang yang berilmu tidak berdampak penuh untuk mempersiapkan. Begitulah ilmu pengetahuan, bila tujuan penelitian tidak begitu praktis, sering kita mengesampingkannya. Masih belum kita anggap serius kerja-kerja dari para peneliti yang berjibaku melihat hal-hal yang tidak bisa kita lihat saat ini. Sama seperti saat ini, kita kelabakan.

Kita tidak dibentuk untuk kenormalan baru ini. Beruntung kita dengan akses teknologi, sehingga pekerjaan dan hubungan sosial lainnya masih bisa diupayakan berjalan. Adalah sebuah kemewahan bagi kita yang bisa menjaga jarak namun terhubung melalui internet. Semoga dengan demikian, pandemi ini tidak menginfeksi jiwa kita karena kebutuhan untuk interaksi sosial masih bisa dicari alternatif caranya. Akan tetapi, perlu empati untuk menyadari bahwa tidak semua bisa melakukan hal yang sama. Semoga di kesempatan berdiam diri dan menjaga jarak, kita bisa memberikan perhatian lebih pada orang tua kita, pada orang-orang satu rumah untuk saatnya mengurangi intensitas aktivitas di luar rumah, dan kembali menyelesaikan apa yang ditunda di antara kita semua.

Tentang Mt. Everest dan pendakiannya. Ada beberapa orang Indonesia, bahkan perempuan luar biasa yang mendaki gunung ini (bahkan gunung lain yang paling tinggi di setiap benua). Sebuah hal yang sulit saya bayangkan karena saya tidak punya ketertarikan yang cukup dalam mengenai ini. Pada segmen ini saya belajar betapa mendaki bukan hanya persoalan bergaya atau membuktikan diri. Saya jadi memahami perlunya orang-orang yang mengambil bagian untuk mendaki untuk menceritakan pengalaman kepada orang-orang seperti saya. Mereka bisa membantu saya memahami apa yang ada di puncak gunung dan bagaimana perjalanan menuju kesana. Saya baru menyadari bahwa Universitas Parahyangan mungkin perlu dipertimbangkan bagi setiap kita yang memiliki ketertarikan pada kegiatan cinta alam. Saya belajar mengenai penyakit ketinggian juga tentang misteri sebenarnya siapa yang pertama kali berhasil mendaki Mt. Everest? Ada prasangka mengenai dua orang pendaki yang sayangnya tidak kembali hidup-hidup, sehingga bukti bahwa mereka adalah orang pertama menjadi abu-abu. Segmen ini juga bercerita tentang Ekspedisi yang dilakukan tim NG untuk meluruskan sejarah.

Terakhir tentang sungai Indus, tentang air bersih. Erat kaitannya dengan situasi pandemi COVID-19 yang mengingatkan kita akan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat salah satunya adalah mencuci tangan. Kegiatan ini membutuhkan air, yang sangat banyak. Air bersih adalah lagi-lagi sebuah kemewahan. Dengan perubahan iklim memberikan pengaruh pada pencairan gletser Himalaya yang berpengaruh pada aliran sungai. Air di sungai ini menyokong kehidupan 270 juta orang di tiga negara disebut di atas. Sejak kecil, saya belajar bahwa air adalah sumber daya terbarukan, sehingga saya hingga dewasa tidak bisa membayangkan mengenai kekeringan dan kekurangan air bersih. Begitu mudah hidup saya melihat air bersih yang keluar dari keran hingga saya pikir cukup boros juga saya menggunakan air tanah. Belakangan saya sedikit tercerdaskan agar bisa lebih menghemat air. Ada beberapa strategi yang saya lakukan, namun bisa jadi belum ada perubahan yang sangat signifikan. Air sebagai kebutuhan dasar, sulit rasanya ketika di tengah-tengah mandi kemudian air saya habis sehingga harus diisi kembali. Itu saja sudah membuat saya kesal, padahal tidak sebanding dengan apa yang dirasakan oleh orang-orang yang tinggal di daerah kering. Membaca segmen ini membangkitkan semangat saya untuk lebih baik lagi dalam menghemat air. Mengubah pola pikir bahwa air sebagai sumber daya terbarukan, namun air bersih memang perlu dijaga dan diupayakan.

