Avatar

Catatan Sederhana

@catatan-sederhana / catatan-sederhana.tumblr.com

Semoga tulisan sederhana ini bisa menjadi pengingat tidak hanya untuk diriku sendiri, tapi juga bagi setiap orang yang membacanya. — Mau ngutip? mention IG @catatansederhana (:
Avatar
Avatar
danig-eil

Konsisten dalam bertujuan

Apa tujuanmu dalam meraih sesuatu?

Apakah sampai kini dia masih tetap dalam niatan bertujuan yang murni?

Kita bisa memiliki banyak goal dalam hidup, meski ada juga yang memiliki satu niat sederhana saja; menjadi sesungguhnya hamba Tuhan, misalnya.

Kita bisa ingin berilmu sebanyaknya, tidak hanya melalui sekolah-sekolah.

Ingin berkarya sekuatnya, meski bisa jadi ijazah sekedar saja.

Ingin bekerja maksimal yang tentu untuk menyelamatkan diri dan keluarga.

Ingin berdakwah menggebu karena cinta Tuhan terasa sebegitu besarnya.

Ingin ini dan itu, yang goalnya bersih dari sekedar popularitas dan entah apa-apa.

Tapi seiring waktu, ada titik di mana niat kita perlu dilihat lagi, dirapikan, ditata ulang.

Hai hati, apakah niatanmu melakukan ini dan itu, masih dengan kemurnian-ingin yang menenangkan?

Atau kini dia mulai resah, ingin tenar, ingin kaya, ingin segera punya 'kasta' yang tidak hanya seala-kadarnya?

NIAT baik itu di awal, di tengah dan di akhir.

IKHLAS itu di awal, di tengah dan di akhir.

TAWAKAL dan DOA pun demikian.

Dan semua itu sia-sia jika niat kita salah.

Sahabat Rasulullah pun ada yang setiap satu langkah, dia menoleh ke belakang, memastikan niatnya masih selurus sejak dia membulatkan tujuannya di hati.

Dia memastikan bahwa niatnya bersih untuk Tuhannya.

Lalu bagaimana kita?

Sudah kah mengecek niat kita berkala, dan menatanya agar tetap dengan koridornya yang bersih?
Avatar
Avatar
gagangpensil

KEDEWASAAN EMOSI

Salah satu topik yang agak jarang diangkat di Indonesia adalah kedewasaan emosi (emotionally mature).

Yang saya lihat, kebanyakan orang di Indonesia beranggapan bahwa kedewasaan emosi ini akan berjalan seiring dengan umur.

Padahal, berdasarkan pengalaman diri sendiri, kalau nggak sering-sering dikulik, kita jarang sadar bahwa secara emosi, kita kurang dewasa.

Setidaknya, ada 20 tanda kedewasaan emosi seseorang, diantaranya adalah:

1. Sadar bahwa kebanyakan perilaku buruk dari orang lain itu akarnya adalah dari ketakutan dan kecemasan – bukan kejahatan atau kebodohan.

2. Sadar bahwa orang gak bisa baca pikiran kita sehingga akhirnya kita tau bahwa kita harus bisa mengartikulasikan intensi dan perasaan kita dengan menggunakan kata-kata yang jelas dan tenang. Dan, gak menyalahkan orang kalau mereka gak ngerti maksudnya kita apa.

3. Sadar bahwa kadang-kadang kita bisa salah – dan bisa minta maaf.

4. Belajar untuk lebih percaya diri, bukan karena menyadari bahwa kita hebat, tapi karena akhirnya kita tau kalau bahwa semua orang sebodoh, setakut, dan se-lost kita.

5. Akhirnya bisa memaafkan orang tua kita karena akhirnya kita sadar bahwa mereka gak bermaksud untuk membuat hidup kita sulit – tapi mereka juga bertarung dengan masalah pribadi mereka sendiri.

6. Sadar bahwa hal-hal kecil seperti jam tidur, gula darah, stress – berpengaruh besar pada mood kita. Jadi, kita bisa mengatur waktu untuk mendiskusikan hal-hal penting sama orang waktu orang tersebut sudah dalam kondisi nyaman, kenyang, gak buru-buru dan gak mabuk

7. Gak ngambek. Ketika orang menyakiti kita, kita akan (mencoba) menjelaskan kenapa kita marah, dan kita memaafkan orang tersebut.

8. Belajar bahwa gak ada yang sempurna. Gak ada pekerjaan yang sempurna, hidup yang sempurna, dan pasangan yang sempurna. Akhirnya, kita mengapresiasi apa yang 'good enough'.

9. Belajar untuk jadi sedikit lebih pesimis dalam mengharapkan sesuatu - sehingga kita bisa lebih kalem, sabar, dan pemaaf.

