Karena Kita Bukanlah Orang Yang Sama
Sebulan terakhir, empat undangan datang sekaligus. Bahagia membuncah, melihat mereka akan menyempurnakan separuh agamanya untuk dibagi dengan pasangan sehidup sesurga. Keempat-empatnya sama-sama teman baik, walau dari masa yang berbeda. Ada teman SMP, ada teman SMA, dan ada pula teman kuliah.
Semuanya menemukan tulang rusuknya dengan cara yang berbeda, tapi untuk sebuah niat yang sama, yaitu untuk mendapat keridhoan dari Allah semata.
Menikah memang menjadi pembicaraan paling menarik di dunia bagi generasi ‘94-‘97an. Umur mereka sudah ideal untuk menjalani proses itu. Jadi sama sekali bukan permasalahan besar ketika dibahas dan dibicarakan bersama-sama. Apalagi, di tengah pandemi yang sampai sekarang belum berakhir, konsep ‘menikah sederhana tanpa banyak biaya’ menjadi satu hal yang sungguh-sungguh memudahkan. Setidaknya, kesan menikah yang mahal dan memakan biaya banyak bisa dihilangkan sementara ini.
Pertanyaan kapan, kapan, dan kapan pun memenuhi chat dan obrolan dari teman-teman yang lain.
‘Kok ngeshare undangan orang terus? Lha kamu kapan ngeshare undangan sendiri?’ tanya si A.
‘Tunggu apalagi sih? Kan udah kerja, udah ada penghasilan, keburu mahal loh ntar?’ tanya si B.
‘Kirain kamu yang nikah, jadi kapan nih?’ tanya si C.
Pertanyaan-pertanyaan di atas sangat wajar terjadi apalagi mengingat yang menikah adalah teman dekat kita sendiri. Saya tidak menyalahkan mereka atas pertanyaan itu, justru senang karena artinya mereka peduli dan ingin yang terbaik untuk kita.
Namun, sejujurnya, jauh di hati yang paling dalam. Saya lebih suka dengan pertanyaan,’Habis ini mau ngapain? Apa planning ke depan? Apa saja yang udah direncanain sejauh ini?’
Karena, satu keyakinan yang mestinya dipegang erat, bahwa..
Semua orang pasti ingin menikah, tapi tidak semua orang menjadikan menikah sebagai prioritas utamanya saat ini.
Ada yang ingin fokus dulu dengan studinya, ada yang ingin lanjut S2 di luar negeri dulu, ada yang ingin mengembangkan bisnis dulu, ada yang ingin membahagiakan orangtuanya dulu, ada yang ingin menyelesaikan tanggung jawabnya, ada yang masih punya janji atau utang yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Dan kita sama sekali tidak bisa menyalahkan mereka dengan pilihan-pilihan itu.
Nanti ada yang bilang,”Rezeki ada yang ngatur kok, pasti ada jalannya..” atau “Kan lebih asyik S2 berdua daripada sendirian..” dan pernyataan-pernyataan sejenis lainnya.
Mungkin, memang ada orang-orang yang bersikap demikian, yang butuh orang lain untuk membangun hidupnya Tidak mengapa dan sama sekali bukan masalah besar. Tapi sekali lagi, tidak semua orang bisa disamaratakan.
Jika kita bisa menghargai dan merasa bahagia atas pilihan teman kita yang memutuskan untuk menikah, maka harusnya perlakuan yang sama juga kita berikan kepada pilihan teman kita yang memutuskan untuk tidak menikah (dulu).
Bukannya anti dengan pernikahan, atau tidak percaya bahwa Allah akan menolong kita ketika melakukan ibadah tersebut. Di lubuk hati terdalam pastinya juga ingin. Tapi ada pertimbangan lain yang masih menahan diri, masih menjadikan hal lain sebagai prioritas utama saat ini.
Teringat apa yang disampaikan Ustadz Felix di salah satu kajian ‘Ngaji Jomblo’-nya (recommended buat temen-temen yang mau tahu lebih lanjut tentang seluk beluk pernikahan, dari A sampai Z, bisa ditemukan di Youtube atau Podcast beliau), bahwa persiapan lebih penting daripada akadnya.
Tidak menikah sekarang, bukan berati tidak melakukan persiapan. Seperti seorang tentara yang butuh waktu bertahun-tahun latihan untuk perang yang hanya berlangsung satu-dua minggu, atau pemain bola yang butuh olahraga bertahun-tahun untuk pertandingan yang hanya berlangsung 2 x 45 menit. Butuh persiapan panjang untuk menghadapi kehidupan pasca pernikahan.
Adapun kadar kesiapan orang berbeda-beda dan hanya dia yang tahu sendiri sejauh mana persiapan yang sudah ia lakukan. Jadi jangan lagi berpikiran, ’Kalau nunggu siap ya selamanya gak akan siap-siap’, karena sekali lagi, hanya dia yang tahu sejauh mana persiapannya. (Lagipula kan yang menikah juga kita, dia cuma manas-manasin aja, kalau udah nikah nanti, dia pasti pergi dan gak mungkin bayarin kontrakan kita, iya kan ya?)
Bukankah ikhtiar juga menjadi salah satu perkara yang mengiringi doa untuk mengetuk pintu langit? Maka sudah sepantasnya dilakukan dan tak boleh berhenti sampai Allah menunjukkan jalan. Entah itu cepat, sedang, atau berjalan lambat. Semuanya sudah ada porsinya, karena kita bukanlah orang yang sama.
Pada akhirnya, kita adalah seorang hamba yang mengikuti alur Semesta, baik atau buruk tetap akan menjadi sepercik hikmah yang akan kita terima.
Selamat berproses bagi yang sedang menjalaninya.
Dan selamat berbahagia bagi yang sebentar lagi akan menggandeng kekasih halalnya.