Saya senang tadi malam menyempatkan membaca majalah ini dari halaman pertama hingga akhir. Lagi-lagi ini sebuah kemewahan. Oleh karena itu saya bersemangat untuk membagikan apa yang saya pelajari, semoga ada yang juga bisa belajar dari apa yang saya baca. Semoga kita selalu menjaga kesehatan, berhemat air, dan berlatih senantiasa berempati terhadap apa yang dihadapi orang lain. Semoga kita juga selalu bersemangat belajar sedikit demi sedikit menjaga bumi kita semua.

Avatar

Mengapa Memiliki Anak?

Tulisan ini terpantik oleh beberapa hal, namun utamanya setelah selesai menonton Drama Korea It’s Okay to Not be Okay episode 4. 

Sepertinya semuanya sedikit bermula dari pembahasan materi di halaqah online saya Minggu sore kemarin. Mbak ‘guru’ ngaji saya membawakan materi untuk mengingatkan tiga orang anggota kelompok kami yang sudah menikah serta beberapa lainnya yang belum agar dapat menjadi bekal pernikahan. Sepertinya materi tersebut didasarkan pada artikel ini: https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/13/03/27/mkb1gw-bekal-pernikahan 

Ketika beliau selesai menyampaikan materi, ada sesi memberikan tanggapan. Sejujurnya, saya cenderung diam dalam situasi ini atau memberikan tanggapan yang cenderung normatif. Tapi kali itu berbeda, mungkin juga terpantik cerita #bekaluntuksuami di Twitter, sehingga entah mengapa saya tergelitik menyampaikan sesuatu. Dengan kekurangan yang saya miliki, saya menyampaikan bahwa mendengar materi tersebut membuat saya mendapatkan sebuah insight mengenai sikap egaliter dalam pernikahan. Saya pikir adalah hal yang baik bahwa bekal pernikahan tersebut tidak hanya dilakukan seorang istri agar tidak berat, pada zaman ini (saya kira) sudah selazimnya bagi para suami untuk turut menjaga aib dan harta istri serta memastikan istri tidak kelaparan atau kekurangan waktu tidur. Saya kira saya menyampaikan hal yang biasa saja, namun saya mendapatkan tanggapan yang sepertinya meluruskan apa yang saya pikirkan. 

Beliau menyampaikan bahwa (kurang lebih) kenyataan tidak demikian. Seorang perempuan yang sudah memiliki anak sudah pasti waktu istirahatnya berkurang. Dalam hati, saya setuju dan tidak setuju. Memang itu fakta, namun itu bukan kondisi yang ideal. Bagi saya, kondisi tersebut bukan sesuatu yang seharusnya hanya diterima, apalagi kalau punya kesempatan untuk melakukan ‘perubahan’. Akan tetapi, saya tahu, diantara teman saya yang sudah menikah, hanya saya yang belum memiliki anak. Jadi saya selalu merasa tidak punya kuasa untuk bicara tanpa pengalaman. 

Dalam kondisi tersebut saya cukup tahu dan menahan diri. Sebenarnya cukup sering saya berada dalam posisi demikian. Ketika orang lain mengetahui saya rajin membaca buku, cepat menyelesaikan pekerjaan, atau masih punya waktu untuk mengikuti film atau serial terbaru, beberapa orang di sekitar saya akan menanggapi dengan menganggap saya melakukan semua itu karena tidak memiliki tanggungan. Lama-lama saya percaya, memang demikian. Tapi beberapa kali saya berniat semoga saya tetap punya kesempatan mempertahankan beberapa hal yang saya anggap penting sampai nanti. Bahkan, dalam beberapa kondisi tertentu pemikiran tersebut juga menyemangati saya untuk membuktikan bahwa nanti ketika saya memiliki anak saya akan tetap berusaha semaksimal mungkin untuk melakukan hal yang sama. Saya tahu itu sulit dan mungkin gagal, bukan disitu masalahnya, saya menyadari saya memiliki niat dan semangat membuktikan yang salah. Betapa menyedihkannya jika seorang anak hanya menjadi sarana pembuktian orang tuanya bukan?

Episode keempat drama tersebut di atas juga menambah pikiran saya. Tentang seorang anak yang diakui ibunya dilahirkan dengan tujuan utama melindungi si kakak (dengan spektrum autisme). Manusiawi rasanya orang tua khawatir tentang kebutuhan khusus anaknya dan berharap setelah tidak ada di dunia nanti ada anak lainnya yang akan menjaga anaknya tersebut. Tetapi bisa jadi kita lupa, bahwa bukan itu sebenarnya tujuan seorang anak dilahirkan? 