10. Sadar bahwa semua orang punya kelemahan di karakter mereka – yang sebenarnya terhubung dengan kelebihan mereka. Misalnya, ada yang berantakan, tapi sebenernya mereka visioner dan creative (jadi seimbang) – sehingga sebenernya, orang yang sempurna itu gak ada.

11. Lebih susah jatuh cinta (wadaw). Karena kalau pas kita muda, kita gampang naksir orang. Tapi sekarang, kita sadar bahwa seberapa kerennya orang itu, kalau dilihat dari dekat, ya sebenernya ngeselin juga 😂 sehingga akhirnya kita belajar untuk setia sama yang udah ada.

12. Akhirnya kita sadar bahwa sebenernya diri kita ini gak semenyenangkan dan semudah itu untuk hidup bareng

13. Kita belajar untuk memaafkan diri sendiri – untuk segala kesalahan dan kebodohan kita. Kita belajar untuk jadi teman baik untuk diri sendiri.

14. Kita belajar bahwa menjadi dewasa itu adalah dengan berdamai dengan sisi kita yang kekanak-kanakan dan keras kepala yang akan selalu ada.

15. Akhirnya bisa mengurangi ekspektasi berlebihan untuk menggapai kebahagiaan yang gak realistis – dan lebih bisa untuk merayakan hal-hal kecil. Jadi lebih ke arah: bahagia itu sederhana.

16. Gak sepeduli itu sama apa kata orang dan gak akan berusaha sekuat itu untuk menyenangkan semua orang. Ujung-ujungnya, bakal ada satu dua orang kok yang menerima kita seutuhnya. Kita akan melupakan ketenaran dan akhirnya bersandar pada cinta.

17. Bisa menerima masukan.

18. Bisa mendapatkan pandangan baru untuk menyelesaikan masalah diri sendiri, misalnya dengan jalan-jalan di taman.

19. Bisa menyadari bahwa masa lalu kita mempengaruhi respons kita terhadap masalah di masa sekarang, misalnya dari trauma masa kecil. Kalau bisa menyadari ini, kita bisa menahan diri untuk gak merespon dengan gegabah.

20. Sadar bahwa ketika kita memulai persahabatan, sebenernya orang lain gak begitu tertarik sama cerita bahagia kita – tapi malah kesulitan kita. Karena manusia itu pada intinya kesepian, dan ingin merasa ada teman di dunia yang sulit ini.

Written by @jill_bobby

Avatar
Avatar
chibird

I struggle SO much with feeling behind. Behind on work, on chores, on goals in my personal life. But in reality, I’m comparing myself to unrealistic standards, and I should feel good about the progress I’m making, not constantly worrying about what I haven’t done yet! The idea that life is a race with a finish line just isn’t true. Life is a constant journey, and we’ll all find the right pace and place that works for us.

Source: chibird.com
Avatar
Avatar
danig-eil

Terlalu banyak sedih, akan mendekatkan dirimu ke arah kekufuran, kesetanan dan segala jenis keburukan.

Terlalu merasa bahagia dan nyaman, bisa mendekatkan dirimu pada kesombongan, kehilangan empati dan hati.

Yang terlalu-terlalu tidak pernah bagus.

Makanya kita puasa kan? Kita tahu akan berbuka nanti, punya rezeki yang diatur Allah. Tapi kita juga menahan nafsu yang menyenangkan, biar kita tetap awas akan dunia.

Hei diri, Laa tahzaan… :’((

Avatar
Avatar
danig-eil
apakah luka yang disebabkan orang asing itu, lebih wajib kau sembuhkan daripada luka yang kau sebabkan sendiri; di hati orang yang kau sayangi?

(via danig-eil)

Jangan Egois :(

Avatar
Avatar
danig-eil

Mikrokosmos Waktu

Rasa-rasanya aku membaca ini ketika SMA atau kuliah, yang pasti aku membacanya di majalah cewek entah punya siapa kupinjam. Salah satu artikelnya menulis tentang ‘perlakuan seperti apa yang membuat seorang cowok merasa dicintai?’, dan dijawab oleh beberapa cowok dalam artikel itu. Aku hanya ingat satu jawaban yang kurasa paling ‘klik’ denganku, karena memang terlintas olehku sesuatu setelah membaca judulnya

Aku merasa dicintai jika istriku membersihkan rumah. Saat aku pulang dan melihat rumah bersih, aku merasa benar-benar dicintai’. Begitu katanya.

Aku terpikir sesuatu sekarang; mikrokosmos waktu.

Yah, anggaplah satuan waktu yang paling kecil itu adalah hari, aku tak mungkin membahas pekodetik di sini. Memang tak terlalu sulit menemukan sepasang manusia yang menikah dan memiliki impian bersama, sekian tahun lagi akan membangun yayasan khusus apa misalnya. Tapi pertanyaanku adalah, bisakah kau bayangkan dirimu nanti kau dan orang yang kau cintai melalui satu hari bersama? Satu hari yang berulang-ulang.

