The art of listening.
Banyak orang ingin bicara, tapi tak banyak yang bisa mendengarkan, kadang sulit rasanya menerima bedanya isi kepala, inginnya kita komentar saja, tak peduli dengan bagaimana isi hatinya, bagaimana perasaannya. Bukankah jumlah telinga diciptakan lebih banyak ketimbang mulut? Mari kita belajar seni mendengarkan.
1. Terima dengan baik
Saya ingat saat dulu belajar berpraktik di rumah sakit jiwa, saat saya perlu banyak belajar komunikasi terapetik, belajar menerima perasaan orang, berusaha simpati atau memahami perasaan orang tersebut namun tidak sampai terlibat ikut dalam perasaannya, kalau iya nanti jadinya baper, sedang perasaan seseorang sebegitu nano-nanonya (manis asem asin rame rasanya *iklan, wkwk), dan kadang juga sedinamis itu, cepat berubah.
Template respon yang bisa diberikan seperti:
"bagaimana perasaanmu hari ini?"
"aku mengerti apa yang kamu rasain,"
"aku disini untuk mendengarkanmu"
"bagaimana hari ini?"
Let they release all feelings, explore the all feelings, good or bad feelings, whatever feelings.
2. Don't judge
Ini yang mungkin bagian paling sulit, bahkan nanya pakai kata "kenapa" aja dilarang karena bisa terkesan menghakimi. Ga mudah, sungguh ga mudah. Kadang melogikakan orang yang perasaannya sedang overwhelmed dominan itu ga mudah. Mereka akan cenderung lebih sensitif. Hati-hati, seringkali ini jadi pencetus depresi. Kata yang lebih baik bisa diganti adalah apa atau bagaimana.
"apa yang membuat kamu merasa seperti itu?"
"bagaimana hal tersebut membuatmu merasakan itu?"
"kenapa kamu merasa seperti itu?"
Beda kan? Pernyataan kenapa saja bisa dianggap seperti memojokkan, menyalahkan si subjek yang merasa itu, padahal tidak ada yang salah dengan merasa karena kita manusia, asal tak berlarut larut saja dan mengganggu aktivitas harian kita, yang paling penting adalah don't blame, fokus untuk hanya perlu mencari tau penyebab dari perasaan itu, bukan menyalahkan perasaan atau personal orang tersebut.
Aku tau, kadang niat kita terlampau baik, ingin sekedar mengingatkan, tapi mengingatkan juga ada seninya agar tidak sampai menjadi sesuatu yang menyakitkan bagi penerimanya. Nanti kita bahas lain kali, insya Allaah.
3. Timing!
Perhatikan kondisi dan waktu. Kalau dia lagi nangis nangis parah, jangan langsung ditanya, biarkan dulu, atau tenangkan dulu, ga selalu dengan kata-kata, bisa dengan puk-puk, peluk (ini kalau sesama perempuan ya), mimik yang khawatir, dst. Kalau sudah agak tenang sedikit, bisa sampaikan
"aku ngerti kamu lagi ngerasa sedih,"
"aku ada disini buat nemenin kalau kamu mau cerita, aku bersedia mendengarkan :)"
Kalau orangnya lagi merasa ingin marah-marah, jangan mendekat, jaga jarak, karena dapat muncul resiko perilaku kekerasan. Tenangkan dengan kata-kata yang positif.
"tenang yaa, tarik nafas dalam dulu,"
"iya, aku paham kamu sedang marah,"
"kamu sedang merasa kesal ya?"
Kalau orang merasa jatuh cinta, ya ga perlu diledekin juga. Dan apapun rasa yang pernah ada lah.
4. Validasi dan konfirmasi
Kita simpulkan cerita panjang kali lebarnya dengan singkat. Menyamakan persepsi dengan
"jadi hal tersebut yaa yang membuat kamu sedih."
"jadi kejadian itu yang membuat kamu kesal ya?"
"jadi kamu sedih gara-gara itu doang?"
"yailah gitu doang,"
"jadi kamu kezel karena dia,"
Jadi subjeknya perlu juga diputer gitu.
5. Kembalikan kepada orangnya
Saatnya melogika-kan rasa. Setelah memahami perasaan dan penyebabnya. Kita kembalikan ke orangnya untuk merumuskan sendiri solusinya.
"apakah kamu ingin terus seperti ini?"
"menurutmu, apa yang perlu dilakukan?"
"jadi harus bagaimana?"
"apakah hal tersebut benar? Apakah mungkin bila bla bla bla akan bla bla bla?" Ini jawabannya perlu disesuaikan dengan ceritanya.
"jadi langkah apa yang bisa diambil?"
Intinya begitu, kalau dieksplore akan ada jauh lebih banyak, dari teknik, nada, tatap mata, mimik wajah, kesediaan mendengarkan yang tulus, antusias, dan pemahaman. Semoga bermanfaat!
- dari yang masih perlu banyak memahami dan menghargai perasaaan orang -