Teringat novel yang diadaptasi menjadi film terkenal My Sister Keeper? Seorang adik yang dilahirkan memang dengan harapan dapat menyelamatkan hidup kakak. Saya juga pernah membaca seorang di Instagram yang sedang berusaha memiliki anak lagi, agar anak keduanya tersebut dapat menjadi donor bagi anak pertamanya. Saya berempati dan berusaha memahami, saya kira saya mungkin melakukan hal yang sama. Akan tetapi, yang lebih penting adalah bagaimana orang tua menganggap anak kedua dilahirkan bukan dengan satu tujuan tertentu serta bagaimana mengkomunikasikannya kepada anak, sehingga anak kita yang lain tidak merasa kehadirannya di dunia sebagai pelengkap, sebagai sesuatu yang menolong, sehingga lupa bahwa anak itu juga manusia yang memiliki perasaan.

Seorang anak tidak pernah meminta dilahirkan. Seorang anak yang dilahirkan seharusnya tidak memiliki kewajiban tertentu; menolong, mengurus, menjaga, melindungi, atau membuktikan sesuatu untuk orang tuanya. Seorang anak hanya ingin menjadi anak dengan orang tua yang menerima mereka apa adanya, kekurangannya untuk dimaklumi dan kalau bisa diperbaiki sedikit demi sedikit, dan kelebihannya untuk dimaksimalkan agar bisa bermanfaat untuk dirinya di masa depan. 

Love, 

Zahra.  

Avatar

It’s Okay to Not be Okay

Sebelum pandemi COVID-19, saya sangat membatasi diri saya dalam menonton Drama Korea. Alasan utamanya adalah kontrol diri saya lemah, sehingga ketika saya memulai menonton drama berepisode-episode itu saya baru akan berhenti ketika ceritanya selesai, sampai-sampai tidak bisa melakukan hal lain apapun, termasuk tidur. Begitulah amatir.

Akan tetapi, waktu di rumah dan aktivitas yang berkurang drastis memberikan kesempatan saya mengembangkan keterampilan saya dalam menonton drama, lebih tepatnya memberikan saya waktu yang cukup untuk menonton secara terus-menerus. Saya masih tetap tidak terlalu pandai mengontrol diri, sampai saat ini masih mulai menonton dan berhenti baru ketika drama itu selesai. Satu drama dengan 16 episode bisa saya selesaikan kurang dari dua hari. Aktivitas yang mulai kembali padat sedikit demi sedikit membuat saya belajar menyeimbangkan antara waktu untuk bekerja dan waktu untuk melanjutkan menonton drama. Praktis saya memilih menonton di akhir pekan atau mau tidak mau belajar membatasi diri satu dua episode saja dalam satu hari. Keterampilan saya sepertinya sudah semakin baik sekarang.

Saya mulai mengikuti berita-berita tentang drama yang sedang atau pernah hits pada masanya, namun menunda beberapa drama yang banyak diperbincangkan dan justru menjelajah drama-drama yang saya kira menarik untuk saya pribadi. Ada beberapa yang saya ikuti karena saya pernah mendengar cerita tentang drama tersebut. Saya juga menonton beberapa drama yang belum pernah saya dengar sebelumnya dibicarakan oleh orang-orang di media sosial yang saya ikuti. Beberapa teman saya jadikan panutan dalam memilih drama yang perlu saya tonton. Misalnya saja Rona yang menyukai Lee Min Ki, membuat saya merasa bersyukur menonton Because This is My First Life dan Beauty Inside. Saya juga bersyukur menonton The Revolutionary Love yang saya temukan secara tidak sengaja karena bagi saya pribadi memberikan saya pelajaran, bahwa privilese sudah sewajarnya dipakai untuk membuat perubahan demi kepentingan banyak orang, khususnya lagi kepentingan orang-orang yang tidak memiliki privilese tersebut. Ada hal yang tetap sama, saya begitu tertarik menarik nilai moral dari apa yang saya tonton, meski saya juga menikmati sembari terisak-isak cerita romansa seperti Crash Landing on You, Descendants of The Sun atau Uncontrollably Fond.