Satu hari dimana kau akan melakukan hal yang sama; kau harus membagi tempat tidur dan dengar dengkurannya setiap malam, pulang atau menunggu pulang orang yang itu-itu saja, memasak beberapa menu yang diulang-ulang, membereskan rumah setiap hari yang nanti akan terlihat makin sempit—dan terasa luas kalau sedang mengepel lantai.

Bayangkanlah siapapun yang kau cintai, dan bayangkan kau harus melakukan hal-hal repeatable seperti itu di tiap mikrokosmos waktu yang kau punya. Apakah kau bosan? Apakah kau menyukainya? Atau menginginkannya?

Mikrokosmos. Bukankah kita tak ada jika tak ada mikrokosmos? Maka impian sebesar dan secanggih apapun juga diantara dua orang, akan selalu dimulai dari satu hari pertama, dan satu hari selanjutnya. Kalau kau bisa membayangkannya dan merasa tenang atau bahkan menyukai, kurasa sepuluh atau seratus tahun bukan masalah.

**Aku tiba-tiba terpikir, cowok yang menjawab ‘merasa dicintai kalau istrinya membersihkan rumah’ adalah seseorang yang kebahagiaannya paling sulit dipatahkan jika dia sudah mendapatkannya, malah karena kebahagiaannya bersumber dari hal yang sangat sederhana.

Satu hari yang berharga...yang akan dikalikan dengan ribuan hari selanjutnya...

Semoga kita menemukan bahagia dalam ‘satu hari’ yang repeatable dengan pasangan kita masing-masing...

Avatar
Avatar
arnamee
“Nafsu adalah musuh yang kita cintai. Melawannya ibarat melawan diri. Moga kuatlah kita semua, nanti.”

Nafsu amarah

Nafsu benci

Nafsu prasangka

Nafsu bersedih terlalu lama

Nafsu rakus akan ilmu, akan ibadah, akan harta, tapi lupa hakikatnya.

Nafsu malas

Nafsu anti-sosial

Nafsu mengghibah

Nafsu apa lagi yang sering kita hadapi namun malah kita nikmati?

Avatar

Tidak ada sia-sia dalam kebaikan. Tidak ada sia-sia pula dalam kesabaran. Yuk bisa!

Yang menentukan sia-sia atau tidak itu cuma Allah.

Kalau sekarang belum keliatan haslnya, kalau sekarang belum nampak efeknya, sabar, jangan putus asa.

Karena sebenernya memang hanya di akhirat nanti kita bisa tahu.

Yuk bisa yuk (:

Avatar
Avatar
danig-eil

Ilmu Apa Yang Tak Bermanfaat?

Mungkin bagi sebagian ini pertanyaan bodoh, tapi percayalah bahwa doa di Islam aja ada potongan ini; 

“…dan berikanlah kami ilmu yang bermanfaat. Jauhkanlah kami dr ilmu yang tidak bermanfaat.”

 Makanya aku jadi mikir pertanyaan di judul ini.

Lagi deh, ilmu apa sih yang gak bermanfaat?

Selain belajar di sekolah (yang selalu kuperdebatkan asas kebermanfaatannya, walau kemudian yakin ada gunanya nanti sih), aku juga belajar otodidak “mata pelajaran” lain kayak psikologi, filsafat, mengulik sedikit etimologi karena aku sempet minat bahasa Jepang dan Prancis–minat doang, titik. Juga belajar perpanjangan tangan dr sastra dan seni. Rata-rata aku mulai pelajari itu dari SD atau SMP.

Sampe dulu aku tergila2 aja rasanya dengan ilmu dan menganggap menimba ilmu apapun gakkan pernah rugi.

Tapi salah guys. Doa di atas menyatakan bahwa aku salah.

Tapi di mananya yg salah?

Singkatnya, kemudian aku sadar bahwa ilmu yang gak bermanfaat adalah… ILMU YANG MENJAUHKAN KITA DARI ALLAH.

Ilmu yg bikin kita suka debat, benci damai. (Contohnya banyak)

Ilmu yg mengoyak iman tanpa penawar. (Misal kontempelasi Partikel-nya Dee, tapi aku ada jawabannya, thx)

Ilmu yg bikin kita suka nyalahin org. (Maybe hukum dan akuntansi? Hha)

Ilmu pemuja kerakusan (manajemen keuangan dan leadership, bisa jadi).

Ilmu yang membuat kita sok pinter sendiri sampe merasa bisa menghisab orang. (Hallo yg katanya cinta kitab suci #eh )

Ilmu yang bikin kita ragu sama Allah (“investasi uang” unt masa depan, trus lupa kematian, lupa berpegang pada Allah, lupa ekonomi Islam halal haram, dll dll dll).