Setelah sebelumnya saya selalu menonton drama yang sudah selesai, untuk pertama kalinya saya memutuskan ingin mengikuti drama It’s Okay to Not be Okay sejak awal dan menunggu setiap akhir pekan untuk dua episode terbarunya. Strategi saya agar tidak sendirian adalah dengan memaksa bang @muhammadakhyar untuk menonton bersama. Saya merasa drama ini berbeda, sehingga saya merasa bang A pun perlu ikut menontonnya. Saya mengenal bang A, cukup memintanya menonton dua episode awal dan di akhir pekan ini saya memiliki teman menunggu dan menonton bersama.

Saya tertarik sekali dengan drama ini karena ceritanya menarik dan visual yang bagus sekali. Meski bang A tidak bisa melihat visual yang ciamik dari dua tokoh utama karena baginya standar perempuan Korea yang cantik adalah Bae Suzy dan Song Hye Kyo. Saya pun begitu, meski saya mengakui dua tokoh utama menyenangkan untuk dipandang, mereka berdua bukan tipe yang begitu saya sukai. Bang A tertarik dengan animasinya, saya pun merasa style animasi untuk buku cerita anaknya unik. Ada kesan gelap yang biasanya saya hindari, namun karena ini kaitannya erat dengan kesehatan mental, saya merasa perlu menontonnya bersama dengan bang A.

Beberapa orang mungkin menilai saya berlebihan dalam melihat suatu cerita. Bagi saya ada pesan yang sangat baik di episode pertama dan ketiga hingga saya bersemangat menulis ini. Pada episode pertama saya belajar bahwa hidup kita adalah keputusan kita sendiri. Bahkan orang tua kita tidak berhak memutuskan. Keputusan kita untuk melanjutkan hidup meski itu berbeda dengan apa yang diinginkan oleh orang tua kita adalah boleh-boleh saja. Hak yang perlu dilindungi oleh negara. Sedikit mengingatkan saya pada drama Love Alarm. Sama-sama tentang orang tua yang ingin mengakhiri kehidupan bersama dengan anaknya. Pada drama terbaru ini, saya mendapatkan sudut pandang bisa jadi hal tersebut dilakukan karena sikap pengecut, takut menghadapi kematian sendirian.

Saya kira drama ini akan banyak bercerita tentang keluarga dan kesehatan mental. Pada episode ketiga diceritakan tentang anak seorang anggota Dewan yang mengidap bipolar. Anak bungsu yang berbeda, hanya ingin mendapatkan perhatian, melakukan hal gila, hingga akhirnya benar-benar terganggu kesehatan mentalnya. Sebuah luka yang sangat dalam yang justru diberikan oleh lingkaran terdekat, keluarga. Saya menganggap keluarga adalah orang-orang tersayang tempat saya kembali, tanpa sering berpikir bahwa bisa jadi beberapa orang justru menganggapnya kebalikannya.

Latar belakang saya sebagai psikolog yang belajar tentang ilmu kejiwaan tentu membuat saya melihat sesuatu secara berbeda. Saya bisa begitu terkesan dengan cerita-cerita macam demikian, sehingga membuat saya berkata berkali-kali bagus ya, bagus ya bang A dan mendiskusikannya lebih lanjut bersama dia.

Saya suka judul drama ini dalam Bahasa Inggris, sebagai sebuah pengingat, bahwa menjaga kesehatan mental adalah juga menerima ketika kita merasa tidak baik-baik saja.

Love,

Zahra

Avatar

Menjadi (Orang) Baik.

Saya senang membaca buku yang setiap babnya membuat saya merenung. Buku Haemin Sunim dengan judul Love for Imperfect Things: How to Accept Yourself in a World Striving for Perfection adalah salah satunya. Buku yang ‘sederhana’ namun sesuai untuk memantik saya memikirkan banyak hal. Tulisan berikut adalah refleksi atas bab pertama: Self Care.

Menjadi (orang) baik, saya kira, adalah cita-cita banyak orang. Seseorang yang cukup baik untuk dijadikan pasangan hidup, sebagai bagian dari keluarga, jadi anak buah atau pemimpin, dan teman bicara. Baik, adalah kualitas yang sering digunakan ketika diminta untuk menggambarkan seseorang. Meski terlalu umum karena kita butuh penjelasan lebih lanjut, baiknya seperti apa?

Baik juga harapan banyak orang. Kita mengharapkan pasangan hidup, anggota keluarga, anak buah atau pemimpin, dan teman yang baik. Wah, sepertinya hidup berjalan lurus dengan seseorang yang baik.

Tapi apakah menjadi (orang) baik adalah hal yang baik?

Saya merasa Haenim Sunim mengingatkan agar menjadi baik tidak menjadikan kita tidak berani bicara yang berbeda atau menyampaikan kritik. Baik semoga tidak membuat kita menghindari konflik karena khawatir tidak mampu meresolusinya dengan cara yang tepat. Baik tidak sama dengan ketidakmampuan berkata tidak. Bersikap baik diharapkan tidak membuat kita (sebenarnya) merasa kesulitan dalam menjalankan kehidupan.

Be good to yourself first, then to others

Kutipan di atas sering kita dengar, tentang menyelamatkan diri sendiri terlebih dahulu, karena sejatinya hanya orang-orang yang mampu yang dapat membantu orang lain. Jangan sampai, jangan sampai, menjadi baik adalah sebuah pengorbanan.

Saya pikir-pikir, menjadi baik bukan sesuatu yang utama yang ayah saya harapkan dari saya. Akan tetapi, sepertinya dari ibu saya, iya. Ibu saya berharap saya menjadi perempuan yang baik. Ayah saya, saya kira, lebih berharap saya menjadi orang yang bermanfaat. Baik, sepertinya juga bukan kualitas utama yang orang lain lihat dari saya. Meski saya merasa diri saya cukup baik, yang saya maksud disini adalah saya cukup perhatian dengan orang lain, tetapi saya kira orang lain melihat saya sebagai seseorang yang galak, sehingga banyak membuat orang segan. Dalam lingkungan pekerjaan, saya lebih dekat dengan impresi dingin dibandingkan hangat. Saya sadar, beberapa rekan bukan menganggap saya sebagai seseorang yang menyenangkan untuk diajak bicara. Buat saya sedikit tidak masalah, selama orang-orang tertentu, seperti abang ojeg, satpam di toko, atau orang-orang yang tidak saya sangka sebelumnya bisa bertanya dan bercerita banyak hal kepada saya.

Saya percaya bahwa menjadi baik bukan berarti tidak bisa berbeda.

Menjadi baik mungkin jangan dijadikan sebagai cita-cita.

Baik, adalah perbuatan, maka silakan dilakukan saja.

Baik adalah cara.

Baik bukan sesuatu yang menjadi tujuan, baik adalah perjalanan.

Maka, dalam perjalanan itu semoga kita semua dikuatkan untuk tetap bicara yang berbeda dan menyampaikan kritik, menghadapi konflik dengan resolusi yang tepat, dan berkata tidak dengan cara yang baik. Semoga menjadi baik yang demikian membuat kita merasakan damai yang membawa pada rasa bahagia.

Terakhir, baik bukan berarti tanpa cela. Semoga kita juga menerima setiap cela yang ada dalam diri kita. Bukan berarti kita tidak baik, kita akan selalu mampu baik di waktu yang akan datang.

Love,

Zahra

Avatar

Bisa karena Biasa

Sebagai psikolog pendidikan, saya menyadari bahwa saya tertarik dengan tema membangun kebiasaan (baik). Bagi saya, membangun kebiasaan benar-benar proses belajar, sedangkan belajar adalah benang merah dari semua tema yang dibahas dalam ilmu Psikologi Pendidikan. Beberapa kali, sering juga saya membaca buku yang fokus mengenai tema ini, membangun kebiasaan. Belajar membangun kebiasaan baik bagi saya adalah sebuah gaya hidup.

Saya pikir-pikir (tentu dikaitkan dengan pengalaman belajar di bangku kuliah), setiap orang yang menikmati proses belajar tahu alasan mengapa mereka belajar. Motif menentukan motivasi. Semakin spesifik, jelas, dan kuat motif, semakin tinggi motivasi. Contoh saja: saya ingat sebelumnya saya tidak betah menggunakan masker. Saya selalu berkeringat di bagian bawah hidung dan sekitar mulut. Saat ini? tidak lagi. Dulu saya merasa sesak, saat ini saya khawatir bernafas ketika tidak menggunakan masker. Situasi eksternal pandemi COVID-19 dikaitkan dengan kepercayaan saya akan manfaat masker membuat saya konsisten menggunakan.