Ilmu yg bikin kita sombong (jujur belajar psikologi aja bisa bikin sombong, pdhl katanya belajar memahami manusia).

Ilmu yang…. Menjauhkan kita dari Allah. Menjadi manusia barbar. Manusia emosional dan impulsif, manusia pendendam, entah apa lagi. Semua bisa berasal dr ilmu yg “salah”.

Sayangnya. Semua yg kujadikan contoh gak ada yg salah/sesat, yg salah itu kadang otak dan nafsu manusia.

Maka benarlah doa umat muslim itu.

Ilmu yang membuat…. Jauh. Lupa. Alpa. dari Allah. Itu ilmu gak guna. Ya, skrng aku yakin. Ilmu yang bikin pemiliknya rugi itu nyata adanya.

Jadi inget sesuatu..

Kalau orang yang belajar psikologi (bukan psikolog ya, cuma belajar otodidak juga) aku pernah dengar ada omongan, “ih harusnya dia melaukan ini atau itu. Kalau jadi orang tua tu belajar kek parenting, dasar itu mah ortu toxic. Kalau jadi listener ada teorinya tauk”--sejenis itulah kurang lebih.

Waktu aku baca tulisan ini aku jadi sadar kenapa aku kurang sreg sama ucapannya, kekeke. Ternyata angkuh itu bikin orang enggak nyaman juga. Apalagi sombong sedikit aja udah bisa jauh dari surga.

Duh apalah, apakah ilmuku sudah bermanfaat atau malah mendatangkan mudharad?

Allahu...

Avatar
Avatar
danig-eil

Seseorang berkata, “Jika kau paham seseorang, kau takkan bisa membencinya”

Bahkan sejahat apapun orang itu. Jika masih membencinya, cobalah melihat dari banyak sisi. Coba lihat dari banyak ilmu. Cobalah untuk paham.

Cobalah untuk memahami kondisinya, perasaannya, logika pikirnya yang mungkin beda, setiap pertanyaan ‘kenapa’ adalah jalan untuk paham meski kadang memakan waktu.

Sulit? Sangat.

Saat jadi korban atau didzolimi, kita kadang terus mencari pembenaran dan bukti bahwa dia salah, dan terlepas diakui atau tidak, kita merasa lega jika ada yang sependapat.

Tapi sebusuk apapun orangnya, dia datang ke kehidupan kita bukan untuk menjadikan kita pembenci. Orang-orang yang setuju bisa jadi penenang sementara, tapi ingat bahwa “kebencianmu adalah racunmu sendiri”. Tidak lebih.

Cobalah lihat apakah hatimu punya sifat kehambaan–menghambakan diri pada Tuhan. Menerima takdir, memahami hakikat semuanya baik, sesakit apapun itu. Dia yang kau benci adalah ciptaan Tuhan yang disiapkan agar kamu lebih dekat ke Tuhan, meski awalnya dengan marah dendam dan sedih. Kamu akan selalu bahagia akhirnya jika bisa pulang.

Di akhir… Jika kau paham mengapa dia melakukan hal jahat kepadamu, kau lebih mungkin merasa kasihan karena kebodohannya–dan kesepiannya. Dan maafkan lah dirimu atas kebodohanmu, ketidaktahuanmu karena telah pernah membencinya. Kamu enggak perlu sakit lebih banyak lagi.

THIS

Avatar
Avatar
danig-eil

"Social Distancing"

Di saat seperti ini, mungkin sudah semestinya kita sadar bahwa jarak tidak seburuk yang kita kira.

Tidak, kamu tidak salah baca, dan aku serius.

Jarak sepertinya harus punya ukuran sendiri.

Kita tidak bisa terlalu dekat dengan orang-orang; itu bisa membuat orang risih, membuat kita dependen, menyempitkan ruang gerak sendiri, juga menyakiti dan tersakiti dengan lebih mudah.

Kita tidak bisa terlalu jauh dengan orang-orang. Kita, bahkan yang seintrovert apapun, adalah makhluk sosial yang bisa merasa kesepian jika kehilangan perasaan terkoneksi dengan orang lain. Kita butuh merasa saling membutuhkan, tapi tidak berlebihan.

Bahkan saat social distancing ini, kita bisa sadar, meski sedikit berjarak kita masih bisa berjalan bersama, bekerja sama dan saling menyemangati bersama. Dan 'sedikit jarak' ternyata bisa menjauhkan kita dari hal buruk yang tidak kita inginkan.

Saat ini mungkin harusnya kita menyadari, bahwa jarak yang sewajarnya adalah hal yang membuat kita bertumbuh dengan semestinya.
You are using an unsupported browser and things might not work as intended. Please make sure you're using the latest version of Chrome, Firefox, Safari, or Edge.