Motif membuat saya memiliki kepercayaan yang akan memotivasi saya belajar membangun kebiasaan. Dalam hal lainnya pula, membaca buku, melakukan perawatan wajah, hidup dengan berkesadaran dan penuh keugaharian, menjaga lingkungan dengan berusaha menggunakan transportasi umum dan mengolah sampah, dll. Saya percaya semua membuat saya merasakan hidup yang ‘lebih baik’. Hidup yang punya tujuan, hidup yang tahu mengenai apa yang ingin dilakukan.

Ibu saya pernah berkata bahwa semua hal bisa Ayah saya lakukan ketika ia mau. Ayah saya dalam menjalani kehidupan selalu menjadi panutan tentang bagaimana bekerja dengan maksimal. Meski mungkin ia merasa tidak nyaman, tapi karena tahu betapa pentingnya, ia tetap berusaha.

Masih banyak hal yang ingin saya bisa karena biasa. Semoga bisa mencari kesempatan.

Avatar

Tentang Berbuat Salah

Setiap manusia, di dunia, pasti punya kesalahan. Tapi hanya yang pemberani, yang mau mengakui. Setiap manusia, di dunia, pasti pernah sakit hati. Hanya yang berjiwa satria, yang mau memaafkan. (Persahabatan)

Kutipan lagu di film Petualangan Sherina di atas begitu melekat di benak dan menjadi salah satu moto hidup saya. Lagu tersebut didukung oleh pengalaman saya belajar Psikologi membuat saya lebih mudah memahami mengapa seseorang berbuat sesuatu, termasuk berbuat kesalahan. Lagu tersebut benar-benar ingin bisa saya praktikkan sepanjang hayat, untuk mengakui kesalahan dan untuk memaafkan.

Ada kesalahan yang dilakukan tidak cukup hanya dengan diakui atau meminta maaf, maka ada hukum dalam kehidupan bernegara atau dosa dalam agama. Ada dampak sebagai bentuk tanggung jawab atau ganjaran atas perbuatan. Tujuannya untuk meminimalisir perbuatan. Masalahnya, manusiawi bagi manusia untuk berbuat salah.

Sampai saat ini, yang paling penting bagi saya adalah bagaimana kita sebagai manusia belajar dari kesalahan yang kita perbuat. Ayah saya selalu berpesan langkah pertamanya adalah menyadari kesalahan yang kita lakukan. Lewat peribahasa “Buruk rupa, cermin dipecahkan” ia selalu mengingatkan saya untuk tidak menyalahkan pihak lain. Nasihat ini sangat membekas dalam diri saya, sehingga saya berusaha membiasakan untuk melihat dulu kepada diri sendiri ketika saya melakukan kesalahan atau bahkan ketika orang berbuat salah yang menyakiti atau merugikan saya. Penting untuk menyadari siapa saja yang berkontribusi berbuat kesalahan untuk berikutnya ditindaklanjuti dengan hikmah apa yang bisa dipetik dari kesalahan dan kemudian apa yang ingin dilakukan untuk memperbaikinya di waktu yang akan datang.

Ada sebuah peristiwa dalam hidup saya pribadi, ketika saya menyadari ada kesalahan besar. Peristiwa ditangkapnya seorang Bapak yang berprofesi sebagai aktor karena konsumsi ganja di masa pandemi ini, serta karena saya menonton drama Korea yang menceritakan pelaku tabrak lari membuat saya melakukan refleksi tentang berbuat kesalahan. Saya teringat salah satu postingan di Instagram, janganlah kita menilai seseorang dari kesalahan yang dilakukan. Saya setuju, lihatlah bagaimana ia belajar dari kesalahan tersebut.

Dalam hidup, sering saya memberikan kesempatan kedua baik untuk orang lain juga untuk diri saya sendiri. Saya kira kita semua membutuhkan hal tersebut. Akan tetapi, saya juga ingin memastikan orang lain dan diri saya sendiri memahami apa itu kesempatan kedua. Meski terhadap diri saya sendiri, saya masih tetap ingin memiliki harga diri untuk tidak sembarangan memberikan kesempatan kedua ataupun dipermainkan, dianggap lemah, karena mudah memberikan kesempatan berikutnya.

Akhirnya, saya ingin menyeimbangkan antara memahami mengapa seseorang berbuat sesuatu, apa kontribusi saya pada suatu kesalahan, apa yang bisa saya dapatkan dari pengalaman kesalahan ini, apa yang bisa saya lakukan untuk mengakui dan memaafkan, dan apa yang akan saya lakukan untuk memastikan kesalahan tidak terulang di waktu yang akan datang?

Kita manusia, tempat salah dan dosa. Kita manusia, juga memiliki pikiran dan perasaan untuk menjadi lebih baik dari waktu ke waktu.

Love, Zahra

Avatar

Setiap Orang Berbeda

Suatu hari saya menonton sebuah acara yang memperlihatkan aktivitas di rumah keluarga artis. Rumahnya besar sekali, megah. Luasnya membuat kalau kita berteriak dari satu ruangan mungkin tidak terdengar dari ruangan lainnya. Jenis rumah yang kalau ada orang masuk mungkin bisa tidak disadari (Tentu rumah tersebut tetap aman dengan sistem keamanan sendiri ya). Kemudian saya berpikir, wah besar sekali ya rumahnya, saya belum pernah membayangkan diri tinggal di rumah sebesar itu. Sepi sekali ya kalau semua anggota keluarga beraktivitas dan kita di rumah sendirian? (Ya, di rumah saya sekarang pun kalau sendirian tetap sepi, tapi terbayang maksudku kan? Rumah besar sepi sendirian?) Saya berpikir lagi, orang-orang seperti ini mungkin sudah lama sekali tidak merasakan atau bahkan tidak pernah ya tinggal di rumah yang kecil atau kehidupan yang sulit dan lain sebagainya yang jauh dari kehidupan golongan menengah atas. Jadi, wajar saja kalau misalnya orang-orang tersebut dan isi laman IG Storynya adalah aktivitas makan daging steak hampir setiap hari.

Di waktu pandemi seperti sekarang ini, saya jujur pernah bergumam. Apa tidak terpikir ya untuk orang-orang ini sedikit saja berempati terhadap postingan masak daging steaknya hampir setiap hari? Maksudku, di luar sana mungkin followers Instagramnya ada yang tidak pernah makan daging steak seumur hidup. Apalagi di masa-masa ini, masa berhemat (Boleh juga kalau ingin menganggap masa ini adalah masa berbagi dengan sesama).

Saya memikirkannya berhari-hari sebelum akhirnya memutuskan bercerita kepada bang @muhammadakhyar atau menulis. Apa persoalan ini adalah persoalan empati? Atau memang hal tersebut adalah hal yang wajar karena memang demikian kehidupan mereka. Era media sosial ini seringkali membuat saya bingung. Ada keinginan saya juga berbagi (menunjukkan) kebahagiaan di media sosial dengan apa yang dilakukan oleh bang A atau sesederhana makan malam bersama keluarga. Meski saya mempostingnya dengan sadar bahwa ada yang tidak memiliki keluarga seperti yang saya miliki atau sekadar kesempatan menghabiskan waktu bersama keluarga dengan cara yang saya lakukan. Media sosial membuat saya bingung mengenai apa yang bisa dan perlu saya bagi dan apa yang tidak perlu atas nama empati. Berkali-kali saya mengulang ini kepada ibu saya, adik saya meski saya paham tidak semua orang memahami apa yang saya pikirkan.

Hingga tiba pada satu kesimpulan. Saya pikir semua orang berbeda. Tidak perlu saya berpikir apa dia tidak berempati terhadap orang lain? Apa sengajar pamer atau tidak. Sudah seharusnya bukan hal tersebut yang saya pikirkan. Saya tidak punya kuasa untuk mengubahnya pula. Akhirnya saya berpikir, setiap orang berbeda. Setiap perilaku ada alasan berbeda. Saya berusaha memahami hal tersebut dan fokus pada apa yang saya lakukan secara pribadi. Saya memutuskan untuk berusaha selalu mengutamakan empati sebelum meng-klik ‘kirim’ dan mengunggah sesuatu di media sosial. Semoga dengan demikian apa yang ingin saya sampaikan bisa diterima dengan hati yang lapang oleh orang lain. Pun begitu pula saya untuk mengutamakan empati dalam bermedia sosial, sehingga hati saya pun lapang tanpa buruk sangka (bahkan Rasul menganjurkan untuk berkali-kali berprasangka baik atas yang dilakukan saudara kita) atas apa yang siapapun bagikan di media sosial.

Love, Zahra

You are using an unsupported browser and things might not work as intended. Please make sure you're using the latest version of Chrome, Firefox, Safari, or Edge.